Siang hari langit teduh dan tampak kebiruan. Matahari bersinar terang tanpa segumpal awan pun yang menghalangi rerimbunan rumpun pohon bambu. Sejuk angin yang berhembus dari celah rerimbunan pepohonan yang mengelilingi desa menambah kesejukan siang itu, serta menambah keasrian suasana alam desa. Itulah desa Penglipuran. Tempat aku dilahirkan, dibesarkan bahkan yang telah memberiku nafkah untuk penyambung hidup.
Suara rumput terbelah oleh langkah kakiku. Dengan telaten sepasang tanganku memetik pucuk-pucuk Cemcem di perkebunan tak terawat yang tak jarang akan ada ular yang tersembunyi. Aku tak pernah peduli dengan hal itu. Dengan sigapnya tangan mungil ini mengumpulkan daun-daun Cemcem.
Kudengar suara kresekkresok dari semak, yang membuatku mengehentikan sejenak kegiatanku. Beberapa detik aku terdiam, mengamati area sekitar. Detik selanjutnya, dengan gerakan secepat mungkin kumasukkan daun Cemcem ke karung besar. Kukayuh sepeda tuaku keluar dari tempat ini.
Daun cemcem adalah daun yang dapat diolah menjadi loloh segar yang bermanfaat bagi kesehatan yang juga merupakan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Desa Penglipuran. Aku dan ibu tinggal di sebuah gubuk kecil yang sudah tak layak ditempati. Ibuku seorang pembuat loloh, dari hasil berjualan loloh cemcemlah aku dan ibu bisa memenuhi kebutuhan hidup. Dalam urusan sekolah aku hanya bisa mengandalkan beasiswa dari sekolah. Terkadang aku iba melihat ibu harus membanting tulang memberiku uang jajan.
Minggu pagi ini sangat cerah. Matahari dengan ramah menampakkan wajahnya untuk mengusir udara dingin. Aku telah siap membantu ibu untuk berjulan loloh cemcem. Kubawa 50 botol loloh cemcem menuju pasar Kidul. Kukayuh sepedaku dari rumah sampai pasar Kidul, yang jaraknya agak jauh di pusat Kota Bangli.
Braakkkkkkk…
Aku terjatuh dari sepeda yang penuh dengan loloh cemem. Sebuah mobil mewah tak sengaja menyenggolku yang tepat berhenti mendadak di sampingku. Kudengar si pengendara keluar dan melihatku yang jatuh telah tergeletak ini.
“Luh Sekar? Jadi kamu pedagang loloh cemcem itu?”
Sambil menahan rasa sakit dan perih, kucoba menebak pemilik suara itu.
Dengan bertopang telapak tangan kiri, kudapati Kadek Ayu berdiri acuh di depanku. Seorang Seorang gadis sombong yang akan menindas siapa saja anak miskin yang dikenalnya. Kadek Ayu seorang anak pejabat, apa yang belum dimiliki bisa ia minta pada orangtuanya dan kemudian dipamerkan di sekolah.
“Maaf ya aku nyerempet kamu. Aku nggak sengaja,” ujarnya singkat.
Sembari meninggalkanku tanpa menghiraukan botol lolohku yang sebagaian masih berserakan. Rasa perih pada siku dan lutut kutahan. Kucoba berdiri tak kuhiraukan luka ini. Dengan cepat kurapikan kembali botol loloh cemcem yang jatuh berhamburan. Kembali kukayuh sepeda ini menuju pasar Kidul Bangli. Dengan semangat 45 kujajakan loloh cemcemku. Beberapa botol loloh sudah laku terjual, rasa sakit dan perih pun kini tak terasa.
Hari semakin siang, suasana pasar sudah tak seramai tadi. Aku pun memutuskan pulang dan menitipkan sisa loloh cemcem ini di warung Jero Balian.
Setibanya aku di rumah, kuserahkan uang hasi berjualan pada ibu, tak lupa kusampaikan sisa beberapa botol loloh kutitip di warung Jero Balian.
