Pages

Tuesday, November 12, 2019

KRISAN SAUDARA KEMBARKU? APA BETUL?

Namaku Cerellia Biantari Seruni. Panggil saja aku Seruni. Aku mempunyai ibu yang bernama Cerellia Bintara Seruni. Panggil saja Bu Seruni. Ayah dan saudara kembarku sudah meninggal. Aku tidak bersekolah. Aku tinggal di desa. Nama negaraku Indonesia. Indonesia terdiri dengan berbagai macam budaya, perjuangan, dan lain-lain. Aku sangat kagum kepada Indonesia. Pahlawannya berjuang dengan ikhlas, budayanya tak ada yang bisa menandingi, dan lain-lain. Pokoknya aku suka banget deh sama Indonesia. Indonesia terdiri dari berbagai macam budaya, misalnya batik. Aku paling suka sama budaya Indonesia yang satu ini. Batik, yap, Batik! Batik itu bagus sekali. Dihias dengan tangan tetapi bagus sekali.

Tetapi, mengapa kini Indonesia semakin tidak maju? Apa mungkin rakyat Indonesia menyepelekan Indonesia? Kenapa sih? Huh, aku tidak tahu. Padahal kan, Indonesia ini kreatif sekali. Mengapa sekarang semua orang malah mencintai Negara lain? Hiks.. sedihnya. Teman-Temanku pernah bilang bahwa mereka sedang menyukai Negara-negara yang sedang ngetop sekarang ini seperti Jepang, Korea, Hongkong, dan lain-lain. Iih! Mereka saja belum pernah ke Negara-negara ngetop seperti itu. Padahal kan, belum tentu Negara seperti itu bisa mengalahkan Indonesia. Huh, pokoknya sedih deh.

Pagi tiba. Matahari bersinar terang dan cemerlang menyambut indahnya pagi. Burung-burung berkicauan. Air mancur di sungai mengalir deras. Sawah-sawah terlihat menguning dan subur. Terlihat beberapa gadis desa yang biasa dikuncir dua ke bawah sedang menumbuk padi. Petani-petani membajak sawah dengan semangatnya. Betapa hebatnya Indonesia ini.

Aku segera menuju kamar mandiku. Aku mengosek kamar mandi dengan sikat. Setelah satu menit berlalu, aku membuka bajuku dan menggantungkan bajuku. Aku segera membuka pintu kamar mandiku yang terbuat dari kayu reyot. “Byur! Byur!” Aku mengguyur tubuhku dengan gayung merah yang sudah retak.

Aku memang orang miskin. Setiap hari, aku bekerja di sawah. Aku tidak sekolah. Ibuku sedang sakit. Sore hari, biasanya aku membuat tempe goreng dan kolak untuk berbuka puasa. Kadang, aku menjual sedikit masakanku itu. Tapi, yang laku hanya sedikit. Hiks..

Kembali ke cerita. Aku tak memakai sabun karena aku memang tak mempunyai sabun. Setelah itu, aku mengeringkan tubuhku dengan kain sutra pemberian tetanggaku yang kasihan kepadaku. Setelah itu, aku menguncir dua ke bawah rambutku. Aku memakai baju kaos yang paling bagus. Di rumahku ini, memang memakai seadanya. Baru aku mulai keluar tanpa memakai sandal. Aku berlari riang menuju sawah. Setelah itu, aku mulai sibuk membantu gadis-gadis desa. Hampir lima jam aku bekerja. Aku segera pamit pulang. Sepulangnya dari rumah, aku sangat ingin membuat rumahku menjadi rapi. Lalu aku merapikan semuanya dan membersihkannya. Cling! Sudah bersih dan rapi. Kamarku juga sudah rapi dan tidak acak-acakan lagi. “Huh! Aku ingin membuat rumah-rumahan. Tidak seperti ini! Semuanya dari kayu dan anyam-anyam! Sabun saja yang murah banget, kami tidak mampu membelinya. Aku merasa, sabun murah itu berharga sepuluh miliar!” seruku putus asa. “Aha! Aku kan punya biji buah jambu dan pohon beringin! Tanam ah!” seruku.

Aku segera menuju halaman rumahku yang sudah kusapu. Aku merogoh saku celanaku. “Biji!” seruku. Segera kutanam dua biji pohon beringin di samping kanan dan kiri rumahku. Lalu kutanam satu biji jambu di depan rumahku. Aku menanam pohon beringin di samping kanan dan kiri rumahku karena rumahku sering kehujanan. Untuk membantu, kupasang saja pohon beringin. Salah satu temanku yang baru pulang sekolah memperhatikanku. Namanya… aku tak tahu. Dia tak pernah memberitahukannya. Kupanggil saja dengan nama depanku yaitu Cerelll. “Seruni!” panggil Cerelll. “Apa Relll?” tanyaku. “Hmm… tanamlah biji ini!” seru Cerelll. Aku segera menanamnya. “Ha?” aku melihat biji itu langsung tumbuh dengan emas-emas berlian. “Cabutlah pohon itu!” seru Cerelll. Aku mencabut tanaman itu. “Emas dan berlian itu buatmu! Dan hadiah yang paling istimewa adalah… aku adalah saudara kembarmu! Aku tak mati! Aku Cerellia Biantari Kerisan! Aku Krisan, Seruni! Aku Krisan!” seru Cerelll. “Apa? Kamu Krisan? Oh Krisan… aku rindu kamu!” kataku sambil memeluk Krisan. “Sekarang kita akan menjadi kaya dengan emas ini!” seru Krisan. “Kita akan membangun panti asuhan dan kita akan mengajari anak-anak untuk mencintai Indonesia!” seru Krisan lagi. Kini, aku dan Krisan menjadi kaya dan punya panti asuhan. Bu Seruni juga sudah sembuh.


Karya : Salma Novyanti Subarkah

DANCER LOVERS

Panasnya matahari saat jam 12.00 siang di Sidoarjo tetap tidak membuat seorang cewek untuk menghentikannya tariannya di sekolahnya SMPK Santo Yusup. Padahal semua temannya sedang beristirahat karena capek dan kepanasan. Cewek itu menari Tari Pendet dari Bali.

“Gibbie, emangnya loe nggak istirahat ta?” tanya seorang teman ceweknya, Devi.

“Sebentar lagi Vi, Kan tinggal beberapa menit udah selesai kok.” Seru Gibbie sambil menari.

Yup. Cewek yang tetap menari itu namanya Gibbie. Nama lengkapnya Gabriella Gracelly. Panggilannya Gibbie. Dia tidak peduli saat siang hari dengan terik matahari yang sangat-sangat-sangat panas minta ampun kek atau saat hujan deras dia akan tetap menari karena menari adalah jiwanya. Bahkan teman-temannya Gibbie pernah berpikir kalau saat dunia udah kiamat Gibbie tetap akan menari.

3 jam kemudian…

Gibbie sedang berjalan-jalan di sekitar Jalan Pandan, Surabaya. Dia berjalan ke suatu tempat yang bernama Marlupi Dance Academy Head Office Surabaya East Java. Dia masuk ke dalam rumah bertingkat itu.

“Hai, Xenna.” seru Gibbie kepada seseorang yang lebih tua darinya. Cewek itu sedang membaca majalah dan duduk di deretan tempat duduk.

“Hai juga, Gibbie. Tumben loe baru datang jam 3. Biasanya jam 02.30.” tanya Xenna.

“He.. he.. he.. tadi gue ngerjaiin tugas Fisika yang menyebalkan.” Kata Gibbie.

