Sebuah perahu terombang-ambing lembut di lautan Barat Indonesia. Aku duduk tepat di tengah lubang besar yang tercipta pada angka nol besar di sebuah tugu. Seorang nelayan di mataku memugar kendaraannya agar nanti malam ikan-ikan di sana mau mendatanginya. “Ini lautan tak berujung, nak. Mungkin sekarang saya tak dapat ikan banyak, namun besok di lain tempat akan ada ratusan ikan menunggu takdirnya untuk ku tangkap.” Di Ujung Batu yang ku pijak hari ini, ku dapatkan kalimat terbaik di kilometer 0, Sabang, Aceh.
“Matahari yang terbenam di batas cakrawala laut bukan berarti lautan itu berujung.”
Tebing tinggi mengitari genangan air dalam yang tenang namun menenggelamkan. Hampir saja tubuhku terperosok ke dalamnya.
“Kubangan besar ini menjadi bukti terbesar dari kehebatan ledakan Gunung Tambora di masa lampau. Tak bisa terkira bagaimana bisa lubang ini bisa terbentuk menjadi sebuah danau terbesar di Indonesia. Entah ada seseorang yang mengisinya atau ada hujan berkepanjangan yang datang dahulu kala.”
Nada bicaranya menggebu-gebu khas Medan membuat mata dan telingaku tak pernah mengatup ketika ia menceritakan sejarah bagaimana danau ini terbentuk. Jemari tanganku melepuh. Ku tahan rasa sakit ini dengan gigitan kecil di bibirku. Ada rasa takut ketika aku sudah berada di tengah tebing curam yang keras ini. Angin yang menerpa membuat phobia ketinggianku mulai datang. Ku lanjutkan panjatanku dengan hati-hati. Tak ingin aku jatuh dari sini lalu memulainya dari awal lagi.
“Ini yang namanya perjuangan! Anggap permukaan datar di atas sana adalah keinginanmu, dan jurang di bawah sana sebagai masa lalumu. Teruskanlah panjatanmu! Ini masih belum seberapa!”
Detak jantungku memburu kembang-kempisnya dadaku yang tak beraturan ini. Demi melihat Ngarai Sianok dari atas sana dengan latar belakang sebuah gunung yang puncaknya terselimuti awan. Benar-benar perjuangan.
Gemericik air yang membasahi dedaunan anggrek tampak berkilau dalam mata. Suara-suara anak kecil yang berlarian di taman membuatku teringat masa di mana waktu kecilku dulu. Bebungaan anggrek dengan hiasan warna-warni di kelopaknya membuat mataku syahdu menikmatinya.
“Taman ini didirikan karena terinspirasi dari seorang perempuan yang ingin mempersatukan setiap varietas anggrek di Indonesia maupun di dunia. Kau tidak akan bisa menghitung berapa jenis anggrek yang hidup di sini. Namun perpaduan warna mereka membuat jiwa kita nyaman menatapnya.”
Sebuah awal yang sepele namun memiliki arti yang menyindir seluruh bangsa di dunia. Mempersatukan tanaman anggrek dunia di Taman Sri Soedewi. Suatu keajaiban bisa datang ke tempat ini. Bermodal muka tembok hanya untuk mencari bantuan kapal-kapal nelayan di Riau ini demi mencapai kepulauan kecil bernama Anambas. Pulau-pulau kecil yang terhampar di lautan perbatasan Indonesia. Pasir putih nan luas serta air laut bak kaca jernih menyambut kedatanganku, sama sekali belum terjamah tangan manusia.
“Alam kita itu penuh dengan keajaiban. Beberapa pulau di sini akan menghilang ketika malam dan di pagi harinya akan muncul kembali. Bersyukurlah kau lahir di bangsa ini.”
Ditaburinya jala-jala ikan di lautan, katanya untuk makan keluarganya di rumah untuk nanti malam. Ku daki bebukitan yang tanahnya mulai licin terguyur hujan. Terhitung sudah lima kali aku harus mencium tanah basah di hutan hujan tropis ini. Dedaunan liar di hutan itu basah dan menciptakan irama musik alami yang menenangkan.
