Pages

Monday, November 11, 2019

ANGKLUNG AND THE TWINS

Pasti kalian tahu bagaimana rasanya mempunyai kembaran yang berbeda sifat, dan kegemaran. Satu sekolah. Bosan, lelah, itulah aku. Namaku Raisya Zalfa Salsabila dan aku mempunyai kembaran bernama Raina Zulfa Salsabila.

Jam telah menunjukkan pukul 12.00 siang, seharusnya untuk anak-anak SMP MADANI INTERNATIONAL SCHOOL JAKARTA yang tidak mengikuti ekstrakulikuler sudah berlarian pulang. Kecuali aku, aku tidak mengikuti ekstrakulikuler apapun kecuali basket yang bertepatan pada hari minggu. Namun tetap saja aku harus pulang berbarengan dengan anak ekstrakulikuler yaitu pukul 14.00 siang. Apa kalian bisa menebak? yup, Raina senang sekali dengan angklung. Hobbynya bermain angklung. Sampai-sampai ia menjadi pelatih temannya di ekstrakulikuler angklung. Karena itulah aku harus pulang pukul 14.00. Aku sangat membenci angklung!! Setiap ada anak angklung bertemu denganku, aku selalu meledeknya. Dan itu juga aku. Hehe… Pagi ini nampak seperti biasanya, ramai tapi damai. “hai Raina…” Sapa Dodi teman sekelasku. “iiihhh!! kenapa hanya Raina yang di sapa? kan ada aku juga” Teriakku. “oh ya? maaf deh.. aku tidak melihat. Yang aku lihat tadi hanya Raina wkwkwk” Tawa Dodi di tambah teman-teman yang melihatnya. Aku sebal dengan anak yang mempermalukanku. Tapi walau begitu, aku harus tetap jaga nasihat mama, ‘sabar’. Sebenarnya hal itu bukan terjadi pada hari ini saja, tetapi setiap saat.

Raina memang memiliki paras yang cantik, anggun, walau suka bermain angklung, tetap saja dia menjadi juara kelas. Berbeda denganku. Walau aku tetap menjadi juara ke sepuluh besar angka yang kudapat hanya peringkat 9/10. Parasku saja tidak sama dengan Raina. kulitku coklat. dia putih. Maka dari itu dia menjadi primadona di sekolah. Dambaan. Kalau aku orang yang paling ditakuti anak kebudayaan, ya misalnya tadi, angklung, tari dan semcamnya. Karena aku benci itu. “Sudah sudah. Tidak baik seperti itu Di” tegur Raina. “huh, sok baik sekali kamu!” Bentakku dan berlari ke luar kelas. Seluruh kelas memperhatikanku dengan pandangan sinis. “Tega sekali kamu Sya, dia kan saudaramu. Sudah di bela, eh… menyela lagi. Astagfirullah..” Nasehat Ririn teman dekatku. “memang kenapa? oke aku mengaku aku salah. Tapi, itukan hanya masalah sepele. Kenapa harus dipermasalahkan?. Aku hanya bilang kalau dia sok baik. Itu saja kan? kalau pun dia menangis berarti dia yang cengeng!” Ujarku. Ririn hanya menyimak dan meringis. “Lalu, nanti di rumah bagaimana?” Tanya Ririn. “Takut?” Sahutku. “TIDAK AKAN TAKUT. UNTUK APA?” Teriakku. “sudah, yuk masuk kelas” Ajak Tina teman dekatku juga yang sedari tadi hanya terdiam mendengarkan percakapan kami.

Kemudian kami bertiga pergi kekelas 8F. Di dalam, kulihat Raina sedang melamun, awalnya aku penasaran apa yang dia rasa dan ingin sekali meminta maaf. Namun aku merasa ‘untuk apa?’. Akhirnya aku hanya mengobrol dengan Ririn dan Tina. Banyak anak yang mendekati Raina. Itulah dia, mama saja sering sekali membeda-bedakan aku dengan Raina.

Akhirnya pelajaran terakhir selesai. Aku segera menuju lapangan basket untuk bermain sembari menunggu Raina melatih angklung. “wiss.. jagoan kita datang” Ledek Rafa teman sekelasku. semua tertawa. Aku hanya meringis. Basket adalah hidupku. Lebih keren dari pada bermain musik, menari, dan lainnya. Apa lagi BUDAYA INDONESIA. Aku tahu ini konyol.

Pagi yang cerah, apa mungkin ini hari istimewa? Tidak tahu. Benar saja, burung berkicau. Hari minggu! seharusnya aku bisa tidur sepuasnya. Namun, suara itu terdengar lagi teng tung tang tong suara pukulan sebuah angklung dari bawah. Dirumahku memang ada ruang angklung sebagai hadiah Raina waktu masih duduk di kelas 2 SD. “hei! kau bisa diam tidak? AKU SEDANG SIBUK TIDUR!!” bentakku yang langsung menemuinya di ruang angklung. “hei, pagi pagi sudah ribut. Ada apa ini?” tanya mama lembut. “ini nih ma, Raina pagi-pagi sudah mengganggu tidurku!” Seruku. “Lah kok mengganggu? justru bagus kan kalau kamu terbangun. Jangan biasakan bangun kesiangan dong. Tidak baik. Lihat Raina, pagi-pagi sudah latihan.” Nasehat mama. “sudah mama. Tidak apa. Aku juga ingin pergi mandi. Maaf ya Sya” Kata Raina. “Tuh kan. Semua sama saja! mama apalagi! Membeda-bedakan aku dengan Raina. Memang ada orang yang sempurna Ma? Tidak!! Kalau begini terus, LEBIH BAIK AKU PERGI DARI RUMAH!” Ujarku. Mama terlihat sedih sekaligus kecewa. Aku tak kuasa menahan tangis. Hingga airmataku jatuh juga. Segera ku berlari ke kamar. Di dalam hati yang terasa sekarang adalah penyesalan.

Seharian minggu itu, aku tidak keluar kamar. Beberapa kali kudengar suara ketukan. Mulai dari Raina yang meminta maaf dan membujukku agar makan. Papa, dan Mama juga melakukan hal yang sama seperti Raina. Tapi aku tidak menjawab sepatah katapun. Hal yang aku lakukan hanyalah berdiam diri, menangis, dan menengarkan musik saja. “kenapa harus kulakukan itu tadi pagi? aku sungguh menyesal” gumamku. hingga matahari senin di ufuk timur muncul. Aku demam. Karena seharian kemarin aku tidak makan. “Kan sudah mama bilang. Kalau tidak makan bisa sakit” kata mama sembari menyuapiku sesendok bubur. “Lebih baik aku sakit daripada harus di banding-bandingkan dengan Raina oleh semua orang” Sahutku. “oohh, jadi kamu masih marah? memangnya semua orang?” Tanya mama. “tidak juga sih, tapi tetap saja. Dimana pun aku berada pasti ada saja orang yang membanding-bandingkan aku” jelasku. “baik kalau begitu, mama janji tidak akan membanding-bandingkan kamu lagi.” Kata mama sembari memelukku. “mama sayang Raisya” seru mama. “aku juga” kataku. Inilah momen yang setiap hari kuimpikan. Terima kasih Mama…

Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Seperti jalannya kereta. Tiba-tiba minggu datang lagi. Pagi ini, seperti biasa. Suara angklung. Aku menutup kupingku erat-erat dengan bantal hijauku ini. “raisya, earphonemu dimana?” Tanya Raina menghampiri. “Di atas meja belajarku” Jawabku dengan nada malas. “pinjam ya!” serunya sambil berlalu dari kamarku.

Siang harinya, aku sangat bosan. ingin mendengarkan lagu memakai earphoneku yang tadi di pinjam Raina. “Raina, earphoneku dimana?” tanyaku. Kulihat dirinya sedang merapikan baju batik buatan Farah teman dekatnya. “ada di ruang angklungku. kalau mau ambil, sok atuh. Aku sedang sibuk. Maaf dan terima kasih.” Jawabnya. Aku memutarkan bola mata coklatku. Dengan malasnya, ku berjalan menuruni tangga dan pergi ke ruang angklung Raina. Saat ku membuka pintu, dilihatku earphone merah muda itu ada di atas alat angklung yang dimainkan dengan cara di pukul. Aku penasaran dengan benda itu. Se asyik apa sih? hingga benda itu telah mempengaruhi Raina kembaranku?. Didepannya terdapat not not lagu wajib. Dan di alat itu pula terdapat tulisan-tulisan not. Jadi, dengan mudah aku memainkannya. Ternyata memang asyik!. Walau mainnya sangat perlahan dan putus-putus, aku tetap menikmatinya. “Raina!! aku penasaran. Tolong ajarkan aku cara bermain angklung ya..” pintaku kepada Raina. Dia terlihat kaget. Dan segera dilemparnya alat batik itu “subahanallah, benarkah ini Raisya? kurasa tidak.” Ujarnya terlihat sangat gembira. “ah, berlebihan” sahutku. Dengan sabar dan tekun, dia mengajariku cara bermain angklung dengan baik dan benar. Dasar-dasarnya. Terima kasih ya allah engkau memberiku saudara yang baik. “Raina maafkan aku ya… karena sering membuatmu marah…” sesalku. “ahh.. tak apa Sya, lagi pula itu tidak kumasukkan kedalam hati… yang penting kamu jangan mengulanginya lagi yaa” katanya. “sip deh!” ujarku.

Senin pagi dengan matahari pagi menjelang, “Rainaa.. apa aku boleh gabung di kelompok angklungmu tidak? ” tanyaku. “TENTU TIDAK! Maksudku tentu tidakku tolak. Dengan senang hati..” jawabnya. “Terima kasih… tapi aku malu” kataku. “untuk apa malu, sudah! Ayo masuk” tawarnya. baik sekali Raina, dia membalas semua perilakuku dulu dengan cara ini? baik hati… sungguh!, batinku. Seperti biasa, bel pulang sekolah tepat pukul 12.00. Siang ini hujan membasahi sekolah kami. Aku terdiam di koridor depan ruang angklung sekolah. batinku selalu berkata masuk tidak masuk tidak… dan sebagainya. Hatiku tidak tenang. Pertama, kalau aku masuk angklung, seheboh apa sekolah ini? Tapi aku sudah terlanjur cinta angklung. Duh, pilihan yang sangat sulit bagiku untuk memilih. “hei! Raisya. tunggu apa lagi? Ayo masuk!” bentak Raina. “wiiih seraam sekali” balasku. kami tertawa. Akhirnya kutekadkan untuk membawa tubuh ini masuk ke dalam ruang angklung itu. “hei Raisya! Mau apa kamu disini? Pengganggu!” bentak Pipit. “apa lagi kalau bukan mengganggu, mencari masalah, dan meledek?” timpal Dodi. Amarahku sudah tak tertahankan lagi. Namun, sebelum aku berbicara.. “sudah sudah. Raisya disini bukan untuk mencari masalah dan sebagainya. Tapi, dia mau bergabung bersama kita disini! Bukan begitu Raisya?” kata Raina sembari melebarkan senyum manisnya itu. Seluruh anak yang berada disitu terlihat sangat heboh. “wiss… santai kali semuaa… aku sudah mulai tobat ini” cengirku. “insaf juga kamu” Ledek Pipit.

