Pages

Friday, November 15, 2019

PERMAINAN TRADISIONAL

Pada hari minggu pagi, di kota Sydney, Australia ada seorang anak bernama Delores. Ia sedang memasukkan barangnya ke kopernya bewarna ungu dan dihiasi bunga mawar putih. Ia juga memasukkan sebagian barangnya ke tas ransel berwarna pink tua yang dihiasi gambar peri-peri kecil. Kalian pasti bertanya mengapa Delores memasukkan barangnya ke koper dan tas ranselnya? karena keluarga Delores akan pindah ke kota Jakarta, Indonesia. Alasannya mereka pindah, karena pekerjaan orangtuanya bangkrut.

“DELORES, jika sudah siap, segera ke ruang makan. Kita akan breakfeast (sarapan) dulu!” Perintah mom nya Delores dari bawah tangga setengah teriak. Karena kamar Delores di lantai 2 dan dekat dengan tangga di atas. “IYA mom. Sebentar lagi sudah siap!” jawab Delores berteriak.

“Ini sudah, ini sudah, sudah lengkap! Aku tinggal memakai baju.” ujar Delores.

Kalian pasti bertanya mengapa Ia bilang tinggal pakai pakaian? karena setelah mandi (Ia memakai baju mandi), Delores langsung memasukkan barangnya ke koper dan tasnya. Delores pun memakai baju Bergambar kupu-kupu dan berhiasan glitter, rok bewarna pink berenda, celana berwarna biru berhias glitter, dan bando warna hijau berhiasan 2 gambar hello kitty. Delores pun segera turun ke ruang makan.

“Mom, hari ini sarapan apa?” tanya Delores sesampai di ruang makan. “sarapan sandwich plus susu berry.” ujar mom. Delores segera duduk lalu menyantap sarapannya.

“Oh iya mom, dad mana?” tanya Delores sambil menyuapkan sandwichnya ke mulutnya. “Dad sedang menyiapkan mobil” ujar mom lembut. “Itu dad! dad ayo sarapan sama kami!” Ajak Delores pada dad. Dad pun segera duduk bersama Delores dan mom lalu menyantap sarapannya.

Setelah sandwichnya habis, Delores pun meneguk susu berrynya sampai habis. 

Setelah sarapan keluarga Delores habis, mereka pun menuju mobil.

Mereka meletakkan barangnya ke bagasi mobil. setelah memasukkan barangnya ke bagasi mobil, mereka segera masuk ke mobil dan menuju bandara internasional sydney, Bandara Sydney kingsford smith.

Sesampai di bandara, Dad Delores meng-check in tiket. setelah check in, Mereka para penumpang dari Sydney-Indonesia dipersilakan masuk pesawat, termasuk keluarga Delores.

Pesawat yang membawa keluarga Delores sudah lepas landas. “Wah Indah sekali dari atas sini!” Delores tak berhenti-hentinya memuji pemandangan dari bawah atas. Delores dan keluarganya juga dihidangkan pancake dan jus anggur.

Pesawat yang membawa keluarga Delores akhirnya sampai di bandara soekarno-hatta, bandara internasional di Jakarta. Delores dan penumpang lain menunggu barang mereka. Setelah dapat, Dad, mom, dan Delores memesan taksi dan menuju tempat tinggal baru Delores. Sesampai di rumah barunya, Keluarga Delores sibuk menyusun barangnya. Setelah selesai, Mom dan Delores pergi ke sekolahan Delores yang baru dengan berjalan kaki. Karena sekolahnya dekat dan mobilnya dipakai oleh dad ke disduk (dinas pendudukan) untuk mengurus surat datang.

Sesampai di sekolah, mom nya Delores segera menuju ruang kepala sekolah. “Permisi.” ujar mom masuk ke ruang kepala sekolah. “Iya, oh ibunya ananda Delores?” tanya kepala sekolah “Iya oh iya, saya mendaftarkan anak saya di sekolah ini.” jelas mom. “Oh iya, mulai bulan depan, Delores bisa sekolah. Karena di Indonesia anak sekolah diliburkan. Dan ini seragam Delores.” jelas kepala sekolah. “Terima kasih” kata mom. “Sama-sama” jawab kepala sekolah. Mom dan Delores segera keluar dari ruang kepala sekolah dan menuju ke rumah.

Sesampai di rumah, Delores langsung tidur siang karena sudah letih. sore hari, Delores bangun dan menemukan surat dari orangtuanya. isinya mereka ke disduk lagi untuk mengurus yang lain. Delores pun segera mandi dan memakai baju bertuliskan ARIES dan bergambar domba dan lambang aries. Ia juga memakai celana jeans panjang. Setelah selesai berpakaian, Delores segera memakai sendal lalu naik sepedanya yang berwarna biru awan ke taman yang berada di dekat rumahnya.

Sesampai di taman, Delores melihat anak perempuan sebaya dengannya. “Apakah anak itu ingin menjadi sahabatku?” tanya Delores dalam hati. Ia lalu memberanikan diri memperkenalkan diri. “Hallo” sapa Delores pada 2 anak itu. “Hallo juga.” jawab mereka bersamaan. “Nama kamu siapa?” tanya anak yang rambutnya ikat satu. “Namaku Delores mince blossom. Aku sering dipanggil Delores. Aku pindahan dari Sydney, Australia. Nama kalian siapa?” jawab dan tanya Delores. “namaku Laudya azzahra putri” kata anak rambut berikat satu. “kalau aku chelsea aura livia” kata anak rambut berikat dua. “Mau tak kalian jadi sahabatku?” tanya Delores pada Laudya dan chelsea. “MAU” ujar mereka semangat. “Delores, Laudya main di rumahku yuk…” ajak chelsea. “yuk” seru Laudya dan Delores.

Mereka pun segera naik sepeda mereka menuju rumah chelsea. Sesampai di rumah chelsea, mereka bermain sepuasnya sampai menjelang senja. “chelsea, kami pulang dulu, ya” kata laudya dan Delores. “Iya, besok janjian di taman pukul 10:00, ya?” kata Chelsea. “OK” kata Laudya dan Delores. mereka pun segera pulang ke rumah masing masing.

Keesokan harinya, Delores bangun, Lalu mandi, setelah mandi Ia memakai baju bergambar kota Sydney dan memakai celana legging putin bergambar buah strawberry dan juga memakai jam tangan warna putih berbentuk bunga. setelah memakai baju, Ia segera turun untuk sarapan. Disana sudah ada mom dan dad nya. selesai sarapan, Ia minta izin untuk ketaman. Orangtuanya mengizinkan. Delores segera pergi menuju taman menggunakan sepedanya.

Sesampai di taman, Delores melihat sahabatnya bermain benda lonjong di tengahnya, ada beberapa lubang untuk dimasukkan biji. Delores menghampiri mereka. “Hai, kalian sedang main apa?” tanya Delores. “Ini namanya congklak. sini aku ajari” kata Laudya. Delores pun diajari cara main. Lama kelamaan Delores jago main congklak. “Ada permainan lain?” tanya Delores. “ENGKLEK” seru Laudya dan chelsea. “Caranya?” tanya Delores. “Seperti ini” chelsea menunjukkan cara bermain engklek. Lama kelamaan Delores jago main engklek.

Setelah puas bermain, mereka membeli jus lalu beristirahat di bangku taman. “Tadi seru ya!”seru Delores sambil menyeruput jus jambunya. “Iya, di Sydney ada permainan seperti tadi?” tanya Laudya sambil meminum jus mangganya. “Di Sydney tidak enak! tak ada permainan kayak di Indonesia.” seru Delores sambil meminum sedikit jus jambunya. “Kamu menyesal tinggal di Indonesia” tanya Chelsea sambil meminum jus alpukatnya. “Ya enggak lah! disini banyak keragaman budayanya?” kata Delores. “Kamu benar, Delores. Kita sebagai warga Indonesia harus melestarikan budaya Indonesia.” kata Laudya panjang lebar. “Kamu benar, Laudya” kata Chelsea dan Delores. “AYO, LESTARIKAN BUDAYA INDONESIA” teriak mereka bertiga.


Karya : Alyaniza Nur Adelawina

NOW I KNOW

“Ta, tunggu!” Teriak Meyla sambil berdiri di depan pintu kelas.

