Pages

Monday, November 11, 2019

PENJAGA KERIS

Hanya menunduk tak sanggup menatap dua orang didepanku. Ribuan kata bernada nasehat, rayuan, bahkan bernada ancaman keluar dari mulut mereka. Aku tatap bibir hitam mereka yang menari-nari.

“Kau mengerti anaku?” Ayah berkata sambil menepuk pundaku.

“Paman harap kamu bersedia mengemban tugas mulia ini”. Suara paman mencoba meyakinkanku.

“Ayah, Paman, biarkan saya berpikir dulu.” Aku mengakhiri diamku yang hampir satu jam mendengar persentasi mereka.

“Pikirkanlah dengan baik, ini demi dirimu dan juga keluarga kita. Ayah harap kamu mengambil keputusan yang bijaksana”. Itu pesan ayah sebelum motor matik hitam yang mereka naiki meninggalkan halaman kosku. Mereka, ayah dan paman datang menemuiku ke kos membawa amanat dari keluarga besar kami di kampung. Amanat itu adalah tentang harapan mereka agar aku bersedia menjadi penjaga keris pusaka peninggalan leluhur kami. Mereka bilang aku adalah orang yang terpilih menjalankan tugas itu. Jika aku menolak akan ada bencana yang menimpa keluarga kami.

Tiga hari kemudian, melalui telepon aku sampaikan pada ayah, bahwa aku tidak mau menjadi penjaga keris. Kuliahku memasuki semester akhir jadi aku fokus menyelesaikan tugas-tugas kuliah, tak ada waktu untuk hal lain. Itu alasan yang kusampiakan. Padahal alasan sebenarnya karena pikiran ilmiahku menolak mempercayai hal yang mistis seperti itu.

***

1 Pesan Diterima !
Dari : AdikQ..
“Kakak, Intan anaknya Om Ketut sakit keras, sekarang di rawat di rumah sakit. Mungkin ini bencana karena kakak ga mau jdi penjaga keris. Beberapa detik kutatap sms dari adiku. Apa mungkin seperti itu, ah tidak. Itu hanya kebetulan saja Intan sakit, dari kecil memang dia sering sakit. Apa mungkin hal itu benar? Malam itu aku gelisah. Sepanjang malam aku mimpi aneh. Dalam mimpiku aku didatangi seorang pria berpakaian adat Bali, tangan kanannya memegang bungkusan kain kuning. Dari bentuknya benda yang dipegang lelaki itu adalah keris.

Besoknya adiku sms lagi.
1 Pesan diterima !
Dari : AdikQ
Baru saja Paman di Palu nlpn. katanya anaknya diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang jelas. kakak, cobalah berpikir lagi, jagan biarkan keluarga kita terus dilanda bencana.

“Ahh.. persetan, masalah orang cerai masak aku yang bersalah.”

“Tapi… Ia ini salahmu, terima saja tugasmu!” Begitulah perang batinku.

Hari-hariku berikutnya terus dihantui keris. Tiap malam aku mimpi dikejar keris. Itu hanya mimpi, mungkin aku terlalu memikirkan keris itu, begitu pikirku. Kabar yang aku terima dari keluarga terus tentang bencana. Ternaknya mati, kebun karetnya kebakaran, Toko di bobol maling dan sanak keluarga sedang sakit.

Tapi aku yakin semua takdir mereka, bukan karena aku tidak mau menjadi penjaga keris. Mana mungkin leluhur memberatkan keturunanya. Kalaupun benar begitu berarti leluhur itu tidak bijaksana, melimpahkan tugas atau kesalahan pada kami yang masih hidup. Dibenaku mulai ditumbuhi hal negatif tentang leluhurku.

Pagi itu, jam ditanganku menunjukan pukul 07.50.

Tatapanku tertuju pada spanduk yang terpasang di depan gerbang bangunan “Selamat Datang Peserta Seminar, Mengenal Lebih Dekat Keris Bali” Aku ragu melangkah, bodoh banget aku ini. Saat Roy meminta aku menggantikanya mengikuti seminar aku langsung mengiakan. “Kamu gantikan aku, nanti Gus De dan Ayu menunggu disana. Teman-teman HMJ lain pada sibuk” Begitu ocehan Roy. Sialnya aku tidak konfirmasi tentang materi seminar itu. Ia sudahlah, tak ada salahnya aku ikut saja.

Pukul 08.35

… “keris adalah simbol laki-laki bagi orang Bali. Zaman dulu keris dapat menunjukan tinggi rendahnya status seorang …” Saat pembicara sedang membicarakan filosofi keris tiba-tiba hpku berbunyi. Itu dari adiku.

“Ada apa? aku sedang mengikuti seminar..”

“Aku dengan ayah lagi on the way ke kos kakak”

“Ada apa lagi?”

“Ada hal penting yang mau mereka sampaikan.”

“Ok, setengah jam lagi aku balik” Kututup telepon dengan rasa gundah.

Di depan ku lihat pembicara sedang menunjukan sebilah keris, memperkenalkan bagian-bagianya pada peserta seminar. Entah dari mana datangnya tiba-tiba aku merasa merinding dan ngeri melihat keris yang di pegang oleh Bapak itu. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan mengikuti acara itu. Pada kedua temanku aku pamitan ku bilang dengan jujur bahwa orang tuaku akan datang ke kos jadi aku harus balik sekarang juga. Mereka mengerti dan mempersilahkanku untuk berangkat.
Kenapa keluargaku tiba-tiba datang mencariku? Sudah lebih tiga tahun aku kuliah tak sekalipun orangtuaku datang ke tempat kos. Yang pernah ke kosku cuma adik, itupun sudah setahun lalu. Saat itu dia mewakili sekolahnya mengikuti sebuah lomba di kota tempat kuliahku, sebelum pulang ia sempatkan mampir ketempatku.