Latihan ini kumulai dengan keadaan yang sangat riang. Walau sulit untuk menyesuaikan nada yang mereka memainkan dengan cepat. Besoknya… “haha tak percaya aku” ledek Tina. “serius! sungguh!” kataku meyakinkan. “iya, aku juga tak percaya” kata Ririn. Sulit untuk meyakinkan mereka kalau aku benar-benar sudah cinta angklung. Namun hal semacam itu bukan terjadi pada mereka saja. melainkan teman sekelas. Mereka semua sangat keras kepala dan sangat tidak percaya. “ya sudah kalau tidak percaya. Nanti pulang sekolah perhatikan derap langkahku menuju mana” kataku agar mereka lebih yakin. Sepulang sekolah, benar saja mereka mengikutiku. Dan akhirnya… TADAA! Barulah mereka percaya. “aku bohong?” tanyaku. Mereka menggeleng tak percaya. “kau tobat?” tanya Ririn. Aku mengangguk. “sudah dulu ya.. sebentar lagi masuk nih” kataku sembari berlalu. Mereka melambaikan tangan. Aku membalas lambaiannya. “teman-teman! Kalian semua harus dan wajib tau.

Tiga minggu lagi sekolah kita diundang untuk turut serta dalam perlombaan seni budaya angklung seJabodetabek. Jadi, kita harus maksimalkan waktu tiga minggu itu, jangan sampai di sia-siakan. Oh iya, teknisnya, perlombaan akan diadakan tiga babak. Semuanya ada penyaringannya. Babak pertama berlangsung di Gelora Bung Karno. Babak kedua berlangsung di Bandung. Dan babak terakhir di Borobudur. Keren tidak?” jelas Raina. “lah? Tidak bisa seperti itu dong! Aku kan baru saja masuk.” Bentakku. “maka dari itu, ini kesempatan emasmu untuk mengembangkan kecintaanmu pada angklung.” Kata Raina. “baiklah, terima kasih” ucapku. Benar saja, tiga minggu ini kuhabiskan dengan latihan yang sangat serius. Tekun, dan bersungguh sungguh. Berdo’a dan berusaha kuncinya. Yup! Aku harus tunjukkan kalau aku bisa! Aku akan membuat mama dan papa bangga. Aku akan membuat teman-teman di sekolah percaya.

Sampai hari itu tiba. Alhamdulillah.. persiapanku sudah mantap. Jelas saja, setiap hari setiap malam aku selalu berlatih angklung. Hari minggu saja, setiap mama dan papa mengajakku jalan-jalan aku selalu menolak. Semoga perjuanganku ini membuahkan hasil. “cepat bangun Raisya! Sudah jam berapa ini?” teriak Raina. “oke oke” jawabku dengan wajah tanpa dosa. Mama yang sedari tadi memerhatikan hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum. Aku segera mengambil handuk dan pergi mandi. Setelah bersih dan segar, aku turun ke ruang makan untuk sarapan. Disana Raina dan mama sudah menyiapkan roti selai. Papa asyik membaca koran di sebelah kolam renang rumahku. Tepat pukul 09.00 aku dan kawan-kawan se angklungku tiba di GBK. Perlombaan berlangsung tertib dan damai. Kami mendapat nompr urut ke 28 dari 130 peserta. Ya, begitulah. Oh iya, nama perlombaan ini adalah Tradition of Angklung Generation. Awalnya aku gugup. Namun setelah melihat kesungguhan Raina dalan bermain angklung, ku anggap itu sebagai acuan agar aku bisa lebih semangat. “fiuhh… lelah sekali ya! Pemenang akan diumumkan empat hari lagi” jelas Raina. “siap bosss!!” seru kami serempak dengan mantapnya. “baiklah kalau begitu kita tunggu dan berdo’a ya..” kataku.

Empat hari berlalu sangat cepat. “alhamdulillah… kita mendapat peringkat tiga.. itu berarti, kita lolos babak kedua!” seru Reza. “benar sekali.. tapi kenapa cepat sekali ya? Lomba babak kedua seminggu lagi” ucap Fira. “sudah, aku yakin kita pasti bisa!” seru Raina. Hari berjalan begitu cepat. Hingga hal yang tidak kuinginkan terjadi. Dua hari sebelum perlombaan itu berlangsung, Raina masuk rumah sakit. Aku tidak bisa pergi tanpanya. Sampai-sampai posisi kelompok angklungku lemah dan kalah masuk babak 3. Itu pelajaran bagi kami.

Beberapa hari kemudian, kelompok kami di undang ke festival Angklung di Borobudur, dan meminta kami untuk tampil disana. “aku tidak bisa pergi tanpamu Raina!” bentakku tepat dimana pesawat akan diluncurkan. Raina masih setia dengan infus dan kursi rodanya. “kalau kamu bahagia, aku juga bahagia. Jadi, kalau kamu tidak pergi aku akan sedih dan menangis”. “baik, jaga dirimu baik baik yaa.. semoga saat aku pulang nanti kamu sudah sembuh” harapku. Namun, perasaanku tidak tenang. Aku memeluk Raina erat-erat dan selalu berucap ‘jaga dirimu baik-baik’. kata terakhir yang dia sampaikan adalah “terima kasih, kau adalah saudaraku yang paling kucintai. Maaf bila aku sering membuatmu kesal”. Entah mengapa kata-kata itu sangat membuatku sedih dan gelisah.

Benar saja, sepulangnya aku dari Borobudur, paman menjemputku ke tempat yang sangat tidak kuinginkan. PEMAKAMAN UMUM. Sungguh berat menerima ini. Dilihatku satu bendungan tanah bertuliskan ‘RAINA ZULFA SALSABILA’. benarkah itu dia? Awalnya aku tak percaya. Ternyata dia mendapat penyakit jantung. Kenapa mama tidak cerita dari awal? Papa juga menyembunyikannya. Aku berontak! Sungguh tak percaya. Dikasurku, sudah ada secarik kertas yang berisi ‘Raisya, ini aku Raina Zulfa Salsabila. Terima kasih karena kamu telah menerimaku apa adanya. Maaf kalau aku sering membuatmu kesal, merepotkanmu dan semacamnya. Inilah aku, aku tulis surat ini jikalau umurku tak panjang. Tak tenang memiliki penyakit ini. Sakit rasanya. Tak tahan. Menggigil. Sya, tolong teruskan cita-cita yang sangat kudambakan. Sebagai penerus Sejarah angklung, membawa nama baik Indonesia dan angklung. pengembang perusahaan batik ternama’.

Semoga aku bisa meneruskan cita-cita Raina itu.

15 tahun kemudian, cita-cita Raina sebagai penerus Sejarah Angklung ku gantikan. Yup, membawa nama baik angklung keluar negeri, aktivis kebudayaan Indonesia, pengembang perusahaan batik ternama. Dengan satu tekad yang ku pegang, tekadmu juga. RAINA. INILAH AKU SEKARANG. KAU INGAT AKU? SAUDARAMU. SEMOGA KAMU TENANG DISANA..

– tamat –


Karya : Salsabila Putri Rulia

BOLA BEKEL, KOTAK EMAS DAN GALASIN

Tahu mainan anak jaman sekarang? Ya, sudah pasti, kalau bukan Gadget, Handphone, dan lainnya. Seperti halnya dengan Lisa, yang selalu main dengan Handphone-nya.

“Lisa, sudah dong, main handphone-nya!” Tegur Mum. Lisa tak memberi respon sama sekali.

“Lisa, ayo dong, kita belajar, jangan main handphone terus,” Kata Dad menambahkan.

“Lisa, tak mau Daddy. Lisa kan, sudah pintar. Lagipula, Lisa sudah lulus SD,” Jawab Lisa sedikit marah. Lisa pun, berlari ke kamarnya.

Di kamarnya, Lisa terus memainkan handphone-nya, di dekat balkonnya.

“Aduh, baterainya habis lagi.” Lisa pun, men-cash handphone-nya. Lalu Lisa duduk di bangku, dekat balkon kamarnya sambil memakan camilan.

“Ah, bosan, tak ada mainan,” Kesal Lisa sambil melempar camilannya.

Lisa pun, melirik ke bawah rumahnya.

“Eh, mereka sedang main apa, ya?. Mungkin, aku boleh ikut main,” Gumam Lisa dalam hati.

Lisa pun, turun ke bawah, untuk pergi bermain.

“Lisa, kamu mau kemana?,” Tanya Mum. Lisa tak menjawab.

“Tapi, kok, dia tak membawa handphone, atau gadgetnya?” Tanya Dad, kepada Mum.

“Sudahlah, biarkan saja,” Kata Mum.

Di luar rumah…

“Hai, aku boleh ikut main tidak?,” Sapa Lisa.

“Boleh kok, Lis. Tapi, kamu bisa mainnya?,” Tanya Yati, salah seorang teman Lisa.

“Gak tahu, nama permainanya pun, aku gak tahu,” Jawab Lisa sambil nyengir.

“Namanya bola bekel. Ini permainan tradisional,” Kata Dhea menjelaskan.

“Oh, cara mainnya?,” Tanya Lisa lagi. “Aku tidak tahu cara mainnya,” Ujar Lisa.

“Ini loh …”. Lisa pun, diajarkan cara bermain bola bekel. Dan akhirnya, Lisa bisa.

Kami pun, bermain. Awalnya, tak seru. Tapi, sejak anak laki-laki datang, permainan menjadi seru.

“Eh, kita main Kotak Emas, yuk,” Ajak Esha.

“Cara mainnya?,” Tanya Lisa.

“Kita gambreng. Terus, yang keluar terakhir, berarti dia yang jadi pemburunya dan bla bla bla blabla …” Kata Sibly menjelaskan. Lisa pun, mengerti. Setelah gambreng, ternyata, Ari yang jadi pemburunya. Ari pun, mengejar yang lain, untuk mengoper yang lain, agar menjadi pemburunya. Tapi mengejarnya, harus digaris. Ari pun, menepuk bahu Lisa, dan “Lisa jadi pemburunya!,” Kata Ari.

Setelah lama bermain, mereka istirahat sebentar….

“Ada permainan yang lain?,” Tanya Lisa.

“Galasin!!!,” Kata Esha, Suci, Yati, Sibly, Dhea, Ari, dan Putra serempak.

“Oke, cara mainnya?,” Lisa bertanya lagi.

“Ini loh, kita membagi tim, menjadi dua tim. Nanti, tim satu dan tim dua melempar koin, koin siapa yang jatuh lebih dulu, dia yang menang. Dan tim yang menang, harus melewati lapangan. Tim yang kalah, harus menjaga, agar tim yang pertama tidak menang lagi dan bla bla bla bla …” Kata Putra menjelaskan.

“Seperti Gobak Sodor, ya?,” Tanya Lisa.

“Ya, ayo kita main!!!” Seru Suci.

Mereka pun, bermain sampai Zuhur. Dan mereka pulang kerumah masing-masing.

“Bye, teman-teman!.” Kata Lisa.

“Ternyata, permainan tradisional tak kalah seru dengan permainan di handphone ataupun tablet.” Gumam Lisa, sambil berlari.

“Lisa, kamu habis main apa?.” Tanya Dad.

“Lisa, main Bola Bekel, Kotak Emas, dan Galasin. Daddy, Mum, izinkan Lisa besok, bermain dengan anak-anak di luar lagi, ya.” Pinta Lisa.

“Ya, sayang.” Kata Dad dan Mum. “Horeee.” Sorak Lisa.

Di rumah kalian, ada tidak permainan seperti yang diamainkan Lisa dan teman-temannya?


Karya : Muhammad Rafi Athallah

RAHASIA DI BALIK HUJAN

Langit mendung sore itu. Gumpalan abu-abu gelap seperti sudah mewanti-wanti semua yang dinaunginya bahwa sebentar lagi ia akan menumpahkan bawaannya.

