Pages

Sunday, October 13, 2019

JAKA TARUP

Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa tinggallah seorang Janda bernama Mbok Randha. Ia tinggal seorang diri karena suaminya sudah lama meninggal dunia. Suatu hari, ia mengangkat seorang anak Laki-laki menjadi anaknya. Anak angkatnya diberi nama Jaka Tarub. Jaka Tarub pun tumbuh beranjak dewasa.

Jaka Tarub menjadi pemuda yang sangat tampan, gagah, dan baik hati. Ia juga memiliki kesaktian. Setiap hari, ia selalu membantu ibunya di sawah. Karena memiliki wajah yang sangat tampan banyak gadis-gadis cantik yang ingin menjadi istrinya. Namun, ia belum ingin menikah.

Setiap hari Ibunya menyuruh Jaka Tarub untuk segera menikah. Namun, lagi-lagi ia menolak permintaan Ibunya. Suatu hari Mbok Randa jatuh sakit dan menghembuskan nafas terakhirnya. Jaka Tarub sangat sedih.

Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering melamun. Kini sawah ladang­nya terbengkalai.

“Sia-sia aku bekerja. Un­­tuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.

Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi memakan Daging Rusa. Pada saat ia terbangun dari tidurnya, ia pun langsung pergi ke hutan. Dari pagi sampai siang hari ia berjalan. Namun, ia sama sekali tidak menjumpai Rusa. Jangankan Rusa, Kancil pun tidak ada.

Suatu ketika, ia melewati telaga itu dan secara tidak sengaja ia melihat para bidadari sedang mandi disana. Di telaga tampak tujuh perempuan can­­tik tengah bermain-main air, bercanda, ber­­suka ria. Jaka Tarub sangat terkejut melihat ke­­cantikan mereka. 

Karena jaka Tarub merasa terpikat oleh tujuh bidadari itu, akhirnya ia mengambil salah satu selendangnya. Setelahnya para bidadari beres mandi, merekapun berdandan dan siap-siap untuk kembali ke kahyangan.

Mereka kem­bali mengenakan selendangnya masing-masing. Na­­­mun salah satu bidadari itu tidak mene­­mu­kan selendangnya. Keenam kakaknya turut membantu men­­cari, namun hingga senja tak ditemu­kan juga. Karena hari sudah mulai senja, Nawangwulan di tinggalkan seorang diri. Kakak-kakanya kembali ke Khayangan. Ia merasa sangat sedih.

Tidak lama kemudian Jaka Tarub datang menghampiri dan berpura-pura menolong sang Bidadari itu. Di ajaknya bidadari yang ternyata bernama Nawang Wulan itu pulang ke rumahnya. Kehadiran Nawang Wulan membuat Jaka Tarub kembali bersemangat.

Singkat cerita, merekapun akhirnya menikah. Keduanya hidup dengan Bahagia. mereka pun memiliki seorang putri cantik bernama Nawangsih. Sebelum mereka menikah, Nawang wulan mengingatkan kepada Jaka Tarub untuk tidak menanyakan kebiasan yang akan dilakukannya nanti setelahnya ia menjadi istri.

Rahasianya Nawang Wulan yaitu, Ia memasak nasi selalu menggunakan satu butir beras, dengan sebutir beras itu ia dapat menghasilkan nasi yang banyak. Setelah mereka menikah Jaka Tarub sangat penasaran. Namun, dia tidak bertanya langsung kepada Nawang wulan melainkan ia langsung membuka dan melihat panci yang suka dijadikan istrinya itu memasak nasi. Ia melihat Setangkai padi ma­sih tergolek di dalamnya, ia pun segera menutupnya kembali. Akibat rasa penasaran Jaka Tarub. Nawang Wulan kehilangan kekuatannya. Sejak saat itu, Na­wang Wulan harus menumbuk dan me­nam­pi beras untuk dimasak, seperti wa­ni­ta umumnya.

Karena tumpukan pa­di­­nya terus berkurang, suatu waktu, Na­­wangwulan tanpa sengaja menemukan selendang bi­da­­­da­ri­nya terselip di antara tumpukan pa­di. ternyata selendang tersebut ada di lumbung gabah yang di sembunyikan oleh suaminya.

Nawang wulan pun merasa sangat marah ketika suaminyalah yang mencuri selendangnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke kahyangan. Jaka Tarub pun meminta maaf dan memohon kepada istrinya agar tidak pergi lagi ke kahyangan, Namun Nawangwulan sudah bulat tekadnya, hingga akhirnya ia pergi ke kahyangan. Namun ia tetap sesekali turun ke bumi untuk menyusui bayinya. Namun, dengan satu syarat, jaka tarub tidak boleh bersama Nawangsih ketika Nawang wulan menemuinya. Biarkan ia seorang diri di dekat telaga.

Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar. Setelah Jaka Tarub menyatakan kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi dengan Nawangwulan, sang bidadaripun terbang meninggalkan dirinya dan Nawangsih. Jaka Tarub hanya sanggup menatap kepergian Nawangwulan sambil mendekap Nawangsih. Sungguh kesalahannya tidak termaafkan. Tiada hal lain yang dapat dilakukannya saat ini selain merawat Nawangsih dengan baik

MUSHOLA PETUNJUK KEBENARAN

Ustadz Wahid baru saja menyelesaikan sholat lohor ketika warga berbondong-bondong datang ke mushola.

"Ustadz, Pak Sidik dan Pak Tio sedang bertengkar di balai desa. Mereka memperebutkan tanah warisan Ki Ahmad," kata salah seorang warga. 

"Mohon bantuan Pak Ustadz untuk mengelesaikan masalah ini," kata warga yang lain. 

Ustadz Wahid segera menuju balai desa. Baik Pak Sidik maupun Pak Tio tak mau mengalah. Masing-masing bersikeras bahwa merekalah yang berhak atas tanah warisan Ki Ahmad. 

Akhirnya Ustadz Wahid berkata, "Siapkan bukti atau saksi kalian masing-masing. Besok kita selesaikan masalah ini di mushola. Saksi-saksi kalian akan disumpah untuk mengatakan kebenaran."

Saksi dari pihak Pak Sidik bernama Rahmad, dan saksi dari pihak Pak Tio bernama Randik. Keduanya disumpah demi Allah di hadapan Alquran sebelum bersaksi. "Tanah ini benar-benar milik Pak Sidik, saya mendengar sendiri ketika Ki Ahmad berkata pada Pak Sidik sebelum beliau meninggal," kata Rahmad.

"Omong kosong, saya juga mengaksikan Ki Ahmad mewariskannya pada Pak Tio. Bahkan beliau menuliskannya di surat wasiatnya, ini buktinya," sanggah Randik sambil mengerahkan selembar surat. Ustadz Wahid mempelajari surat wasiat itu, lalu memutuskan bahwa Pak Tio yang berhak atas tanah itu.

Seminggu kemudian tersiar kabar bahwa Randik sakit keras lalu meninggal. Pak Tio ketakutan, ia merasa bersalah. Sebenarnya ia telah berbohong pada semua orang dan menyuruh Randik untuk bersumpah palsu. Tanah warisan Ki Ahmad sebenarnya adalah hak Pak Sidik. Meski ketakutan, Pak Tio tidak mau mengaku dan tetap menguasai tanah itu.

Suatu malam, rumah Pak Tio kebakaran. Apinya besar sekali sehingga seluruh harta bendanya ludes. Pak Tio sendiri tewas dalam musibah kebakaran itu. Dengan kematian Randik dan Pak Tio, warga mulai menyadari bahwa kedua orang itu telah termakan sumpah yang mereka ucapkan di mushola. Sejak saat itu, tak ada lagi warga yang berselisih soal tanah. Mereka hidup tenteram.

Berbulan-bulan kemudian, ketenteraman warga terganggu. Tiba-tiba, kegaduhan terjadi di rumah Fatimah.

"Maling... maling..." teriak Fatimah. Kejadian itu terjadi pada malam hari, suasana gelap sehingga Fatimah tak bisa melihat siapa maling itu. Warga yang mendengar teriakan Fatimah berusaha membantu, namun terlambat. Maling itu telah melarikan diri. Fatimah menangis. Ustadz Wahid yang datang ke rumahnya hanya bisa menghibur, "Sudahlah Fatimah, harta bisa dicari, yang penting kau selamat."

Peristiwa kemalingan itu nyaris dilupakan warga, hingga suatu saat, seorang warga baru, Fikar, mengadakan acara syukuran atas kepindahannya. Ia mengundang seluruh warga desa.

Semua warga bersenang-senang dalam acara itu. Hanya satu warga yang tak bisa tenang, ia adalah Pak Umar suami Fatimah. Seusai acara, Ustadz Wahid menangainya, "Ada apa Umar? Dari tadi kulihat kau gelisah."