“Luh ada apa dengan siku dan lututmu?” tanya ibu melihat bekas cucuran darahku.
“Tadi tak sengaja Kadek Ayu telah menyenggolku,” jawabku singkat.
Tak ingin memanjakan luka ini, aku pun mulai beraktivitas seperti biasa. Seperti makan siang dengan setengah piring nasi dan sejumput garam dan membantu ibu memetik daun Cemcem di tegal di belakang rumah.
Keesokan harinya, aku tidak siap mental mendengar perkataan Kadek Ayu yang sudah pasti membuatku malu. Dengan rasa malas, aku bangkit dan membantu ibu, setelah itu sudah pasti aku bersiap berangkat sekolah. Aku pun berpamitan dan berdoa di pelinggih yang ada di pekarangan rumah. Kukeluarkan sepedaku dan mengayuhnya dengan semangat pagi.
Setibanya di sekolah kuparkir sepeda. Dengan pelan kulangkahkan kaki menuju ruang kelas. Semua tatapan aneh terarah padaku.
“Apa yang sedang terjadi?” batin ini bertanya-tanya.
Tanpa mempedulikan pandangan itu, kulanjutkan berjalan menuju ruang kelas yang jauh berada di dalam gedung sekolah.
“Hai gadis pedagang loloh,” sapa seseorang di sambut gelak tawa orang-orang di sekitar.
Wajahku bersemu merah, dengan cepat kaki ini melangkah menuju tempat duduk di pojok paling depan.
Kesabaran kulatih sebelum guru IPA datang untuk menghentikan suara gaduh yang membuat telingaku panas. Dan, hal itu berlangsung cukup lama menjelang bel masuk yang akan berbunyi lima belas menit lagi.
“Kepada anak kami Luh Sekar Prabawati, diharapkan menemui bu Sang Ayu Tirta sekarang,” Suara yang terdengar satu sekolah itu mengagetkanku. Dengan langkah ragu-ragu aku beranjak ke luar dengan tujuan menemui bu Sang Ayu Tirta.
“Pasti tagihan uang koperasi,” ledek Kadek Ayu kembali mengundang gemuruh tawa seisi kelas. Aku berusaha keras menahan tangan yang sudah terkepal untuk tidak langsung menghajar Kadek Ayu yang masih saja mengeluarkan kata-kata menghina.
“Tidak sepantasnya kamu menghina Luh Sekar seperti ini. Dia memang seorang gadis pedagang loloh. Asal kamu tau, loloh cemcem itu sangat bermanfaat dan berkhasiat. Apa kamu tau ayah dan ibumu sering menikmati loloh cemcem buatan Luh Sekar?” cetus Komang Yuni membuat suasana hening seketika.
Kulihat Kadek Ayu terdiam.
“Benar yang dikatakan Mang Yuni. Sekarang aku tak bisa terus berpihak padamu lagi Dek Yu. Aku tau dia seorang pedagang loloh cemcem. Apa salah dia bekerja seperti itu? Pernahkah kau merasakan betapa enak dan segarnya loloh cemcem itu? Pernah?” hardik Gede Jaya.
Suasana hening. Tak kuhiraukan yang terjadi. Segera kutemui bu Sang Ayu Tirta ke ruangannya. Percakapan serius dimulai dalam ruangan tertutup. Sudah kuduga tagihan uang koperasi. Aku pun meyakinkan minggu depan akan kulunasi.
Lima belas menit habis digunakan untuk perbincangan itu. Tepat saat kakiku memasuki ruang kelas, tepat bel masuk berbunyi. Semua bungkam, hening, karena itulah peraturan yang ada.
Aku tiba di rumah dengan wajah agak semrawut.
“Om Swastyastu” ucapku.
“Mengapa wajahmu semrawut begitu nak?”
“Ibu, I Luh belum membayar uang tagihan dari sekolah,”
Ibu terdiam setelah mendengar perkataanku.
