Pasti kalian tahu bagaimana rasanya mempunyai kembaran yang berbeda sifat, dan kegemaran. Satu sekolah. Bosan, lelah, itulah aku. Namaku Raisya Zalfa Salsabila dan aku mempunyai kembaran bernama Raina Zulfa Salsabila.
Jam telah menunjukkan pukul 12.00 siang, seharusnya untuk anak-anak SMP MADANI INTERNATIONAL SCHOOL JAKARTA yang tidak mengikuti ekstrakulikuler sudah berlarian pulang. Kecuali aku, aku tidak mengikuti ekstrakulikuler apapun kecuali basket yang bertepatan pada hari minggu. Namun tetap saja aku harus pulang berbarengan dengan anak ekstrakulikuler yaitu pukul 14.00 siang. Apa kalian bisa menebak? yup, Raina senang sekali dengan angklung. Hobbynya bermain angklung. Sampai-sampai ia menjadi pelatih temannya di ekstrakulikuler angklung. Karena itulah aku harus pulang pukul 14.00. Aku sangat membenci angklung!! Setiap ada anak angklung bertemu denganku, aku selalu meledeknya. Dan itu juga aku. Hehe… Pagi ini nampak seperti biasanya, ramai tapi damai. “hai Raina…” Sapa Dodi teman sekelasku. “iiihhh!! kenapa hanya Raina yang di sapa? kan ada aku juga” Teriakku. “oh ya? maaf deh.. aku tidak melihat. Yang aku lihat tadi hanya Raina wkwkwk” Tawa Dodi di tambah teman-teman yang melihatnya. Aku sebal dengan anak yang mempermalukanku. Tapi walau begitu, aku harus tetap jaga nasihat mama, ‘sabar’. Sebenarnya hal itu bukan terjadi pada hari ini saja, tetapi setiap saat.
Raina memang memiliki paras yang cantik, anggun, walau suka bermain angklung, tetap saja dia menjadi juara kelas. Berbeda denganku. Walau aku tetap menjadi juara ke sepuluh besar angka yang kudapat hanya peringkat 9/10. Parasku saja tidak sama dengan Raina. kulitku coklat. dia putih. Maka dari itu dia menjadi primadona di sekolah. Dambaan. Kalau aku orang yang paling ditakuti anak kebudayaan, ya misalnya tadi, angklung, tari dan semcamnya. Karena aku benci itu. “Sudah sudah. Tidak baik seperti itu Di” tegur Raina. “huh, sok baik sekali kamu!” Bentakku dan berlari ke luar kelas. Seluruh kelas memperhatikanku dengan pandangan sinis. “Tega sekali kamu Sya, dia kan saudaramu. Sudah di bela, eh… menyela lagi. Astagfirullah..” Nasehat Ririn teman dekatku. “memang kenapa? oke aku mengaku aku salah. Tapi, itukan hanya masalah sepele. Kenapa harus dipermasalahkan?. Aku hanya bilang kalau dia sok baik. Itu saja kan? kalau pun dia menangis berarti dia yang cengeng!” Ujarku. Ririn hanya menyimak dan meringis. “Lalu, nanti di rumah bagaimana?” Tanya Ririn. “Takut?” Sahutku. “TIDAK AKAN TAKUT. UNTUK APA?” Teriakku. “sudah, yuk masuk kelas” Ajak Tina teman dekatku juga yang sedari tadi hanya terdiam mendengarkan percakapan kami.
Kemudian kami bertiga pergi kekelas 8F. Di dalam, kulihat Raina sedang melamun, awalnya aku penasaran apa yang dia rasa dan ingin sekali meminta maaf. Namun aku merasa ‘untuk apa?’. Akhirnya aku hanya mengobrol dengan Ririn dan Tina. Banyak anak yang mendekati Raina. Itulah dia, mama saja sering sekali membeda-bedakan aku dengan Raina.
Akhirnya pelajaran terakhir selesai. Aku segera menuju lapangan basket untuk bermain sembari menunggu Raina melatih angklung. “wiss.. jagoan kita datang” Ledek Rafa teman sekelasku. semua tertawa. Aku hanya meringis. Basket adalah hidupku. Lebih keren dari pada bermain musik, menari, dan lainnya. Apa lagi BUDAYA INDONESIA. Aku tahu ini konyol.