Xenna pun hanya tertawa.

Aku langsung ke kelasku, kelas modern dance. Aku menaruh tasku di sudut ruangan itu. Ku ambil kaset yang kutaruh di tasku. Lalu kumasukkan kaset itu ke tape yang sudah kunyalakan dan langsung terdengar musik One More Night – Maroon 5. Pada nada pertama ku langsung menari. Ku menari melepaskan kekesalanku pada PR Fisika, mebuang pikiran tentang pelajaran sejauh-jauhnya, tapi jangan sampai ku lupa apa yang telah ku pelajari di sekolah tadi.

Setelah lagunya selesai, ada 1 lagu lagi. Lagu itu tarian musik daerah. Aku menari tari pendet. Dan seperti yang telah kulakukan saat ku menari modern dance dan agak sedikit dengan gerakan b-boy, membuang pikiranku. Mungkin di wajahku dan mataku tidak kelihatan sinar bahagia, tapi di hatiku memancarkan sinar kebahagian. Tapi selesai ku menari tari pendet munculah seseorang yang menyebalkan.

“Well, gerakan modern dancemu dan sedikit gerakan b-boymu memang bagus. Tapi gerakan tari pendekmu itu sangat MEMUAKAN.” ejek Yurico. Blasteran Indo-Jepang.

“Arigatou, Yurico-san. Aku tahu kok kamu memang benci tarian daerah. Dan kamu hanya suka modern dance, jazz dance, hip-hop, b-boy. Oh.. atau kamu suka sama balet klasik ya? Kontemporner?” sindir Gibbie.

“Sekali lagi gue ingatin kamu kalau gue triple double very hate tarian Indonesia, balet, balet klasik, kontemporner. Bahkan gue benci sama musik klasik. Dan sekali lagi gue bukan loe.” marah Yurico.

“Gue emang bukan loe kok. Orangtua kita aja beda. Tapi gue ingetin lagi ya, selain gue nari modern dance gue akan tetap menarikan tari daerah. Karena gue ingin melestarikan budaya bangsa Indonesia. Gue nggak ingin suatu saat budaya Indonesia meluap begitu aja dari penduduk Indonesia.” Kata Gibbie.

Yurico tersenyum. “Well, bagaimana kalau kita adakan seperti lomba? Kita akan menari di acara yang diadakan bokap gue. Jadi gue akan menarikan 2 tarian modern dance dan loe akan menarikan 1 tarian daerah, 1 tarian modern dance. Dan jurinya adalah penonton. Nanti siapa yang paling banyak dipilih oleh penonton dia akan menang.”

“Dan?” tanya Gibbie penasaran.

“yang kalah harus menuruti perintah pemenang selama 1 minggu. Kalau aku yang menang saat terakhir kali kamu menuruti perintahku adalah keluar dari Marlupi Dance Company.” Kata Yurico. “Deal?” Yurico mengulurkan tangannya.

Tidak berpikir panjang, aku menyambut uluran tangannya. “Deal.”

Semenjak ku memutuskan ikut tantangannya Yurico aku giat berlatih terus selama 1 bulan. Bahkan saat mandi pun aku masih berlatih, saat sekolah aku masih berlatih dengan pikiranku.

Sebenarnya aku takut kalau aku kalah. Karena aku akan disuruh keluar dari Marlupi Dance Company. Tapi aku berusaha menghilangkan perasaan takutku itu. “Well, setidaknya aku harus mencoba. Dan kalau aku kalah, aku harus keluar dari Marlupi Dance Company aku masih bisa masuk beberapa bulannya lagi/beberapa minggu. Soale Yurico tidak menyuruh aku keluar selamanya.”

Akhirnya saat hari H…

“Gibbie kamu akan kalah.” ejek Yurico. “Banyak sekali penari terkenal di sini loh.”

“Yurico-san sejak kapan kamu menggantikan profesimu sebagai peramal?”, sindir Gibbie, “Yurico-san jangan gegabah. Nanti kalau aku menang nanti kamu malu.” Nasehat Gibbie kepada Yurico-san

Yurico langsung pergi meninggalkan aku sambil cemberut. Aku langsung pergi ke belakang panggung karena 15 menit lagi sudah tampil. Giliran 1 yang nari itu Yurico, baru aku, lalu Yurico, lalu aku. Aku mempelajari medan tempur alias panggung.

Setelah 15 menit, Yurico tampil. Aku melihat gerakannya sangat bagus, Kudengar lagu My Humps Lil Jon Remix – Black Eyed Peas. Karena menikmati lagunya dan gerakannya Yurico yang telah memikat seluruh penonton serta aku.” Auranya kuat sekali.” puji Gibbie

Setelah itu aku nari. Tarian daerah kubawa tari pendet. Aku memulai gerakannya. Setelah itu Yurico nari lagi. Untuk kali ini aku tidak melihat Yurico nari karena aku harus bersiap-siap untuk kostum Tariku dan harus sedikit menggantikan make upku. Setelah itu aku menari lagi. Alunan musik pertama kali dari Till The World Ends (Remix) – Britney Spears feat Nicki Minaj dan Kesha.

“Aku tidak peduli menang atau kalah, aku hanya peduli melihat penonton tersenyum melihat tarianku.” dalam hati Gibbie.

Akhirnya ku menyelesaikan tarianku. Aku menatap penonton, dari deretan penonton kulihat teman-temanku dari sekolah dan Marlupi Dance Company, teman SDku, semua terlihat seperti tidak menyadari bahwa aku sudah selesai. Aku langsung membungkukkan. Sedetik kemudian semua bertepuk tangan.

Akhirnya saat-saat penentuan siapa yang menang, aku dan Yurico berdiri di panggung. Dengan perasaan deg-degan.

“Dari kedua orang yang tariannya paling banyak diminati adalah..” kata Mc, “GABRIELLA GRACECELLY.” seru Mc.

Aku langsung mengucapkan syukur kepada Tuhan.

Saat turun dari panggung

“Ya, kamu menang. So kamu boleh mengajukan permintaanmu.” Yurico sambil cemberut.

Aku langsung memeluknya. Membuat Yurico bahkan aku kaget. “Aku nggak ingin mengajukan permintaan yang jahat. Aku hanya ingin menari saja. Dan aku ingin kamu menghargai pada orang yang ingin melestarikan budaya Indonesia. Tujuanku menari adalah membuat orang tersenyum saat melihat tarianku baik modern dance maupun tarian tradisional.” Kataku.

Yurico melepaskan pelukan ku. “Bagaimana kalau kita rayaiin kemenanganmu di Café Dance bersama teman-temanmu?” ajak Yurico sambil tersenyum. Senyum tulus pertama kali Yurico untukku. Senyum persahabatan. “Oh, well, di café kita tetep harus menari.”

Aku hanya tertawa dan tersenyum serta merangkul bahu Yurico. Kami berjalan-jalan ria sebagai seorang sahabat. Uumm.. menurut kalian nanti aku akan nari apa. Nari tarian daerah/modern dance?

Tamat


Karya : Margareth Anjani

KEAJAIBAN DUNIA

“Alisha cepat! Ibu sama Ayah udah siap nih!” Aku pun segera keluar rumah setelah mengambil barang-barangku. Hari ini Aku akan ke India karena Aku mendapat beasiswa kuliah di Univers Mumbai. Aku lumayan senang sih… Aku bersama orangtuaku pun berangkat menaiki mobil menuju ke Bandara. Keluargaku memang lumayan berada dengan rumah yang lumayan besar yang ditempati oleh Ibu, Ayah, Aku, dan Adik perempuanku yang kelas 1 SMA.

