Semburat mentari meliuk naik mengejar
ombak yang datang berlarian menuju bibir pantai. Langit teduh kebiruan
memayungi sang surya naik ke angkasa. Ingat sekali rasanya baru kemarin siang
kami berangkat menuju tempat ini. Dan betapa lucunya mengingat dua malam yang
lalu aku masih mempersiapkan ini-itu dan segala tetek bengeknya. Kini, aku akan
tinggal dan menapaki hari-hari terakhir bersama teman-teman seperjuanganku dulu
untuk mengukir kenangan bersama selama tiga hari kedepan.
Kutengok lagi, kulihat lagi pemandangan
menakjubkan ini. Pasir putih selembut sutra dan seputih susu hanyut terbawa
arus ombak yang memecah kesunyian. Sayup-sayup terdengar gema suara lembut
gamelan di pura di sebelah sana itu, menyiratkan kedamaian dalam bersembahyang.
Di tengah gemulai pemandangan itu terekam tiba-tiba…
“Anak-anak, ayo naik ke bus. Tujuan
selanjutnya masih banyak,” katanya. I Gusti Agung Arya, pemandu kami. Semuanya
berlari masuk, berebut tempat duduk yang sesuai. “Anak-anak, sebentar lagi kita
akan menuju ke tujuan selanjutnya. Namun sebelum itu, kita akan menuju ke
penginapan terlebih dahulu untuk makan pagi dan berganti pakaian,” katanya
lagi.
Dengan cepat bus segera melaju,
menyusuri jalan-jalan yang bersih. Di depan semua rumah terdapat sesaji-sesaji.
Sesaji yang merupakan bentuk penghormatan terhadap ‘penghuni lain’ yang
‘berbeda’ dengan kita, begitu kata pemandu.
Akhirnya bus yang kunaiki sampai di
penginapan. Semua orang keluar, menuju kamar masing-masing untuk mempersiapkan
diri menuju tempat selanjutnya.
Bangunan megah, terjebak dalam siluet
taman dengan bunga yang sedang bermekaran. Berhiaskan patung para dewa sehingga
menciptakan suasana sakral dan membuat orang segan untuk memasukinya. Istana?
Bukan, itu adalah sebuah monumen. Sebuah bangunan yang meyimpan kenangan,
sebagai saksi bisu perjuangan rakyat yang tak rela diperbudak oleh orang asing,
berperang hingga puputan, sampai titik darah penghabisan.
Aku bersama sahabat terbaikku, Devika,
menaiki tangga menuju ke dalam. “Bli, di dalam boleh berfoto?” tanyaku kepada
dua orang pemandu.
“Boleh,” jawab mereka serempak. “Tapi,
yang halangan tidak boleh masuk ke dalam,” kata salah seorang pemandu.
“Bagaimana Vic, berarti aku tidak bisa
masuk? Ya sudah aku ke bus saja,” kata Devika.
“Ya sudah, kita berfoto di luar saja,
tidak usah masuk,” Devika menyetujui. Akhirnya kami berfoto di luar karena
Devika tidak diperbolehkan masuk.
Ya, perjalanan berlanjut menuju sebuah
pantai. Debur ombak bergulung menaikkan papan-papan surfing para peselancar.
Udara yang panas serta cuaca yang terik, menambah alasan mengapa semua orang
ingin berjemur diri.
“Kamu nggak berenang?” tanya Adhit,
teman sekelasku yang paling tidak bisa diam.
“Tidak, disini panas sekali,”
“Bukannya lebih segar jika berenang saat
cuaca terik?”
“Tidak,” aku tidak mau berdebat lagi.
Kuputuskan untuk menyusuri jalan-jalan
setapak untuk melihat-lihat. Aroma dupa dari setiap pura yang berada di setiap
ujung jalan membuat daerah ini begitu istimewa. Pun patung-patung yang sangat
menawan dan megah yang berada di setiap perempatan jalan-jalan besar,
mengundang takjub dari siapapun yang menyaksikannya.
Kembali menuju penginapan. Mempersiapkan
diri untuk menyaksikan lagi, keindahan-keindahan lain yang berada di sini satu
persatu. Menciptakan memori untuk dikenang, di lain waktu.