Yang dipanggil tetap tidak menoleh dan berjalan dengan santai menuju depan gerbang sekolah. “Lolita!” Panggil Meyla sekali lagi. Akhirnya, ia mendengus dan berlari tergopoh-gopoh mengejar Lolita sebelum ia pergi menaiki mobil Avanza hitam yang sudah terpakir di halaman sekolah. Lolita tersentak ketika Meyla memegang tangannya sangat kuat, mencegah ia menaiki mobilnya.

“Kenapa, La?” Tanya Lolita yang masih terkejut karena kedatangan Meyla yang tiba-tiba.

Meyla masih ngos-ngosan. Akhirnya setelah ia bisa menguasai dirinya kembali, ia menjawab, “Jadi kan ke salon?” Meyla kembali menarik napasnya.

“Ya iyalah. Nanti aku samper kamu jam 2. Tunggu, aja. Oke?” Lolita melambaikan tangannya dan menarik pintu mobil Avanzanya. Ia masuk dan membuka kaca jendela mobilnya. “Kita ke salon Anitha lagi, ya!” lanjut Lolita sambil mengeluarkan smartphone miliknya, “Nanti aku BBM, kok,” ucap Lolita. Meyla mengangguk sebelum mobil itu meninggalkannya dengan deru mesin yang agak berisik.

“12.15, duh.. kok Pak Lukman belum dateng-dateng, sih?” Batin Meyla sambil melirik jam tangan miliknya yang baru ia beli minggu kemarin bersama Lolita. “Males, ah harus nungguin di Halte. Mana Haltenya penuh sama penjual lagi,” Batin Meyla lagi sambil mendesah. Mau tak mau, ia berjalan dengan sangat terpaksa menuju Halte. Rok abu-abunya yang setinggi mata kaki berkibar-kibar ditiup angin. Ia berusaha merapikan rambutnya yang mulai kusut karena ikut ditiup oleh angin. Meyla melirik sana-sini, mencari bangku yang kosong. Setelah mendapat bangku yang kosong, ia segera mendudukinya sebelum ada orang lain yang mendahuluinya.

Beberapa penjual mulai menawar aneka minuman dan makanan pada Meyla yang dibalas dengan gelengan kepala Meyla. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya sebuah mobil Avanza silver menghampiri Halte. Seseorang yang berada di dalamnya membuka kaca jendela mobilnya, “Mari, Non. Maaf bapak datangnya terlambat, agak macet tadi,” ucap seseorang di dalam mobilnya yang ternyata adalah Pak Lukman, supir pribadi Meyla. Meyla merengut kesal, bibirnya maju beberapa senti. “Gimana, sih Pak Lukman?! On time dong!!” Serbu Meyla begitu memasuki mobilnya. Pak Lukman hanya bisa tersenyum dan mengangguk-ngangguk, sejujurnya, ia tak tahu artinya on time.

Mobil yang dikendarai Pak Lukman pun berjalan dengan kecepatan tinggi, membuat Meyla yang sedang memainkan smarthphonenya tersentak. “Duh, Pak Lukman! Pelan-pelan dong!” teriak Meyla, Pak Lukman pun mengurangi kecepatannya. Sesampainya di rumah, Meyla langsung membanting tas ranselnya ke kursi. Ia segera mengambil smartphone yang berada di sakunya dan segera membuka aplikasi BBM. Meyla segera mengetik pesan singkat dan mengirimkannya kepada Lolita. Tak sampai satu menit, smartphone Meyla berbunyi dan menampilkan balasan singkat dari Lolita. Meyla tersenyum, ia segera mengambil handuk dan bersiap-siap untuk mandi.


Mbak Asti, nama pelayan di salon itu mulai menggunting rambut Lolita dengan sangat hati-hati. Pelayan yang berdiri di sampingnya juga mulai menata rambut Meyla sedemikian rupa, berusaha menampilkan yang terbaik. Akhirnya, kedua pelayan itu tersenyum puas ketika melihat ekspresi senang di wajah Lolita dan Meyla. Lolita masih mematut dirinya di cermin ketika Meyla mengeluarkan beberapa lembar uang ratus ribuan dari dompetnya da menaruhnya di meja kasir. Ibu yang berdiri di kasir itu tersenyum senang.

“Terima kasih atas kunjungannya. Semoga anda puas,” ucapnya.

“Lita, cepetan!” seru Meyla ketika melihat Lolita masih berdiri di depan cermin. Lolita segera mengambil tasnya dan berlari menuju pintu.

“Sorry, Mey!” ucap Lolita sambil nyengir.

Mereka berdua segera menuju mobil yang terparkir di halaman salon itu.

“Ta, mau main dulu gak, ke rumah aku?” tanya Meyla.

“Uum, yeah…” Lolita dengan cepat mengangguk, “Kalau boleh,” lanjutnya sambil membuka pintu mobil dan masuk.

“Boleh, dong!” tukas Meyla. Setelah mereka berdua masuk dan duduk, Meyla langsung menutup pintu mobilnya dan memberi kode kepada Pak Lukman agar segera jalan. Sebagai jawaban, Pak Lukman memutar kunci dan mulai mengendarai mobilnya.

“Waduh, macet,” gumam Pak Lukman. Gumaman Pak Lukman terdengar oleh Meyla, ia segera membuka kaca jendela mobilnya. Yang ia lihat hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang sedang membagikan brosur. “Dek, jangan lupa nonton, ya!” ucap seorang perempuan sambil memberikan brosur kepada Meyla. Meyla menerimanya dengan sangat terpaksa. Lolita yang berada di sampingnya segera merebut brosur itu dari tangan Meyla. “Hey!” seru Meyla terkejut. Lolita hanya nyengir dan dengan fokus mulai membaca satu persatu tulisan di brosur itu.

“Nonton tari Jaipong? Gak salah?” Lolita menatap Meyla, bingung.

“Peduli amat. Tanggal 4 ya pertunjukannya? Wah, itu sih pas-pasan sama tanggal konsernya Raisa. Mending kita nonton konser Raisa aja daripada nonton beginian,” Meyla mengangkat bahunya, tak peduli. Ia menarik kembali brosur itu dan membuangnya ke luar jendela.

“Wah, Non! Jangan gitu, dong! Kan tari Jaipong teh budaya aslina Bandung. Kudu dilestarikan,” tukas Pak Lukman sambil menambahkan beberapa kata dalam bahasa Sunda.

“Loh, Pak! Ini kan cuman brosur buat nonton tari Jaipong. Tapi ngapain sih orang pada rame di situ, Pak?” tanya Lolita.

“Oh, itu mah kayaknya lagi pada ngedaftar buat kursus tari Jaipong. Kalau Non Lita minat, masih sempet kok ngedaftar. Katanya pendaftarannya dibuka dari kemarin sampai minggu depan,” jawab Pak Lukman membuat Lolita menggeleng dengan keras sambil menutup mata. Ia membayangkan dirinya sedang menari Jaipong, uuh.. gak keren nih, keluhnya dalam hati. Meyla tertawa puas melihat ekspresi dan gaya Lolita.


“Anak-anak, tolong perhatikan! Ibu akan membagikan formulir pendaftaran kursus tari Jaipong kalau kalian minat. Tapi, ibu harap kalian semua mau ikut,” ucap bu Nina, guru kesenian sambil membagikan formulir yang dimaksud. Meyla dan Lolita mendengus kesal. Mereka berdua jelas-jelas tidak akan mengikuti kursusnya, walaupun bu Nina memaksa. Meyla dan Lolita memang benar-benar tidak tertarik dengan tari-tarian nusantara. Dan tidak akan pernah. “Karena pengaruh globalisasi, kita semua mulai mengikuti budaya luar. Padahal di Indonesia kaya akan budaya. Di setiap daerah misalnya, pasti selalu terdapat budaya. Budaya itu bisa berupa adat, pakaian, alat musik, musik, bahasa dan tentunya tari-tarian…” jelas Bu Nina panjang lebar memulai pelajaran.

Meyla dengan malas mendengarkan, ia melirik Lolita yang sudah tertidur di sampingnya. Secara tak sengaja Meyla menguap, dan kejadian itu dilihat oleh Bu Nina. Bu Nina hanya bisa memelototi Meyla dan menggeleng-geleng. Ia melanjutkan, “Tetapi, kita jangan terpengaruh oleh budaya luar, karena tentu budaya luar mengandung hal negatif. Kita semua harus bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik. Jangan sampai masa depan kita suram hanya karena kita mengikuti budaya luar. Kita juga jangan malu kalau di bilang ketinggalan zaman…” Bu Nina menarik napasnya sebelum melanjutkan.