Eros bukannya tidak menyadari itu semua. Ia tahu jelas. Ia pun sedang memerhatikan orang-orang yang berjalan cepat dari balik kaca sebuah kedai kopi yang ia diami hampir satu jam terakhir. Ia membenarkan posisi duduknya. Dan kemudian menyesap hangat gelas kopi ketiganya sore itu. Bergelas-gelas kopi yang telah ia teguk masih belum bisa membenarkan benang-benang kusut di pikirannya saat ini. Hanya penghibur sementara. Dan ketika tetes-tetes kopi itu hilang ke dalam pencernaannya, ia seketika bisa melihat adegan-adegan yang dengan susah payah berusaha ia lupakan dengan jelas. Seperti sebuah proyektor yang menampilkan gambar-gambarnya. Memaksa untuk diperhatikan.

Ia menyesap lagi kopinya.

Di mulai dari yang terbaru. Yang terhangat. Yang menjadi alasannya berada di kedai kopi ini. Aga mengiriminya pesan singkat berisi perintah untuk ada disini jam dua siang. “ada yang perlu kita bicarakan.” Tutupnya. Aga adalah teman sebangku Eros sejak SMP. Dia adalah the partner in crime milik Eros. Yang setia menemaninya di ruang BK jika ia terkena masalah. Menelan makian-makian yang sama dari gurunya. Di balik semua itu, mereka memiliki obsesi yang sama persis: mendirikan sebuah usaha kain batik. Aneh memang. Saat semua orang bermimpi menjadi raja minyak, pemain saham sukses, dan omong kosong lainnya, Eros dan Aga hanya ingin melestarikan budaya legendaris asal negrinya. Karena mereka tau, batik bukan hanya berasal dari coretan canting. Bukan pula dari tetesan malam. Tapi dari butiran keringat sang pelukis. Dari keinginan dan tekad yang besar untuk duduk berjam-jam dengan tekun dan sabar. Dari lepuhan kulit yang terkena minyak panas. Dari sana, lahirlah sebuah kain. Tidak besar, tidak megah. Tapi cukup untuk melukiskan sebuah identitas. Bahwa negeri ini ada dan punya identitasnya sendiri.

Mimpi Eros dan Aga akhirnya terwujud lima tahun yang lalu. Sebuah galeri kecil bertajuk “Batik Batavia” lahir. Mereka merintis dari nol. Dari dua hingga hampir lima puluh pekerja. Eros dan Aga lama kelamaan tinggal sepasang rekan bisnis. Salahkan kenalan yang makin lama makin tak terhitung. Salahkan semangat bisnis yang tak kunjung padam. Itu juga alasan di balik kalimat Aga setelah ini.

“Kita bangkrut.” Tembaknya.

Eros sudah bisa menebak berita itu. Kalimat Aga hanya sebuah perwakilan. Karena Eros sendiri tak akan sanggup mengucapkan dua kata sial itu. Tapi sementara Aga sudah memiliki banyak usaha lain, Eros hanya menggantungkan pencahariannya pada Batik Batavia. Disanalah cintanya.

Aga menepuknya di bahu sebelum meninggalkannya bersama secangkir kopi. Tidak. Eros belum mau meninggalkan tempat ini. Ia akan membiarkan kesedihannya larut bersama kopi-kopinya. Untuk apa ia pulang? Ia hancur. Kehancuran adalah rumahnya yang baru. Ia tiba-tiba teringat akan Kirana. Satu-satunya cinta selain Batik Batavia. Namun nasib sepertinya bersekongkol menyiksa Eros.

Ketika Batik Batavia baru didirikan, Kirana adalah rekan pertamanya setelah Aga. Eros memang sudah lama mengenalnya. Pada sebuah pameran batik di Solo. Mereka bertukar kartu nama. Namun baru dua tahun kemudian Eros teringat untuk menghubunginya. Entah siapa yang memantrai, keduanya tiba-tiba saling mengungkap cinta di sebuah kedai kopi. Ya, disini. Namun ternyata memang Eros belum ditakdirkan untuk bahagia. Suatu malam, ia hendak memberi kejutan untuk Kirana dengan mendatangi apartmentnya. Aneh, pintunya tidak dikunci. Ia masuk ke dalam dan langsung tersedak minuman yang ketika itu dibawanya. Ia tak akan melupakan apa yang dilihatnya malam itu. Ketika ia mendapati Kirana sedang asyik bercumbu dengan orang lain. Dengan PEREMPUAN lain. Keesokan harinya Kirana menjelaskan bahwa ia seorang lesb*an. Dan memacari Eros hanya untuk menutupi kemungkinan dicurigai orang lain. Eros melangkah pergi saat itu juga.

Kembali ke sore ini. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Awan memenuhi janjinya. Hujan turun sangat deras, membangkitkan kesedihan. Eros memutuskan untuk meninggalkan tempat ini. Ketika ia berada di ambang pintu, ia memutar balikkan badannya. Menghadap orang-orang yang sedang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Lihat sekelompok remaja di pojok sana. Menertawakan entah apa sambil menunjuk-nunjuk. Apakah cara berpakaian seseorang? Atau sebuah tingkah konyol ulah salah satu dari mereka kah? Lalu liat sepasang kakek nenek di tengah sana. Memandang sinis ke arah satu sama lain. Apa kira-kira masalah suami istri yang sudah renta seperti itu? Perbedaan pendapat menentukan tempat kuliah si bungsi mungkin. Mereka semua terlihat ‘biasa’. Dan mereka juga pasti melihat Eros sesosok yang juga ‘biasa’. Hanya bisa menerka-nerka apa yang ada dalam pikirannya. Mereka tak akan bisa menebak apa yang akan ia lakukan setelah ini.

Ia mundur selangkah.. dua langkah.. tiga langkah. “BRAKK!!”. Tepat sasaran. Ia sempat melihat sekelompok remaja tadi menoleh kaget kearahnya sebelum badannya menghempas aspal. Ia tersenyum seraya merasakan seluruh badannya remuk. Ia masih sempat merasakan tubuhnya dikerumuni banyak orang. Tapi hal terakhir yang diingatnya adalah seorang wanita menyeruak di antara kerumunan itu dan berteriak disampingnya.

“Ros!! Eros!! Sadar!! Kamu gak bangkrut! Dan aku bukan seorang lesb*an! Aku dan Aga yang mengatur semua ini.. untuk.. ulang tahunmu..” Kirana. Suaranya melemah di akhir kalimat. Namun Eros memejamkan matanya. Dan ia tidak kunjung membukanya kembali.


Karya : Ardelia Putri

EMAKKU SAYANG EMAKKU MALANG

Hatiku berdesir saat mendengar jeritan itu. Aku terpaku dan ternganga. Segera aku berpikir memutar otak untuk menemukan dari arah mana datangnya suara itu. Jerit tangis kian menjadi seakan memanggil seluruh orang yang berada di sekitar pekarangan untuk meminta tolong.

Kaki ini kian melejit menuju arah suara. Tubuhku gemetar, hatiku bergetar, dan anehnya tanpa aku menyadari air mataku berlinang.

Aku tak menyangka suara itu berasal dari kediaman kakakku yang tidak jauh dari rumahku. Kenapa suara itu datang dari sumur? Ada apa dengan sumur itu? Hatiku penuh dengan sejuta pertanyaan yang tak mampu aku sendiri menjawabnya.

“Emak… jangan tinggalkan aku…!!!”.

Kakakku duduk tak berdaya di samping sumur tanpa pagar itu. Matanya sembab, nafasnya tersengal. Suara tangisan itu menambah ketakutan semua orang yang berada di sekitar pekarangan. Sementara suami kakakku sudah tergeletak di pinggiran sumur dengan tubuh yang lemas dan memelung.

Dengan cepat aku memeluk kakakku dan mengajaknya berdiri dan masuk ke dalam rumah. Namun, Ia tetap bersikeras untuk menolong Emaknya.

Emak sudah tak bernyawa. Emak telah tiada. Emak menghabiskan sisa hidupnya di sini. Emak harus menghembuskan nafas terakhirnya ketika terjebur ke dalam sumur.

Menurut kakakku, Emak mengidap penyakit Ayan (Epilepsi) hampir sepuluh tahun. Namun hal ini juga belum dapat dipercaya seratus persen jika Emak menderita penyakit tersebut. Berbeda dengan cerita ibuku, kalau Emak dijadikan korban pesugihan orang tuanya dulu, namun karena ada kesalahan pengambilan sesaji dan alasan lain keluarga Emak tidak mendapatkan pesugihan tersebut, tapi Emak malah dijadikan korban peristiwa itu sehingga saraf otaknya sedikit terganggu.

Emak terbujur kaku di atas lantai setelah di gotong oleh beberapa tetangga. Sekujur badannya penuh dengan lumpur. Beberapa tetangga perempuan membersihkan tubuh Emak sambil meneteskan air mata.

Aku tak kuasa melihat peristiwa itu. Segera mungkin aku menyambar handuk dan menuju kamar tempat kakakku mengurung diri. Kakak sangat terpukul dengan keadaan ini. Aku mencoba mengetuk pintu dengan perlahan dan mengajaknya berbicara. Kakakku menangis sejadi-jadinya. Aku memeluknya dan menyeka air matanya. Aku berkata dengan pelan bahwa kakak harus sabar menghadapi cobaan ini. Aku tak tahu dari mana aku bisa berkata demikian. Seakan orang dewasa yang memberi wejangan kepada adiknya. Pikiran ini sempat terlintas dalam otakku, namun segera mungkin aku membuangnya. Sekali-kali aku ingin menjadi orang dewasa yang mampu memberi semangat untuk orang lain terutama keluargaku.

Aku membaca Yasin dan Tahlil di samping tubuh Emak. Sempat membayanngkan bagaimana jika kejadian ini terjadi pada orang tuaku. Apakah aku bisa kuat seperti apa yang baru saja ku ucapkan kepada kakakku, Atau aku sangat lemah dan tak bisa menerima kenyataan.

Pengurusan jenazah sudah selesai dan siap untuk dimakamkan. Emak akan meninggalkan keluarga kecil ini. Emak akan meninggalkan kami. Sebaris do’a aku persembahkan untuk mengiringi langkah Emak menuju surga Allah S.W.T.

Rumah ini terlihat sepi, tak ada sesosok orang yang senantiasa setia membersihkan rumput halaman depan. Tak ada orang yang biasanya berbicara sendiri di sudut kamar kecil itu. Kami kehilangan sosok Emak yang sangat memprihatinkan keadaannya.

Aku belum sempat membahagiakan Emak selama hidupnya. Satu bulan yang lalu aku menjemputnya dari rumah Nenek, kemarin Emak mengajak silaturrahim di tempat Bibik. Namun sekarang Emak sudah tiada, Emak sudah pergi dan kini berada di tempat yang mulia. Bahkan bapak sendiri menyianyiakan Emak. Bapak lebih memilih orang lain. Perkataan ini yang sempat aku dengar waktu Kakak berbicara dengan Ibuku. Bahkan aku merekam semuanya, agar menjadi motivasi dalam hidupku.

Beberapa hari sepeninggal Emak, banyak sekali ujian yang dihadapi keluarga kakak. Padi yang awalnya tumbuh subur dan bagus, kini menjadi kering dan banyak hama yanng menyerangnya. Bahkan satu hektar padi ini tak bisa di panen karena mati tanpa sebab yang pasti.

Kronologi cerita kematian Emak masih misterius di kalangan para tetangga. Mereka memberikan prediksi yang berbeda-beda atas kepergian Emak. Aku pun tak begitu paham dengan ceritanya, karena aku melihat setelah Emak sudah di angkat dipinggiran sumur. Sumur itu sangat lebar dan dalam. Setelah kakak mulai tenang dan bisa menerima semua ini, kakak menceritakan semuanya.