“Nanti kamu tinggal sama nenek ya di sana. Ada juga Bibi sama Paman yang udah 1 tahun tinggal di rumah nenek. Ayah udah nyuruh paman sama bibi untuk jemput kamu di Bandara nanti.” Kata Ayah saat dalam perjalanan.” Ada juga Jhonny. Dia nanti kuliah di Univers Mumbai juga. Cuma beda jurusan, dia ngambil jurusan Sejarah.” Sahut ibu. “Oh ya? Asyik dong bareng si Ompong lagi. Udah 10 tahun gak jumpa sama mereka berempat.” Sahutku. “Iya, malah ibu udah ngirim foto kamu yang sekarang, soalnya mereka gak tau gimana fisik kamu sekarang.” Sahut Ibu.

Kami pun tiba di Bandara. Ternyata ada Shinta yang telah menungguku. Dia adalah sahabatku sejak SMA.

“Udah lama nunggu?” Tanyaku pada Shinta.

“Lumayan, hampir aja numbuh ekor.”

“Maaf deh.. hehe”

“Kamu jaga diri ya di sana… Jangan lupain sahabat kayak Aku… Aku sebenarnya sedih sih kalo kamu pergi… Tapi Aku juga senang kalo liat kamu sukses…” Kata Shinta seraya menangis. Aku memeluknya dan menangis. “Aku gak bakal lupain kamu kok… Kita kan bisa chattingan/sms-an/telfonan..” Kataku lalu melepas pelukan. “Lagipula, sekarang kan bukan zaman 80-an lagi, hahaha…” Kataku dan kami pun tertawa.

“Alisha, pesawatnya udah mau berangkat.” Kata Ayah. Setelah berpamitan pada mereka, Aku pun menaiki pesawat dan berangkat. Sedih rasanya harus meninggalkan mereka. Tapi ini harus Aku lakukan agar Aku menjadi sukses.

Saat di perjalanan dalam pesawat, Aku tertidur dan bermimpi yang aneh. Di dalam mimpiku, Aku menaiki tangga yang berliku-liku dan saat di ujung tangga, ada sebuah pintu besar yang berukiran bunga teratai. Di tengah pintu terdapat sebuah jiplakan telapak tangan. Saat Aku meletakkan telapak tanganku di jiplakan itu, tiba-tiba pintu itu terbuka. Aku tidak dapat melihat apa yang ada di hadapanku setelah pintu itu terbuka. Aku pun terjaga. Mimpi yang aneh, batinku.

Setelah beberapa jam dalam perjalanan, akhirnya Aku sampai di Mumbai. Ada perasaan lain dalam hatiku saat Aku menginjakkan kaki di tanah India. Sepertinya Aku telah beratus tahun meninggalkan kampung halamanku sendiri dan setelah pergi jauh ke Negara lain, Aku kembali pulang ke kampung halamanku. Namun kenyataannya memang Aku keturunan India, terlihat dari fisikku yang menyerupai gadis India dengan Mata, hidung dan bibir yang khas gadis India.

Di luar Bandara, Aku menjumpai Paman dan Bibi yang telah menungguku. Aku menghampiri mereka dengan senyum dan memeluk mereka.

“Aduh.. Gadis yang satu ini tambah manis saja… Semakin mirip dengan gadis India..” Puji paman.

“Apaan sih paman? Baru ketemu juga udah disemprot, pake minyak wangi lagi, hahaha..” Kataku.

“Tapi waktu kecil kamu mirip sama gadis kecil Turki lho.. hehehe..” Sahut bibi.

“Ya udah… Kalo gitu nanti aja kita ngomongin di mobil…” Kataku lalu mengajak paman dan bibi masuk ke mobil dan pulang ke rumah nenek.

Setibanya di rumah nenek…

“Neneeek…!” Teriakku berlari ke arah nenek untuk memeluknya dan menciumnya. Aku merangkul nenek yang keheranan.

“Ini Alisha cucu nenek kan?”

“Ya iya lah neek.. Siapa lagi?”

“Kok gak mirip ya?”

“Ya iya lah gak mirip neek… Nenek kan ketemu sama Aku pas aku SD.. Sekarang kan Aku udah gede… Masa kecil-kecil terus…”

“Hehehe…”

“Oh ya, bibi, Si Ompong mana?” Tanyaku pada bibi tentang Jhonny yang seumuran denganku. Aku memanggilnya Ompong karena dulu dia Ompong gara-gara rajin makan coklat.

“Tidur di kamar. Bikin aja kejutan, dia pasti gak kenal sama kamu.” Aku pun cekikikan sambil menuju ke kamar Jhonny dan masuk ke kamarnya. Ternyata dia sudah tumbuh menjadi pria tampan.

“Jhonny… Jhonny sayang…” Panggilku membangunkannya. Lantas saja Jhonny kaget.

“Siapa kamu?! Kenapa bisa ada di sini?! Mau Mencuri ya?! Cantik-cantik kok mencuri?! Atau? Mau dijodohin orangtuaku sama aku?” Teriak Jhonny.

“Dasar Ompong!” Kataku seraya menarik hidungnya yang mancung. “Alisha?!!” Aku lari sambil tertawa dan dia mengejarku. Kami pun bercanda.

Malam hari pun datang, Aku duduk sendiri memandangi langit malam. Ternyata malam hari di Mumbai menyenangkan.

“Punya pacar?” Tanya jhonny yang mengagetkanku, dia pun duduk di sampingku.

“Apaan sih? Datang-datang nanyain pacar. Aku gak pernah pacaran.”

“Kenapa? Gak laku? Hahaha…”

“Enak aja! Malah udah 5 cowok yang nembak Aku.”

“Terus kenapa gak terima?”

“Males. Kamu sendiri?”

“Udah punya 3 mantan. Sekarang juga lagi males. Oh ya, kita kan nanti sekampus, kata nenek kita pergi barengan naik motor aku yang macho.”

“Okee deeh. Kalau gitu, Aku tidur duluan ya. Good Night..” Aku pun ke kamar untuk tidur.

Saat tidur aku bermimpi yang aneh. Di dalam mimpiku, Aku memakai pakaian adat pengantin kerajaan India dengan didamping oleh Ibu menuruni tangga yang pernah Aku mimpikan di pesawat. Aku pun terbangun dan pergi ke dapur untuk minum segelas air. Selesai minum, saat aku hendak kembali ke kamar, ada sosok wanita yang berpakaian khas kerajaan India di hadapanku. Aku pun kaget tapi tidak berteriak.

“Siapa kamu?! Mau apa?! Jangan ganggu Aku!”

“Selamat datang di daerah kekuasaan anda, tuan putri… Saya pamit dulu..” Kata wanita itu lalu mundur 3 langkah sambil menunduk, berbalik, dan menghilang. Aku mengatur nafasku. Kejutan macam apa ini? Baru tiba di sini sudah didatangi hantu aneh, batinku. Aku pun kembali tidur di kamar.

Keesokan paginya…

“Hey! Nyenyak tidurmu semalam?” Sapa Jhonny yang membuyarkan lamunanku.

“Iya, sampe dapet kejutan yang sangat menakjubkan.”

“Kejutan apa?”

“Ah jangan dibahas. Yuk berangkat.” Kami pun berangkat ke kampus.