"Bukannya saya mau menuduh, tapi cincin batu yang dikenakan Fikar tadi adalah milik saya. Saya tahu pasti karena cincin itu warisan kakek saya. Beliau membuatnya sendiri, jadi tak mungkin Fikar bisa memiliki cincin yang sama. Pasti Fikar mencurinya dari rumah saya," jelas Pak Umar.

"Jangan berburuk sangka dulu, sebaiknya kita cari tahu kebenarannya," kata Ustadz Wahid. Beliau lalu mengajak Pak Umar kembali ke rumah Fikar untuk menanyakan cincin tersebut.

"Cincin ini adalah warisan dari kakakku. Ia meninggal bulan lalu," jawab Fikar. 

Tiba-tiba mata Pak Umar terpaku pada kalung yang dikenakan istri Fikar. "Bagaimana dengan kalung itu?" tanyanya.

"Kalung itu juga warisan dari kakakku," jawab Fikar lagi.

Ustadz Wahid kemudian menjelaskan semuanya kepada Fikar, tentang pencurian di rumah Fatimah dan tentang kecurigaan Pak Umar.

"Maaf, kami bukan menuduh, tapi untuk mencaritahu kebenarannya, maukah kau bersumpah di mushola atas nama Allah?" tanya Ustadz Wahid. Dengan sombong, Fikar menjawab "Tentu saja, aku tak takut bersumpah karena perhiasan ini memang milikku."

"Jika begitu, kami tunggu kau besok di mushola," jawab Ustadz Wahid.

Keesokan paginya, setelah disumpah di bawah kitab suci Alquran, Fikar berkata "Demi Allah, cincin dan kalung ini adalah warisan dari kakakku. Aku tak pernah mencurinya dari rumah Umar."

Semua yang mendengar sumpah Fikar berharap, semoga apa yang diucapkan Fikar benar adanya. Namun harapan warga tidak terkabul. Seminggu kemudian Fikar terserang penyakit aneh. Tubuhnya mengeluarkan bau anyir dan bisul-bisul yang akan meletus. Karena tak tahan merawatnya, istrinya kabur dad rumah. Karena tidak terurus, Fikar pun meninggal dengan mengenaskan.

Dari kejadian yang menimpa Randik, Pak Tio, dan Fikar, warga berkesimpulan bahwa mushola di desa mereka itu adalah mushola keramat. Karena itu mereka memutuskan untuk memperbesar mushola itu dan menjadikannya masjid. Masjid itu diberi nama Masjid Terate Udik. Warga menyelesaikan perselisihan mereka di masjid itu. Tapi sejak itu, tak ada lagi percekcokan yang berarti karena warga sadar untuk menjaga ucapan dan tidak mudah mengucapkan sumpah. Masjid Terate Udik ini terletak di kampung Terate Udik, Desa Masigit di Kecamatan Cilegon.

SI PITUNG

Hati si Pitung geram sekali. Sore ini ia kembali melihat kesewenang-wenangan para centeng Babah Liem. Babah Liem atau Liem Tjeng adalah tuan tanah di daerah tempat tinggal si Pitung. Babah Liem menjadi tuan tanah dengan memberikan sejumlah uang pada pemerintah Belanda, Selain itu, ia juga bersedia membayar pajak yang tinggi pada pemerintah Belanda. Itulah sebabnya, Babah Liem mempekerjakan centeng-centengnya untuk merampas harta rakyat dan menarik pajak yang jumlahnya mencekik Ieher.

Si Pitung bertekad, ia harus melawan para centeng Babah Liem. Untuk itu ia berguru pada Haji Naipin, seorang ulama terhormat dan terkenal berilmu tinggi. Haji Naipin berkenan untuk mendidik si Pitung karena beliau tahu wataknya. Ya, si Pitung memang terkenal rajin dan taat beragama. Tutur katanya sopan dan ia selalu patuh pada kedua orangtuanya, Pak Piun dan Bu Pinah.

Beberapa bulan kemudian, si Pitung telah menguasai segala ilmu yang diajarkan oleh Haji Naipin. Haji Naipin berpesan, "Pitung, aku yakin kau bukan orang yang sombong. Gunakan ilmumu untuk membela orang-orang yang tertindas. Jangan sekali-kali kau menggunakannya untuk menindas orang lain." Si Pitung mencium tangan Haji Naipin lalu pamit. Ia akan berjuang melawan Babah Liem dan centeng-centengnya.

"Lepaskan mereka!" teriak si Pitung ketika melihat centeng Babah Liem sedang memukuli seorang pria yang melawan mereka.