“Nah, inilah tumbuhan yang kalian cari.”
Ku lihat lima lembar kelopak bunga yang besar dan merekah sempurna. Warnanya merah darah dengan bintik putih yang tersusun rapi di atasnya. Baunya memang bukan seharum melati atau mawar, karena baunya adalah busuk untuk menarik perhatian serangga di sekitarnya. “Ini adalah salah satu keunikan yang kita miliki, Rafflesia Arnoldi. Maka dari itu, mari jagalah alam Indonesia ini.” Airnya begitu dingin dan biru. Alirannya lembut dan cantik. Bebatuannya berundak-undak, sehingga menciptakan air terjun yang menawan. Aku berendam di sana layaknya seorang bidadari dari kayangan yang turun untuk sekedar membersihkan diri.
“Cantik, bukan? Kecantikannya sesuai dengan namanya, seperti bidadari,” kata seorang pengunjung kepada istrinya di sampingnya.
Puluhan gajah berlari serentak menuju padang rumput di sana dengan dipandu seorang pawang gajah. Bumi seakan berguncang karena kekuatan mereka yang benar-benar besar. Ku hampiri pawang tersebut, lalu ku pegang kaki gajah yang ia tumpanginya dengan belaian lembut. “Mereka adalah makhluk yang baik hati. Ia sangat bersahabat dan mudah dilatih untuk melakukan sesuatu. Tapi jangan sekali-kali mengganggu mereka, atau kau akan berhadapan dengan kekuatan mereka yang tiada tara.”
Tiba-tiba puluhan gajah itu meneriakkan suatu kata secara bersama-sama. Pekikannya keras hingga telingaku berdenging. Mungkin mereka mengatakan “Selamat datang di Way Kambas!”
Setidaknya ada harapan di balik gegap gempitanya ibukota Jakarta di Pulau Harapan. Dermaga kecil menyerupai jembatan yang terbuat dari kayu menjadi tempat duduk yang menenangkan. Tepat di tepian dermaga itu, ku turunkan kedua kakiku hingga menyentuh air laut yang biru nan jernih. Ku mainkan kakiku hingga airnya tersirat ke depan.
“Kau mencari harapan di sini, nak? Jangan tentang percintaan, ya? Saya sudah bosan mendengarnya dari setiap remaja yang datang ke sini.”
Aku tertawa lepas bersama seorang nelayan tua yang semenjak tadi mondar-mandir di dermaga ini. Lagi pula, harapanku sudah hampir terwujud. Setengah atap gedung yang melengkung itu terbuka layaknya sebuah pintu. Bersamaan dengan itu, sebuah teleskop luar angkasa muncul menatap langit hitam yang penuh dengan kilauan bintang. Semua pengunjung di sana takjub akan kecanggihan teleskop itu yang usianya mencapai satu abad lebih. “Lihatlah bulan dan bintang di atas! Mereka semua adalah cita-cita tinggi para astronom di dunia. Di sana masih tersimpan rahasia-rahasia yang ingin diketahui banyak orang.”
Bahkan alam semesta pun masih bisa dilihat dengan jelas dari sudut pandang Indonesia, dan Bosscha adalah perantara yang baik. Ada sebuah tengkorak kecil di kotak kaca museum itu. Ku lihat papan ilmunya yang ada tepat di depannya. Pithecanthropus erectus. Di sebelahnya, ada sebuah tengkorak, namun ukurannya lebih besar dari sebelumnya, bahkan melebihi ukuran tengkorak manusia saat ini. Meganthropus paleojavanicus. Mulutku hanya bisa menganga melihat umur mereka yang sudah menembus ratusan ribu tahun lamanya.
“Ini adalah tengkorak manusia purba yang ditemukan tepat di Sangiran, tempat yang kalian pijak sekarang. Mereka bisa dikatakan sebagai nenek moyang bagi bangsa Indonesia. Mereka juga adalah bagian dari sejarah berdirinya negara kepulauan ini, Indonesia.”