Jam menunjukkan pukul 12 siang. Saatnya Aku pulang. Aku menuju ke ruangan Jhonny untuk mengajaknya pulang. Saat Aku dan Jhonny ke tempat parkiran, tidak sengaja bajuku tersangkut pada jam tangan seorang pria tampan yang bernama Karan, kakak senior Jhonny.

“Maaf, Aku tidak sengaja.” kataku dalam bahasa India. Untung Aku sempat les private Indian selama 3 tahun. Lalu melepaskan sangkutan di jam tangannya.

“Iya, tidak apa-apa.” jawabnya. Aku pun tersenyum dan beranjak pergi. Namun dia mencegahku.

“Tunggu! Aku Karan, kamu?”

“Alisha, jurusan seni. Ini Jhonny, jurusan Sejarah.”

“Aku juga jurusan sejarah. Anak baru ya?”

“Iya.” Jawab Jhonny.

“Kalian sepasang kekasih?”

“Iya. Kami sepasang kekasih.” Jawab Jhonny lalu merangkulku.

“Apaan sih kamu?” Bisikku pada Jhonny.

“Udah tenang aja…” Jawab Jhonny.

“kalau begitu, Aku pergi.” Katanya lalu pergi. Aku kenapa senyum-senyum sendiri ya? Ah entahlah.

Malam harinya, entah kenapa, Aku terus memikirkan sosok Karan, pria yang baru ku kenal nama dan jurusannya. Tiba-tiba di hadapanku muncul lagi hantu aneh yang kemarin malam.

“Kamu siapa?! Mau apa lagi sih?!”

“Selamat malam, tuan putri… Saya adalah Jahanara, Putri dari Maharaja Shah Jahan dan Permaisuri Mumtaz Mahal.. Saya datang dari masa lalu karena amanat dari Permaisuri Mumtaz Mahal. Anda diharapkan untuk datang ke makamnya, Taj Mahal..”

“Apah?!”

“Ada yang perlu Permaisuri bicarakan bersama anda. Saya akan selalu ada untuk memberi petunjuk bagi anda. Saya pamit.” Katanya lalu mundur 3 langkah, berbalik, dan menghilang. ANEH!

Keesokan harinya…

“Nanti malam ada pesta di kampus.” Kata Jhonny.

“Oh ya?”

“Iyaa.. Kita pergi, ya?”

“Males aah.. Aku gak punya saree..”

“Nanti deh aku beliin.”

“Hmm yayaa..” Kami pun pergi membeli saree.

Malam harinya…

Di pesta, semua orang memandangiku.

“Aku jelek ya memakai saree?” Tanyaku pada Jhonny.

“Cakep banget, bodoh! Semua terpesona sama kamu!” Aku menjadi tersipu.

“Aku ke tempat temen-temenku ya.” Kata Jhonny lalu pergi meninggalkanku.

“Hay.” Sapa Karan dengan senyumnya yang terpesona, uuh! Perutku rasanya ingin pecah menahan gelora asmara ini.

“Hay.”

“Sendiri? Mana pacarmu?”

“Aku tidak punya pacar.”

“Lalu? Jhonny?”

“Dia sepupuku, hehe..”

“Oh? Hahaha…”

“Kau sendiri?”

“Tidak, dengan teman-temanku. Mereka di belakang”.

“Pacarmu?”

“Aku tidak punya pacar.”

“Hahaha… Kau memang lahir di India?”

“Ya, kau?”

“Aku lahir di Indonesia, keturunan India. Hanya saja Nenekku tinggal di India. Aku ke sini karena mendapat beasiswa kuliah di sini.”

“Waw, menakjubkan.” Tiba-tiba Aku melihat hantu aneh itu di belakang Karan. Aku menjadi gelisah.

“Kenapa?” Tanya Karan keheranan melihat tingkahku. Aku menggeleng dan permisi ke toilet.

Di toilet, hantu itu muncul lagi di hadapanku. Apa sih maunya nih hantu?!

“Kamu mau apa sih dari aku?!”

“Sepertinya Anda sudah bertemu dengan pasangan hidup anda.. ? Dia sangat tampan.. Maaf, tuan putri, Anda harus segera ke Taj Mahal untuk menemui Permaisuri Mumtaz Mahal.” Kata hantu itu lalu menghilang dengan cara sebelumnya. Aku shock berat dan langsung keluar dari toilet. Di hadapanku ada Karan.

“Apa yang terjadi?” Tanyanya.

“Aku minta tolong padamu.P lease, tolong Aku…”

“Aku akan selalu ada untukmu. Ada apa?” Hah? Apa maksudnya dengan ‘selalu ada untukmu’? Ah entahlah. Aku pun menceritakan semuanya. Lantas saja Karan kaget.

“Kau tau apa yang terjadi?” tanyaku.

“Alisha, kau adalah orang yang selama beratus tahun dicari oleh para peneliti sejarah dunia. Kau adalah pewaris tahta kerajaan Mughal sepenuhnya. Dan India, Pakistan dan Afghanistan adalah tanah kekuasaanmu sepenuhnya. Aku tidak menyangka bahwa orangnya adalah kau! Menurut kepercayaan kami, kau adalah jiwa pilihan Permaisuri Mughal Mumtaz Mahal. Dia memilihmu karena kau dapat mengungkapkan kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik Mumtaz Mahal.” Jelas Karan dengan penuh semangat.

“Waw, menakjubkan. Tapi hantu itu mengatakan bahwa aku harus segera ke Taj Mahal untuk menemui Mumtaz Mahal.” Kataku.

“Menurutku, turuti saja permintaannya. Ayo, biar Aku antar kau ke sana. Tiba-tiba Jhonny datang.

“Sepertinya ada ketegangan disini. Ada apa?” Tanya Jhonny.

“Jhonny, Aku harus ke Taj Mahal sekarang bersama Karan. Aku mohon padamu katakan pada nenek dan orangtuamu bahwa Aku di Taj Mahal. Aku pergi.” Kataku dan langsung pergi dengan Karan menaiki mobilnya tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan Jhonny. Aku dan Karan menuju ke Taj Mahal.

Sudah 3 jam dalam perjalanan, akhirnya kami sampai di Taj Mahal. Jiwaku terasa sangat tenang saat mendekati Taj Mahal. Ada cukup banyak pengunjung di malam itu. Aku hendak memasuki Taj Mahal tapi Karan menarik tanganku.

“Apapun yang terjadi, tetap tenang.Jangan panik.” Kata Karan. Aku tersenyum dan masuk ke dalam. Tapi saat Aku masuk ke dalam, tiba-tiba Taj Mahal bercahaya. Aku kaget. Aku pun keluar dari Taj Mahal bersama para pengunjung yang ada di dalam Taj Mahal.

“Kenapa saat kau memasuki Taj Mahal, Taj Mahal bercahaya? Ini benar-benar menakjubkan!” Kata Karan. Tiba-tiba ada seorang sejarawan yang datang menghampiriku.

“Kamu orang yang kami cari selama ini!” Kata sejarawan itu.

“Maaf, pak. Saya harus masuk ke dalam untuk menyelesaikan urusan saya.” Kataku lalu berlari memasuki Taj Mahal. Aku melihat-lihat apa yang ada di dalam Taj Mahal karena baru kali ini Aku mengunjungi Taj mahal. Tiba-tiba Aku mendengar bisikan “ikuti suara nyanyian ibuku.” Aku pun mendengar suara nyanyian yang sangat merdu. Aku mengikuti arah suaranya. Aku menemukan tangga yang ada di dalam mimpiku. Aku pun menaikinya. Sesampainya di ujung tangga, Aku melihat pintu yang sama seperti di dalam mimpiku. Aku meletakkan telapak tanganku di jiplakan tangan itu dan pintu terbuka.