"Hai Anak Muda, siapa kau berani menghentikan kami?" tanya salah satu centeng itu.

"Kalian tak perlu tahu siapa aku, tapi aku tahu siapa kalian. Kalian adalah para pengecut yang bisanya hanya menindas orang yang lemah!" jawab si Pitung.

Pemimpin centeng itu tersinggung mendengar perkataan si Pitung. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyerang si Pitung. Namun semua centeng itu roboh terkena jurus-jurus si Pitung. Mereka bukanlah lawan yang seimbang baginya. Mereka Ian terbirit-birit, termasuk pemimpinnya.

Sejak saat itu, si Pitung menjadi terkenal. Meskipun demikian ia tetaplah si Pitung yang rendah hati dan tidak sombong.

Sejak kejadian dengan para centeng Babah Liem, si Pitung memutuskan untuk mengabdikan hidupnya bagi rakyat jelata. Ia tak tahan menyaksikan kemiskinan mereka, dan ia muak melihat kekayaan para tuan tanah yang berpihak pada Belanda.

Suatu saat ia mengajak beberapa orang untuk bergabung dengannya. Mereka merampok rumah orang-orang kaya dan membagikan hasil rampokan tersebut pada rakyat jelata. Sedikit pun ia tak pernah menikmati hasil rampokan itu secara pribadi.

Rakyat jelata memuji-muji kebaikan hati si Pitung. Sebaliknya, pemerintah Belanda dan para tuan tanah mulai geram. Apalagi banyak perampok lain yang bertindak atas nama si Pitung, padahal mereka bukanlah anggota si Pitung. Pemerintah Belanda kemudian mengeluarkan perintah untuk menangkap si Pitung. Meskipun menjadi buronan, si Pitung tak gentar. Ia tetap merampok orang-orang kaya, dengan cara berpindah tempat agar tak mudah tertangkap.

Kesal karena tak bisa menangkap si Pitung, pemerintah Belanda menggunakan cara yang licik. Mereka menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Salah satu pejabat pemerintah Belanda yang bernama Schout Heyne mengumumkan bahwa kedua orang tersebut akan dihukum mati jika si Pitung tak menyerah. Berita itu sampai juga ke telinga si Pitung. Ia tak ingin ayah dan gurunya mati sia-sia. Ia lalu mengirim pesan pada Schout Heyne. Si Pitung bersedia menyerahkan diri jika ayah dan gurunya dibebaskan. Schout Heyne menyetujui permintaan si Pitung. Pak Piun dibebaskan, tapi Haji Naipin tetap disandera sampai si Pitung menyerahkan diri. Akhirnya si Pitung muncul. "Lepaskan Haji Naipin, dan kau bebas menangkapku," kata si Pitung. Schout Heyne menuruti permintaan tersebut. Haji Naipin pun dilepaskan.

"Pitung, kau telah meresahkan banyak orang dengan kelakuanmu itu. Untuk itu, kau harus dihukum mati," kata Schout Heyne.

"Kau tidak keliru? Bukannya kau dan para tuan tanah itu yang meresahkan orang banyak? Aku tidak takut dengan ancamanmu," jawab si Pitung.

"Huh, sudah mau mati masih sombong juga. Pasukan, tembak dia!" perintah Schout Heyne pada pasukannya.

Pak Piun dan Haji Naipin berteriak memprotes keputusan Schout Heyne. "Bukankah anakku sudah menyerahkan diri? Mengapa harus dihukum mati?" ratap Pak Piun. Namun Schout Heyne tak perduli, baginya si Pitung telah mengancam jabatannya.

Suara rentetan peluru pun memecahkan kesunyian, tubuh si Pitung roboh bersimbah darah terkena peluru para prajurit Belanda. Pak Piun dan Haji Naipin sangat berduka. Mereka membawa pulang jenazah si Pitung kemudian menguburkannya. Berkat jasa-jasanga, bangak sekali orang yang mengiringi pemakamannya dan mendoakannya. Meskipun ia telah tiada, si Pitung tetap dikenang sebagai pahlawan bagi rakyat jelata.