Langit kebiruan menyusul sang mentari,
perlahan datang naik menyinari bumi. Embun yang menguap, terusir oleh
kehangatannya. Dinginnya udara di danau ini menjadi saksi, bagaimana kami semua
menghabiskan masa-masa bersama yang terakhir dengan keseruan yang tercipta.
Danau ini nampak masih alami, diselimuti kabut tebal dan suhu udara yang
rendah. Kali ini aku bersama dengan Ilham dan Adhit, karena mereka adalah teman
sebangku-ku di bus. Loh, Devika mana? Ia sedang tidak enak badan sehingga harus
beristirahat di penginapan. Sayang sekali.
“Wih.. adem ya disini, kabutnya juga
tebal,” kata Ilham.
“Kamu aja pakai jaket kedinginan, gimana
kita coba?” kata Adhit dengan jengkel.
“Kan aku udah antisipasi. Jadi kalau ada
cuaca yang ekstrem begini kan enak,”
“Yee.. iya deh, percaya. Aku bawa jaket
sih Ham, tapi nggak takbawa,” kataku kepada Ilham.
“Ya udah, gimana kalo join?” kata Ilham
sambil tertawa.
“Ih, ogah. Mending kabur ah..” Adhit
pergi menuju teman-teman yang lain. Dan seperti biasa, ia selalu mengusili
semua orang.
“Lha kamu Vic? Ahahaha,” Ilham kembali
bertanya. Pertanyaan bodoh.
“Ogah juga,” jawabku sekenanya. “Eh,
tolong foto-in dong,” pintaku kepada Ilham. Setelah beberapa kali jepretan
foto, Ilham menyerahkan kamera kepadaku. “Terima kasih,” kataku lagi.
“Ih, narsis. Tapi sama-sama,”
“Biarin dong, kameranya siapa? Masalah?”
kataku. “Ayo ke pinggir sana, gabung sama anak-anak,” ajakku kepada Ilham.
Aku dan Ilham segera menuju ke pinggir
danau. Sialnya, hujan turun. Titik-titik hujan makin lama makin membesar.
Kuputuskan untuk berteduh. Titik-titik air jatuh melewati genting, membasahi
patung-patung raseksa yang berjajar, menciptakan harmoni dalam aksara nada-nada
rintik. Sang bayu terus berhembus membawa tetes air yang berevaporasi
menciptakan kelembapan di sekitarnya.
Seorang gadis kecil membawa payungnya,
menawarkan padaku jasa ojek payungnya.
“Ojek payung, kak?” tanya-nya
menawarkan. Daripada kebasahan, segera saja aku mengangguk dan memakai
payungnya menuju bus yang diparkir di atas. Sedangkan Ilham dan Adhit terlebih
dahulu menuju ke bus saat hujan mulai turun tadi. Saat aku sudah berada di bus,
hujan reda. Namun aku malas untuk turun lagi. Akhirnya aku menunggu di bus hingga
bus berangkat ke tujuan selanjutnya.
Dari dinginnya alam pegunungan, aku
berpindah menuju potret dataran rendah dengan keindahan yang begitu
menakjubkan, hasil karya pemanfaatan manusia terhadap alam semesta yang
diciptakan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Sebuah panorama pantai berarus deras
dengan batu karang serta pura yang berdiri kokoh diatasnya. Tebing-tebing curam
yang membalut setiap sudut menjadi tameng akan keindahan buatan mausia di
atasnya.
“Vic, sekarang gantian, aku yang kamu
foto-in ya,” kata Ilham kepadaku.
“Tadi bilang aku narsis, sekarang eh
malah dia-nya minta foto juga,”
“Biarin lah, biar impas,” Ilham
menyeringai. Dasar.
“Yaudah, gantian ya, hehe” kataku
kepadanya. “Ayo kita naik, di atas pasti lebih bagus,” ajakku. Dan benar,
sekitar delapan buah bangunan pura berada dalam satu komplek. Sungguh kajaiban
yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk membangunnya. Kesibukan menyelimuti
salah satu pura yang terbesar. Umbul-umbul yang terbuat dari janur melekuk
diterpa kerasnya angin. Sesaji kembang, dupa dan yang lainnya menyebarkan aroma
penuh misteri dengan segala kemagisannya.