Aku melihat sebuah ruangan yang dipenuhi dengan banyak harta benda seperti emas, mutiara, berlian, intan, perhiasan, dan batu-batu bernilai tinggi lainnya. Aku juga melihat foto-foto anggota keluarga kerajaan, dan 1 foto yang mengejutkanku, yaitu fotoku yang berpakaian ala tuan putri Mughal.

“Selamat datang, tuan putri Syaharani. Aku Permaisuri Mumtaz mahal.”

“Apa yang kau inginkan?”

“Aku ingin kau menyatakan pada dunia tentang beberapa hal dan kuharap kau menerima bahwa kau adalah pewaris tahta kerajaan Mughal.”

“Baik, aku terima walau aku tidak percaya. Namun, hal apa yang ingin kau katakan?”

“Sebenarnya, ini bukan makamku. Makamku ada di Kashmir bersama dengan makam suamiku tercinta. Ini adalah istana untukmu. Aku tidak mau Shah Jahan mengatakan kalau ini adalah istana untukmu, jika yang lain tau, maka masalah akan muncul dalam pemerintahannya. Shah Jahan juga berniat untuk membangun yang seperti ini lagi dengan bahan marmer hitam untuk calon suamimu, Karan. Tapi ditentang oleh Aurangzeb, putraku.”

“Tunggu, apa yang kau katakan tadi? Karan adalah calon suamiku?”

“Ya, dia adalah calon suamimu. Pangeran Raza Zirazi. Sebenarnya, tidakan Aurangzeb benar dengan menentang ayahnya karena Ayahnya telah memboros harta untuk rakyatnya. Aurangzeb adalah putraku yang realigius. Dia selalu berpedoman pada islam. Dan satu hal lagi, dia tidak pernah melakukan pemberantasan orang hindu demi menyiarkan agama islam, tapi dia meghancurkan sebahagian kuil untuk mengamankan rakyat dari perang orang-orang Hindu yang mengkhianati kerajaan. Hanya itu.”

“Aku akan mengingatnya.”

“Oh ya, sebelum Aku pergi, di antara harta-harta ini, ada 1 peti yang berisi perhiasan untukmu, untuk pernikahanmu. Dan kuharap harta-harta ini kau pergunakan sebaik mungkin. Aku pamit. Semoga kau bahagia dan sejahtera.” Kata Mumtaz Mahal dan menghilang. Aku kembali keluar.

Ternyata berita tentangku telah mendunia. Aku telah mengungkapkan apa yang Mumtaz Mahal katakan padaku dan ini membuat dunia menjadi gempar. Aku dicantumkan sebagai orang yang telah berjasa dan menakjubkan di dunia. sejak itu Aku menjadi Ratu di India, Pakistan dan Afghanistan.

Setelah itu, Aku menikah dengan Karan, pria yang baru ku kenal. Ternyata dia telah mencintaiku sejak pertama kami bertemu. Setelah menikah, Aku kembali ke Indonesia dan berkumpul bersama Ibu, Ayah, nenek, paman, bibi, adik perempuanku, Jhonny, Shinta, dan Karan. Setelah 9 bulan pernikahanku, Aku hamil dan 9 bulan kemudian Aku melahirkan bayi perempuan. Namun setelah melahirkan, Aku meninggal dunia.

*TAMAT*


Karya : Nahdiatul Ghina

MEMBUATMU BANGGA

Sindy Putri Anastasya adalah anak dari bapak Darmawan dan ibu Santi. Dia lahir pada 26 Desember 1999, sekarang usianya 13 tahun. Shanti duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas 1. Shanti menjadi murid seni di SMP N 1 Way Jepara. Bapak dan ibunya asli orang Jawa, tapi Sindy lahir di Lampung. Bapak dan ibunya pindah ke Lampung saat mengandung Sindy sekitar 5 bulan, mereka Ke Lampung karena tugas bapak Darmawan dipindahkan oleh atasannya.

Di balik pintu kamar, Sindy sedang mempersiapkan buku pelajaran yang akan dibawa ke sekolah. Ayahnya sedang membaca koran dan ibunya sedang menyiapkan sarapan pagi.

“Ayah, Sindy ayo sarapan, sudah siap nih sarapannya” ajakan ibu Santi.

“Iya bentar bu” jawab Sindy.

Sindy duduk di depan meja makan, ayahnya menyudahi membaca koran dan meneguk segelas kopi hangat.

“Ayo cepetan sarapannya, katanya mau berangkat pagi. Ayah juga mau berangkat pagi kan?” tanya ibu Santi.

“Oh iya bu, ayah lupa nih” jawab ayah sambil melihat jam.

Selesai sarapan, Sindy segera berangkat ke sekolah dan diantar ayahnya.

“Bu, Sindy berangkat ya. Assalammualaikum” Sindy pamit.

“Waalaikumsalam, hati-hati ya yah bawa motor nya”

“iya bu”

Jarak sekolah Sindy dengan rumahnya kurang lebih 1,5 kilometer. Setelah sampai di depan gerbang sekolah, Sindy turun dari motor dan pamitan pada ayahnya.

“Yah, Sindy masuk ya. Hati-hati di jalan ya yah!!”

“Iya Sin” jawab ayah

Ayah Sindy pun berangkat ke kantor, Sindy pun masuk ke kelasnya. Sahabatnya yang bernama Vera Lianasari sudah menunggunya.

“Hay, maaf ya aku baru nyampe. Sudah lama menunggu ya?” tanyanya kepada sahabatnya.

“Enggak kok, aku juga baru datang. Gimana pr SBK mu? Sudah selesai belum?” tanya Vera

“Udah dong, Sindy kok belum ngerjain pr loh”

“Kirain belum ngerjain” sindir Vera

Tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Karena masih awal masuk sekolah, Vera pun menanyakan excul yang Sindy ikuti.

“Sin, kamu mau ikut excul apa?” tanya Vera.

“Mmm, aku belum tau nih mau ikut apa. Kalau kamu ikut apa Ver?” Sindy bertanya balik.

“Aku sih mau ikut excul tari. Salah satu budaya Lampung yang harus dilestarikan bukan?” jawab Vera.

“Iya juga sih, tapii…?”

“Tapi apa Sin? Kamu takut ibu sama bapak mu marah?”

“Salah satunya sih itu Ver.. Tapi aku kan orang jawa, mana mungkin aku bisa belajar budaya Lampung?” pikir Sindy.

“Memangnya kalau kamu orang Jawa enggak bisa belajar budaya Lampung gitu? Orang luar negeri aja banyak yang belajar budaya Indonesia, masak kita enggak mau belajar juga.” Vera mendukung Sindy.

“Kamu benar juga Ver, oke aku bakal ikut excul tari. Kita nanti berangkat bareng ya” tanya Sindy.

“Iya Sin, nanti kita berangkat jam 15.00 ya?”

“sipp deh”

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30, saatnya untuk pulang. Sindy dan Vera pulang bareng, kebetulan mereka sama-sama jalan kaki. Tak lama kemudian, Sindy sampai di depan rumah, Vera pun menuju rumahnya sendiri. Rumah Sindy dan Vera tidak terlalu jauh, hanya terhalang kurang lebih 3 rumah.