NYI RORO KIDUL LAUT SELATAN

Pada zaman dahulu, tepat di daerah Jawa Barat. Terdapat sebuah Kerajaan bernama Pakuan Pajajaran. Kerajaan tersebut di pimpin oleh seorang Raja yang sangat bijaksana dan arif. Rakyat dibawah kekuasaanya sangat bahagia dan menghormati sang raja karena kepemimpinannya membuat hidup para rakyat sejahtera. Raja tersebut bernama Raja Prabu Siliwangi. Sang Prabu mempunyai cukup banyak anak, salah satunya bernama Putri Kandita. Ia adalah seorang gadis yang sangat cantik jelita, baik hati dan memiliki sifat yang sama seperti Ayahnya. Sang Prabu Siliwangi sangat menyayangi Putri Kandita, dan Seiring bertambahkan usia, putri Kandita semakin memiliki paras yang cantik dan area ia merupakan anak tunggal maka ialah sang calon pewaris tahta raja Prabu Siliwangi kelak.

Mendengar keinginan Prabu Siliwangi untuk menjadikan Putri  Kandita sebagai penerus tahta para Selir dan anak-anaknya tidak setuju. Mereka tidak rela jika Putri Kandita yang akan menjadi Ratu kelak.

Suatu hari, para Selir dan anak-anaknya berkumpul untuk merencanakan siasat jahat untuk menyingkirkan Putri Kandita dan ibunya keluar dari Istana. Untuk melancarkan rencananya mereka meminta bantuan kepada seorang penyihir sakti yang tiggal di sebuah desa terpencil,  yang memiliki berbagai macam ilmu hitam .

Suatu hari, Tanpa sepengetahuan raja, para selir dan anaknya mendatangi Penyihir tersebut dan dengan memberikan imbalan yang diminta sang Penyihir, selir dan anaknya ingin putri Kandita serta permaisurinya diberi kutukan agar tidak menjadi pewaris tahta sang raja.

Tanpa menunggu lama, sang Penyihir melaksanakan tugasnya. Dengan ilmu hitam ia menyihir Putri Kandita dan Ibunya agar menderita penyakita Kusta.  Suatu hari, ketika bangun dari tidurnya Putri Kandita dan Ibunya berubah menjadi buruk rupa, Tubuh yang awalnya mulus, bersih dan kuning langsat seketika langsung berubah, tubuh keduanya di penuhi dengan borok dan mengeluarkan bau yang tidak sedap.

Putri Kandita dan sang permaisuri mengidap penyakit kusta yang tak kunjung sembuh. Prabu Siliwangi yang merasa heran melihat penyakit aneh pada kedua orang kesayangannya itu langsung memanggil tabib istana untuk melakukan pengobatan. Tetapi setelah dicoba dengan berbagai macam ramuan, sang tabib istana tetap tidak dapat menyembuhkan mereka.

Penyakit Putri Kandita dan ibundanya bertambah parah. Tubuh mereka semakin lemah karena tidak dapat mencerna makanan dan minuman. Putri Kandita yang masih muda dapat bertahan menghadapi penyakit yang dideritanya. Namun, Sang ibunda yang sudah tua ternyata tidak dapat bertahan hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir.

Putri Kandita dan raja sangat terpukul dengan meninggalnya permaisuri. Selama berhari-hari, Raja Prabu Siliwangi termenung sendirian, ia merasa sangat sedih  karena orang yang paling di cintainya sudah meninggalkan dunia terlebih dahulu. Namun, sang Prabu pun merasa sangat sangat terpikul melihat kondisi Putri Kandita yang tidak menunjukkan tanda-tanda kesembuhannya. Ia merasa sangat cemas karena Putri Kandita yang akan menggantikan meneruskan tahta Kerajaan.

Suatu hari, para Selir dan anak-anaknya datang menemui Raja untuk menghasut agar Putri Kandita di usir. Awalnya, Raja menolak. Namun, karena takut penyakitnya menular dengan terpaksa Prabu Siliwangi menyetujui usulan tersebut.

Tanpa sepengetahuan Raja, Selir dan Saudara-saudaranya. Putri Kandita yang mendengar pembicaraan tersebut sangat kecewa dan ia memutuskan untuk melarikan diri dari istana. Dalam suasana hati yang sedih, bingung, dan tidak menentu Putri Kandita berjalan keluar dari istana tanpa tujuan yang pasti.

Selama berhari-hari ia berjalan tanpa arah hingga akhirnya tiba di pesisir pantai selatan Pulau Jawa yang memiliki banyak batu karang dan ombak besar. Di salah satu batu karang itu dia kemudian beristirahat hingga akhirnya tertidur karena kelelahan. Dalam tidurnya, Putri Kandita bermimpi mendengar sebuah suara gaib yang menyuruhnya menceburkan diri ke laut agar penyakitnya sembuh dan sehat seperti sediakala.