Kepalaku hanya bisa mengangguk-angguk tanda mengerti. Namun perkataannya tadi menimbulkan jutaan pertanyaan di pikiranku. Leherku menengadah melihat puncak candi paling besar di kompleks ini. Sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi, kata penjaga candi ini. Begitu megah dan luas kompleks candi ini menjulang. Tak bisa ku bayangkan betapa jayanya kerajaan yang menciptakan candi ini. Tersusun rapi tanpa ada sedikit kesalahan. Padahal sebelumnya semua candi ini terkubur tanah, sebelum akhirnya ditemukan.
“Yang kalian lihat sekarang adalah kemegahan Candi Prambanan yang begitu jaya. Sisa-sisa candi ini adalah bukti bahwa kerajaan Hindu di Yogyakarta ini begitu maju hingga sanggup membuat bangunan seperti ini.” Sebuah gerbang masa lalu ku lewati. Penyusunnya terbuat dari batu bata berwarna jingga kemerahan, bentuknya berundak-undak dan sangat tinggi. Namanya Candi Wringin Lawang. Konon inilah gerbang masuk menuju pusat kerajaan yang sangat besar berdiri, Kerajaan Majapahit. Setelah ke luar dari kompleks itu, ku temui barisan rumah penduduk yang serempak memproduksi batu bata.
“Kita kan cinta tanah air. Tanah dan air kami junjung di bahu kami demi mencukupi kebutuhan keluarga. Tanah lempung kami gali, air sungai kami timba. Mereka dibakar dengan api yang menyala-nyala, sehingga mereka semakin kuat dan kokoh. Semua itu karena kecintaan kami kepada bangsa ini, untuk pembangunan.”
Matahari mulai mengeluarkan warna jingga kemerahannya yang tenang. Sebuah pura di atas batu karang itu tampak menawan di mata pengunjungnya. Wewangian bunga kamboja khas Bali benar-benar merasuk setiap detail hidungku. Laut yang mulai pasang mencegahku untuk naik ke pura itu. Mungkin lain waktu.
“Semuanya boleh masuk ke pura itu,” kata tetua Hindu di pura itu.
“Namun harus dengan sopan santun. Kami tak ingin tempat peribadatan Hindu ini menjadi kumuh karena ulah orang lain.”
Para turis asing pun tak ingin melewatkan pemandangan sunset di Tanah Lot. Mereka semua menghargai agama Hindu, layaknya mereka menghargai agama mereka sendiri. Benar-benar menyentuh.
Seekor komodo yang panjangnya sekitar tiga meter berlari mengejar seekor kerbau di padang rumput itu. Aku bergerak mundur menjauhi adegan pengejaran itu. Keberaniannya sebagai hewan reptil benar-benar ditunjukkan dengan bantuan kecepatan kakinya yang lincah. Mereka benar-benar pemburu berdarah dingin.
“Lihatlah mata mereka! Mata mereka benar-benar menunjukkan sebuah ketegasan yang ada di diri seekor komodo. Mereka juga sangat berani melawan mangsanya yang lebih besar dari mereka.”
Ku lihat seekor komodo menegakkan dadanya di sebuah padang rumput yang dekat dengan pesisir laut Samudera Hindia. Sangat gagah dan berani. Sebuah kawah besar dengan air panas yang bewarna biru langit dan hijau terhampar luas. Kaldera raksasa di Gunung Rinjani menjadi bukti bahwa Gunung Rinjani adalah gunung yang kuat. “Tuhan memang adil menciptakan semuanya. Dahulu mungkin pulau ini hancur karena letusannya. Namun sekarang keindahannya tak terkira. Inilah yang kita dapat di negara kita.”
Ada sebuah tumbuhan dengan bunganya menyerupai kantong. Ada juga anggrek berwarna hitam yang dibudidayakan di Kersik Luway.
“Mereka harus lestari.”
Seorang perawat tumbuhan di sini datang kepadaku. Ia membeberkan bagaimana cara merawat tumbuhan-tumbuhan itu.
“Sifat kelestarian itu harus dimiliki setiap orang yang hidup di Indonesia,” tutupnya.