“Ver, aku masuk rumah duluan ya. kamu hati-hati di jalan”

“Iya Sin, bentar lagi aku sampai kok. Tenang aja” jawab Vera.

Vera berjalan melewati 3 rumah dan akhirnya sampai di rumahnya.

Di rumah, hanya ada Sindy dan ibunya. Ibu menanyakan kepada Sindy Excul yang akan Sindy ikuti.

“Sin, kamu ikut excul apa? Kok enggak pernah bilang sama ibu?” tanya ibu Santi.

“eee, mm aaa nnnuu bu?”

“Anu apa Sin? ditanya kok jawabnya anu anu”

“Itu bu, Sindy ikut excul taarri” jawab Sindy dengan nada suara kecil dan lambat.

“Tari? Pasti tarian Lampung. iya kan?”

“Iya lah bu, ini kan di Lampung, pasti bahasnya budaya Lampung, beda sama di Jawa” jawab Sindy

“Kamu ini selalu pintar menjawab ya. Tapi ibu sama ayah mu itu orang jawa, kembangin gitu budaya Jawa, jangan banggain budaya Lampung terus” cetus ibu Santi.

“Ibu sama ayah memang orang jawa, tapi apa salah kalau Sindy belajar budaya Lampung? Sindy kan lahir di Lampung, jadi enggak salah dong kalau Sindy bangga dengan tanah kelahiran Sindy?” Sindy menjawab dengan nada kesal.

“Kamu itu ya, dibilangin susah banget.” Sahut Ibu.

Sindy langsung masuk kamarnya.

Di dalam kamar, Sindy bergumam sendiri.

“Belajar ini salah, belajar itu salah. yang benar yang mana? Emang nya kalau orang jawa enggak boleh belajar budaya Lampung?” gumam Sindy.

Jam sudah menunjukkan pukul 15.00, di luar rumah terdengar suara yang memanggil-manggil. Sindy pun melihatnya dari jendela kamar. Ternyata yang memanggil adalah Vera. Sindy pun keluar rumah dan menemui Sindy.

“Eh kamu Ver, aku kira siapa.” Tanya Sindy.

“Hehe, kita jadi berangkat kan?” Vera bertanya kepada Sindy.

“Jadi dong, Meskipun ibu aku enggak suka” jawab Sindy.

Kemudian Sindy masuk ke rumah untuk mengambil sepatu dan tasnya.

Sesampainya di sekolah, ternyata excul tari sudah masuk. Awalnya Sindy dan Vera takut untuk masuk karena merasa malu. Tapi Bu maya, guru pembimbing excul tari memanggilnya. Mereka pun masuk ke dalam ruang tari.

Sindy dan Vera mengisi absen yang disodorkan kepadanya. Kemudian mereka mengikuti gerakan bu Maya sesuai dengan alunan musiknya yang tenang namun pasti. Mereka masih belajar gerakan tari sigeh pengunten yang dipergunakan untuk menyambut tamu.

“Kalau yang belum bisa ikutin gerakan ibu ya…!!!” teriak bu Maya dari arah depan.

“Iya bu…” mereka pun menjawab bersamaan.

Tak terasa waktu excul tari telah selesai. Bu Maya pun menyudahi excul tari hari ini.

“Karena waktu nya sudah selesai, ibu akhiri wasalamu’alaikum Wr. Wb.” Ucap bu Maya.

“Waalaikumsalam Wr. Wb.”

Murid-murid yang ikut excul tari pun mengambil tasnya kemudian pulang ke rumah masih masih. Sindy dan Vera pun pulang.

Sesampainya di rumah, Sindy bertemu dengan ibu dan ayah nya. u Santi memanggil Sindy dan bertanya kepadanya.

“Sin, dari mana kamu? Jam segini baru pulang” tanya bu Santi.

“Sindy abis pulang dari excul tari bu” cetus Sindy.

“kamu ini sudah ibu bilangin jangan ikut excul tari, masih aja ikut, susah amat sih dibilangin” cetus ibu.

“Bu, sindy udah besar jadi biarin Sindy pilih sendiri. Sindy sudah merasa nyaman dengan budaya Lampung, jiwa Sindy sudah merasa menyatu dengan budaya Lampung bu” jawab Sindy dengan nada kesal.

“Pokoknya ibu tidak mau melihat kamu ikut excul tari lagi” jawab bu Santi.

“Kenapa sih ibu selalu memaksakan kehendak ibu? Apa pernah ibu biarin Sindy ngelakuin hal yang Sindy suka? Enggak kan. Sekarang biarin Sindy yang memilih, toh Sindy kan yang ngelakuin bukan ibu”

Sindy berlari ke kamarnya dan menutup pintu sekencang kencangnya.

“Sindy…” teriak bu Santi.

“Sudah lah bu, biarin aja Sindy ngelakuin apa yang dia suka. Dia sudah besar dan sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk” pak Darmawan menasihati bu Santi.

“Tapi yah, yang ibu lakuin baik kan, cuman pingin ngelihat Shindy belajar tarian Jawa” jawab ibu.

Keesokan harinya, Sindy tetap mengikuti excul tari Lampung. Bahkan dia terpilih menjadi wakil SMP N 1 Way Jepara untuk mengikuti lomba tari seKabupaten Lampung Timur.

“Sin, akhir-akhir ini kamu sering pulang sore, dari mana aja kamu?” tanya ibu Santi.

“Sindy latihan nari, Sindy kepilih jadi wakil SMP N 1 Way Jepara” cetus Sindy.

“Ibu enggak setuju kalau kamu ikut lomba itu.” Ibu melarang.

“Bu, lombanya tuh tinggal 1 minggu lagi. Mana mungkin Sindy gak ikut lomba itu. Pokoknya ibu sama ayah harus lihat lomba itu, kalau enggak lihat Sindy enggak mau makan, meskipun ibu enggak suka kalau Sindy belajar Budaya Lampung.” Sindy memaksa ibunya.

“Ibu enggak akan datang ke acara itu, ibu enggak mau lihat” jawab ibu.

“Ibu ini jangan mentingin diri ibu sendiri dong, sekali-kali ikutin kata Sindy. Sekali aja bu” Sindy memohon.

“Sekali ibu bilang enggak, ya tetap enggak Sin”

“Terserah ibu lah, yang penting ibu dateng sama ayah, orangtua temen-temen Sindy pada dateng bu” Sindy menjawab dengan nada kesal.

Sindy langsung lari ke kamarnya dan menutup pintu sekencang-kencangnya.

“Sindy, kalau pintu nya rusak gimana? Apa kamu bisa benerin? Enggak kan?” teriak ibu Santi.

“Bodo amat” cetus Sindy.

“Dasar anak susah diatur” ibu mengeluarkan kata-kata kasar.

Sindy tidak mendengarkan perkataan ibunya. Sore itu terjadi pertengkaran antara ibu dan Sindy. Sindy ingin ibu dan ayahnya datang ke acara itu, tapi ibunya tidak mau.

Pagi hari nya, Sindy tidak keluar kamar. Ibu dan ayahnya membiarkan dia untuk sendiri dulu.

Setelah ibu pulang mengajar, ibu membuka tudung saji, tidak ada sayur yang berkurang, semuanya masih tetap utuh.

“Berarti Sindy tidak makan?” pikirnya.

Sinar matahari di sebelah barat pun memudar dan berganti cahaya malam, bintang-bintang di langit pun mulai bermunculan. Tapi Sindy tetap masih murung di kamar. Bu Santi pun mengajak Sindy untuk makan bersama.