Pasalnya cerita ini berawal dari kakak yang sedang memasak di dapur, dan suami kakakku mengantar anaknya sekolah. Seperti biasa Emak bercengkrama dengan rumput di halaman rumah.

Waktu berlalu sangat cepat. Suami kakak pulang dan langsung mengambil sarapan. Belum selesai menghabiskan sarapannya, kakakku menyuruh suaminya mencari Emak, karena Emak tak ada di halaman depan. Secepat kilat suami kakakku meletakkan piring dan langsung mencari Emak di sekitar rumah. Namun hasilnya nihil. Suami kakakku menuju sumur, seperti ada perasaan yang mengganjal dengan sumur itu. Dugaan itu semakin kuat karena ditemukannya sandal yang di pakai Emak di samping sumur, dan kayu penutup sumur patah. Suami kakak langsung menyelam dan menemukan tubuh Emak di bawah lumpur hitam itu. Suami kakak lemas di dalam sumur dan tak kuat mengangkat Emak naik ke atas. Akhirnya para tetangga membantu untuk mengangkatnya. Pada celana Emak di temukan feses, dan ini diperkirakan ia akan membuang hajat, kemudian mengambil air di sumur tersebut dan penyakitnya kambuh saat itu. Herannya lagi, kenapa tak ada orang yang mendengar saat Emak terjebur di sumur. Bahkan kakakku tak mendengarnya. Inilah rahasia Tuhan.

Menurut cerita orang dulu, penyakit Ayan akan bertemu ajalnya di Air atau di Api. Emak sudah pernah terbakar tubuhnya, Alhamdulilah masih selamat. Namun kini keselamatan tak berpihak Emak ketika bertemu Air.

Kini sumur itu di timbun dan ditanami beberapa tanaman. Agar tak membekas bahwa ada cerita bersejarah dengan sumur itu, padahal sumur itu menjadi tempat pengungsian utama bagi para tetangga bila musim kemarau datang. Sumur itu sangat jernih dan tak pernah kering. Namun menjadi malapetaka badi keluarga kakakku.

Hari kian berganti, minggu ke minggu terus melaju, hari yang sangat di tunggu kampung kami pun tiba, yaitu musim panen. Kami menyambutnya dengan riang dan senang, termasuk keluargaku.

Tak dapat dipungkiri lagi dan sudah menjadi rahasia Tuhan jika mati, jodoh dan rizki tak ada yang mengetahui. Begitu pula dengan kakakku, padi yang awalnya terlihat kering, dan diperkirakan akan gagal panen, malah menjadi pusat perhatian warga kampung. Padi kakakku menjuarai jenis padi-padi yang lainnya. Panen tahun ini bisa dikatakan terbaik jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Semua masalah dalam hidup akan selesai jika kita mampu melewatinya. Demikian kakakku, semua ujian yanng dialaminnya kian meringan. Selain itu kakakku di percaya sebagai pengurus gedung walet milik desa yang gajinya bisa digunakan untuk membiayai keluarga.


Karya : Umi Kulsum

HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINAGAN

Hai teman-teman semua selamat pagi. Di hari ini Aku akan bercerita kepada kalian tentang pengalamanku, pada waktu libur Hari Raya Galungan dan Kuningan. Mungkin ceritaku ini tidak terlalu menarik. Meski demikian, mudahan-mudahan dengan ceritaku ini kalian semua bisa terhibur.

Pada saat merayakan Hari Raya Galungan Aku beserta keluarga ikut melaksanakan persembahyang bersama di Pura. Dengan menggunakan pakaian adat bali, dan membawa sebuah canang untuk di persembahkan kepada Hyang Widhi.

Persembahyangan yang dilaksanakan sangat sakral sekali. Di saat mulai sembahyang Aku begitu khusyuk berdoa untuk memuja Hyang Widhi. Aku mengikuti jalannya upacara tersebut sampai benar-benar selesai. Kemudian esok harinya, saat Umanis Galungan Aku dan adik beserta orang tuaku, akan berkunjung kerumah nenek yang tinggal di Seririt. Aku berangkat ke sana dari mulai pukul 10:00 WITA, dengan menggunakan sepeda motor. Sesampainya aku di Desa Busungbiu, tiba-tiba di jalan dekat Pura Desa terjadi kemacetan. Jalan tersebut di penuhi pesatnya kendaraan bermotor yang ingin berpergian.

Banyak kendaraan yang mengantri di tengah tengah jalan, sampai-sampai tidak ada celah jalan sedikit pun untuk ku lalui. Oleh karena itu, Aku berhenti sejenak di sebelah kiri jalan. Sedangkan orangtuaku sudah duluan melewati jalan tersebut, lain halnya denganku.

Dalam hati aku berkata “Aduh, sial banget sih nasibku, aku di tinggalin deh jadinya”.

Kemacetan itu membuatku harus menunggu beberapa menit lagi, sampai-sampai Aku merasa geregetan dengan situasi seperti ini, yang membikin Aku kesel dan tidak sabar untuk menunggu.

“Uuh membosankan sekali, sudah ribut, capek, panes lagi. Aduuh kayak di Jakarta saja, lama banget sih selesai nya”.

Ingin sekali rasanya Aku mencari jalan pintas supaya cepat sampai tujuan. Tapi kayaknya itu tidak mungkin, karena Aku telah terapit oleh beberapa kendaraan lainnya. Selama 15 menit Aku menunggu, akhirya arus lalu lintas kembali menjadi lancar dan aku pun sudah bisa melewati jalan tersebut. Tak kusangka saat-saat seperti itu akhirnya bisa juga terpecahkan. Aku pun bisa merasa lega.

Mulailah aku melanjutkan perjalanan lagi. Ternyata baru sampai di tengah-tengah perjalanan, orang tua menungguku di samping kiri jalan di bawah pepohonan. Aku telah mengira kalau orang tuaku sudah duluan sampai di rumah nenek, Ternyata tidak, itu cuma pikiranku saja “Hehehe”. Akhirnya Aku dan adik berserta orang tuaku bisa bersama-sama lagi melanjutkan perjalanan. Sambil mengendarai sepeda motor, aku bernyayi-nyanyi dengan riangnya.

“La… lala.. lala… lala”.

Karena asyknya aku bernyanyi hingga tidak terasa sudah sampai di rumah nenek.

“Hore… yeyeye… lalala…”.

Sesampainya di rumah nenek, Aku di ajak ngobrol dengan paman dan nenekku. Selanjutnya Aku bersama Diah berbincang- bincang di dalam kamar, sambil menonton film horor kesukaanku. Tak lama kemudian Aku merasa bosan, sehingga Aku megajak Dian dan adikku belanja ke Hardy’s. Meski jaraknya dekat dari rumah nenek, Aku kesana tidak berjalan kaki. Tetapi menggunakan sepeda motor, karena di siang hari udara di sana sangat panas sekali. Setelah aku pulang dari hardy’s, Aku diajak sama ibu berkunjung ke rumah bibi. Di sana aku tidak terlalu lama hanya sebentar saja.

Selanjutnya pulang kembali ke rumah nenek. Setelah Aku tiba di rumah nenek, Aku merasa sangat lelah sekali. Sehingga Aku beristirahat beberapa jam. Kemudian di sore hari, orang tuaku mengajak Aku dan Diah lancong ke pantai Umeanyar. Setelah Aku tiba di sana, Aku melihat banyak teman-teman dari SMANSAB datang ke pantai. Di sana Aku duduk-duduk sebentar di bawah pohon yang rindang sambil melihat-lihat orang yang sedang berenang dan bermain. Suasana di sana sangat ramai sekali. Beberapa menit kemudian, Aku ingin mengajak diah jalan-jalan di sekitar pantai.

“Hei… Diah kita jalan-jalan ke sana yuk… Sambil cuci mata dikit, hehehe…”.

Diah pun setuju “Ya kk yuk kita jalan-jalan sekarang!”.

Akhirnya Aku dan Diah jalan-jalan di atas pasir sambil ngobrol dan menikmati udara di pantai.

“Wow… ternyata udara di sini sejuk banget ya”.

“Iya-iyalah, di pantai gitu lo”.

Sesudah jalan-jalan, Aku melihat semakin banyaknya anak kecil yang sedang berenang dengan asyiknya. Sehingga Aku merasa tertarik ingin mandi, tapi dalam hati aku merasa ragu-ragu.

“Mandi, enggak, mandi, enggak. Sebenarnya sih pengen mandi tapi kalau Aku mandi nanti pulangnya pakek apa, kan gak bawa pakaian ganti. Aduh… jadi binggung deh”.

Oleh sebab itu, Aku ingin mengajak Diah mandi dengan sedikit merayunya, tetapi diah menolak ajakanku.

“Diah kita mandi yuk, di jamin pasti seru”.

“Buiih, gak mau ah kak. Maaf yak kk Diah lagi males mandi di pantai”.

“Waduh, hari gini males mandi di pantai, capek deh. Ayolah… Diah kapan lagi sih kita dapat mandi di sini, kalau tidak sekarang. Mumpung gratis nih”.

Akhirnya tawaranku di terima juga tetapi dengan menggunakan syarat.

“Ya deh, Diah ikut mandi sekarang. Tetapi sebelum kita mandi bersama, contohin dulu gaya mandinya! Baru Diah mau mandi”.

Aku pun menjawab ucapannya dengan sedikit menyindir, agar diah tidak bisa beralasan lagi dan tidak mengulur-ulur waktu.

“Emiih… katanya jago renang. Masak mandi saja harus di kasi contoh terlebih dahulu. Malu donk dah gede di kalahin sama anak kecil. Pakai isi syarat-syarat segala lagi, gak asyik. Bilang saja kalau gak mau”.

Diah mencoba meyakinkanku sekali lagi.

“Tentu saja diah mau kak, kakak harus percaya sama diah. Tenang saja kak, Diah gak bakalan bohong. Tapi kak harus kasi contoh terlebih dahulu!”.

Aku pun mempercayai ucapannya. “Oke lah kalau begitu”.

Maka dari itu, aku berjalan secara pelan-pelan menuju bibir pantai. Tiba- tiba Diah mendorongku dari belakang dan Aku pun jatuh ke air.

“Biiuuur…”. Suara deburan ombak menerpaku.

Seketika seluruh tubuhku menjadi basah dan Aku di tertawai oleh Diah.

“Hahaha, kasian deh lho, kakak tertipu. Emang enak di kerjain, sorry ya…”.

Aku langsung menanggapi ucapannya, dengan memperlihatkan raut wajah seperti orang bercanda.

“Aduuh kamseupay banget sih lho, gak lucu tau. Dasar curang.”

Diah pun secara langsung menanggapi ucapanku.

“Hehehe… Up to you, yang penting baju Diah gak basah”.

Suara ucapannya terdengar solah-olah lebay, Aku pun sedikit geregetan dengan Diah. Akhinya Aku mengejar diah sambil tarik-tarikan di atas pasir yang gembur. Untungnya Aku tidak jatuh. Aku sudah tidak kuat lagi mengejrnya, lagi pula Aku malu di lihat banyak orang. Sehingga aku kembali lagi berenang tanpa di temani.

Aku cuma di tonton saja sama diah. Pada akhirnya Aku baru merasakan, kalau mandi di pantai terasa sungguh mengasykkan sekali dan membikin Aku semakin ketagihan. Walaupun Aku tadi di bohongin sama Diah, tapi Aku tidak marah sama sekali kepadanya. Bagiku itu semua ku anggap sebagai bercandaan saja, karena satu niat Aku di liburan hari ini yang penting Aku merasa senang. Hari pun semakin sore, sehingga air di pantai semakin dingin. Aku pun selesai mandi. Aku dan diah beserta orang tuaku sudah bersiap-siap akan meniggalkan pantai, dan akhirnya Aku pulang ke rumah nenek dengan menggunakan pakaian yang basah.