Panas matahari begitu menyengat setiap kulitku di sini. Kebetulan kedatanganku tepat di saat matahari berada tepat di khatulistiwa, sehingga Pontianak sedang panas-panasnya beberapa hari ini. Aku berkeliling di Tugu Khatulistiwa dengan lindungan topi biruku yang sudah usang, sehingga rambut dan kepalaku tetap dalam keadaan mendidih.
“Di sini memang sangat penuh dengan cahaya. Tetapi ketika malam, bintang-bintang di langit menjadi pengganti penerangan matahari. Jadi, jangan pernah khawatir kehabisan cahaya.”
Seekor anak Orangutan dengan baiknya mau bersalaman denganku. Ibunya pun tak marah ketika anaknya memintaku untuk menggendongnya. Di jembatan kayu ini, beberapa Orangutan sekedar duduk-duduk menanti makanan yang dibawa para pengunjung. Di samping kanan dan kirinya ada hutan mangrove yang masih sangat asri dan rindang.
“Mereka adalah hewan yang ramah. Namun keramahan mereka malah membuat hewan ini terancam punah. Aneh sekali.”
Penjaga Taman Nasional Tanjung Puting itu menceritakan pengalamannya yang paling mengesankan dengan para Orangutan.
“Suatu hari saya jatuh ke sungai. Ada tiga Orangutan yang berusaha mengulurkan sebuah ranting kayu besar kepadaku agar mereka bisa menarikku ke luar dari sungai itu. Mereka benar-benar hewan yang ramah dan penolong.”
Tiba-tiba ada satu perahu pedagang yang terbalik. Sontak beberapa pedagang di dekatnya langsung menceburkan diri ke Sungai Barito untuk menolong pedagang yang jatuh ke sungai itu. Beberapa perahu di sekitarnya mengambil keranjang sang pedagang yang terhanyut terbawa arus sungai. Beruntung pedagang itu sudah selesai berdagang sehingga hanya tersisa keranjang-keranjang dagang yang sudah kosong.
“Kita bukan bangsa penjiplak, kita itu bangsa gotong royong,” kata seorang pedagang kepadaku yang kata-katanya dikutip dari perkataan Ir. Soekarno.
Aku berusaha menyelam ke dalam lautan. Ku lihat himpunan batu karang menyatu dan menciptakan gugusan karang yang begitu serasi. Ikan-ikan dari ratusan jenis berkumpul di sini, di Bunaken. Yang paling bagus pastinya adalah ikan berwarna jingga dengan garis putih yang bersembunyi dalam Anemon Laut.
“Kami berusaha menjaga keberagaman di sini, layaknya menjaga suku-suku yang tersebar di penjuru Indonesia. Mereka adalah harta karun bagi kami,” kata seorang penyelam yang ternyata seorang aktivis laut di Bunaken. Suatu kehormatan bisa berbincang dengannya.
Ratusan kupu-kupu sudah ku temui semenjak masuk dari tempat ini. Corak mereka begitu indah, tak ada yang sia-sia. Warna mereka begitu cerah dan menyolok. Selama hidupku ini, baru pertama kali aku bisa menemui ratusan kupu-kupu yang indah. “Maka dari itu Taman Nasional Batimurung ini disebut dengan kerajaan kupu-kupu. Mereka berkumpul jadi satu, dan kami yang menjaga mereka.”
Keindahan yang tak pernah terlupakan, dan mereka semua adalah karya yang sangat baik. Ada ratusan pulau kecil yang tercecer di Wakatobi. Pulau-pulau itu tak berpenghuni dan tak pernah tersentuh tangan manusia sedikit pun. Ku beranikan diriku untuk mengitari satu per satu pulau yang ada di Wakatobi ini. Lautnya yang biru, pasirnya yang putih, anginnya yang lembut. Begitu sempurna bisa merasakan semua ini di sini. “Ini sudah jadi bukti bahwa negara kita adalah kepulauan,” kata seorang nelayan yang dengan baik hatinya memberiku kesempatan untuk mengelilingi Wakatobi ini dengan syarat membantunya menjaring ikan di sekitar lautan Wakatobi.