“Apalagi kalau sampai kita ikut-ikutan pakai celana pendek sama tank top ke mana-mana. Padahal itu kan ngelanggar norma,” Ia menduduki kursinya. Apaan, kok jadi ke PKn sih? Batin Meyla kesal, ia membuang muka dan menatap ke luar jendela. “Jadi, intinya.. kita harus melestarikan budaya kita. Gak usah repot-repot kok, dari hal kecil aja kita bisa ikut melestarikan budaya Indonesia. Misalnya nih, kalian ikut kursus tari Jaipong aja juga udah ikut melestarikan budaya. Terus ikut ekskul karawitan juga kan bisa melestarikan budaya Indonesia dengan cara memainkan alat musik sederhana. Apalagi pakaian, kita juga kan punya pakaian adat, terus sama Batik, itu kan asli Indonesia. Tapi China mulai niruin, malahan mereka bikin yang lebih bagus. Padahal kita juga bisa kok, asal kitanya mau aja,” ucapan Bu Nina yang panjang membuat Meyla tertarik, perlahan-lahan ia mulai menyimak dengan serius.

“Kalau yang ikut kursus tari Jaipong, ibu kasih tambahan nilai. Soalnya, minggu depan kita mau belajar nari Jaipong. Ibu harap, kalian mau melestarikan salah satu tarian yang berasal dari provinsi yang kita tempatin sendiri, Jawa Barat. Sekian dari ibu, kalau mau ngedaftar, bisa ibu bantu kok. Datang aja ke ruang guru ya.” Ucap Bu Nina sambil bergegas pergi.

Meyla merapikan kembali formulir yang sudah ia lipat-lipat saat Bu Nina menerangkan tadi, ia mulai tertarik. Dengan semangat, Meyla mengambil pulpen dan mulai menulis biodata dirinya serta alasan mengapa ia berminat ikut kursus tari Jaipong. Biayanya tidak terlalu mahal, hanya Rp. 50.000,- selama sebulan. Setelah dipikir-pikir, Meyla menyesal telah menghabiskan banyak uangnya hanya untuk perawatan dan membeli pakaian atau apa pun yang sedang trend. Tanpa memedulikan tatapan aneh dari Lolita yang sudah bangun dari tadi, Meyla melangkah ringan menuju ruang guru dengan senyum di wajahnya.


Karya : Sesilia Della Sagala

PERUBAHAN KEY

Tinggalah dua orang gadis kembar bernama Rey dan Key namun mereka berbeda sifat. Rey memiliki sifat yang ramah sedangkan Key tidak. Orangtuanya meninggal satu tahun yang lalu, sejak saat itulah Rey dan Key tinggal bersama pamannya di kota. Namun kali ini mereka tinggal di desa rumah kakeknya karena paman mereka harus pergi ke singapura untuk mengurus perusahaannya dan tidak bisa membawa Rey dan Key ke singapura pula. Dengan terpaksa paman mereka memindahkan Rey dan Key ke desa. Baru pertama kalinya ini Key tinggal di desa sedangkan Rey sudah berkali-kalinya dan terbiasa tinggal di desa karena setiap liburan sekolah Rey selalu berkunjung ke desa daripada Key yang memilih liburan ke luar negeri.

Bagi Key hidup di desa bukanlah hal yang mudah. Banyak tradisi dan berbagai budaya yang masih melekat pada masyarakat desa. Key sangat tidak suka dengan budaya Indonesia oleh karena itu ia tidak mengenal berbagai budaya Indonesia. Hari ini adalah hari pertama Rey dan Key tinggal di desa. Pagi-pagi sekali sebelum sang surya tampak Rey sudah bangun. Perlahan-lahan sang surya mulai tampak dari ufuk timur. Sang surya kian meninggi menerangi desa Bumiperta. Setetes embun yang tergantung gantung di ujung daun bakung perlahan-lahan mulai lenyap dari pandangan mata. Jam dinding menunjukkan pukul 10.00 wib. Rey sibuk membersihkan gudang.

Terkadang terdengar suara batuk-batuk Rey karena terkena debu yang berhamburan. Dirapikannya barang-barang yang ada di gudang. Dilihatnya berbagai jenis wayang milik kakenya lalu dimainkannya, Rey sangat suka sekali memainkan wayang seperti kakeknya. Dulu bila dia berlibur di desa, setiap malam bulan purnama kakeknya selalu mengajari Rey bermain wayang dan berbagai permainan tradisional lainnya. Sedang asyik-asyiknya Rey bermain wayang, tiba-tiba pintu gudang terbuka dan ternyata neneknya datang.

“Oh Nenek,” ucap Rey sambil melanjutkan bermain wayangnya.

“Tadi Nenek mendaftarkan kamu sama Key sekolah di SD bumiperta yang hanya satu-satunya SD di desa ini, dan besok kalian diperbolehkan masuk sekolah,” ucap neneknya.

“Makasih ya Nek,” ucap Rey.

“Ajak Key main ke luar biar tidak bosan. Sedari tadi Key tidak ke luar kamar kan?” Ucap neneknya.

“Iya Nek. Memang dari tadi Key tidak ke luar kamar,” ucap Rey.

Setelah itu neneknya berlalu meninggalkan Rey dan Rey kembali meneruskan membereskan gudang. Setelah selesai membereskan gudang Rey menuju ke kamarnya di mana di kamarnya ada Key yang sedang memainkan gadgetnya sambil memakan aneka makanan ringan. Key memang suka begitu. Bila ia tidak suka pada sesuatu seperti sekarang ia tidak suka tinggal di desa, ia suka berdiam diri di kamar sambil main gadgetnya.

“Key main ke luar yuk, seru kalau main di luar!” ajak Rey.

“Enggak asyik kalau main di luar. Asyikan main gadget. Di luar panas nanti kalau kulit aku hitam bagaimana?” ucap Key. 

“Key ini bukan di kota yang hawanya panas. Ini di desa hawanya gak sepanas di kota,” ucap Rey.

“Pokoknya enggak, kenapa enggak kamu aja?”

Rey pun ke luar dari kamarnya meninggalkan Key sendirian. Rey duduk di bawah sambil memainkan beberapa wayang kulit semilir angin menerpa wajah Rey yang senang, tiba-tiba kakeknya datang dan juga turut ikut Rey memainkan wayang kulit. Dengan diam-diam Key mengintip Rey yang sedang memainkan wayang itu dari jendela kamarnya. Key bingung apa yang dimainkan Rey itu. Tidak terasa hari ini adalah hari kedua Rey dan Key tinggal di desa dan hari ini adalah hari pertama Rey dan Key sekolah di SD Bumiperta. Rey dan Key memasuki sekolah barunya lalu pergi menuju kelasnya. Di saat jam pertama Rey dan Key memperkenalkan diri. Setelah berkenalan Rey dan Key duduk dan mengikuti pelajaran.

Pelajaran pertama hari ini adalah seni budaya yang bertema alat musik. Bu Inne menyuruh anak-anak masuk ke ruang musik untuk memainkan alat musik daerah dan melihat keterampilan dalam bermain. Satu per satu anak dipanggil dan kini giliran Rey. Dengan senangnya Rey memainkan alat musik angklung. Bu Inne merasa puas melihat kepandaian Rey memainkan alat musik angklung. Dan kini giliran Key. Key maju dengan bingung, ia berdiri kaku sambil menatap alat musik yang ada. Ia bukan bingung harus memainkan alat musik yang mana namun ia bingung bagaimana cara memainkannya. 5 menit lamanya Key berdiri kaku dengan kebingungan.

“Key kamu mau memainkan alat musik yang mana?” tanya bu Inne.

“Saya bingung Bu. Saya tidak tahu cara memainkannya,” ucap Key dengan sedikit malu.

“Baiklah. Saya kira kamu dapat memainkannya. Kalau begitu kamu harus banyak berlatih dan bertanya pada Rey. Setelah pulang sekolah kamu dapat latihan sama Rey. Saya rasa Rey dapat melatih Key,” ucap bu Inne.