"Ceburkanlah dirimu ke dalam laut, Putri Kandita, jika kamu ingin sembuh dari penyakitmu. Kulitmu akan mulus seperti sedia kala."

Putri Kandita pun terbangun dari tidurnya. Ia lalu merenung meresapi kata-kata gaib tersebut karena ragu apakah suara itu merupakan sebuah wangsit atau hanya orang iseng yang membisiki saat dia tertidur. Tetapi setelah melihat sekeliling, sejauh mata memandang yang ada hanyalah hamparan pasir putih beserta ombak bergulung-gulung di sekitarnya. Oleh karena itu, yakinlah Putri Kandita bahwa suara gaib tadi merupakan sebuah wangsit yang harus dia laksanakan demi kesembuhan dirinya.

Meyakini bahwa suara itu sebuah wangsit, Putri Kandita segera melakukan yang diperintahkan. Sangat  ajaib! Ketika menyentuh air, seluruh tubuh Putri Kandita yang dihinggapi borok berangsur-angsur hilang dan menjadi mulus kembali.

Kesembuhan Putri Kandita tidak  membuatnya kembali ke istana. Dia lebih memilih untuk menetap di pantai selatan dan berbaur dengan penduduk sekitar yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.

Sejak tinggal disana, Putri Kandita sangat terkenal karena kecantikan yang ia miliki. Banyak Pangeran dari berbagai kerajaan datang untuk melamarnya. Namun, dari sekian banyak yang melamarnya Putri Kandita sama sekali tidak tertarik. Sebagian dari mereka mundur karena Putri Kandita mengajukan syarat yang sangat sulit. Salah satu syaratnya adalah mengadu kesaktianya di atas gelombang pantai laut. Namun, sebagian dari mereka yang menerima syarat.

Ternyata, dari sekian banyak lelaki yang beradu kesaktian, tak seorang pun mampu mengalahkan Putri Kandita. Mereka akhirnya menjadi pengikut setia yang selalu mengawal Sang Putri ke mana pun dia pergi.   Sejak itulah, Putri Kandita dikenal sebagai Ratu Penguasa Laut Selatan Pulau Jawa yaitu Nyai Roro Kidul.

KORES, SI

Kores, Si yang terlahir dari keluarga miskin. Anak tersebut sangat malas dan membiarkan Ibunya mencari nafkah. Suatu ketika, Kores menyadari perilaku buruknya tersebut dan berkeinginan untuk bekerja.

Ia mengutarakan keinginannya untuk berdagang kepada sang Ibu dan dengan senang hati Ibunya pun mengumpulkan uang untuk memberikan modal. Setelah uang tersebut terkumpul, Ibunya memberikannya modal dan Kores bergegas pergi untuk mencari barang dagangan yang akan dijual.

Di tengah perjalanan, Kores melihat seekor kucing yang hampir mati karena sedang disiksa oleh beberapa anak. Merasa iba, Kores pun memutuskan untuk membeli kucing tersebut agar mereka tidak menyiksanya. Anak- anak tersebut setuju dan Kores memberikan uang modal dari Ibunya untuk membeli kucing tersebut. Kemudian, kucing itu dibawa pulang dan dirawat oleh Kores.

Kores mengungkapkan keinginannya lagi untuk berdagang sehingga Ibunya memberikannya modal. Di tengah perjalanan, ia melihat ular yang sedang disiksa dan hampir mati. Akhirnya, Kores membelinya lagi dengan uang modal tersebut.

Kores pulang dengan membawa ular tersebut dan merawatnya. Hal tersebut terulang kembali, Kores menemukan seekor anjing yang sedang disiksa dan hampir mati ketika ia mencari barang dagangan untuk yang ketiga kalinya. Kores melakukan hal yang sama, membelinya, membawa pulang, dan merawat anjing tersebut. Setelah kejadian tersebut, Kores berhenti mencari kerja dan merawat ketiga binatang tersebut.

Kucing, ular dan anjing merasa berhutang budi dan berniat memberikan balas budi kepada majikannya, Kores. Kucing mengatakan bahwa ia akan mendo’akan majikannya agar menjadi kaya.

Sementara anjing berjanji untuk membersihkan kotoran majikan dan menjaga keamanan keluarga Kores. Sang ular mengajak Kores bertemu dengan Raja ular dan Raja tersebut memberikan mustika ajaib yang dapat mengabulkan segala keinginannya apabila mustika itu dibanting. Singkat cerita, Kores dan Ibunya menjadi orang terkaya di kampungnya karena kebaikan hati dan sifat penyayangnya pada binatang.

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...