Setelah tiba di rumah nenek, Aku segera mandi menggunakan air tawar dan ganti pakaian. Akhirnya menjelang malam hari, Aku dan adik beserta orang tuaku pulang ke rumah, dan tiba di rumah dengan selamat.

Siang malam silih berganti dengan cepatnya maka, tibalah saatnya Hari Raya Kuningan. Aku dan keluarga ikut merayakan hari suci ini sama seperti saat Hari Raya Galungan. Di siang hari, sesudah selesai sembahyang, Aku dan Ayah pergi ke pantai Lovina dengan mengendarai sepeda motor. Mungkin perjalanan yang di tempuh sangat jauh. Beberapa jam kemudian akhirnya tibalah di pantai Lovina.

Setelah Aku tiba disana, Aku duduk-duduk sebentar dan berteduh di bawah pohon besar sambil melihat-lihat situasi di pantai. suasana pantai sangat ramai sekali, banyak warga masyarakat setempat berkunjung ke pantai. Selain itu, Aku juga melihat banyak turis atau wisatawan asing sedang berjemur di atas pasir. Tak lama kemudian Aku berjalan-jalan sendirian di bibir-bibir pantai, sambil melihat-lihat perahu-perahu kecil yang sedang berlayar di tengah lautan dan dari jauh tampak pemandangan yang sangat indah sekali. Deburan ombak yang berguling- guling seakan-akan mengajaku untuk berenang di tengah-tengah lautan. Setelah Aku merasa puas menikmati keindahan pantai. Aku langsung datang ke tempat Ayah berada.

Saat ombak mulai surut, Aku di ajak mandi tetapi Aku menolaknya. “Maaf ayah Aku tidak ikut mandi, soalnya Aku tidak bawa pakaian ganti. Lagi pula airnya dingin sekali, Aku takut nanti kedinginan”.

Sehingga Ayah menyuruhku agar menunggu sebentar.

“Ya sudahlah kalau begitu, duduk saja sana dulu!.”

“Iya, ayah “.

Akhirnya Aku menuggu Ayah sampai selesai mandi. Tak terasa hari pun semakin sore, matahari terbenam di ufuk Timur. Aku dan ayah bergegas meninggalkan pantai dan melanjutkan pejalanan pulang ke rumah. Tak ku sangka liburan kali ini sungguh Mengesankan sekali. Selain dapat melaksanakan persembahyangan di Hari Raya Galungan dan Kuningan, sekaligus Aku juga dapat berekreasi ke suatu tempat yang indah. Itulah pengalamanku semasih remaja yang tak pernah Aku lupakan dalam hidupku.

THE END


Karya : Luh Mirayani

RUMAH PERSINGGAHAN

Sosoknya masih mengembun di benak semua warga. Dari saban hari, aktifitasnya hanya mengumpulkan kamboja, menjemur dan menjual. Pak Suyasa, sudah rabun memang. Tapi tidak ada ragu bahwa ia akan tiba di rumahnya tepat sebelum malam berganti dini hari.

Sudah tiga hari jejak Pak Suyasa tidak membekas di jalan-jalan desa. Tiada lagi jalan yang terlihat bersih. Rumput meninggi di sudut rumah, guguran daun menutupi jalan, kelopak bunga menangis tak terjaga. Menjelang pagi, sosok pria tua ini muncul di ujung candi desa. Ia membawa sebuah sapu dan karung putih dekil. Sapu itu didapatnya dari mengumpulkan sisa tulang janur dan mengikatnya dengan tali dari batang pisang. Tali itupun ia temui di belakang gubuk yang ia bangun sepeninggalan istri tercintanya.

Pak Suyasa akan mulai mendatangi rumah pertama. Tangannya dengan lihai menari memungut guguran kamboja korban cuaca tempo hari. Setelahnya, gundukan sampah dan sisa keringat akan melebur di sudut rumah warga yang didatangi. Seperti biasa, Pak Suyasa akan pamit pergi dan melanjutkan aktifitasnya menjajal atmosfir ke rumah kedua, rumah ketiga, dan rumah-rumah selanjutnya hingga lututnya kaku. Atau, hingga penat di pikiran mengalahkan semangkuk ketela hangat sarapan pagi yang ia kunyah nikmat. Tubuhnya tak cukup kuat menahan terik matahari yang di campur pemanasan global. Ia hanya akan memungut kamboja hingga setengah desa lebih. Lalu, berhenti di sebuah rumah persinggahan.

Rumah itu unik. Atapnya berumbai daun kelapa tua. Dindinganya, menua bermotif guratan alam. Sangat jelas dinding itu dirangkai dari bambu muda yang diperintahkan meliuk dan menindih satu sama lain. Berandanya berkekuatan polesan tanah liat merah yang di ambil dari kali seberang desa. Beranda itu kokoh hingga sekarang. Seseorang pasti menghabiskan beberapa tahun untuk mengkreasikan diri membangun rumah itu. Orang yang menulis lagu balonku ada lima, orang yang menulis lagu pelangi, dan orang sama yang menulis lagu cening putri ayu1. Rumah itu begitu kecil, lahan satu are mungkin cukup untuk membuat tiga sampai empat rumah serupa. Kecil sekali. Rumah itu setidaknya mengetahui kematian Pak Suyasa yang meninggalkan misteri bagi penduduk desa.

“Ia memungut kamboja di pekaranganku, kemarin. Wajahnya biasa saja.” Kata seorang ibu di tengah orang yang berkumpul membicarakan Pak Suyasa.

“Aku sempat memberinya uang lebih. Suamiku lagi gajian.” Sahut ibu lain menimpali.
Perkumpulan itu dilanjutkan hingga malam menjemput mentari untuk ke peraduannya. Sangat banyak opini yang muncul. Ada yang bersua Pak Suyasa meninggal di makan harimau, tersesat di hutan, terpleset ke jurang hingga kena santet secara sengaja.

“Mungkin Pak Suyasa berada dalam rumah persinggahannya. Menjelang senja, ia sempat menyapaku dan menawarkan segelas air.” Kata seorang ibu pemalu di tengah polemik hilangnya Pak Suyasa.

Hanya ada beberapa orang yang acuh kepada saran itu. Yang lain, sibuk merangkai hiperbola untuk diberitakan saat menonton gosip artis, saat berbelanja di pasar, saat kumpul keluarga dan saat-saat lain.

Seminggu pasca tiada kabar dari Pak Suyasa, polemik telah mengudara melebihi gelombang radio nasional. Desa seberang mau tidak mau ikut campur dalam masalah ini. Penyebab yang paling populer adalah Pak Suyasa hilang karena kena santet. Mereka semua sibuk mencari. Bukan apa, hanya memikirkan kemungkinan orang yang memiliki kemampuan di luar nalar tersebut. Beribu nama muncul, tiada tindak lanjut.

Sementara, beberapa orang lain coba mendatangi rumah persinggahan Pak Suyasa. Memang aneh, Pak Suyasa bukanlah siapa-siapa sebelum dirinya hilang di telan bumi. Tiba-tiba, ia meledak bagaikan bakteri yang membelah ratusan kali dalam hitungan menit. Popularitasnya lebih tinggi dari artis retasan youtube. Salah satu dari 4 orang tersebut kebetulan seorang mantri kawakan desa. Orang ningrat. Penyuka misteri. Mereka sampai di rumah itu tengah hari. Beristirahat di beranda dan menenggak beberapa gelas air sembari menyusuri rumah mencari jasad Pak Suyasa. Mungkin mereka masuk ke dalamnya.

Seperginya empat pemuda tadi, desa semakin aneh. Empat orang itu tidak pernah kembali lagi ke rumah mereka. Istri sang mantri menangis sejadi-jadinya mengetahui suami tercintanya bernasib bak Pak Suyasa. Keluarga tiga orang lain juga, tiada bosan mengumbar kesedihan ke berbagai media desa. Mungkin mereka tidak menyangka, sosok yang mereka rengkuh berhari lalu telah tiada. Tapi, itulah hidup.

Berita tentang empat orang yang ikut-ikutan hilang kembali menetas ke semua desa di kecamatan daerah tersebut. Camat daerah yang awalnya hanya ngantor 3-4 jam menjadi rajin musiman. Ia sibuk mengobrol dengan bawahannya. Tentang Pak Suyasa dan empat orang yang hilang terkena santet. Setidaknya, itu yang semua anak buahnya serempak katakan. Entah kapan ia merumuskan pembangunan desa yang makin semraut di terjang moderenisasi. Atau, di serang seks bebas dan penyakit degradasi moral yang menular. Ia lebih senang menghabiskan hari dengan bertukar kabar burung yang tidak jelas riuh rendah dengungnya.

Beberapa warga yang penasaran memutuskan untuk mencari Pak Suyasa, dan empat warga lain yang hilang. Kali ini, mereka membawa senjata tradisional seperti bambu runcing, arit, dan pedang panjang. Mungkin mereka berpikir ada sekelompok kanibal yang menghuni hutan di dekat rumah persinggahan Pak Suyasa. Atau bahkan di rumah itu? Tim SAR mendadak ini bergerak pada subuh hari. Menyusup, mencari kebenaran. Seorang bocah tanpa sengaja ikut menyusup. Menjelang siang hari, bocah itu pulang seorang diri karena di anggap masih bocah. Memang bocah.

“Mereka semua masuk ke dalam rumah kecil itu. Aku di suruh pulang.” Ratap anak kecil itu di dekapan ibunya saat ngerumpi dengan ibu-ibu lain.

Berita buruk kembali melanda desa. Kelompok pemuda itu, lagi-lagi, menghilang tak berbekas. Hilang dengan menyisakan sedih yang entah mengapa tidak lebih dari rasa penasaran warga. Mengundang ribuan pertanyaan lain yang tidak terpecahkan logika macam manapun.

Maka sepakatlah warga desa menyebut orang-orang tersebut hilang di dalam rumah. Sudah sangat jelas, sebelum hilang, jejak terakhir selalu mengarah pada rumah itu. Penduduk makin kalut dan terpaksa mendesak kepala desa untuk bergerak. Kepala desa tentu tak mau kehilangan muka. Ia mengajak seluruh pemuda dan pria dewasa berkumpul di aula desa pada hari minggu. Tujuannya, untuk melakukan pencarian. Hendaknya, kepala desa berpikir tidak akan mungkin seluruh pasukan kali ini –termasuk dirinya- akan hilang. Terlalu banyak. Tersebutlah pasukan besar tersebut bergerak bagaiakan koloni semut yang mencari seonggok roti yang jatuh pasrah menyambut tanah. Rumah persinggahan itu sudah di depan mata mereka. Satu demi satu orang masuk ke dalam rumah itu. Mereka masuk tanpa bertetes ragu bak telah di cuci otak oleh pemimpin, cara tradisional yang menguap lagi.