“Sin, Sindy.. ayo kita makan malam, ayah udah nungguin tuh” teriak ibu dari luar kamar.

Sudah berkali-kali bu Santi memanggil-manggil Sindy, tapi tetap saja tidak ada jawaban. Bu Santi mulai panik dengan keadaan Sindy.

“yah, Sindy dipanggilin kok tidak menjawab ya? Coba ayah yang bangunin!”

Bu Santi memanggil pak Darmawan untuk mengajak Sindy makan. Tetapi tetap tidak ada jawaban sama sekali. Pak Darmawan pun memutuskan untuk mendobrak pintu kamar Sindy.

Setelah didobrak, pak Darmawan dan bu Santi melihat Sindy pingsan di lantai dekat tempat tidurnya. Bu Santi pun panik dan pak Darmawan segera membawa Sindy ke rumah sakit terdekat.

“Sindy, kamu kenapa? Ayo bangun dong Sin, ibu enggak tega ngelihat kamu kayak gini” ibu mengkhawatirkan Sindy.

Sesampainya di rumah sakit, Sindy langsung dibawa ke ruang rawat untuk mendapatkan pertolongan. Sedangkan bu Santi dan pak Darmawan menunggunya di luar.

Tak lama kemudian, Dokter yang menangani Sindy keluar dan memberikan kabar tentang keadaan Sindy sekarang ini.

“Bagaimana keadaan Sindy dok?” tanya bu Santi.

“Sindy baik-baik saja bu, dia Cuma kecapekan saja. Biarkan dia istirahat dan jangan sampai dia banyak pikiran” jawab pak Dokter.

“Baiklah pak, terimakasih” jawab pak Darmawan.

Bu Santi dan Pak Darmawan menemani Sindy di kamar rawatnya. Bu Santi terus memegang dan mencium tangan Sindy.

“Bangun dong Sin!! maafin ibu ya, ibu enggak bermaksud buat kamu kayak gini. Ibu janji bakal lebih baik dari yang kemaren-kemaren” gumam bu Santi.

“Ibu sih, kenapa harus mentingin kepentingan ibu dari pada Sindy. Sindy itu Cuma pingin kita hadir di acara itu, enggak lebih bu” cetus pak Darmawan.

Tak lama kemudian, Sindy sadarkan diri.

“Sindy? kamu sudah bangun? Ibu khawatir sekali” bu Santi mengkhawatirkan Sindy.

“Sejak kapan ibu khawatir dengan Sindy? Bukannya ibu selalu mentingin diri sendiri” cetus Sindy.

“Kok kamu gitu sih Sin sama ibu” jawab ibu.

“Sudahlah bu, ibu lupa sama pesan dokter tadi?” sahut pak Darmawan.

4 hari Sindy dirawat di rumah sakit, keadaannya pun semakin membaik. Keesokan harinya Sindy pulang ke rumah, sesampainya di rumah, Sindy masih sempat memikirkan lomba tari yang dia ikuti.

“Apakah ibu sama ayah masih tetap tidak mau hadir dalam acara itu?” tanya Sindy kepada orangtuanya.

“Kamu ini baru aja sampai rumah sudah memikirkan yang lain, pikirin dulu kesehatan mu, baru yang lain kamu pikirin” jawab bu Santi.

“ishhh, ibu ini. Kalau ibu sama ayah enggak dateng, Sindy gak mau makan lagi” membuang muka.

Bu Santi dan pak Darmawan membiarkan Sindy istirahat di kamarnya. Di luar kamar, pak Darmawan membujuk bu Santi agar mau menghadiri acara itu.

“Ayo lah bu, kita datang di acara itu. Kasihan Sindy kan?” bujuk pak Darmawan.

“tapi yah, ibu enggak suka dengan tarian Lampung. Ibu juga enggak suka dengan orang Lampung yang seenaknya sendiri, suka marah marah.” Jawab ibu.

“Jadi itu alasan ibu untuk melarang Sindy belajar tari dan tidak datang ke acara lomba itu? Kasian Sindy kan kalau dia nanti mengharapkan kedatangan kita? Ayo lah bu” Merayu ibu lagi.

Bu Santi masih merenungkan kedatangannya ke acara tersebut, dengan rayuan pak Darmawan, akhirnya Bu Sindy mau datang ke acara lomba tari seKabupaten. Sindy tidak mengetahui kalau ibu dan ayah nya datang ke acara tersebut.

Saatnya yang kita nantikan datang, acara lomba tari yang ditunggu-tunggu pun dimulai. Peserta lomba yang tampil pertama adalah peserta lomba dari SMP N 1 Way Jepara. meskipun keadaan Sindy masih kurang sehat, Sindy tetap mengikuti Lomba tari Lampung.

Saat tampil di depan penonton, Sindy melihat semua orang yang hadir. Di sebelah barat terlihat ayah dan ibunya yang hadir dalam acara itu, hati Sindy pun merasa bahagia dan tenang.

“Akhirnya ayah dan ibu datang juga” Gumamnya dalam hati.

Semua peserta lomba telah tampil semaksimal mungkin. Dan saatnya mengumumkan pemenang lomba tari seKabupaten. Juara 3 dan 2 pun telah disebutkan, saatnya mengumumkan juara 1nya.

“Dan yang menjadi juara 1 adalah… SMP N 1 Way Jepara”

Sorak sorai dari pendukung SMP N 1 Way Jepara pun memecah ketegangan mereka. Sindy pun bangga dengan prestasi yang sudah ia capai selama ini.

Pak Darmawan dan Bu Santi menghampiri Sindy dan memeluknya.

“Maafin ibu ya sin, kalau selama ini ibu selalu mentingin keinginan ibu sendiri dan tidak memperhatikan kamu” ibu memeluk Sindy.

“maafin Sindy juga ya bu, kalau Sindy nakal dan susah diatur” Sindy membalas pelukan ibunya.

“Ibu bangga dengan mu Sin, selama ini ibu salah menilai budaya Lampung dan memandang orang Lampung itu menyeramkan.

“Jadi, ibu mengizinkan Sindy mempelajari budaya Lampung terus kan?” tanya Sindy

“Iya sin…” ibu tersenyum

Merekan pun saling berpelukan…

SELESAI


Karya : Putri Sukawati

STELLA

“Tidak, terlalu rumit membayangkan seperti apa bersanding di pelaminan, dengan pandangan mata yang saling bertolak satu sama lain. Dunianya, adalah berjuta bintang mengerlip indah, di sana, di angkasa – yang tak kan pernah ia capai. Mereka menawarkan mimpi-mimpi, hingga tiap malam ia rela menyempatkan waktu sejenak, menghitung cahaya gemerlap bintang – berharap suatu saat ia dapat peluk, pun satu saja. Dunianya, adalah dunia orang modern kebanyakan: berbelanja, mengikuti trend, nonton film, jalan-jalan, dan kesenangan-kesenangan lainnya. Dunianya, adalah kesibukan melototi layar HP tiap menitnya. Yah, dunianya adalah dunia orang-orang kebanyakan: dunia wajar manusia modern. Dunia Stella, gadis berdarah Jawa-Manado yang kusayangi, adalah dunia yang diimpikan kebanyakan orang masa kini.