“Siap Bu. Saya dapat melatih Key,” ucap Rey dengan semangat.

“Baiklah,”

Setelah pulang sekolah Rey mengajak Key latihan memainkan alat musik. Sebelumnya Rey menjelaskan alat-alat musik yang ada. “Ini namanya angklung, ini terbuat dari bambu alat ini dari jawa barat. Ini gamelan jawa alat ini dari jawa tengah. Ini garantung berupa bilah-bilah kayu yang digantung berasal dari tapanuli,” jelas Rey.

Key menyimak penjelasan Rey dengan saksama. “Kalau yang ini apa?” tanya Key yang menunjuk ke arah sebuah benda seperti gitar. “Ini namanya kecapi, gitar kecil dengan dua dawai. Kalau ini rebab alat musik gesek dari jawa barat. Kalau ini namanya sampek sejenis gitar dari kalimantan. Lalu yang ini namanya gong,” jelas Rey.

Selanjutnya Rey mengajari Key bermain alat musik angklung, karena Key ingin memainkan alat musik angklung. Dengan dibantu Rey perlahan lahan Key dapat memainkannya.

“Ternyata banyak juga ya alat musiknya,” ucap Key.

“Iya. Namanya budaya Indonesia,” ucap Rey.

“Kenapa tadi kamu langsung bisa memainkan alat musiknya?” tanya Key.

“Karena aku selalu berlatih. Setiap aku berlibur di desa aku selalu berlatih diajari Kakek. Kakek jago dalam hal alat musik. Makanya kamu harus tahu budaya Indonesia, kita orang Indonesia seharusnya tahu dong budaya kita,” ucap Rey.

Kedua saudara kembar itu berjalan sambil bergandeng tangan untuk pulang ke rumah. Matahari turut mengiringi langkah mereka untuk menuju ke lomba.

“Bagaimana sekolah kalian? Apa kalian bisa mengikuti pelajaran?” tanya kakek pada suatu hari di bawah pohon mangga.

“Enggak Kek. Sama sekali enggak enak tinggal di desa. Apalagi sekolah baru aku sekarang. Dan ternyata sekolah baru aku penuh dengan budaya Kek. Aku sama sekali tidak menyukai budaya Kek,” ucap Key.

“Justru bagus itu Key. Kalian dapat mempelajari budaya-budaya Indonesia. Kakek memang sengaja menyuruh Nenek kalian untuk mendaftarkan kalian di SD Bumiperta yang penuh budaya agar kalian dapat mengetahui keragaman budaya Indonesia dari sabang sampai merauke dan tidak pernah melupakan keanekaragaman budaya Indonesia. Kakek tahu pasti kamu sudah lupa kan sama kekayaan budaya Indonesia Key?” tanya kakeknya.

“Iya Key memang lupa dengan budaya indonesia, kemarin Kek di sekolahan dia tidak dapat memainkan alat musik,” ucap Rey. Mendengar ucapan Rey. Key tersipu malu. “Kamu harus banyak mengenal kebudayaan indonesia Key. Kakek tidak mau cucu Kakek ini melupakan budayanya sendiri. Rupanya Kakek harus memperkenalkan kamu dengan budaya-budaya Indonesia agar kamu tahu budaya Indonesia. Pasti nanti kamu akan kagum dengan keanekaragaman budaya Indonesia,” ucap kakek.

Hari demi hari dijalani oleh Rey dan Key. Semakin hari Key merasakan tidak betah tinggal di desa Bumiperta yang penuh dengan kebudayaan. Sudah satu minggu lamanya Rey dan Key tinggal di desa. Mau tidak mau Key harus terbiasa dengan hidupnya di desa yang penuh dengan kebudayaan. Siang ini Rey mengajak Key bermain di luar bersama teman-temannya. Kebetulan Key juga bosan di rumah main gadget terus. Kali ini Rey. Key dan teman main permainan tradisional yaitu gobak sodor. Walau Key sedikit bingung cara mainnya bagaimana namun akhirnya ia juga paham. Lalu Key mencoba bermain congklak bersama Fatin.

“Ternyata bermain di luar lebih seru dari pada main gadget,” gumam Key.

“Key, nanti malam mau ikut kita nonton wayang tidak di balai dusun?” tanya Fatin sambil bermain congklak.

“Wayang! Wayang itu film? Film apa?” Key balik bertanya.

Fatin menepuk jidatnya.

“Ya ampun Key. Makanya dong tahu budaya Indonesia. Wayang itu seni pertunjukan rakyat atau teater rakyat dan yang memainkannya adalah seorang dalang. Jenis-jenis wayang itu beragam ada wayang kulit, wayang golek, wayang orang, wayang-wayang krucil, wayang bali, wayang krucil dan masih banyak lagi Key,” jelas Fatin.

“Aku kan tidak suka budaya Indonesia makanya aku gak tahu,” batin Key.

“Ya udah nanti malam kamu juga tahu,” lanjut Fatin beberapa menit kemudian. Sehabis bermain bersama teman-temannya, Key duduk di bawah pohon mangga di halaman rumahnya. Ia menunggu Rey pulang dari rumah temannya. Tiba-tiba dilihatnya Rey dari kejauhan yang berjalan menuju rumah.

“Hai Rey. Oh ya nanti malam nonton wayang yuk?” ajak Key.

“Harus dong kita nonton wayang. Kan ada Kakek,” ucap Rey.

“Kakek juga ikut nonton Rey?” tanya Key.

“Kakek jadi dalangnya,” ucap Rey.

“Dalang itu apa Rey?” tanya Key lagi.

“Dalang itu orang yang memainkan wayang, nanti kamu juga tahu. Ya udah yuk kita masuk ke dalam rumah,” jelas Rey.

Malam pun tiba. Key sudah siap siap untuk pergi menonton wayang di balai desa. Kakek sudah terlebih dahulu pergi ke balai desa. Mala mini Key berangkat dengan Rey, nenek tidak bisa ikut karena sakit.

“Ayo berangkat,” ajak Key.

“Nanti dulu Key baru jam 19.00, wayang belum mulai. Biasanya mulainya jam 21.00,” ucap Rey.

“Yah,” keluh Key.

“Ya udah, sambil menunggu wayang mulai kita main gobak sodor di bawah sinar bulan purnama bersama teman-teman. Itu teman-teman,” ucap Rey sambil menunjuk ke arah teman-teman di depan rumah. Teman-teman mereka melambaikan tangan.

“Ayo lagian aku belum merasakan main gobak sodor di bawah sinar bulan purnama. Pasti seru,” ucap Key.

“Tidak kalah serunya dari pada main gobak sodor di siang hari atau sore hari,”

Pukul 00.00 Rey dan Key baru pulang dari balai desa. Kini Key tahu dalang dan wayang itu apa dan wayang bukanlah film yang dipikirkan Key sebelumnya. Rey dan Key segera tidur terlelap ketika telah sampai di rumah. Waktu berjalan cepat dan semakin hari Key mengalami perubahan. Ia bukan yang dulu lagi yang tidak menyukai dan tidak mengenali budaya Indonesia. Key sadar bahwa budaya Indonesia sangat indah itu yang membuat Key tertarik. Kini Key mencintai budaya Indonesia. Semua ini juga berkat kakeknya yang setiap hari memperkenalkan Key tentang keberagaman budaya Indonesia, hal itulah yang membuat Key semakin tertarik, rasanya Key ingin mengenalnya lebih dekat.

Alat musik seluruh nusantara ia pun hampir dapat memainkannya. Selain dapat memainkan berbagai alat musik ia juga dapat memainkan beberapa jenis tarian, termasuk tarian daerahnya. Key bukanlah orang yang suka memainkan gadget tapi suka memainkan berbagai alat musik. Ia juga sangat menyukai kesenian rakyat seperti reog. Terkadang dalam acara tahunan Rey dan Key mengikuti reog. Mereka adalah saudara kembar yang kini sama-sama mencintai kebudayaan Indonesia dengan tekad ingin mengenal budaya lebih dekat lagi.