Pagi yang cerah, apa mungkin ini hari istimewa? Tidak tahu. Benar saja, burung berkicau. Hari minggu! seharusnya aku bisa tidur sepuasnya. Namun, suara itu terdengar lagi teng tung tang tong suara pukulan sebuah angklung dari bawah. Dirumahku memang ada ruang angklung sebagai hadiah Raina waktu masih duduk di kelas 2 SD. “hei! kau bisa diam tidak? AKU SEDANG SIBUK TIDUR!!” bentakku yang langsung menemuinya di ruang angklung. “hei, pagi pagi sudah ribut. Ada apa ini?” tanya mama lembut. “ini nih ma, Raina pagi-pagi sudah mengganggu tidurku!” Seruku. “Lah kok mengganggu? justru bagus kan kalau kamu terbangun. Jangan biasakan bangun kesiangan dong. Tidak baik. Lihat Raina, pagi-pagi sudah latihan.” Nasehat mama. “sudah mama. Tidak apa. Aku juga ingin pergi mandi. Maaf ya Sya” Kata Raina. “Tuh kan. Semua sama saja! mama apalagi! Membeda-bedakan aku dengan Raina. Memang ada orang yang sempurna Ma? Tidak!! Kalau begini terus, LEBIH BAIK AKU PERGI DARI RUMAH!” Ujarku. Mama terlihat sedih sekaligus kecewa. Aku tak kuasa menahan tangis. Hingga airmataku jatuh juga. Segera ku berlari ke kamar. Di dalam hati yang terasa sekarang adalah penyesalan.
Seharian minggu itu, aku tidak keluar kamar. Beberapa kali kudengar suara ketukan. Mulai dari Raina yang meminta maaf dan membujukku agar makan. Papa, dan Mama juga melakukan hal yang sama seperti Raina. Tapi aku tidak menjawab sepatah katapun. Hal yang aku lakukan hanyalah berdiam diri, menangis, dan menengarkan musik saja. “kenapa harus kulakukan itu tadi pagi? aku sungguh menyesal” gumamku. hingga matahari senin di ufuk timur muncul. Aku demam. Karena seharian kemarin aku tidak makan. “Kan sudah mama bilang. Kalau tidak makan bisa sakit” kata mama sembari menyuapiku sesendok bubur. “Lebih baik aku sakit daripada harus di banding-bandingkan dengan Raina oleh semua orang” Sahutku. “oohh, jadi kamu masih marah? memangnya semua orang?” Tanya mama. “tidak juga sih, tapi tetap saja. Dimana pun aku berada pasti ada saja orang yang membanding-bandingkan aku” jelasku. “baik kalau begitu, mama janji tidak akan membanding-bandingkan kamu lagi.” Kata mama sembari memelukku. “mama sayang Raisya” seru mama. “aku juga” kataku. Inilah momen yang setiap hari kuimpikan. Terima kasih Mama…
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Seperti jalannya kereta. Tiba-tiba minggu datang lagi. Pagi ini, seperti biasa. Suara angklung. Aku menutup kupingku erat-erat dengan bantal hijauku ini. “raisya, earphonemu dimana?” Tanya Raina menghampiri. “Di atas meja belajarku” Jawabku dengan nada malas. “pinjam ya!” serunya sambil berlalu dari kamarku.
Siang harinya, aku sangat bosan. ingin mendengarkan lagu memakai earphoneku yang tadi di pinjam Raina. “Raina, earphoneku dimana?” tanyaku. Kulihat dirinya sedang merapikan baju batik buatan Farah teman dekatnya. “ada di ruang angklungku. kalau mau ambil, sok atuh. Aku sedang sibuk. Maaf dan terima kasih.” Jawabnya. Aku memutarkan bola mata coklatku. Dengan malasnya, ku berjalan menuruni tangga dan pergi ke ruang angklung Raina. Saat ku membuka pintu, dilihatku earphone merah muda itu ada di atas alat angklung yang dimainkan dengan cara di pukul. Aku penasaran dengan benda itu. Se asyik apa sih? hingga benda itu telah mempengaruhi Raina kembaranku?. Didepannya terdapat not not lagu wajib. Dan di alat itu pula terdapat tulisan-tulisan not. Jadi, dengan mudah aku memainkannya. Ternyata memang asyik!. Walau mainnya sangat perlahan dan putus-putus, aku tetap menikmatinya. “Raina!! aku penasaran. Tolong ajarkan aku cara bermain angklung ya..” pintaku kepada Raina. Dia terlihat kaget. Dan segera dilemparnya alat batik itu “subahanallah, benarkah ini Raisya? kurasa tidak.” Ujarnya terlihat sangat gembira. “ah, berlebihan” sahutku. Dengan sabar dan tekun, dia mengajariku cara bermain angklung dengan baik dan benar. Dasar-dasarnya. Terima kasih ya allah engkau memberiku saudara yang baik. “Raina maafkan aku ya… karena sering membuatmu marah…” sesalku. “ahh.. tak apa Sya, lagi pula itu tidak kumasukkan kedalam hati… yang penting kamu jangan mengulanginya lagi yaa” katanya. “sip deh!” ujarku.