Aku Damar, aku menganggap dunia Stella adalah dunia yang diluar jangkauan anganku. Bagiku, dunia seperti itu hanya menawarkan mimpi semu, seperti yang ditawarkan para bintang pada Stella. Aku menganggap, entah kenapa, dunia modernitas membuat banyak terbuai mimpi-mimpi kesejahteraan. Yang demi mimpi itu, banyak orang rela mengorbankan apapun – termasuk mungkin: harkat-martabat sebagai “manusia”. Jalan pintas dianggap pantas demi tercapainya tujuan, instan adalah keseharian modernitas – agar lebih efektif-efisien, katanya. Idealku, selalu memandang bahwa orang-orang yang terlarut buai modernitas – adalah orang-orang yang tertidur dalam keindahan mimpi. Meski kenyataan, aku sendiri seringkali mempunyai hasrat yang cukup besar untuk juga memiliki dunia seperti itu. Dan kenyataan pula, aku hidup dalam keglamoran modernitas: motor, TV, HP, laptop, adalah keseharianku juga. Lantas, siapa yang sedang bermimpi?

Yah, engkau bisa jawab akulah orang yang sedang bermimpi dalam dunianya sendiri: Dunia Utopis. Tapi aku sebenarnya sangat ingin mengungkapkan mengapa aku seperti demikian? Tapi aku ragu, adakah engkau mau mendengarku.”


“Aku Stella, senang sekali bisa belanja bareng mama. Kalau sama mama, pasti keturutan semua yang ku ingin, dengan sedikit rayuan tentunya. Hari ini aku bawa belanjaan banyak sekali. Dan yang kuidam-idamkan bulan lalu, kini sudah tercapai: tablet i-phone keluaran terbaru. Sebenarnya sudah punya tablet di rumah, tapi kemarin belinya yang murahan: merk lokal, malu kalau dibawa ke kampus. Selain tablet, beberapa stel baju juga kuborong, mumpung lagi diskon besar-besaran. Hehe, mama sendiri juga belanja banyak banget, mentang-mentang baru gajian.

Ini hidupku, mungkin engkau menganggap aku orang yang boros sekali. Tapi bagiku tidak, inilah hidup. Siapa bilang aku boros, aku menyisihkan uang sakuku tiap harinya untuk kutabung. Dengan begitu aku mencukupi hasratku. Sebenarnya barang-barang yang kubeli tidak terlalu kubutuhkan, tapi hanya dengan itu eksistensiku diakui. Ah, siapa yang tidak ingin memiliki barang-barang seperti itu, di masa kini. Kita hidup di masa ini, bukan masa lalu. Aku heran melihat orang-orang yang sok gak mau nonton film, belanja ke mall, atau lambang-lambang modernitas lainnya, padahal tiap harinya mereka menggunakan barang-barang hasil inovasi modernitarian.

Tapi, entah kenapa, aku tertarik dengan seorang cowok di kelasku yang dandanannya kacau sekali. Ia terlihat norak, kurang pergaulan, culun, pokoknya dia sangat aneh untuk ukuran orang kebanyakan. Dunianya, sepertinya ia hidup dalam dunianya sendiri, mencoba melawan arus besar. Mungkin itu yang membuatku tertarik, ia punya pendirian kuat untuk melawan arus. Seperti ikan teri yang mencoba menyebrangi samudra, melawan ombak, dengan tubuh sekecil itu. apa yang dipikirkannya, itu yang membuatku penasaran. Ia sering membuatku terkagum oleh aksinya yang tak terduga. Pernah suatu kali di hari ulang tahunku, ia tiba-tiba memberikanku pesawat dari kertas, lalu disuruhnya aku untuk memainkannya. Sebuah kesederhanaan yang mampu membuatku tersenyum saat itu. Entah, kenapa hanya dengan pemberian itu saja aku merasa spesial di hari ulang tahunku. Mungkin karena sisi lain dari kebiasaanku yang selalu menerima kado berupa barang-barang mahal dari keluarga atau mantan-mantan pacarku dulu.

Tapi jangan, aku tak bisa membayangkan bagaimana menjadi kekasihnya bahkan untuk tinggal serumah dengannya kelak. Ini merusak eksistensiku, di hadapan keluarga dan teman-temanku. Kalaupun toh penampilannya jauh lebih bagus, aku tak mungkin bisa membayangkan suatu saat nanti menjadi istrinya. Keinginan dan kebiasaanku mengikuti trend akan terhalang oleh prinsipnya. Oh tidak, jangan…”


“Barangkali, sedikit saja kuikuti kehendak bebas arus besar modernitas. Toh tak ada salah jika aku berenang melepas penat hidup. Yah, barangkali aku perlu mencoba untuk berlajar berenang di kolam modernitas untuk kemudian aku dengan bebas bisa menyelam di arus sungai besar modernitas untuk menangkap ikan. Yah, secuil kenikmatan yang nantinya akan kudapatkan setelah kuberanikan diri mencebur ke air. Dan, toh tak selamanya aku berenang setiap waktu, hanya melepas penat saja bukan?”


“Kulihat ia sedikit mengikutiku. Ah, ternyata dia seperti kebanyakan cowok lain. Hanya bersemangat dengan gairah imajinasinya. Ah, dia juga plagiat ulung dengan mengikutiku memandangi bintang-bintang di langit lalu menghitungnya. Semakin terlihat culun saja itu cowok. Dan kini, aku tahu, ia tak lagi memberiku rasa penasaran akan dunianya. Dunia yang ia hinggapi kini sungguh sangat jauh dari apa yang kulihat di awal pertemuanku dengannya dulu. Ia benar-benar kehilangan diri.

Kudengar dari teman-temanku, ia menyukaiku. Dan karena itu ia rela untuk berusaha keras menceburkan diri ke dalam air kolam untuk belajar berenang. Dan, sayang sekali, ia terlalu sok akan kemampuannya. Kurasa dia belum terlalu mahir saat menceburkan diri ke dalam sungai besar modernitas itu. Jika kau tanya bagaimana perasaanku? Yah, aku sedih. Aku sedih bukan karena dia tenggelam. Aku sedih menyesali sikapku sendiri yang tak acuh terhadapnya meski ku tau aku juga menyukainya. Entahlah, di satu sisi aku juga senang. Yah, aku tak lagi ragu dan kini semakin mantap bahwa dia memang tidak pantas untuk bersanding di pelaminan denganku. Aku senang melihat ia tenggelam, terseret ganas modernitas. Dan aku kini lebih leluasa untuk memilih pria idealku tanpa harus terbelenggu ikatan perasaan yang diam-diam kurajut untuknya…”


“… Aku benar-benar tak pernah memikirkan resiko buruk yang akan kuhadapi saat aku mencoba untuk menceburkan diri ke sungai itu. Yang kulihat saat itu adalah ikan dan kesenangan kecil yang akan kudapatkan nanti. Aku lupa bahwa air dalam kolam dengan air dalam sungai besar sangatlah berbeda. Aku terlalu percaya diri akan kemampuan berenangku yang padahal baru saja bisa, itu pun hanya di dalam kolam. Dan alhasil, kini baru kusadari betapa cerobohnya diriku. Aku tenggelam dan terseret arus besar sungai modernitas tanpa bisa memilahnya. Aku terjebak oleh ulah sok-sok’an ku sendiri. Dan kini, aku terkatung-katung kebimbangan tanpa mendapatkan satu pun kesenangan, juga ikan yang kuidamkan. Dari kejauhan, kulihat Stella, gadis pujaanku itu tersenyum simpul melihatku terhuyung-huyung, meski beberapa kali terkadang kupergoki ia mengusap airmatanya.”


Karya : Rizky Akbar

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...