Karya : Lia susilowati

KU BAWA NAMAMU KE LUAR NEGERI

Alex Hirano. Namaku? Haha. Mana mungkin orang rendahan sepertiku mempunyai nama sebagus itu dan lagi pula aku adalah perempuan tulen. Alex Hirano adalah nama orang yang akan ku temui di Jepang nanti. Ah, kau pasti mengira aku berbohong tentang pergi ke Jepang nanti, kan? Silakan saja. Mau percaya atau tidak, itu terserah dirimu. Tapi yeah, aku bersungguh-sungguh untuk pergi ke Jepang nanti. Yah walaupun aku tidak mengerti bahasanya sama sekali. Haha, lucu sekali mengingat bahkan aku sama sekali tak tahu semua detail-detail tentang negara matahari terbit itu. Ah, tapi mau bagaimana lagi? Orangtuaku menaruh harapan besar padaku sekarang. Yeah, harapan. Walaupun sebenarnya tidak terlalu cocok untuk disebut sebagai harapan. Kau tahu harapan itu? Pekerjaan. Aku butuh pekerjaan. Dan namaku? Vena. Seperti nama pembuluh darah, Vena.

Siang menjelang tak ubahnya gurun gersang dipanggang pengapian. Panas matahari terasa begitu menyengat di kulitku. Yah, beginilah Jakarta. Selalu tak jauh dari kata-kata buruk seperti macet. Lihat saja, kemacetan sudah tak asing lagi bagi Jakarta. Apalagi banjir. Yeah, banjir. Kau tahu dari mana banjir itu datang? Tentu saja dari sungai-sungai. Sungai yang dipenuhi sampah, itulah sungai yang paling sering terkena banjir. Ya, seperti sungai yang berada di samping rumahku. Haha. Rumah? Ralat, maksudku, gubuk. Gubukku atau kau bisa menyebutnya rumah kalau kau mau- berada tepat di samping sungai yang dipenuhi oleh sampah. Sebagian besar sampah itu bukan berasal dari tempat kami tinggal, tetapi berasal dari orang-orang berotak udang yang melemparkan sampah itu dengan santai ke arah sungai. Dan ya, kau bisa lihat, ujung-ujungnya selalu saja kami yang terkena dampaknya.

“Halo? Bumi memanggil Vena, Bumi memanggil Vena.. kembalilah ke Bumi, Kak Vena,” tegur Reino, adikku.

“Oh, maaf. Kau bilang apa?” tanyaku.

“Aku bilang, mengapa kau tak kunjung pergi? Sekarang sudah lampu merah, malah sudah lewat 10 detik.” Reino meringis ketika ia melihatku menepuk jidatku, “aku tahu, rasanya pasti sakit.” Dan aku hanya tertawa saja untuk menanggapinya.

Setelah itu aku mengambil setumpuk koran yang disodorkan Reino dan langsung pergi menuju mobil ataupun motor yang sedang berhenti karena lampu merah. Tidak sedikit dari mereka yang menganggapku seolah tidak ada, tapi bahkan yang menganggapku ada juga tak mau membeli koran yang ku tawarkan. Ahh, sial. Setan macam apa yang merasuki tubuh mereka? Tidak ada sedikit rasa belas kasihankah pada mereka ketika melihatku berpanas-panasan di bawah matahari hanya untuk mendapatkan uang yang bahkan tidak pantas dihitung pakai jari? Aku melirik ke arah lampu merah yang akan berakhir dalam 5 detik lagi.

Lalu tiba-tiba hal itu terjadi. Sebuah ledakan yang sumber suaranya berada di dekat Reino duduk. Membuatku langsung berlari ke sana. Aku tidak ingin kehilangan Reino. Koran yang ku bawa langsung jatuh berserakan. Mobil dan motor yang tadinya diam, langsung melaju kencang dengan panik, saling mendahului. Membuatku beberapa kali hampir tertabrak karenanya. Dan aku tetap berlari. Ke arah Reino. Menuju Reino. Tindakan yang bodoh. Tetapi aku tidak peduli.


Kejadian dua minggu yang lalu itu masih terbayang di pikiranku. Berputar layaknya sebuah film. Berulang-ulang. Membuatku terus meneteskan keringat dingin dan badanku selalu gemetaran. Bagaimana tidak? Kejadian itu sudah merenggut nyawa kedua orangtuaku. Kau pasti bertanya-tanya, mengapa malah nyawa orangtuaku yang melayang dan bukannya aku atau Reino? Mungkin ini memang keputusan Sang Pencipta. Atau -bagaimana mereka menyebutnya?- ah, atau ini memang sudah takdir. Atau nasib. Atau.. kebetulan? Mungkin yang terakhir lebih pas. Lagi pula, coba kau pikir, aku yakin sewaktu itu aku mendengar suara yang mirip ledakan itu dari dekat Reino. Tetapi begitu aku berlari ke arahnya, dia hanya mengernyitkan keningnya dan memandangku heran karena tubuhku dipenuhi oleh lecet dan keringat.

Tetapi sedetik kemudian dengan panik tangannya menunjuk-nunjuk bahuku, atau lebih tepatnya belakang bahuku. Dan begitu aku berbalik ke belakang, aku harap yang ku lihat itu hanyalah ilusi. Mimpi. Bunga tidur. Khayalan. Atau apalah itu. Aku harap aku tidak melihat kedua orangtuaku yang sedang berlari-lari menuju kami. Aku harap aku tidak melihat semburan api di belakang mereka yang diiringi suara ledakan. Aku harap aku tidak melihat mereka terlempar begitu jauh karena ledakannya. Aku harap aku tidak melihat mereka terkapar dengan tubuh dipenuhi darah. Dan aku harap Tuhan masih mau memberikan mereka napas. Tapi itu tidak terjadi. Orangtuaku meninggal setelah mereka mengatakan keinginan terakhirnya, keinginan yang merupakan keinginanku juga. Yaitu pekerjaan. Mereka berdua berharap agar aku mendapatkan pekerjaan yang layak.

“Bu, menjadi penjual Koran saja sudah layak disebut pekerjaan. Dan aku sudah merasa cukup akan hal itu.” Aku menatap mata ibu yang sayu dan teduh.

“Cukup bagimu bukan berarti cukup bagi Reino. Ia masih sepuluh tahun, tak pantas bekerja sepertimu. Jadi tolonglah, cari pekerjaan yang baik. Untuk adikmu, dan untuk Ayah Ibumu juga, Ven.”

Satu tetesan air matanya ke luar ketika tangannya yang dipasangi selang infus mengelus rambutku. Aku tersenyum pedih. Tiba-tiba Ayah datang memakai kursi roda. Sebenarnya ia tidak lumpuh. Tapi tenaganya sudah tak bersisa lagi dan itu membuat Ayah tak bisa menopang tubuhnya sendiri. Ia sering limbung atau jatuh secara tiba-tiba ketika dulu, sebelum ledakan itu belum benar-benar membuat tubuhnya makin melemah. “Ya, kau harus mendapatkan pekerjaan yang berpenghasilan besar, Ven.”

“Tapi, Yah, bagaimana aku bisa mendapatkannya?” aku meringis pada Ayah.

“Kebetulan Ayah kenal dengan teman semasa kecil Ayah yang sudah sukses dan sekarang ia tinggal di Tokyo, Jepang. Seingat Ayah, Ayah masih menyimpan alamatnya dan nomor teleponnya. Kau harus ke sana, Ven, kau harus meminta pekerjaan padanya.”

Ayah menunjuk ke arah tas kumal miliknya yang terletak di samping Ibu. Beliau lalu memutar roda kursi rodanya dan berjalan menuju tas miliknya. Aku menggigit bibir bawahku dan mengedarkan pandangan. Apakah benar hidup harus sesial ini? Pikirku tak karuan. Terlalu banyak pertanyaan yang berenang-renang di kepalaku dan membuatku tak sabar untuk mengajukannya pada yang di atas sana. Tak lama setelahnya, Ayah langsung menghampiriku dengan sejumlah uang dan kertas putih yang sudah ada beberapa angka di atasnya. “Ini ongkosmu dan juga nomor teleponnya. Jika kau sudah tiba di sana, segeralah telepon dirinya.”

“A..apa? Ongkosmu -maksudku ongkosku? Jadi..hanya aku?” kedua alisku bertaut. Mukaku semakin kikuk dan berubah masam tatkala Ayah mengangguk lesu. Yeah, aku tahu uang Ayah dan Ibu pasti tidak akan mencukupi ongkos kami sekeluarga untuk pergi ke Jepang, tapi setidaknya mereka tak usah memaksaku untuk pergi ke sana, itu hanya akan membuat kami makin melarat.