Betapa terkejutnya Camat mendengar seorang kepala desa dan seluruh pemudanya menghilang. Terkena santet, itulah yang di benaknya. Langsung ia menyuruh supir pribadinya menyiapkan mobil dan segera melaporkan ke Bupati di daerahnya. Tidak mau ambil repot, sang bupati tidak segan-segan melaporan ke gubernur prihal santet yang meresahkan warga tersebut. Pasalnya, warga satu kabupaten telah melupakan untuk apa mereka di kirm Tuhan menuju dunia. Semua warga sibuk mempermasalahkan apa, mengapa, bagaimana dan di mana. Tidak ada pikiran untuk bekerja, tidak ada pikiran untuk sekolah, tidak ada pikiran untuk melakukan kegiatan positif. Pembangunan menurun, sampah menumpuk, pengangguran menular bak virus influenza. Bupati bingung, kompi bantuan dikerahkan menuju lokasi, sementara laporan tentang hilangnya warga satu kecamatan di tempat Pak Suyasa sudah sampai di tangan Bupati. Tidur kini merupakan harta bagi Bupati malang itu.

Tentara kompi bantuan se-kabupaten tidak mendatangkan hasil maksimal. Semuanya hilang tak berbekas debu sekalipun. Bupati tambah bingung dengan kehebatan tukang santet yang bisa mengalahkan pasukan tentara bersenjata lengkap. Gubernur bertindak cepat dengan mengadakan rapat pleno. Hampir seluruh bupati memberi keluhan serupa dari rakyatnya. Kasihan bupati malang tersebut. Beberapa tidak sempat menghapus digit nol dari pajak rakyat dan menyimpan di saku rapat-rapat. Beberapa lain, kehilangan momen untuk mencari daun muda untuk di kunyah nikmat.
Bukti baru di temukan. Sebuah rumah persinggahan di duga sebagai tempat tinggal tukang santet tersebut. Bahkan sumber terpercaya menulis seluruh warga hilang di rumah itu. Bagaimana bisa rumah sekecil itu menampung lusinan orang yang hilang tak berbekas?

Singkat cerita, pemerintah pusat sudah mulai menerima laporan tentang tukang santet dan hilangnya penduduk dan Pak Suyasa. Tim dari intelejen negara bergerak menuju lokasi. Misi memasang CCTV diberi. Misi itu direncanakan sejak jauh-jauh hari.

“Hanya untuk memasang. Dan pergi!” perintah kepala Intelejen kepada anak buah terbaiknya.

Dua orang anak buah tersebut menyusuri tempat yang di tuju. Jalan-jalan kotor, tiada seorang penduduk yang ditemui. Tanah tertutup sampah setinggi lutut. Bau kamboja kering menusuk hidung menerbangkan sukma. Kepala BIN (Badan Intelejen Negara) duduk cemas menanti anak buah kepercayaannya. Pucuk di cinta ulampun tiba. Kedua anak buah itu tiba dengan selamat. Tanpa luka, tanpa cedera. Hanya saja, banyak mozaik yang terlupa oleh mereka. Setidaknya, mereka tidak meregang nyawa.
Sangat sedikit informasi yang bisa di korek dari dua intelejen negara yang selamat. BIN tidak tahu kenapa mereka selamat, dan puluhan intelejen lain tidak kembali pasca misi mereka memeriksa rumah tersebut. Apakah tukang santet tersebut sedang tidak di rumah? Apakah beberapa orang memang tidak masuk dalam kriteria? Entah. BIN menyerah dan melaporkan kepada jajaran kabinet kecuali presiden yang selalu sibuk setiap hari. Setiap waktu. Setidaknya, itu keterangan dari memo singkat di depan pintu ruangan beliau.

DPR mengadakan rapat pleno membahas hal ini. Seminggu penuh rapat itu di gelar, berbagai media meliput pasrah pasca berkurangnya penduduk negara kecil ini secara signifikan. Semua menghilang di rumah persinggahan itu. Kena santet? Setidaknya itu pemikiran yang coba di dukung kaum mayoritas. Rapat tersebut mendapatkan kesimpulan mencengangkan. Untuk menjaga kestabilan negara, maka akan di bentuk undang-undang santet. Betul-betul kontroversional. Setidaknya kalimat dalam pasal tersebut pasti sangat tangguh dan tegas. Hal yang tak terdefinisi kini coba diinterprestasi, bak manusia yang coba menjelaskan Tuhan dalam rangkaian not-not kalimat liris.

Berbagai ahli coba menguji keetisan undang-undang santet tanpa menghiraukan jumlah penduduk yang terus berkurang. Jalan-jalan menuju desa Pak Suyasa akan sangat ramai pada jam tertentu. Rombongan warga bermacam kendaraan melintas. Tak kembali, seorangpun. Padahal desa itu adalah desa paling ujung, bak gang buntu di tengah semraut ibu kota. CCTV menunjukkan sangat banyak orang masuk ke rumah itu. Mereka antri untuk mengobati penasaran yang sudah menembus batas realitas di otak. Tidak jelas apakah CCTV berbohong, akan tetapi tidak ada sebutir debupun yang keluar dari rumah persinggahan kecil itu. Rumah itu kosong, bahkan. Bisa di lihat dari rongga dinding bambu yang agaknya di buat dengan tergesa. Rumah itu bak menampung penduduk satu negara. Apakah rumah itu memiliki jalan rahasia? Kemanakah orang-orang yang telah memasuki rumah itu? Apakah ada suatu tempat di balik tembok bambu keropos itu? Entahlah. Yang terlihat hanya laut luas dan tebing dalam. Rumah itu terletak di atas tebing yang di hantam lautan ganas berhias pemandangan sawah di sekitar rumah uzur itu.

Jam sudah menunjukkan lunch time. Presiden keluar dari peraduannya. Ruang sumpek yang pengap. Betapa bingungnya ia karena semua staffnya tidak ada di tempat. Tidak satupun. Nomor orang-orang kepercayaannya tidak aktif. Berada di luar jangkauan. Ia melangkah ke luar istana yang khusus dibuatkan untuknya. Gedung DPR hendak ia datangi. Terkejutlah presiden mendapati jalan yang lengang, suasana yang sepi, dan kondisi yang begitu tenang. Sangat berkebalikan dari hari normal. Dipercepatnya langkah hingga di gedung DPR. Ia menemukan sebuah surat yang ditujukan kepadanya. Surat tersebut menyatakan bahwa semua anggota DPR menjalankan studi banding ke sebuah desa di ujung pedalaman sana. Sangat jauh. Ia tahu desa tersebut sangat indah, asri dan terkenal seantero jagat. Iapun mengerti kode anak buahnya yang bermaksud plesiran. Mungkin hobi.

Sudah dua jam sang presiden duduk mematung di depan gedung DPR yang kosong. Menunggu manusia menyapanya. Terbalik dari hari-hari sebelumnya. Tiada pesan dan kesan dari orang-orang yang biasanya berebut melindungi dirinya dan tikus-tikus berdasi peliharaannya. Sang presiden terhenyak dan berkata sendiri.

“Betapa bodohnya aku. Mana mungkin ini kenyataan, aku pasti sedang bermimpi.” Secepatnya ia mengambil sedikit kulit pipi dengan kuku panjang yang belum sempat di potong oleh anak buahnya.

Ia merenggut dan mencubit pipinya. Kemudian, ia berteriak keras di negara sunyi itu.
“Awwwwwww! Sakit!”
Keterangan :
1 = Cening Putri Ayu merupakan sebuah lagu bali yang cukup terkenal. Pencipta lagu ini tidak diketahui secara jelas.


Karya : Gede Agus Andika Sani

TERPESONA OLEHMU DANAU TOBA

Awan putih bergumul gumul seperti kapas berarak santai lemah gemulai di langit. Sesekali matahari yang sedang mempertontonkan kekuatan sinarnya kesal karena tertutupi oleh awan. Dengan sedikit bantuan angin matahari mengusir pergi awan agar pergi sedikit saja lagi kearah kiri. Hingga matahari dapat senantiasa memperlihatkan otot otot kekar sinarnya berjalar-jalar hingga menusuk bumi Sebuah pertunjukan langit yang luar biasa sebenarnya, kalau aku sedang dalam kondisi hati yang biasa. Matahari jadi kecewa karena alpa tepuk tangan dariku, sunyi dari sorak sorai mulutku yang mengagumi ketampanan matahari. Maaf, hati ku kini sedang diselimuti kekecewaan tingkat Internasional. Sesuatu apa lagi yang dapat melebihi rasa kecewa ini jika dirimu, yup dirimu yang sedang asik asiknya menikmati pertemanan, sedang menanjak karirnya pada beberapa kegiatan ekskul di sekolah, menjadi seorang sekertaris osis, hang out di mall beberapa kali sebulan, lalu kemudian tiba tiba kesenangan itu diberangus dengan sebuah keputusan yang sungguh menyakitkan.

Apa lagi kalau bukan menyakitkan sobat? Ayahku yang seorang Dokter yang PNS, kini harus pindah tugas ke daerah terpencil nun jauh di pelosok entah mana. Dengan prinsip Ayah, makan tidak makan yang penting ngumpul, tentu saja adalah sebuah ilusi jika aku dibiarkan berada di sini, di Jakarta ini dan meneruskan sekolah di sini tanpa di ganggu oleh kepindahan Ayah, tentu saja sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab, ia akan memboyong kami semua ke tempat di mana ia bertugas. Oh Ayah sayang, entah mengapa engkau tak berusaha membatalkan tugas ini demi menjaga mentalku Ayah. Demi menjaga stabilitas kejiwaanku yang mungkin saja bisa terganggu kalau-kalau aku dijauhkan dari semua teman-temanku dan di cerabut dari gegap gempitanya Mall dengan berbagai hiburan yang ditawarkannya. Bukankah bisa Ayah sedikit saja berkorban untuk menyerahkan uang agar Ayah tak jadi dipindahkan, hal ini kuketahui saat aku pernah beberapa kali menangkap pembicaraan, bahwa pindah tugas bisa dihindari dengan memberikan sejumlah uang pada seseorang yang dapat mengurusnya.

“Kepindahan ini Ayah yang minta Shafira.. sudahlah jangan merengek terus, tinggal di sana tak seburuk yang kau bayangkan”. Ucap Ayah tatkala kusarankan agar memakai tabunganku untuk menyogok pemerintah agar tak jadi dipindahkan.

Apanya yang tidak seburuk yang kubayangkan. Zikra, teman sekelasku, ia pindahan dari Pematang Siantar Sumatera Utara, Zikra dengan nyata menjelaskan daerah yang menjadi wilayah tugas Ayahku ini sangat dekat dengan tempat Ayahnya tugas saat ia SD dulu, Ayah Zikra seorang Pejabat Militer dengan jabatan tinggi yang pernah menjadi Komandan tertinggi di kota Roti itu. Kata Zikra desa yang menjadi tujuan kami ini berjarak hanya sekitar dua jam dari jantung kota Pematang Siantar. Masih di daerah tepi danau Toba, namun bukan di kota Parapat yang lumayan terkenal itu, tapi daerah tepi yang lain, sudut yang lain yang belum banyak di jamah manusia.

Aku bergidik ngeri karena Zikra bilang tak ada Mall, jangankan Mall mencari mini market kecil saja susah, yang ada hanyalah warung-warung kecil yang menjajakan makanan ala kadarnya untuk masyarakat sekitar dan juga beberapa wisatawan penikmat Danau Toba dalam view yang berbeda yang sering berkunjung di akhir minggu. Daerahnya kotor, orangnya galak dan suka marah marah.

“Di sana tuh ya, banyak orang Batak, kau taukan orang batak itu galaakk…!” tandasnya kejam tak peduli pada hatiku yang jadi menciut sebesar fosil amuba. Terbayang sudah teman temanku di sekolah nanti seperti apa. Menurut gossip yang beredar orang batak memang galak dan suka ngomong dalam volume yang poll dan kasar pula, bahkan di daerah pedalaman masih ada yang menjadikan manusia sebagai lauk makan sehari-hari. Apakah daging itu juga dicolekkan ke sambal terasi? Oh tidaaaakkk. Bulu kudukku tak henti hentinya menari tarian shuffle.

