Pages

Saturday, November 16, 2019

KETIKA SECARIK BATIK DIPEREBUTKAN

Canting yang kupegang semakin liar untuk menggoreskan tetes-tetes cairan cokelat kental ke secarik kain. Sudah seperempat bagian kain mori putih yang terisi. Sedangkan sisanya masih belum tercoret malam sedikitpun.

Aku menggeliat, merenggangkan otot-ototku yang sudah kaku laksana batang bambu yang sudah lama tak terpoles air. Peluh di tubuhku nyaris membuat pakaianku basah kuyup. Sedari tadi aku mengerjakan tugas pemberian Mak Mirna yang sangat menyiksaku -maksudku, menyiksa sepuluh murid yang tergabung di sanggar ini. Mak Mirna adalah salah satu guru di Sanggar Batik Abiyasa. Sekarang beliau sedang ada urusan dengan yayasan. Jadi, Mak Mirna meninggalkan tugas untuk kami.

Menurutku, Mak Mirna adalah guru paling berbahaya di sanggar ini. Beliau selalu menugasi muridnya untuk membatik dalam waktu sangat cepat. Bila ada yang tidak menyelesaikan tugas tepat waktu, hukuman akan dijatuhkan. Itulah konsekuensi menjadi murid dari seorang Mak Mirna.

Sedikit informasi tentangku. Namaku Zulaikha. Aku sangat suka membatik. Membatik membuat hidupku lebih berwarna. Kurasa, informasi itu cukup untuk membutmu sedikit mengenalku.

Aku melirik pekerjaan Samantha yang berada di dekatku. Rupanya, dia sudah menyelesaikan hampir setengah bagian. Dia memang sering melakukan sesuatu dengan sangat cepat -bahkan kadang membuat logikaku terjingkat melihat kecepatan abnormalnya. Omong-omong soal Sam, dia bernama lengkap Samantha Lorraine. Ayahnya seorang Norwegian, sedang ibunya orang Indonesia tulen. Jika diperhatikan baik-baik, Sam tidak berhidung mancung seperti orang kulit putih pada umumnya. Pendar hijau matanya membuat semua orang semakin terpesona akan kecantikannya. Dia berambut hitam mengikal, seperti ibunya. Satu hal yang membuat diriku tertarik padanya. Dia sangat mencintai batik. Dia memakai batik sebagai pakaian kesehariannya.

“Wah, kau cepat sekali,” pujiku begitu melihat pekerjaan Sam yang membuatku tercengang. “Aku saja yang berusaha secepat mungkin baru sampai segini.”

“Yeah, begitulah. Ibuku memintaku agar membuang semboyan ‘Alon-alon waton kelakon’ dari hidupku. Dan aku benar-benar mengamalkannya,” jawabnya sembari mengusap bulir-bulir keringat sebesar biji jagung di dahinya.

Aku mengacungkan jempol sebagai apresiasi atas pencapaiannya. Dia benar-benar menginspirasi.

Langit merah dengan gumpalan mega seputih kapas menghasilkan gradasi warna yang elegan di tengah hiruk pikuk Kota Yogyakarta. Sebelum matahari semakin tergelincir ke ufuk barat, aku harus sampai ke rumah.

Aku berjalan menyusuri trotoar bersama Sam dan Edwin. Kami selalu bersama ketika berangkat ke sanggar maupun pulang dari sanggar.

“Menurutmu, apakah waria-waria itu memiliki istri? Kalau misalnya iya, apa mereka enggak malu ya, dengan istri mereka? Bagaimana jika anak mereka meniru perbuatan ayahnya?” tanya Edwin membuka percakapan. Dia menunjuk ke arah para waria yang berjalan anggun dari mobil ke mobil.

“Umm, entahlah. Kurasa, belakangan ini, orang-orang telah rusak moralnya. Tawuran, terorisme, diskriminasi, dan penyimpangan sosial lainnya semakin marak terjadi. Sebagian besar di antaranya adalah remaja seperti kita.” Sam mengutarakan pendapatnya. Anak rambutnya berkibar diterpa angin. “Bagaimana ya, cara menyadarkan mereka?”

“Belum saatnya kita membahas itu. Itu terlalu kompleks. Ambil saja contoh kecil. Lihatlah reklame-reklame yang berada di atas kita!” pintaku seraya menunjuk ke beberapa reklame. “Sebagian besar berisi tentang iklan produk luar. Bagaimana caranya agar produk dalam negeri bisa diminati masyarakat? Misalnya, batik, tenun, sepatu buatan perajin negeri, dan yang lainnya.”

Mereka berdua bergeming. Diam seribu bahasa. Aku pun menghentikan langkah.

“Sudahlah. Yang penting kita harus tetap mempelajari budaya Indonesia, agar tidak punah.” Sam memecah kesunyian obrolan di antara kami bertiga.

Tak terasa aku sudah berada di depan rumah. Aku mengucap selamat tinggal untuk mereka. Tanpa banyak tingkah lagi, aku langsung masuk. Ayah dan Ibu sudah mennggu di meja makan. Aku pun menyalami mereka.

“Bagaimana tadi?” tanya Ayah sembari mengacak-acak rambutku.

“Semuanya baik-baik saja. Tadi diberi tugas Mak Mirna untuk membuat batik dalam waktu satu jam. Bayangkan itu! Tapi aku bisa menyelesaikannya.”

“Syukurlah kalau begitu,” celetuk Ibu.