Kepalaku terus menerus menggeleng tapi hatiku dan tanganku tak mampu menolak. Tanganku tetap menerima uluran tangan Ayah yang sedang menyodorkan beberapa lembar uang yang bernominal tinggi. Setelah uang beserta kertas itu berada dalam genggamanku, aku langsung menatap wajah Ibu dan Ayah. Tampak kesungguhan dan kesedihan yang meluap-luap yang terdapat di ekspresi wajah mereka dan itu membuatku tak tahan untuk tidak menangis. Tapi aku bukan wanita cengeng. Jadi aku hanya berlari. Meninggalkan mereka. Tindakan yang bukan cengeng melainkan pengecut. Yeah, aku seorang pengecut yang meninggalkan orangtuanya tanpa tahu bahwa besok ia tak bisa melihat orangtuanya lagi.

Reino lagi-lagi membuyarkan pikiranku dengan tepukan lembut di bahuku. “Kak, berat ya untuk pergi ke Jepang?” Tanya Reino polos. Aku tersenyum tipis dan berpura-pura tidak menangkap maksud perkataannya, “Berat? Mungkin berat bawaannya? Yeah, mungkin saja..” aku sengaja menggantungkan kalimatku karena aku yakin Reino -walaupun usianya baru sepuluh tahun- bisa menangkap maksud perkataanku. Sedetik setelah adegan canggung akhirnya ia berinisiatif mengangkat koperku ke dalam bagasi taksi yang barusan tiba di gubuk kecil kami. Aku mencoba menangkap dan mengingat garis wajah Reino yang tampak lelah agar aku tak lupa padanya selama di Jepang. Ahh, Reino.. aku pasti akan merindukanmu. Rindu dari Jepang sana.


Apartemen nomor 402 kini berada di hadapanku. Tanpa basa-basi lagi pintunya langsung ku ketuk. Tapi hasilnya nihil. Walaupun sudah ku ketuk beberapa kali tetap saja tidak ada sahutan dari dalamnya. Dengan sabar aku pun terus mengetuk pintu itu sampai kudengar ada suara langkah kaki yang diseret dengan berat, tapi bukan dari dalam apartemen itu, melainkan dari sampingku. Aku segera menoleh ke samping dan mendapati seorang bapak-bapak tengah tersenyum padaku. Aku pun membalas senyumnya dan melemparkan pandangan kesal pada pintu apartemen 402. Sepertinya bapak-bapak itu mengerti aku yang tidak mengerti bahasa Jepang dan langsung mengibas-ngibaskan tangannya. “Alex Hirano?” tanyanya.

Aku mengangguk sambil tersenyum kembali. Tetapi yang ku dapati tetaplah kibasan tangan yang menandakan bahwa Alex sedang tidak ada. Ia menunjuk tulisan yang berada di atas pintu apartemen tersebut. Ketika aku mendongakkan wajahku, maka ku dapati kertas yang bertuliskan bahasa Inggris yang berarti ‘Apartemen Kosong’. Bapak-bapak itu mungkin menyadari raut wajahku yang tiba-tiba berubah karena ia langsung mengajakku ke sebuah ruangan yang mirip kantor. Ternyata ia mau menawariku apartemen miliknya dengan harga miring karena ia tahu bahwa aku tidak mempunyai uang lebih -walaupun kenyataan itu menyakitiku- dan aku langsung menerima tawarannya tanpa basa-basi lagi.

Aku berada di sebuah tempat asing. Tak punya siapa-siapa. Aku tidak pernah membayangkan hidup sebatang kara seperti ini. Aku benar-benar sebatang kara, tanpa teman, dan keluarga. Alex yang seharusnya menjadi tujuan utamaku datang ke sini, malah tak ada. Nomor teleponnya pun tak pernah tersambung. Dan lagi, aku tak tahu bagaimana caranya untuk pulang. Tumpukan baju yang acak-acakan di koperku langsung membuatku terpaksa untuk membereskannya. Sekali lagi ku katakan, dengan terpaksa. Tapi tak apalah, yang penting kerjaanku bukan hanya melamun saja.

Ketika sedang mengeluarkan baju-baju dari dalam koper, mataku tertuju langsung pada pakaian yang dari modelnya saja sudah tertebak bahwa itu baju Kebaya atau baju adat Jawa Barat, tempat asalku. Tiba-tiba pikiranku berjalan begitu saja, menggali memori-memori dalam-dalam, memori yang sangat ingin ku lupakan karena mengingatkanku akan Indonesia dan orangtuaku. Tapi memori-memori itu memaksa untuk ke luar, memaksa pikiranku untuk bekerja dan menampilkan ingatan-ingatan dulu berputar seperti film. Dengan munculnya memori itu aku terpaksa menuruti egoku untuk membuang baju ini saja. Toh di Jepang ini tak ada harganya.

Aku sedang berjalan menuju tempat sampah ketika dering telepon -milik ayahku- mendadak berbunyi. Dengan malas aku menyimpan kembali baju kebayaku dan meraih teleponku sambil menggerutu, di situ tertera jelas nama pemilik penginapan ini. Ah sial. Pasti ia menagih hutang-hutang layanan laundry-nya. Telepon yang setengah terangkat itu akhirnya ku letakkan lagi. Lagi pula percuma, aku tidak akan mengerti apa yang ia ucapkan dan aku tak tahu bagaimana caranya aku mendapat uang untuk membayar tagihan laundry yang menumpuk itu. Memang, selama seminggu di Jepang ini aku sama sekali belum mendapatkan pekerjaan. Berbahasa Jepang saja aku belum tahu, bagaimana mau melamar pekerjaan?


“Hey, look, there is a crazy people..ahaha..”

Seorang wanita tinggi dan berkulit putih yang melintas di depanku terus-menerus menunjukku sambil tertawa bersama teman-temannya. Aku tersenyum pada mereka dan mereka balas menyeringai padaku. Meskipun begitu, aku tetap tersenyum dan itu membuat tawa mereka semakin keras yang tiba-tiba menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya. Setelah orang-orang itu mengerti apa yang sedang terjadi, mereka semua datang dan mengerumuniku lalu kompak memaki-makiku. Seorang bapak-bapak yang berpakaian layaknya satpam datang menghampiriku dan membentakku, “Go away from here, stupid!”

Seruan yang dilontarkan bapak-bapak itu membuatku gentar dan langsung berhenti lalu mematikan tape yang sedang memutarkan musik tradisional. Tapi bahkan sebelum aku sempat untuk mematikannya, bapak-bapak itu sudah memanggil teman-temannya dan mereka langsung menyeretku menuju mobil dan membawaku ke kantor polisi. Aku yang sedang lemas dan tak tahu apa-apa tak bisa memberontak ataupun melawan pada mereka. Badan mereka semua terlalu besar bagi tubuhku yang hanya memiliki berat badan tak lebih dari lima puluh kilogram.

Begitu tiba di sana aku kembali diseret menuju ruang yang terdapat meja dan seorang wanita muda memakai kacamata yang sedang menatap padaku dan langsung mempersilakanku duduk. Dengan tubuh gemetar aku tersenyum padanya dan menjelaskan dengan bahasa inggris yang kacau bahwa aku berasal dari Indonesia dan tak bisa berbahasa Jepang. Ia kemudian mengangguk dan mulai memberiku beberapa pertanyaan seperti namaku dan tempatku tinggal sekarang dengan bahasa inggris yang bagiku rumit karena aku tak pernah belajar bahasa inggris sebelumnya.

Setelah melewatkan 20 menit dengan hati berdegup tak karuan akhirnya aku dipersilakan ke luar dan pulang. Tentu saja aku harus dibebaskan karena sebenarnya aku ini tak bersalah walaupun aku membuat sedikit keributan di taman pusat. Tapi sebelum pulang wanita itu memberiku nomor teleponnya, ia bilang bahwa ia tertarik untuk melihatku menari tari tradisional, tari Jaipong. Yeah, tari Jaipong. Sebenarnya tadi siang aku terpaksa datang ke taman pusat untuk mempertunjukkan tari Jaipong ini agar aku bisa mendapat uang dengan menari. Tapi nyatanya tidak, aku malah dianggap orang gila yang membuat onar di taman. Menyedihkan. Ternyata wanita yang ku temui kemarin di kantor polisi itu juga selain menjadi polisi wanita, ia juga menjadi guru tari. Sebenarnya hal itu tidak membuatku tertarik atau terkejut, tetapi karena katanya ia bersedia memberiku gaji agar aku mau mengajar tari di sanggarnya juga, akhirnya aku tertarik juga. Ia bilang bahwa aku bisa mulai kerja besok pagi-pagi.