Senin pagi dengan matahari pagi menjelang, “Rainaa.. apa aku boleh gabung di kelompok angklungmu tidak? ” tanyaku. “TENTU TIDAK! Maksudku tentu tidakku tolak. Dengan senang hati..” jawabnya. “Terima kasih… tapi aku malu” kataku. “untuk apa malu, sudah! Ayo masuk” tawarnya. baik sekali Raina, dia membalas semua perilakuku dulu dengan cara ini? baik hati… sungguh!, batinku. Seperti biasa, bel pulang sekolah tepat pukul 12.00. Siang ini hujan membasahi sekolah kami. Aku terdiam di koridor depan ruang angklung sekolah. batinku selalu berkata masuk tidak masuk tidak… dan sebagainya. Hatiku tidak tenang. Pertama, kalau aku masuk angklung, seheboh apa sekolah ini? Tapi aku sudah terlanjur cinta angklung. Duh, pilihan yang sangat sulit bagiku untuk memilih. “hei! Raisya. tunggu apa lagi? Ayo masuk!” bentak Raina. “wiiih seraam sekali” balasku. kami tertawa. Akhirnya kutekadkan untuk membawa tubuh ini masuk ke dalam ruang angklung itu. “hei Raisya! Mau apa kamu disini? Pengganggu!” bentak Pipit. “apa lagi kalau bukan mengganggu, mencari masalah, dan meledek?” timpal Dodi. Amarahku sudah tak tertahankan lagi. Namun, sebelum aku berbicara.. “sudah sudah. Raisya disini bukan untuk mencari masalah dan sebagainya. Tapi, dia mau bergabung bersama kita disini! Bukan begitu Raisya?” kata Raina sembari melebarkan senyum manisnya itu. Seluruh anak yang berada disitu terlihat sangat heboh. “wiss… santai kali semuaa… aku sudah mulai tobat ini” cengirku. “insaf juga kamu” Ledek Pipit.
Latihan ini kumulai dengan keadaan yang sangat riang. Walau sulit untuk menyesuaikan nada yang mereka memainkan dengan cepat. Besoknya… “haha tak percaya aku” ledek Tina. “serius! sungguh!” kataku meyakinkan. “iya, aku juga tak percaya” kata Ririn. Sulit untuk meyakinkan mereka kalau aku benar-benar sudah cinta angklung. Namun hal semacam itu bukan terjadi pada mereka saja. melainkan teman sekelas. Mereka semua sangat keras kepala dan sangat tidak percaya. “ya sudah kalau tidak percaya. Nanti pulang sekolah perhatikan derap langkahku menuju mana” kataku agar mereka lebih yakin. Sepulang sekolah, benar saja mereka mengikutiku. Dan akhirnya… TADAA! Barulah mereka percaya. “aku bohong?” tanyaku. Mereka menggeleng tak percaya. “kau tobat?” tanya Ririn. Aku mengangguk. “sudah dulu ya.. sebentar lagi masuk nih” kataku sembari berlalu. Mereka melambaikan tangan. Aku membalas lambaiannya. “teman-teman! Kalian semua harus dan wajib tau.
Tiga minggu lagi sekolah kita diundang untuk turut serta dalam perlombaan seni budaya angklung seJabodetabek. Jadi, kita harus maksimalkan waktu tiga minggu itu, jangan sampai di sia-siakan. Oh iya, teknisnya, perlombaan akan diadakan tiga babak. Semuanya ada penyaringannya. Babak pertama berlangsung di Gelora Bung Karno. Babak kedua berlangsung di Bandung. Dan babak terakhir di Borobudur. Keren tidak?” jelas Raina. “lah? Tidak bisa seperti itu dong! Aku kan baru saja masuk.” Bentakku. “maka dari itu, ini kesempatan emasmu untuk mengembangkan kecintaanmu pada angklung.” Kata Raina. “baiklah, terima kasih” ucapku. Benar saja, tiga minggu ini kuhabiskan dengan latihan yang sangat serius. Tekun, dan bersungguh sungguh. Berdo’a dan berusaha kuncinya. Yup! Aku harus tunjukkan kalau aku bisa! Aku akan membuat mama dan papa bangga. Aku akan membuat teman-teman di sekolah percaya.