“Wah wah wah, ada apa ini, rame banget?
Lah itu…” Adhit tiba-tiba datang dari belakang mengagetkanku. Ia juga menunjuk
kepada suatu benda yang tergeletak di pojok bale.
“Iya, mungkin ada yang meninggal,”
jawabku dan Ilham secara bersamaan. Sebuah peti mati, berwarna keperakan dan
terukir motif-motif khas menandakan upacara kematian akan diadakan. Sayang,
waktunya bagiku untuk meninggalkan tempat ini, tempat yang menakjubkan dan
menuju ke tempat selanjutnya.
“Anak-anak, silakan lihat ke arah kiri
kalian. Itu adalah sebuah jalan tol pertama yang dibangun di atas air atau
laut. Rencananya jalan tol ini akan diresmikan sebelum pelaksanaan APEC,” jelas
pemandu kepada kami semua.
Pemandangan di tol itu sangat indah,
namun bus kami belum boleh melintasinya karena tol tersebut belum diresmikan.
Selama dua jam aku hanya menunggu dan menunggu bus ini memberhentikanku, menuju
suatu tempat, yang aku yakin tidak kalah menarik dari sebelumnya.
Tebing menjulang tinggi, mencabik-cabik
kaki langit senja. Bebatuan kapur menyusun rapat dinding-dinding kokoh tempat
Dewa Wisnu turun ke bumi. Bayang-bayang paruh Garuda tunggangan Dewa Wisnu
memayungi tanah berbukit, seakan memberikan ketentraman pada sekitarnya. Patung
yang sangat megah. Terkonstruksi dari logam berwarna hijau lumut membuat patung
setengah badan Dewa Wisnu tampak gagah. Ditambah dengan patung kepala dari
Garuda, burung tunggangan Dewa Wisnu. Tak beberapa lama, seluruh orang dipersilakan
menyaksikan tari di dalam panggung pementasan.
“Ayo cepat, nanti terlambat,” kata Adhit
tergesa-gesa.
“Orang masih lima menit lagi juga Dhit,”
kata Ilham membantah.
“Emangnya ke sana nggak jalan, langsung
sampai?”
“Sudah-sudah, bagaimana mau sampai kalau
kalian berantem terus? Ayo ah, cepat ke sana,” kataku menengahi. Jika mereka
tetap berantem, bukannya sampai, malah kami tidak dapat menyaksikan tari
tersebut.
Pementasan tari dimulai. Sang Dewi Sinta
yang sangat cantik membuat Dasamuka menculik Dewi Sinta. Dasamuka mengadakan
pesta karena berhasil menculik Dewi Sinta.
“Wow.. keren sekali ya,” kataku kepada
Ilham dan Adhit.
“Iya, eh itu penarinya mengajak penonton
menari, itu,” kata Adhit. “Ayo maju ke sana, sekalian ikut menari dengan penari
cantik, hehe,” katanya usil. Dasar Adhit, ada-ada saja.
“Nggak mau, malu lah Dhit,” kata Ilham.
“Huu.. dasar. Bilang saja kamu takut,”
kata Adhit. Ilham hanya cemberut.
Pertunjukan telah usai setelah sang Rama
membebaskan Sinta dari Dasamuka. Dengan begitu usai juga keseruanku bersama
teman-temanku. Di ufuk barat terlihat garis merah terbenamnya matahari,
menyinari padang bebatuan menambah kelam bukit dengan dinding-dinding bebatuan
kapur tersebut. Matahari semakin rendah, hingga akhirnya terbenam sepenuhnya
ditelan kegelapan malam.
Tiga hari bersama semua teman dan
sahabat, seperti halnya dua malam lalu. Bukan hanya tentang segerombol anak
manusia, bukan tentang pencapaian tiada pertanda. Bukan tentang keindahan dan
potret alam yang membahana, membentuk siluet bumi pertiwi yang menampakkan
permata berharganya; namun mengukir kenangan bersama yang tersimpan selamanya,
terangkum dalam satu cerita.
No comments:
Post a Comment