Tepukan tangan yang membahana mengisi seluruh ruangan dengan panggung yang di atasnya berdiri seorang perempuan dengan pakaian lengkap adat Jawa Barat. Gadis itu adalah muridku. Namanya Mia. Sebelumnya ia adalah seorang anak pemalas yang beranggapan bahwa ia tak mempunyai bakat apa-apa. Tetapi ketika ku lihat ia berdiri di samping jendela sanggar, menatapku dengan mata berbinar, dan mencoba mengikuti gerakan tari Jaipongku, akhirnya hatiku tergoda juga untuk mengajaknya agar mau ikut latihan bersama kami. Awalnya dengan dagu terangkat ia menolak dan langsung berlari. Tetapi keesokan harinya ia datang dengan formulir pendaftaran dan senyum manis, lalu tanpa basa-basi lagi kami segera latihan. Aku senang aku bisa mengajari mereka tari Jaipong, walaupun pada awalnya mereka sama sekali tak mengenal tari ini dan malah menganggap tari ini adalah sebuah lelucon. Tapi aku tidak menyerah. Dan, sekarang aku bisa lihat hasilnya di depan mataku.


Karya : Sesilia Della Sagala

SAMPUR TERAKHIR

Lina mematikan musik lalu duduk di sebuah bangku. Raut wajahnya menampakkan dirinya sedang tidak bersemangat. Rifa yang melihat Lina bertingkah aneh akhir-akhir ini lalu menghampiri Lina.

“Kamu ini kenapa Lin? lagi ada masalah?” Tanya Rifa sambil duduk di sebelah Lina.

“Jujur Mbak, aku bosan dengan tari yang selalu kita bawakan saat ada acara pentas seni. Coba deh kita bikin tari yang menakjubkan, yang bisa bikin orang terpana melihat kita, kan nantinya kita bisa terkenal.” Usul Lina sambil memainkan selendang yang dibawanya.

“Oh, jadi itu yang bikin kamu tidak semangat untuk menarikan tari ini? Kalau begitu mulai besok mbak pikirkan tari apa yang bisa bikin kamu semangat menari, setuju?” hibur Rifa sambil merayunya dengan menggantungkan sampur merah di leher Lina. “Yang benar mbak? Aku setuju sekali!” jawab Lina girang.

“Ya sudah, sekarang kita bereskan semuanya, sudah jam 5 sore,” kata Rifa sambil beranjak berdiri dan berjalan menjauh dari bangku tersebut. Lina kemudian mengikutinya.


Seperti yang dijanjikannya pada Rifa, Lina langsung menuju ke balai budaya, tempat ia dan Rifa berlatih tari. Sampai di sana, ternyata Rifa belum berangkat, padahal biasanya Rifa selalu datang lebih awal. Beberapa menit kemudian Rifa datang sambil berlari- lari dari kejauhan.

“Lina, ada berita bagus!” kata Rifa sambil menetralkan napasnya.

“Berita apa Mbak?” tanyanya penasaran.

“Ada perlombaan tari untuk umum. Hadiahnya besar, pemenang utama mendapatkan satu juta beserta piala dan piagam penghargaan,” jawab Rifa sambil tersenyum senang.

“Lombanya kapan? Aku ingin ikut mbak, ayo kita ikut lomba itu,” ajak Lina bersemangat.

“Kapannya? Aku lupa Lin, kayaknya masih sebulan lagi deh, cukup buat kita bikin tari baru lagi.” Jawab Rifa sambil mengingat-ingat.

“Ya, masih ada waktu. Bagaimana koreonya Mbak? Apakah kita akan membawakan tari tradisional lagi?” tanya Lina.

“Ya, aku sedang memikirkannya, sekarang kita mulai saja buat gerakan tarinya. Bagaimana kalau paduan tari tradisional dengan modern?” Usul Rifa sambil mengeluarkan sampur miliknya. “Hem, bagus juga itu. Bagaimana kalau tari Rama Sinta dipadu dengan gerakan dramanya? Bagian modern bisa kita selipkan dengan memasukkan satu atau dua orang lagi sebagai Hanoman dan Rahwana. Kayaknya lucu. Gerakan tari modern untuk tokoh Hanoman.” Usul Lina berapi-api.

“Oh iya Lin, ide luar biasa. Berarti, satu kelompok harus terdiri dari tiga atau empat orang.” Kata Rifa yang pastinya membuat Lina mengangguk bingung memikirkan penari tambahan.

“Siapa ya yang bisa menari lagi? Bentar aku ingat dulu, ada seorang temanku yang pintar menari, namanya Putri, ayo kita tanya ke dia, siapa tahu dia mau ikut,” usul Lina pada Rifa. Rifa mengangguk lalu mereka bergegas menuju ke rumah Putri. Sesampainya di rumah Putri, Lina menuju ke depan pintu dan mulai mengetuk pintu rumah Putri. Saat pintu terbuka, terlihat Putri yang mengenakan kaos olah raga dan membawa tas.

“Ada apa Lin?” tanya Putri sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tasnya.

“Kamu mau tidak ikut menari bersama kita untuk lomba, soalnya kita kekurangan seorang penari lagi.” jelas Lina sambil terlihat memohon kepada Putri.

“Waduh, tetapi maaf banget ya Lin, masalahnya aku sibuk sekali jadi tidak ada waktu buat latihan tari. Kamu tahu sendiri kan aku saja sekolah seminggu tiga kali, maaf banget ya Lin.” Ucap Putri sambil meminta maaf.

“Ya sudahlah kalau gitu, terima kasih ya Put,” jawab Lina sedikit kecewa dan beranjak pulang. Jawaban Putri membuat idenya mungkin akan sia-sia.

“Hei.. kok melamun, dari mana sore-sore gini?” tanya Tika. Teman satu sekolah Lina.

“Ehm.. rumah Putri Tik.”

“Memangnya ada apa?” tanya Tika lagi.

“Aku lagi mencari seseorang yang bisa menari untuk ikut lomba menari bersama kita. Ku kira Putri bisa, ternyata dia super sibuk.” Jawab Lina pada Tika.

“Lomba menari? Kalau aku boleh ikut tidak?” tanya Tika menawarkan diri. Sesaat Lina dan Rifa saling berpandangan. Setelah Rifa mengangguk akhirnya Lina pun menyetujuinya.

Latihan tari pertama kali hari ini membuat Lina, Rifa, dan Tika senang. Mereka bersama-sama membuat gerakan tari, mencari musik yang sesuai, dan saling bercanda saat istirahat. Walaupun gerakan tarinya belum seberapa, tetapi mereka sudah sangat bagus membawakan tarinya bersama.

“Hari ini sangat menyenangkan Lin, aku jadi semakin suka menari deh,” ujar Tika sambil tersenyum senang.

“Iya Tik, aku juga senang sekali, ini kesempatan kita untuk menunjukkan bahwa anak muda juga mampu berkreasi dan mengangkat budaya jawa. Dan ini tidak membosankan seperti yang orang pikir.” kata Lina bersemangat.

“Gimana latihan hari ini? masih semangat buat kedepannya?” tanya Rifa. Mereka berdua mengangguk dengan senyuman. Rifa memberikan acungan jempol kepada mereka berdua. Latihan hari ini berakhir karena hari sudah semakin sore.

Menit demi menit, Jam demi jam, hari demi hari, hingga tiga minggu sudah terlewati. Gerakan tari yang dirancang oleh Lina, Rifa, dan Tika mulai menampakkan kesuksesannya. Walaupun belum selesai, tetapi mereka akan berusaha membuat setiap detik yang mereka tarikan menjadi sempurna. Dengan semangat yang Rifa berikan kepada Lina dan Tika menjadikan mereka semakin bersemangat. Mereka sering melewatkan waktu untuk bermain dan sering berlatih tari hingga malam. Kadang mereka juga ditegur oleh orangtua mereka, tetapi mereka bersikeras untuk tidak berhenti berlatih agar tari yang mereka bawakan tidak mengecewakan. Sore itu latihan berakhir pukul 5. Lina, Rifa, dan Tika berkemas untuk pulang.