Tiiiiittttt !!!!!

***

Ku sadari diriku sedang berada di sebuah tempat yang menyerupai bioskop. Di depanku terbentang sebuah layar. Di layar itu kulihat dua orang pria gagah, mereka dikelilingi oleh banyak orang. Dua perempuan sambil mengendong anak kecil nampak sedih. Sepertinya dua orang itu adalah istri dari pria-pria itu. Orang-orang itu berteriak dengan mengangkat tangan tinggi keudara, sepertinya mereka memberi semangat pada dua pria gagah itu. Teriakan terus menggema saat kedua pria itu berjalan, keduanya melangkah menyusuri jalan setapak. Saat itulah aku sadar bahwa salah satu dari pria itu mirip dengan Ayahku atau bahkan mirip denganku.

Adegan berikutnya…

Beberapa perahu layar terlihat bergerak pelan dilautan. Kedua pria gagah terihat duduk di perahu dengan layar berwarna kotak-kota merah, hitam, dan putih. Di depan mereka berdiri seorang pria dengan pakaian seperti seorang raja.

Pria itu berkata “Depih, aku dengar kamu memiliki pasukan berupa wong samar” (mahluk halus).

Pria yang mirip denganku menjawab, “Ya Gusti Patih, saat ini hamba membawa 2000 pasukan wong samar, tuan bisa rasakan gerak perahu-perahu kita. Keempat perahu ini bergerak lamban karena memuat 2000 pasukan wong samar itu.

“Bagus! Aku harap kita bisa pulang dengan kemenangan tanpa ada pasukan kita yang gugur”

Bersama malam yang mulai datang, perahu yang mengangkut pasukan itu merapat di pantai. Hujan bersama guntur dan kilat menyambut kedatangan mereka. Pria yang di panggil sebagai gusti patih terlihat berdiri dan mencabut keris di pinggangnya, diancungkanya keris itu keangkasa. Sebuah kilat menyambar keris tersebut beberapa saat kemudian langit disekitar mereka menjadi cerah, hujan, guntur dan kilat hilang entah kemana.

“Depih, saatnya kamu keluarkan pasukan wong samarmu!“

Depih begitulah orang yang mirip denganku dipanggil. Pria itu segera mengeluarkan keris kecil dari pingganya. Sementara anggota pasukan yang lain tampak duduk rapi. Salah satu diantara mereka berdiri dan mendekati Depih, dia terlihat memegang seekor ayam hitam.

Leher ayam itu putus di babat oleh keris ditangan I Depih. Mulut pria itu komat-kamit membaca mantra. Tiba-tiba angin berhembus kencang, suara derap seperti ribuan kuda berlari terdengar menggema. Angin dan suara itu makin menjauh bergerak kearah daratan.

“TIDAK…!” Aku berteriak kaget kulihat keris ditangan I Depih bertambah panjang dan ujungnya bergerak kearahku, aku berlari keluar bioskop. Keris itu terus bertambah panjang dan mengejarku.

“Tidak, Jangan!”

“Keris, keris, jangan!” Aku berteriak dan terus berlari, tiba-tiba aku melihat kedua orang tuaku. Sekuat tenaga aku berlari kearah mereka.

“Dokter, dia bergerak, dia siuman!” Kudengar sayup suara.

***

Ku arahkan pandanganku, selang-selang infus menghiasi tubuhku. Kaki kananku dibalut perban. Senyum manis Andin adiku dan tatapan cemas Ayahku langsung terpampang dihadapanku.

“Aku kenapa?” Hanya itu yang keluar dari mulutku.

Dari cerita Ayah dan adik aku tahu, bahwa aku mengalami kecelakaan. Bertabrakan dengan mobil saat aku kembali dari tempat seminar. Aku mengalami luka yang parah, sudah 3 hari aku koma.

Besoknya aku ceritakan mimpiku pada Ayah. Ayah bilang orang dalam mimpi adalah I Depih leluhur kami yang pemiliki keris pusaka. Memang menurut cerita dia ikut berperang dan pulang membawa kemenangan. Saat pulang itu beliau membawa beberapa keris dan benda berharga lain, itu adalah bukti kemenangan yang diraih di medan perang.

***

Didepanku tergolek 3 buah keris. Satu persatu ku pegang benda tersebut. Aku memutuskan mau menerima tugas menjaga keris peninggalan leluhurku. Aku sadar keris ini memiliki nilai sejarah khususnya bagi keluargaku, jadi selayaknya aku ikut menjaga benda itu. Itu simbol prestasi yang diraih leluhurku. Mungkin zaman itu prestasi seseorang diukur dari tingginya ilmu kesaktian yang dimiliki beda dengan sekarang. Pada zamanya leluhurku telah di pilih oleh kerajaan untuk ikut misi penting. Kalau mau jujur aku belum ada apa-apanya, aku belum punya prestasi yang membanggakan keluarga. Aku telah salah meremehkan dan memandang negatif pada leluhur.

Jadilah aku penjaga keris pusaka. Setiap 15 hari sekali keris itu mesti dibersihkan. Ya masuk akal juga, biar keris tersebut tidak berkarat. Keris itu dibuatkan tempat khusus dirumahku dan tidak perlu membawa keris itu kemanapun aku pergi. Dulu salah satu alasanku menolak adalah karena aku kira benda itu harus dibawa kemana-mana. Dan kuliahku berjalan dengan wajar tidak terganggu oleh keris. Bahkan keris menjadi inspirasiku untuk meraih prestasi.

Sepeti pamor sebilah keris, begitulah jalan hidup manusia.
Menunggu lahirnya pagi…
25 Desember 2012


Karya : Wayan Widiastama

No comments:

Post a Comment

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...