Pages

Saturday, November 16, 2019

PERMAINAN TERMASUK BUDAYA LHO (PART 1)

Sekarang ini, aku sedang berada di taman depan rumah. Menghirup dalam-dalam udara sejuk di pagi ini. Menatap pepohonan hijau yang berada di depan mataku. Ah, sejuknya. Hanya saja, desa ini sepi. Jarang ada anak-anak yang mau bermain tanpa gadget mereka. Huh, sungguh memprihatinkan. Padahal terkadang aku pun juga begitu.

Gelap. Seperti ada yang menutup mataku. Siapakah?. Apa ada orang iseng yang ingin mengerjaiku lagi?. lagi?. benar, sebelumnya aku sudah pernah diisengi oleh seseorang. Dia adalah sahabat karibku, Alvin.

“Pagi!” ucapnya.

Duh, kali ini tebakanku tak akan salah lagi, dia adalah Alvin. Terbukti dari suaranya yang sangat khas. Ia pun mulai melepaskan tangannya dari mataku. Terang. Semuanya kembali terang. Aku mulai menoleh ke arahnya dan mendongakkan kepalaku ke arahnya. Senyum manisnya sudah terkias di mulutnya.

Dia mulai berjalan dan kini sudah duduk di sampingku. Aku pun tersenyum tipis untuk sekilas. Pandanganku mulai mengarah kembali ke pepohonan di depan dan menghirup udara sejuk pagi ini.

“Sedang apa di sini?” tanyanya. Sepertinya ia melihatku.

“Kau tak lihat?” ucapku. “Aku sedang bersantai di sini.”

“Haha. Aku tahu kok.” Jawabnya diiringi gelak tawa.

“Aku bosan di rumah terus, lagian smartphoneku terus-terusan dipakai adik main.”

Entah apa yang dipikirkannya, ia mulai tertawa sambil menatapku. Aku pun menoleh padanya. Tawanya, membuatku kesal saja.

“Kau ini, senang tak selamanya dengan smartphone, cobalah kau pikir, apa yang kau mainkan saat kecil?”

“Um, yang kumainkan dulu adalah lompat karet, aku suka bermain itu.” Ucapku dengan nada bersemangat.

Saat itu memang smartphone masih mahal. Keluarga kami belum mampu untuk membeli mainan yang seperti itu untukku. Jangankan untuk membelinya, bahkan untuk makan pun mama masih mikir dengan keras.

Segera kubuang jauh-jauh pikiran masa laluku itu. Kembali kupandangi wajah Alvin yang tengah menatapku dengan masih menyisakan sedikit senyumannya. Aku merasa bingung, untuk apa ia menanyakan hal itu. Apa ini termasuk hal yang membuatku akan senang tanpa smartphone?.

“Lalu, mengapa sekarang kau tak bermain itu, bukankah kau sangat menyukainya?” tanyanya.

Kembali kucerna pertanyaan yang barusan dilontarkan Alvin padaku. Benar juga, mengapa sekarang aku sudah tak pernah bermain permain yang lebih menyehatkan itu?.

“Mungkin karena tak seseru permainan di smartphone sekarang ini.” Jawabku dengan nada yang agak lesu.

Aku agak aneh sekarang ini. Entah mengapa kini dadaku terasa bergetar lebih kencang dari sebelumnya. Apa aku memang harus seperti ini?.

“Benarkah, mau bermain yang seperti itu lagi?” tanyanya dengan tatapan yang agak aneh. Sebelumnya, ia tak pernah menatapku seperti ini.

Apa benar ia akan melakukan hal yang barusan ia katakan tadi?. Tapi, memangnya ada anak jaman sekarang yang bisa lepas sepenuhnya dari smartphone?. Terlebih lagi sekarang smartphone sudah bisa dipegang oleh sebagian besar anak di Indonesia.

“Kalau iya?” tantangku dengan senyuman.

“Ayo main ke lapangan. Semuanya udah nunggu tuh.”