“Bundaaaa… Shafir ga mau pindaaahh!” rengekku suatu malam sambil memeluk Bundaku kuat kuat.

“Shafira, kau pasti akan terbiasa nantinya… tenang sajalah…”

“Terbiasa apanya bun? Maksud Bunda, terbiasa makan orang juga gitu..? enggaaaakk mauuu!”

“Hahahaha… kamu ini ngaco, udah tidur sana, besok Ayah dan Bunda mau kesekolahmu, urus surat pindahmu”

Aku masih menatap dari balik jendela kamarku yang sudah tidak bertirai lagi, tirainya sudah masuk dalam kotak dan sudah di bawa pergi bersama barang-barang lainnya oleh sebuah truk ekspedisi. Matahari masih coba tebar pesona, namun kini ia harus takluk oleh awan abu-abu yang mulai datang mengacau, bergulung gulung menyelimuti ketampanan sang matahari tanpa ampun. Langit yang cerah kini ubah jadi kehitaman. Sedikit gelap. Aduh galaunya matahari itu karena tak mampu mempertontonkan cahayanya lagi, sama galaunya dengan hatiku ini sobat.

“Shafira, Ayo nak, taksinya sudah datang tuh, nanti kita ketinggalan pesawat lho” Bunda menghampiriku, dengan lembut ia meletakkan kedua belah tangannya ke bahuku.

“Nanti pemandangan keluar kamarmu tak lagi hanya sekedar taman sempit ini, tapi sebuah danau terindah dan terluas yang terhembus namanya hingga ke manca Negara. Danau itulah menjadi temanmu bermain di halaman rumah kita nanti. Bukankah itu sungguh menyenangkan?”

“Benarkah itu bun?” tanyaku malas, karena aku yakin bunda hanya sedang berusaha menghapus gundahku saja.

“Tentu saja benar, yuk.”

Aku menurut kali ini, tak mungkin aku menjerit-jerit tak tentu arah di sini. Tapi lihat saja nanti, sampai di sana aku akan memasang muka masamku tanpa henti-henti selama dua puluh empat jam, tak mau makan, tak mau minum, tak mau belajar, hingga Ayah Bunda menyerah dan mengirimkanku kembali ke Jakarta dan tinggal bersama Nenek. Lihat sajaaa, pekikku dalam hati.

Pemandangan malam dengan lampu lampu di sana sini indah menyambut kami di bandara Polonia Medan, tepat pukul tujuh kami mendarat mulus di kota yang terkenal dengan duriannya ini. Ayah sudah menjanjikan makan durian saat kami tiba di Medan. Kami masih harus menginap semalam di kota ini sebelum besok pagi melanjutkan perjalanan darat selama lima jam ke Tiga Ras, konon itulah nama tempat yang akan kami tuju, tempat baru Ayah bertugas. Beberapa hari yang lalu Ayah sudah mereservasi sebuah hotel yang terdekat dengan bandara, dan memberitahukan bahwa mobil Ayah yang di bawa melalui perjalan laut akan dialamatkan ke sana, semua mudah berkat bantuan manajer hotel yang ternyata teman SMP Ayah. Dengan mobil itu nantinya kami berkeliling Medan dan besok pagi melanjutkan perjalan lagi.

Malam ini aku begitu banyak makan, acara mogok makan belum berlaku di sini, nanti saja kalau sudah sampai di sana, begitu lincah aku berjalan jalan di salah satu mall yang terbesar di kota ini. Aku minta dibelikan baju dan sepatu sebagai jaga-jaga, tak adanya Mall di sana. Bunda menggunakan kesempatan ini untuk sekalian berbelanja keperluan rumah tangga untuk stok sebulan ke depan. Hingga keletihan dan merebahkan diri di kamar hotel yang nyaman.

Perjalanan esok paginya sungguh melelahkan, aku tertidur dari Medan hingga terbangun dan kini tengah di kepung oleh pohon pinus berbaris baris, udara yang tadi sedikit panas kini jadi lebih dingin, bunda sampai menaikkan suhu AC pada mobil, dan memberikan sehelai syal lebar padaku sebagai selimut. Tak lama Ayah membelok pada sebuah simpang tiga.

“Kalau terus bisa ke Parapat” Jelas Ayah pada siapa yang mendengarkan, Ayah tahu daerah sini, ia pernah bersekolah di Porsea sebuah kota kecil setelah Parapat, yang dapat di tempuh satu jam lagi. Maka tak heran pindah tugas ke daerah Sumatera Utara adalah impian terbesarnya, untuk kembali merajut kenangan kenangan masa kecilnya.

Pemandangan yang disajikan kini telah berubah dari hutan pinus nan rindang hingga jalan menjadi sedikit gelap menjadi kebun kebun sayur nan subur dan elok, ada tomat, cabai, bahkan kopi. Mataku terbelalak takjub melihat hamparan pohon tomat yang sedang berbuah lebat, bulat bulat hijau kemerah merahan bergantung pada pohon yang menyangga pada sebuah kayu penyangga yang sengaja di tancapkan di tanah dan tali temali palstik yang di paut dalam konfigurasi tertentu untuk melayani rambatan pohon tomat. Jarang kutemukan pemandangan semacam ini, kecuali tatkala Ayah mengajak liburan ke puncak, itu pun hanya sesekali. Ayah tak begitu suka pada perjalanan ke sana yang acap kali di landa kemacetan parah. Terdapat jarak yang cukup jauh antar satu rumah ke rumah yang lain, semua di pisahkan oleh kebun-kebun yang hijau. Rumahnya pun kebanyakan terbuat dari papan, sangat sederhana bahkan terkesan kumuh. Walau ada satu dua rumah yang sudah permanen.

Makin lama jalan semakin menurun dan berkelok kelok tajam. Mataku terbelalak, lebih lebar di banding saat menyaksikan tomat bergelayutan di pohonnya tadi. Aku sampai menegakkan dudukku melongok lebih dekat ke arah kaca mobil bagian depan.

“Subhanallah” tak sadar bibirku bergetar.

Sebuah hamparan air nan luas, biru tua sedikit keperak perakkan memantulkan cahaya matahari yang bersinar tegang di tengah langit. Dipagari gunung sambung menyambung yang berwarna biru keungu-unguan seolah menjadi pengawal gagah perkasa yang sedang mengawal seorang putri cantik yang sedang bermain main gembira. Gelombang gelombang kecil di air di padu dengan cahaya matahari berpuluh ribu watt, menciptakan kelap kelip bagai sebuah piring raksasa yang berisi manik manik yang bertaburan ribuan permata. Di atasnya langit terbentang biru muda memayungi gegap gempita riak danau indah ini. Awan membentuk konfigurasi menakjubkan, berbaris baris rapi putih di pinggir atas gunung yang sambung menyambung itu sambil tersenyum permai. Sungguh menakjubkan. Ini dia bayangan burukku yang pertama tentang desa ini terbantahkan tak kenal ampun. Desa ini sungguh indah.

“Welcome to Toba Lake” suara Ayah bergetar.

Benar, rumah dinas Ayah ada di tepi danau, di sekeliling rumah hanya ada berbaris baris tanaman pagar yang setia menemani pagar besi bertugas, dua pohon cemara tegak di kanan kiri rumah, sebuah pohon mangga, teduh dan kokoh berdiri di halaman belakang yang sekitar lima meter lagi adalah tepi danau. Tak banyak bunga-bunga mahal yang dimiliki pada tiap rumah di kompleks kami dulu di Jakarta. Walau begitu dapat kupastikan ini lebih indah. Siapa lagi yang bisa menyangkal keindahan dari sebuah taman rumah dengan danau terbesar ini sebagai salah satu dekorasinya. Tak ada!

Petugas ekspedisi baru tiba, dan tengah sibuk menurunkan barang. Aku masih kagum akan keindahan lingkungan baruku, rumahnya memang tak sebagus milik kami di Jakarta dulu, tetapi halamannya, udaranya sungguh segar. Di tengah tengah ketakjubanku itu dengan tiba tiba ada sebuah kekhawatiran menyelinap di kalbuku. Bagaimana dengan sekolah baruku, bagaimana aku mampu beradaptasi pada orang-orang batak yang galak-galak itu! Tiba tiba saja mendung kembali menggelayuti hatiku sendiri.

Keindahan alam Danau Toba membuatku lupa akan rencana mogok makan minumku, cuaca yang sejuk membuatmu takkan tahan untuk berhenti makan. Apa pun yang di masak oleh Nek Mar, seorang asisten rumah tangga yang dipekerjakan Ayah untuk membantu tugas tugas mengurus rumah, selalu habis tuntas kulahap. Apanya yang mogok? Ikan ikan di danau mencibirku pada suatu hari saat aku makan siang dengan piring penuh di tepi danau bersama bunda. Husstt!. Diam kau ikaan! Setiap hari adalah liburan di sini.

Perlahan aku mengenakan seragam putih biruku. Dasi kusimpul dengan sempurna di leher. Beberapa buku kumasukkan dalam tas. Asal saja karena aku belum tahu jadwal mata pelajaran yang berlangsung senin ini. Ini hari pertamaku memasuki sekolah baru. Kata Ayah ini adalah sekolah tebaik di desa ini, sebuah SMP Negeri. Dengan mobil Ayah menelusuri jalanan berundak undak dan berkelok sebelah danau menuju sekolah, sampailah aku pada sekolah terbaik itu. Sungguh di luar dugaan sebagai sekolah terbaik. Gedung yang bercat putih itu tampak biasa biasa saja. Tak ada istimewanya, jika ia digembar gemborkan sebagai sekolah terbaik di sini.

Tampak sedikit lengang karena jam belajar sudah di mulai beberapa menit yang lalu. Setelah sedikit berbincang dengan kepala sekolah, aku ditemani seorang guru masuk ke kelas ku. Hatiku berdebar kencang. Teman seperti apa yang akan ku jumpai ini. Di depan sebuah ruang kelas sederhana, aku diperkenalkan sebagai murid baru pindahan dari Jakarta. Lantas aku di suruh duduk di sebelah seorang perempuan kurus putih berkaca mata dan berambut lurus, ia tersenyum tatkala aku mengangguk padanya, senyumnnya menyembulkan sebuah gingsul, anak yang lumayan manis dan bersih. Kotor? Kata Zikra orang sini dekil, tak pernah mandi. Lalu bau sabun siapa yang menyeruak di hidungku kini.

Bel istirahat melengking nyaring seperti sirine peringatan bahaya tsunami, tak ada lagu lagu yang berirama riang, layaknya bunyi bel di sekolahku di Jakarta. Saat di Jakarta, demi mendengar bel istirahat, aku dan teman teman akan terlonjak dari kursi seketika, berhambur keluar kelas dan berebut menuju kantin, memesan mi goreng, bakso atau nasi goreng dengan teh botol yang menemani sebagai pelepas dahaga. Kali ini aku tercenung, apa yang harus kulakukan.

Tiba tiba serombongan massa berkerumun ke mejaku, semua mengembangkan senyuman mereka selebar lebarnya, menjulurkan tangan kanannya ke arahku, untuk bersalaman. Aku yang sedang melamun terkaget-kaget hingga bingung dan mengeluarkan senyum yang lebih mirip seringai orang ketakutan.

“Hallo! Perkenalkan namaku Daniel!” jeritnya kuat sekali, mata yang bernama Daniel ini mengerjap ngerjap, tersenyum lebar hingga memamerkan gigi besar dan kuning-kuningnya.

“Shafiraa,” balasku ramah.