“Lina, jika besok aku tidak bisa latihan, kamu dan Tika harus tetap latihan ya? Untuk kesuksesan kelompok tari kita ini,” ucap Rifa sambil tersenyum sedih.

“Kok ngomong gitu sih Mbak?” Protes Lina. Tika mengangguk setuju dengan pertanyaan Lina. Tapi Rifa hanya tersenyum dan menggeleng.

“Ngg.. aku pulang duluan ya,” Ucap Rifa dan berlalu. Hal itu membuat Tika dan Lina merasa sedikit aneh. Tapi keduanya tak lagi membahas masalah itu. Mereka hanya tahu, Rifa sangat ingin mereka bertiga bisa mengikuti kompetisi tari ini.

Malamnya, handphone Lina bergetar. Tampak ada beberapa pesan masuk yang terlihat dari layar. Saat Lina membaca pesan itu, Lina terlihat tegang dan kaget. Handphone-nya jatuh dari genggaman. Pesan itu membuat sekujur tubuhnya lemas dan Lina jatuh tersungkur di depan rumahnya sambil menangis histeris. Ternyata pesan tersebut berasal dari beberapa temannya, mereka mengabarkan berita duka. Rifa mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang dari sekolah dan mengalami luka parah di bagian kepala dan kaki yang menyebabkan dirinya menghembuskan napas terakhir di tempat kejadian. Seluruh otot tubuh Lina mengendur. Ia begitu lemas dengan kesedihan yang mendalam.

Seseorang yang kini telah dilapisi oleh kain putih masih menjadi tangisan di rumah duka. Banyak orang yang tak sadarkan diri karena merasa tak percaya jika Rifa pergi secepat itu. Teman-teman, guru, dan saudaranya memenuhi rumah duka. Mereka ingin melihat seseorang yang sangat mereka sayangi untuk terakhir kalinya. Setelah acara pemakaman selesai, para pelayat mulai pergi karena panasnya sinar matahari. Lina, Tika dan keluarga Rifa masih menangisi tanah bertabur aneka bunga di hadapan mereka. Setelah pulang dari pemakaman itu, Lina teringat akan lomba tari yang ia tekuni bersama Tika dan Rifa tinggal seminggu lagi. Lina sudah tidak memikirkan hal itu lagi. Lina ingin berhenti latihan lagi. Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Saat Lina membukanya, terlihat Tika yang masih mengenakan baju berwarna serba hitam.

“Ada apa Tik? Maaf aku sepertinya tidak akan lagi menari. Jadi ini, apa yang dikatakan Mbak Rifa sore itu? Sampur yang dia sampirkan di pundakku itu, apa artinya?” Ucap Lina lesu. Air matanya masih mengambang di pelupuk.

“Apa yang kamu katakan barusan? Kamu masih tidak mengerti?” tanya Tika tak percaya.

“Aku serius.” Jawab Lina lagi.

“Kamu ingat tidak perjuangan kita? Perjuangan kamu dan Mbak Rifa? Yang bela-belain latihan sampai malam, yang kita lakukan bersama, Kamu ingat? Mbak Rifa yang selalu memberikan semangat untuk kita, walaupun kadang kita mengeluh. Ingat? Dan.. impian kita melestarikan budaya jawa di Gunungkidul ini?” Tukas Tika menahan kesedihannya.

“Aku tahu, tapi.. aku akan selalu teringat mbak Rifa jika aku menari lagi,” ungkap Lina.

“Aku juga sama seperti kamu Lin. Aku juga pasti akan teringat sosok mbak Rifa saat menarikan tari itu. Tetapi apakah kamu tidak berpikir kalau kita berhenti menari akan membuat mbak Rifa sedih? Seharusnya kita menghargai perjuangannya agar kita terus berkarya dalam seni tari di daerah kita,” jelas Tika. Lina tersentuh mendengar jawaban Tika.

Akhirnya dengan banyak ajakan dan permintaan yang sangat mendalam dari Tika, semangat Lina bangkit lagi.

“Baik, aku akan melanjutkan semua usaha kita. Mbak Rifa sudah pergi, tapi semangatnya masih ada di sini. Di sampur ini.” Ucap Lina akhirnya. Tika mengangguk haru.

Akhirnya mereka harus mencari seorang penari lagi, mereka kebingungan karena waktu sudah semakin sedikit.

“Aku akan memohon pada Putri. Aku yakin dia pasti mampu dan mau, jika dia benar-benar mengerti kepergian Mbak Rifa.” Usul Lina. Tika pun setuju dan keduanya menemui Putri.

Hasilnya, Putri bersedia bergabung ke dalam kelompok tari mereka setelah mendengar kabar tentang kepergian Rif. Lalu mereka mulai berlatih tari seperti dulu lagi tanpa Rifa. Mereka dengan sabar mengajarkan Putri gerakan demi gerakan. Tak terasa lomba tinggal esok hari. Putri sudah bisa menguasai seluruh gerakan dengan sangat indah karena daya tangkapnya tinggi. Lomba yang ditunggu-tunggu pun tiba. Para peserta lomba yang telah hadir di gedung tari tersebut sangatlah beragam. Kostum yang mereka gunakan sangat indah dan menarik. Tetapi Lina, Putri dan Tika selalu optimis. Saat pengambilan nomor, mereka mendapatkan urutan tampil terakhir dari 24 peserta lomba. Itu tidak menyurutkan percaya diri mereka.

Satu per satu para pementas tampil di depan dengan tarinya yang sangat unik dan menarik. Hingga sampailah pada nomor urut ketujuh. Lina, Putri, dan Tika selalu berdoa dan berharap agar penampilan mereka sekaligus penampil terakhir jauh lebih istimewa dibanding sebelumnya. Saat mereka naik ke panggung, Tika agak gugup dan gerakannya agak terpatah-patah. Lina yang melihatnya berusaha memberikan senyuman bebas kepada para juri. Tika yang saat itu melihat Lina menari dengan santai mulai mengikutinya dan beranggapan hari ini dia latihan tari seperti biasanya. Setelah turun dari panggung, mereka bertiga dipersilakan duduk di kursi para penampil untuk mendengar peraih juara yang akan dibacakan oleh juri. Lina, Putri, dan Tika sangat penasaran dan tetap bersikap tenang. Saat diumumkan pemenang ketiga, mereka agak mendesah karena bukan kelompok mereka yang disebutkan.

“Juara kedua diraih oleh peserta dengan nomor undian 3,” teriak sang pembawa acara. Mereka semakin putus asa saat juara kedua juga tidak diraih oleh mereka.

 “Dan juara pertama adalah… peserta dengan nomor undian 15! Selamat kepada para pemenang!” teriak pembawa acara yang membuat hati Lina, Tika, dan Putri tercabik-cabik. Mereka sangat kecewa karena mereka tidak bisa membawa piala seperti yang diinginkan almarhumah Rifa dulu. Tetapi terlihat seorang juri yang naik ke atas panggung dan membisikkan sesuatu kepada pembawa acara. “Oh ternyata, masih ada satu piala lagi untuk juara koreografi favorit! Selamat kepada para nomor undian 7 yang berhasil meraih juara koreografi favorit!” Teriak pembawa acara membuat mereka syok.

“Keempat juara kita ini, akan ditampilkan pada Perayaan HUT Gunungkidul tahun ini.” Tambah sang pembawa acara. Tika, Lina dan Putri tidak percaya nama mereka disebutkan. Mereka saling berpelukan dan berteriak histeris. Mereka sangat bangga saat piala, piagam serta uang pembinaan mereka bawa pulang, meskipun mereka belum berhasil menjadi juara pertama. Kemudian mereka menuju ke makam Rifa, dan menunjukkan piala juara koreografi favorit hasil jerih payah mereka. “Mbak, kita berhasil mendapatkan apa yang mbak Rifa impikan,” kata Lina sambil meletakkan piala itu di atas tanah bercampur bunga yang telah mengering.

Mungkin apa yang kita impikan tidak akan selalu terwujud, tapi jika kita berusaha, pasti akan ada sesuatu yang dapat kita raih. Sekecil apapun itu.


Karya : Gabriella Ryantica

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...