Begitu sulitnya mencapai harta karun di dalam hutan dekat dengan pesisir Donggala. Katanya ada sebuah lubang yang begitu indah. Aku terhipnotis dengan kata-kata penduduk Donggala itu. Sampai akhirnya ku temukan lubang itu setelah dua jam berjalan menuju tempat ini. Ternyata adalah sebuah sink hole yang membentuk sebuah laguna pusentasi yang begitu indah. Di dalam lubang itu ada air laut yang membanjiri lubang itu. Begitu jernih dan bersih.
“Ini seperti labirin menuju masa depan!” kataku kepada beberapa rombongan yang bersamaku sejak berangkat.
Pasirnya putih, lautnya berwarna biru muda tanpa ombak yang keras. Benar-benar sangat sempurna sebagai sebuah pulau di Maluku. Kejernihan airnya tampak seperti kaca tipis di lautan luas. Mataku tak berkedip melihatnya, bahkan tak sekalipun dalam tiga menit. “Ini yang kita miliki di Morotai. Semoga kau menikmatinya. Kami punya sesuatu yang dinamakan kejernihan, dan matamu akan merasa sejuk melihatnya.”
Aku tersenyum kepadanya. Pulau ini seperti sebuah rahasia alami dari Indonesia. Jika orang lain tahu akan hal ini, pasti ia akan bernasib sama denganku, tidak berkedip selama tiga menit.
Angin begitu kencang menerpa tubuh kami, para pendaki gunung. Cuacanya sangat dingin seperti keadaan di Eropa waktu musim dingin. Suhunya hampir menembus negatif, dan tinggal beberapa langkah lagi kami akan menyentuh salju abadi di puncak pegunungan ini.
Pengorbananku tak sia-sia ketika salju sudah menyentuh tanganku. Kami berteriak kegirangan ketika kami sudah berada di puncak, tidak lagi memanjat batuan pegunungan lagi. Aku berlutut di atas salju yang tebal. Ku ambil segenggam salju, ku rasakan dinginnya sebuah kesucian dari setiap genggam salju di sini.
“Akhirnya kita mencapai puncak Jaya Wijaya ini untuk pertama kalinya. Kita telah menemukan kesucian di Indonesia. Kita benar-benar bangsa yang hebat.”
—
Sebuah buku terjatuh sangat keras dari atas lemari yang ku bersihkan. Ku lihat buku itu sudah sangat usang dan berdebu. Bahkan aneh rasanya jika kertas berwarna cokelat itu masih utuh di tahun 2015. Kertasnya tergerai, terlepas dari pusat jilid buku tersebut. Ku baca sampul bukunya yang berwarna merah namun luntur. “Dua Puluh Enam”. Di bawah judul itu ada sebuah nama yang sudah tak asing lagi ku dengar. Ku baca kata pengantar yang ada di halaman pertama itu.
“Ini adalah bukti bahwa alam Indonesia adalah permadani dunia. Dua puluh enam arti yang ku dapat dari dua puluh enam provinsi di Indonesia, dan mungkin akan bertambah lagi satu per satu ketika Indonesia menjadi berkembang. Tak ada bangsa lain yang mampu menandingi alam Indonesia, dan bahkan tak akan pernah. Jagalah alam kita! Teruslah berjuang mencari arti Indonesia yang sebenarnya! Mojokerto, 30 Desember 1975”
Aku tersenyum membaca kata pengantar ini. Selama ini Kakek tak pernah berbohong ketika ia bercerita tentang angka dua puluh enam dengan petualangannya mengelilingi Indonesia.
“Mengapa kau hentikan pekerjaanmu, Ali?”
Kakekku datang melihatku dan buku tuanya yang sudah dua puluh tahun ia cari di tanganku. Hanya senyum simpulnya yang tampak dalam kulitnya yang menua.
“Apakah kau ingin mencari tiga puluh empat arti di tiga puluh empat provinsi di Indonesia saat ini, nak?”
“Ku harap begitu, kek.”
Karya : Dimas Misbachul Ichsan