Mitha Simatupang, Della Sitorus, Ricardo Nababan, Saut Hutapea, Reymon Nainggolan, Sarah, Nabila, Poniyem, satu persatu menyalami tanganku dengan hangat dan luar biasa ramah. Ternyata tak semua bersuku batak, suku padang pun ada, ia anak pemilik warung nasi di pinggir danau.

“Yok ke kantin!” teman sebangkuku yang ternyata bernama Natalia Pardede mengajakku ke kantin, kerumunan teman-teman baruku sudah terurai setelah puas menanyaiku berbagai pertanyaan. Semua pertanyaan dan perkataan yang kudengar memang di produksi dalam suara tinggi dan kuat hingga menyerupai orang yang sedang marah, namun konten atau isi dari perkataan atau pertanyaan mereka tak satu pun mengandung kemarahan atau kesombongan. Bahkan sebaliknya keramahan yang luar biasa. Ini mungkin yang salah di pahami orang tentang suku batak, nada bicaranya membuat mereka seperti beradu otot leher setiap hari. Memang ada beberapa teman sekelasku yang tak beranjak sama sekali dari kursinya untuk menyalamiku, namun itu tak jadi soal, namanya juga bertemu dengan orang baru, perlu waktu dan penyesuaian disana-sini.

Aku tersenyum senyum tatkala berpapasan dengan semua orang, aku tidak mau di bilang sombong. Aku dan Natalia yang suka di panggil dengan Lia sudah sampai di depan kantin. Kantin mungil tidak seperti yang kubayangkan, berjurai-jurai snack ringan tergantung di di seutas tali yang di ikat dari paku ke paku di tembok. Sebuah stailing kecil terpajang paling depan dengan mangkok mangkok besar tersusun di bagian bawah, dan seabrek gorengan tertumpuk di bagian atas. Sungguh kecil dan sederhana.

“Mau beli apa? Makanan beratnya ada mi gomak, ada mi kecil, ada lontong” tawar Lia laksana seorang pelayan resto.

“Apa mi gomak, apaan tuh?” tanyaku ketika mendengar nama asing itu.

“Mi gomak itu, mi Lidi yang sudah di rebus kemudian di siram kuah sayur santan atau cabai”

“Mi lidi?”

“Iya, mau tidak?”.

“Boleh deh di coba.” Walau ragu, tapi apa salahnya mencoba.

“Di bungkus aja ya, biar kita makannya di kelas saja, di sini padat, tengok tuh!” sarannya sambil melancipkan bibirnya untuk menunjuk tempat yang di maksud. Kulihat semua kursi disini telah terisi penuh, ramai sekali, bahkan untuk membeli sesuatu kita harus antri. Setelah berjuang mendapatkan dua bungkus mi gomak dan sebungkus kerupuk, Lia keluar dari kerumunan murid-murid lain yang kelaparan dan dengan beringas berteriak teriak menyebutkan pesanannya.

Lia berdiri disampingku dengan rambut yang sedikit berantakan.

“Hidup ini memang butuh perjuangan bro” candanya padaku. Aku tertawa kecil.

Mi gomak ini bentuknya besar besar, jarang di temukan di Jakarta. Lumayan gurih dan pedas karena di siram kuah sayur dan cabai. Kami melahapnya dengan menggunakan tangan yang sudah di basuh dulu dengan air minum yang kubawa dari rumah. Hmm, enak kok. Sambil makan Lia bercerita banyak, ia mengatakan kalau hari pertama sekolah setelah liburan panjang begini, biasanya belajar belum berjalan normal, masih santai dan terkadang malah pulang cepat. Biasanya kalau pulang cepat, satu kelas akan merencanakan jalan-jalan atau mandi di danau. Aku berdoa dalam hati semoga hari ini bakalan pulang cepat.

Ternyata doaku terkabul, setelah jam istirahat usai, seorang guru perempuan berbaju pegawai negeri masuk ke kelas, “Anak anak hari ini guru akan rapat awal tahun ajaran baru. Maka kalian diperbolehkan pulang ke rumah masing masing!”

“Horeeee!” teriakan suka cita membahana terpantul pantul di tembok ruangan kelas.

Sedetik setelah Ibu Guru itu keluar, seseorang berbadan tinggi, hitam dan tegap bangkit dari kursinya dan mengambil tempat di depan kelas “Ayooo! Kemana kitaaa?” Tanyanya sambil membeliakkan matanya yang putih bersinar-sinar. Ternyata ia adalah seorang ketua kelas, namanya Denny Samosir, namanya seperti nama pulau yang ada di tengah danau Toba itu. Yang kuketahui kemudian bahwa samosir juga adalah nama salah satu Marga yang ada di Batak Toba.

Seluruh isi kelas serempak meneriakkan sebuah kata DANAU. Dari Lia aku tahu bahwa kelas mereka adalah kelas terkompak di sekolah ini. Cuma kelas merekalah yang memiliki kebiasaan seperti ini dari kelas tujuh dahulu, mereka juga selalu bahu membahu jika ada kesulitan pelajaran dan saling tolong menolong dalam segala hal. Beda dengan kelas lain yang terkadang diracuni oleh iri dengki hingga tak bisa kompak satu kelas. Kelas seperti yang dijelaskan Lia terakhir inilah, kelas yang kumiliki saat di Jakarta dulu. Di kelasku dulu terdapat gap-gap atau kelompok-kelompok kecil yang tidak bisa bersatu dalam hal apapun. Tak ada rasa persatuan dan kesatuan, semuanya bersaing, siapa yang paling bergaya tergaul dan keren atau yang paling bergelimang harta. Sungguh kelas yang tak sehat, bisa merusak jiwa pun.

Walau tak semua ikut mandi ke Danau, namun gerombolan ini sudah mampu memadati jalan menuju danau yang sempit. Padahal jalan ini adalah jalan lintas warga dan wisatawan yang sedang berkunjung, jalannya memang sudah di aspal namun masih sempit sekali, menurut perkiraanku hanya mampu dilalui satu mobil saja.

Tak lama sampailah kami di tepi danau Toba, teman teman yang laki-laki tak mengulur waktu, setelah membuka kemeja putih mereka, satu persatu meloncat ke danau dan berenang renang lincah. Di susul kemudian teman-teman yang perempuan, membuka baju kemeja putihnya dan menyisakan kaos oblong yang tampaknya sudah memang dipersiapkan sebelum berangkat sekolah tadi. Aku memilih duduk di tepinya saja. Aku tak membawa baju ganti. Melihat teman temanku tertawa tawa berenang dalam danau, aku jadi haus dan menggamit botol air minumku di dalam tas. Haus mungkin sebagai bentuk nyata dari keinginan untuk bergabung dan berenang-renang. Tiba tiba ada seseorang yang mendorongku dari belakang, botol air minumku terpental ke batu dan aku sendiri tercebur ke dalam air danau yang dingin. Aku mencoba berdiri dan menggapai gapai di air namun tak jua kutemukan dasar danau. Masih sempat kulihat Daniel tertawa terbahak bahak di atas batu. Dialah yang mendorongku tadi. Sebelum akhirnya aku megap megap. Aku tidak bisa berenang. Beberapa teman menghampiriku dan menyeretku ke bagian yang lebih dangkal. Aku terengah engah.

“Gak bisa berenang ya?” Della bertanya penuh kekhawatiran.

Aku menggeleng.

Mitha mendelik kearah Daniel yang masih memegangi perutnya tertawa tawa.

“Danieeeellll!” jerit Mitha “Awas kau ya!” Mitha mengepalkan tinjunya ke udara.

“Hahahahaha… sori bro… soriii… perkenalan itu, perkenalan… hahaha!” sahutnya dalam logat bataknya yang sangat kental.

Awas kau ya Daniel, tunggu pembalasanku, jeritku dalam hati.

Sepuas bermain air, dipinggir-pinggir danau yang dangkal dan berendam di sana, kami pulang dan berpisah untuk menuju ke rumah masing masing. Lia mengantarku pulang karena aku belum tahu jalan dari danau menuju rumahku, ternyata rumah Lia melewati rumahku.

“Assalamualaikum!” salam ku ketika sampai di pintu pagar, Ayah yang bersiap memakai sepatu untuk bertugas ternganga melihatku. Bunda pun tak kalah takjub menyaksikan aku dan Lia yang basah kuyup.

“Dari mana saja kalian?” Bunda bertanya heran tatkala aku dan Lia sudah sampai di teras rumah.

“Dari mandi di Danau, kenalin Bun, ini Lia teman sebangku Shafir.”

Lia tersenyum dan menjabat tangan Bunda dan Ayah.

“Rumah Lia di mana?” Tanya Ayah.

“Di sana Pak, sebelah kantor kepala desa, yang cat hijau itu.”

“Wuah, bukankah itu Rumah Pak Pardede Kepala Desa?”

“Benar Pak, dia Papa saya.”

“OOhh, jadi kamu anaknya Pak Pardede?” Bunda menyahut.

Lia mengangguk sambil tersenyum. Aku menoleh pada Lia, heran mengapa ia tak bilang dari tadi. Padahal kalau teman teman di Jakartaku dulu, baru pertama jumpa, pasti kalau orang tuanya punya kedudukan itulah yang disebutkan terlebih dahulu, kalau masalah nama bisa jadi nomor dua.

“Ya sudah singgah dulu makan siang disini” tawar Ayah.

“Gak usah Pak, saya pasti sudah di tunggu mama di rumah, permisi pak, bu” pamit Lia sebelum beranjak.

“Sampai jumpa besok Shafiraa.. bye!” Lia melambai padaku.

“Hebaatt yaaa… belum apa apa sudah berani main ke danau, mandi mandi pula lagi, kamu kan belum bisa berenang, kalau tenggelam bagaimana?!” ujar bunda berang sesaat setelah Lia hilang dari pandangan.

“Sama teman teman kok Bun, mereka jago berenang semua. Shafira Cuma berendem aja di pinggir yang dangkal” tak mungkin aku ceritakan hampir tenggelam karena di dorong Daniel, bisa panjang urusan, maka cerita tentang itu kuputuskan untuk dirahasiakan saja. Demi kebaikan.

“Jadi jam segini kok sudah pulang, apa kalian cabut dari kelas?” Ayah ikut menimpali

“Enggak kok yah, tadi guru rapat jadi kami dipulangkan”

“Seharusnya kamu pulang dulu, izin dulu sama bunda, baru boleh pergi, kalau begini terus kamu dipulangkan saja ke Jakarta!” ancam Bunda.

“Ehh… jangan Bun! Jangan!, oke.. Oke.. kalau mau mandi ke danau Shafiraa janji minta izin dulu sama Bunda, okey!”

“Lho, bukannya sewaktu itu kamu berniat tinggal di Jakarta saja?” Bunda mengernyit keheranan.

“Itu kan dulu, Okelah yah, hati hati ya yah, pulangnya jangan kemaleman ya” ucapku mengalihkan pembicaraan dan menyalami tangan Ayah dan menciumnya. “Shafiraa mau ganti baju dulu, dingiiinn… daa Ayaaahh!” ucapku sambil ngeloyor masuk ke rumah.

Bagaimana hendak dipulangkan ke Jakarta? Wong disini enak kok. Hehehe.. Sambil mengenangan pakaian yang kering aku melirik ke arah jendela kamarku, tampak air danau berkilau kilau indah dan mengerling, “Terpesona padaku ya? Semoga betah” Danau Toba pun menggodaku. Aku tersenyum bahagia. Yaa, semoga betah, dan rasanya aku memang mulai betah, ku kedipkan mata kiriku pada DANAU TOBA.


Karya : Yunita Ramadayanti Saragi

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...