Ia berdiri dengan gagah sambil mengacungkan jarinya pada lapangan yang tepat berada di sebelah taman ini. Kalau dilihat dari senyumannya, memang ia tak akan pernah berbohong padaku. Matanya juga, menunjukkan betapa benarnya apa yang dikatakannya tadi.

Dengan sedikit tersenyum. Aku juga mulai berdiri. Menatap sahabatku dengan rasa percaya yang besar.

“Kalau begitu, kita lihat seberapa besar aku merasakan getaran kesenangan jika dibandingkan dengan bermain smarphone.” Kembali aku menantangnya.

“Aku akan bertaruh untuk figure anime kita masing-masing. Jika aku bisa membuatmu senang kau harus menyerahkan figure Miku milikmu, namun jika aku kalah kau bisa ambil figure KAITO milikku. Setuju?”

Sebenarnya, aku sedikit takut untuk melakukan hal ini. Bagaimana jika memang permainan ini bisa lebih menyenangkan dibandingkan dengan game smartphone milikku?. Apa aku harus rela menyerahkan figure Miku terbatasku untuknya?. Tapi, jika ia gagal membuatku senang, aku akan bisa mendapatkan figure KAITO nya.

“Tambahan, jika kita berdua merasa benar-benar senang, kita akan tukaran figurenya. Aku akan setuju.” Ucapku dengan sedikit pertimbangan lagi.

“Oke.”

Kami mulai berjalan menuju lapangan. Ternyata ia benar, di sana sudah banyak teman kami yang menunggu. Tak hanya teman sebaya kami, para adik kelas kami dan kakak kelas kami untuk sudah siap menunggu di sana. mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok satu membuat sebuah lingkaran dan yang satunya lagi bermain ular naga panjang?. Benar tidak ya?.

“Mau main yang mana dulu?” tanya Alvin dengan sambil melirk ke arahku. Ia tersenyum.

“Um, yang itu mereka lagi ngapain?” tanyaku yang memang masih tidak mengerti.

Aku menunjuk ke arah anak-anak yang sedang membentuk sebuah lingkaran. Dan dua orang sedang berkejaran tidak jelas. Sesekali seorang dari mereka akan masuk dan keluar lingkaran itu. Hm, sepertinya kalau tidak salah ‘kucing dan tikus’ ?.

“Hm, kucing dan tikus, kupikir itu akan menguras banyak tenagamu, tapi..”

Ia melesat secepat kilat menuju kerumunan anak-anak itu. Ia berteriak tak jelas pada mereka. Senyum lebarnya begitu polos. Seakan hanya dialah yang berhak bersuara. Sangat keras. Bahkan hingga membuat telingaku sakit.

“Tunggu!” seruku pada Alvin sembari berlari mengejarnya.

Kami sampai di kerumunan anak-anak itu. Kulihat mereka, ah, teman sekelasku Ririn ternyata juga ada di sini?.

“Rin, kamu ada di sini juga?” tanyaku sambil menghampirinya.

“Begitulah.” Mengangguk sambil tersenyum.

“Lho, Vira, tumben kamu ke sini, biasanya ngurung diri di dalam kamar terus tuh.” Ucap Dika dengan nada mengejek.

“Terserah dong!” sentakku.

Alvin menghampiriku. Lalu memegang pundakku sambil tersenyum. Aku tak mengerti mengapa ia melakukan itu namun, entah mengapa tiba-tiba senyumannya malah terlihat seperti orang aneh.

“Kau jadi, ayo kejar aku!” seru Alvin sambil tertawa lepas.

Ia segera berlari bagaikan udara yang terdesak oleh angin. Segera meninggalkanku berdiri di sini. Astaga, apa yang ia pikirkan?.

“Hei, kenapa kau tiba-tiba memutuskannya seenaknya!!” teriakku sekencang-kencangnya.

Walaupun aku merasa kesal tapi ada setitik rasa senang karena tingkah laku bocah laki aneh tadi. Aku mulai berlari mengejarnya. Sekencang-kencangnya diriku. Harus kutangkap bocah itu. Setidaknya agar aku bisa mendapatkan figure KAITO miliknya itu.