Sore hari, kulihat sebuah mobil terparkir di depan rumah. Seorang lelaki paruh baya keluar dari mobilnya.
“Om Swastyastu” ucap bapak itu dari angkul-angkul rumah.
“Om Swastyastu pak. Ada perlu apa pak?” jawabku menghampiri bapak itu.
“Saya dengar disinilah rumah pengrajin loloh Cemcem yang paling enak. Apa benar?” tanya bapak itu.
“Iya Pak. Silahkan duduk Pak, akan saya panggil ibu saya,” aku langsung melangkahkan kaki mencari ibu.
“Ada apa yah Pak?” tanya ibu.
“Banyak teman-teman saya di kantor mengatakan bahwa loloh Cemcem buatan ibu yang paling enak dan segar. Saya ingin memesan loloh Cemcem ibu sebagai minuman di acara metatah anak saya yang diselenggarakan dua hari lagi,” jelas bapak itu.
“Terima kasih Pak. Atas pesanannya. Saya akan buatkan loloh Cemcemnya,” jawab ibu.
Minggu tiba, aku dan ibunya sudah tiba di sebuah rumah besar. Para tamu sudah berdatangan. Dengan susah payah kubantu ibu menurunkan botol loloh dan menatanya di meja yang sudah disediakan.
Samar-samar terdengar suara pertengkaran. Aku mengenal jelas suara itu.
“Pak Made sudah bilang, Made maunya minumannya itu kan jus atau minuman sirup, bukannya loloh Cemcem seperti itu,”
Aku tersentak kaget dan ingin membuang muka.
“Luh, ayo,” suara ibu mengagetkan.
Acara berlangsung dengan meriahnya. Peminat minuman segar loloh Cemcem ibu ternyata tak sedikit. Siapa sangka, minuman murah yang biasa dijual di pinggir jalan dengan harga lima ribu rupiah ini memiliki banyak peminat.
“Luh Sekar,” panggil seseorang saat ia tengah sibuk merapikan botol-botol Loloh Cemcem
“Loloh Cemcem ini, kamu yang buat?” lanjut Kadek Ayu lagi. Aku hanya mengangguk tanpa menoleh ke lawan bicara. Dalam hati kecil ini aku sudah siap menerima cemoohan darinya.
“Terima kasih, ya. Katanya loloh Cemcem kamu enak. Banyak yang suka. Maafkan aku telah menghina profesimu. Aku tak mengira lolohmu ini sangat enak dan segar,” pujinya. Kuangkat wajahku, tak percaya Kadek Ayu bisa berkata seperti itu. Bibirku tersenyum sekilas.
“Mmmm… Maaf kalau selama ini aku meledekmu,” lanjut Kadek Ayu sambil mengulurkan tangannya. Aku terdiam sejenak, ragu ingin membalas uluran tangan Kadek Ayu.
Sekali lagi Kadek Ayu menyodorkan tangannya, melihat wajahnya yang bersahabat, aku mencoba meyakinkan diri kalau Kadek Ayu bersungguh-sungguh meminta maaf padaku. Dengan sedikit keraguan aku pun menjabat tangan Kadek Ayu dan kami berdua sama-sama tersenyum. Sebagai manusia yang berjiwa besar sudah sepantasnya ia meminta maaf.
“Oh ya…! Luh, boleh aku cicipi? Sebotol saja,” tanya Kadek Ayu.
“Ahhhh? Bolehlah,” jawabku sambil menyodorkan sebotol loloh cemcem.
“Kamu juga, temani aku menikmati loloh ini dan jajanan khas Bali ini, seperti klepon ubi, lempog, dan bantal,” ajak Kadek Ayu.
Harapanku dengan pucuk daun cemcem semoga hubungan pertemananku yang selama ini tak penah akur akan terajut harmonis.
Catatan
Loloh: minuman khas Bali sama dengan jamu
Karya : Corie Agung Patricia