Sampai hari itu tiba. Alhamdulillah.. persiapanku sudah mantap. Jelas saja, setiap hari setiap malam aku selalu berlatih angklung. Hari minggu saja, setiap mama dan papa mengajakku jalan-jalan aku selalu menolak. Semoga perjuanganku ini membuahkan hasil. “cepat bangun Raisya! Sudah jam berapa ini?” teriak Raina. “oke oke” jawabku dengan wajah tanpa dosa. Mama yang sedari tadi memerhatikan hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum. Aku segera mengambil handuk dan pergi mandi. Setelah bersih dan segar, aku turun ke ruang makan untuk sarapan. Disana Raina dan mama sudah menyiapkan roti selai. Papa asyik membaca koran di sebelah kolam renang rumahku. Tepat pukul 09.00 aku dan kawan-kawan se angklungku tiba di GBK. Perlombaan berlangsung tertib dan damai. Kami mendapat nompr urut ke 28 dari 130 peserta. Ya, begitulah. Oh iya, nama perlombaan ini adalah Tradition of Angklung Generation. Awalnya aku gugup. Namun setelah melihat kesungguhan Raina dalan bermain angklung, ku anggap itu sebagai acuan agar aku bisa lebih semangat. “fiuhh… lelah sekali ya! Pemenang akan diumumkan empat hari lagi” jelas Raina. “siap bosss!!” seru kami serempak dengan mantapnya. “baiklah kalau begitu kita tunggu dan berdo’a ya..” kataku.
Empat hari berlalu sangat cepat. “alhamdulillah… kita mendapat peringkat tiga.. itu berarti, kita lolos babak kedua!” seru Reza. “benar sekali.. tapi kenapa cepat sekali ya? Lomba babak kedua seminggu lagi” ucap Fira. “sudah, aku yakin kita pasti bisa!” seru Raina. Hari berjalan begitu cepat. Hingga hal yang tidak kuinginkan terjadi. Dua hari sebelum perlombaan itu berlangsung, Raina masuk rumah sakit. Aku tidak bisa pergi tanpanya. Sampai-sampai posisi kelompok angklungku lemah dan kalah masuk babak 3. Itu pelajaran bagi kami.
Beberapa hari kemudian, kelompok kami di undang ke festival Angklung di Borobudur, dan meminta kami untuk tampil disana. “aku tidak bisa pergi tanpamu Raina!” bentakku tepat dimana pesawat akan diluncurkan. Raina masih setia dengan infus dan kursi rodanya. “kalau kamu bahagia, aku juga bahagia. Jadi, kalau kamu tidak pergi aku akan sedih dan menangis”. “baik, jaga dirimu baik baik yaa.. semoga saat aku pulang nanti kamu sudah sembuh” harapku. Namun, perasaanku tidak tenang. Aku memeluk Raina erat-erat dan selalu berucap ‘jaga dirimu baik-baik’. kata terakhir yang dia sampaikan adalah “terima kasih, kau adalah saudaraku yang paling kucintai. Maaf bila aku sering membuatmu kesal”. Entah mengapa kata-kata itu sangat membuatku sedih dan gelisah.
Benar saja, sepulangnya aku dari Borobudur, paman menjemputku ke tempat yang sangat tidak kuinginkan. PEMAKAMAN UMUM. Sungguh berat menerima ini. Dilihatku satu bendungan tanah bertuliskan ‘RAINA ZULFA SALSABILA’. benarkah itu dia? Awalnya aku tak percaya. Ternyata dia mendapat penyakit jantung. Kenapa mama tidak cerita dari awal? Papa juga menyembunyikannya. Aku berontak! Sungguh tak percaya. Dikasurku, sudah ada secarik kertas yang berisi ‘Raisya, ini aku Raina Zulfa Salsabila. Terima kasih karena kamu telah menerimaku apa adanya. Maaf kalau aku sering membuatmu kesal, merepotkanmu dan semacamnya. Inilah aku, aku tulis surat ini jikalau umurku tak panjang. Tak tenang memiliki penyakit ini. Sakit rasanya. Tak tahan. Menggigil. Sya, tolong teruskan cita-cita yang sangat kudambakan. Sebagai penerus Sejarah angklung, membawa nama baik Indonesia dan angklung. pengembang perusahaan batik ternama’.
Semoga aku bisa meneruskan cita-cita Raina itu.
15 tahun kemudian, cita-cita Raina sebagai penerus Sejarah Angklung ku gantikan. Yup, membawa nama baik angklung keluar negeri, aktivis kebudayaan Indonesia, pengembang perusahaan batik ternama. Dengan satu tekad yang ku pegang, tekadmu juga. RAINA. INILAH AKU SEKARANG. KAU INGAT AKU? SAUDARAMU. SEMOGA KAMU TENANG DISANA..
– tamat –
Karya : Salsabila Putri Rulia