Matahari mulai naik ke cakrawala. Jarum jam menunjuk tepat pukul tujuh. Bersamaan dengan itu, lonceng berdentang tiga kali. Itu berarti jam pelajaran akan segera dimulai. Namun, satu hal yang membuatku merasa janggal. Kenapa kursi di sebelahku belum juga diduduki? Kenapa Sam belum juga datang? Apa dia sakit? Apa dia terlambat? Bukankah, dia selalu datang sangat awal? Beberapa pertanyaan tentang Sam mengusik pikiranku.

Di saat otakku sibuk memikirkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan retorisku, seseorang tiba-tiba datang menyebut namaku.

“Kepala sekolah menyuruhku untuk memanggil Mbak Zul…”

Gadis itu berkata sangat canggung. Tidak ada yang tahu pasti dia berbicara dengan siapa. Hampir seisi kelas terbahak menyaksikan aksi konyol gadis itu. Tapi tidak dengan diriku. Merasa namaku disebut, aku mendekati gadis itu.

Gadis itu bernama Dewi. Dia murid kelas 7-E.

“Kenapa, ya, kok Pak Jarwo -nama kepala sekolahku- memanggilku?” tanyaku pada Dewi yang sekarang berdiri tepat di hadapanku.

Dewi menatapku polos. “Enggak tahu, Mbak. Coba saja langsung ke sana. Sudah ya, Mbak, aku ke kelas dulu!”

“Oh, oke.”

Aku melangkah menuju ruang kepala sekolah. Jantungku berdegup tak beraturan. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitku. Ada sesuatu yang tidak beres. Semuanya terasa janggal.

Yang pertama kali kulihat saat menginjakkan kaki di lantai atas adalah kerumunan orang-orang di depan ruang kepala sekolah. Aku tidak tahu hal apa yang mereka saksikan hingga rela berdesak-desakan seperti itu. Semenarikkah itu?

“Permisi.. permisi…,” tuturku seraya menyeruak masuk ke tengah-tengah lautan manusia. Beberapa di antara mereka memberi jalan untukku dengan ikhlas. Namun, banyak di antara mereka malah memberikan muka masam untukku. Maklum, sebagian besar dari kerumunan ini adalah kakak kelas.

Aku langsung masuk ke ruang kepala sekolah. Aku terkejut melihat Sam berada di situ. Aku juga melihat Edwin, Mak Mirna, dan seorang pria paruh baya berkacamata yang mengenakan pakaian formal. Sejuta tanda tanya merutuki otakku.

“Permisi,” ujarku begitu sampai di dalam. “Bapak memanggil saya?” tanyaku pada Pak Jarwo sesopan mungkin.

Ruangan mendadak sunyi setelah aku melontarkan pertanyaan itu. Beberapa saat kemudian, Pak Jarwo menjawab pertanyaanku, “Ya,” ada jeda beberapa saat, “jadi begini. Bapak-bapak berkacamata itu namanya Pak Harris. Beliau merupakan direktur dari salah satu perusahaan pakaian dari Jakarta. Kemarin malam, beliau berkunjung ke Sanggar Batik Abiyasa. Di sana, Pak Harris melihat-lihat hasil karya anak sanggar. Pak Harris tertarik dengan batik ini.” Penjelasan Pak Jarwo terhenti sementara. Beliau menunjukkan kain batik yang beliau maksud.

Mataku membelalak. Itu, kan, batik buatanku, pikirku.

Mak Mirna mulai bicara. “Saat Mak Mirna menanyakan pembuat batik ini, Edwin mengaku kalau dia yang membuat. Tapi, Samantha mengatakan kalau ini buatan Zul. Jadi, yang betul yang mana?”

Aku menjadi semakin linglung. Jelas-jelas batik tersebut hasil jerih payahku, bisa-bisanya ada orang yang mengaku. Kukira, Edwin mulai sinting.

“Demi Tuhan, itu benar-benar buatan saya!” ucapku mantap. Darahku mulai mendidih. Aku benar-benar tidak terima. Dia sudah mengklaim buah usahaku.

Edwin menyeringai lebar. Wajahnya seolah tak bersalah. “Benarkah? Lalu, kenapa bisa sebagus ini? Semua karyamu itu buruk.”

“Sebenarnya, kami pihak perusahaan ingin menyampaikan kalau motif batik yang terlukis merupakan pelecehan logo perusahaan kami. Dan saya datang jauh-jauh ke sini hanya ingin meminta pertanggungjawaban.”

Aku bingung hendak berkata apa. Tapi, itu bukan kesengajaan.

“Umm, seb..sebenarnya, itu bukan buatan saya.” Dengan terbata-bata Edwin berbicara. Mukanya memerah. Dia langsung berlari meninggalkan ruangan.

Tawa Pak Harris pecah. Apa maksudnya? Beliau berbicara lagi, “Jadi, memang benar yang dikatakan Nona Samantha. Baik, batik ini akan kami beli. Apa sepuluh juta cukup?”

“Ini bagaimana, sih, kok jadi begini? Bukankah katanya melecehkan?” tanyaku serta merta.

“Saya cuma menguji. Siapa yang berbohong, pasti lari ketakutan. Jadi, yang sebenarnya, kami ingin membeli batik ini. Batik ini juga akan dipamerkan di Indonesia Fashion Week. Apa sepuluh juta cukup?”

Sepuluh juta? Bukankah itu terlalu besar? Tapi, kapan lagi aku bisa mendapatkan uang sebesar itu?

“Cukup.”


Karya : Hastom NH

No comments:

Post a Comment

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...