Hup!. Hampir saja aku menangkapnya. Tapi, lagi-lagi ia sudah berada di lingkaran itu. Ia masuk dan seperti menertawakanku yang berada di luar lingkaran itu. Walau hanya permainan, diriku seringkali berteriak tak jelas padanya. Bahkan bukan Cuma aku, orang-orang yang membentuk lingkaran itu pun ikut berteriak gak jelas berusaha untuk menjauhkan Alvin dariku.

“Tikus!” teriakku begitu kencang pada Alvin. Aku terus berlari mengejarnya.

Untuk sejenak, Alvin berhenti berlari dan menatapku dengan tatapan suram. Ia masih berhenti. Sekilas, aku merasa tertegun untuk sikap Alvin kali ini. Namun, tak akan kusia-siakan kesempatan berlian ini.

Sesegera mungkin, dengan penuh kekuatan kuberlari menuju ke arahnya dan.. Hup!. aku memegangnya!.

“Aku menang!” ejekku pada Alvin.

Ia masih terdiam. Tak ada reaksi sedikitpun darinya kecuali dadanya yang naik turun karena bernafas.

“Al..” ingin saja aku memanggil namanya tapi, “EH?”

Alvin menangis!?. Aku sangat tertegun dengannya saat ini. Mengapa ia menangis?. Apa aku punya kesalahan padanya dalam permainan ini?.

“Kau salah.” ucapnya muram. Ia pun menghapus air matanya dengan tangannya. “Karena sekarang kaulah tikusnya dan aku jadi neko’nyan yang imut.”

Eh?. Apa aku tak salah dengar?. Jadi, ia menangis tadi karena ia benci dipanggil tikus?. Hei, bukankah panggilanku sebelumnya itu hanyalah lelucon singkat untuknya. Lalu. Lelucon apa lagi itu, ‘neko’nyan yang imut’?. Dan sekarang tiba-tiba aku merasa ingin tertawa. Bukan Cuma aku, tapi semua orang yang menjadi lingkarannya. Kami tertawa.

“Astaga, Alvin, itu memalukan kau tahu!” seru salah seorang temannya yang bahkan aku tak kenal namanya.

“Kau itu sudah besar kan?”

Beberapa kali Alvin mendapat ocehan tak berguna dari temannya gara-gara tingkah lakunya tadi. Sebenarnya aku ingin saja menambahinya tapi, sudahlah.

“Kita sudahi saja mainnya, aku capek nih.” Ucap seseorang.

“Main tebak-tebakan yuk!” usul Alvin sambil mengangkat jarinya.

“Terserah kalian lah, aku mau istirahat dulu.”

Kami kembali melingkar namun dengan cara duduk. Setidaknya ada sepuluh orang yang bisa membuat permainan ini jadi ramai.

“Aku duluan ya, pensil sama batu, kalau dijatuhin ke kaki, lebih sakit yang mana?” tanya Alvin memulai.

“Jelas batu dong!” jawab Ririn.

“Batu lah!”

“SALAH!” seru Alvin menekankan hurufnya satu per satu.

Sedikit bingung, aku mulai berpikir dengan logika. Seharusnya apa yang dijawab oleh Ririn dan yang lainnya benar. Tapi, mengapa Alvin bilang salah. apa ini hanya akal-akalannya saja?. Tunggu..

“Sakitan kaki dong.” Jawabku dengan semangat. Kali ini aku yakin betul kalau jawabanku akan benar. Jika salah, berarti Alvin sudah bohong.

Wajahnya menunjukkan rasa tak puas. “Kau benar.” Jawab Alvin dengan lesu

“Mundur deh, kalau Vira yang ngasih pertanyaan.” Ucap Ririn sambil mengangkat ke dua tangannya bagaikan ia akan ditangkap oleh polisi.

“Aku juga.” Entah mengapa semuanya malah ikut-ikutan Ririn.

“Hei, main Sudamanda yuk, nanti yang menang duluan boleh minta ditraktir sama yang urutannya paling bawah.” Tantang Alvin sambil menunjukkan senyum sinisnya.

“Siapa takut!”


Karya : Takama Widji

No comments:

Post a Comment

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...