Pages

Thursday, November 14, 2019

BUDAYAKU DI LANGIT RUSIA

Kilauan matahari belum terlihat dari langit utara, angin dingin berhembus manerbangkan dedaunan basah, gumpalan kapas salju turun beriringan, beberapa suara merdu burung masih terdengar walau dingin menerpa bumi ini, saat ini hanya dingin yang terasa.

Pagi masih terlalu dini, namun kupaksakan mata ini untuk terbuka melihat momen ini, jujur saja baru pertama kali ini aku melihat salju di negara Rusia ini sejak enam bulan yang lalu aku mendapatkan pekerjaan menjadi seorang fotografer majalah dan korandi kota ini. Huuuh… dingin sekali, segera mungkin aku mengambil winter coatku dan segera memakainya. Hari ini adalah musim salju pertama yang turun di kota Kazan, Rusia.

“Triiing… triiiing…” tiba tiba ponselku berbunyi, kulihat nama si penelepon, ternyata dari temanku Brian, aku langsung mengangkatnya.

“Nic! Kamu ada acara enggak hari ini?” tanya Brian.

“Em… enggak sih, kenapa?”

“Kalau begitu temui aku di gedung 4 institut managemen, ekonomi dan keuangan kota Kazan ya?”

“Memangnya ada apa?”

“Pokoknya kamu datang saja, dan jangan lupa bawa kameramu, Kita ketemuan pagi ini juga.”

“Em.. ok..”

Tumben banget si Brian menelepon aku seserius itu. Tanpa pikir panjang lagi aku mengambil kameraku, dan langsung menuju ke tempat tujuan.

Aku keluar dari apartemenku dan langsung menghadang taksi, jalanan pagi ini macet, aneh aku tidak pernah melihat kota Kazan macet parah seperti ini.

Setibanya di tempat tujuan aku terperanjat, lihatlah … sebuah tulisan besar dengan corak warna warni terpampang jelas di sebuah pintu masuk sebuah festifal, sebuah tulisan yang tertulis “WONDERFUL INDONESIA”, aku segera menelepon Brian untuk menanyakan lokasi tempat kami bertemu.

“Kenapa enggak bilang kalau ada festifal seserius ini… kirain cuma pertemuan biasa!” kataku kepada Brian, orang yang keturunan asli Belanda yang bekerja sebagai usahawan di sebuah perusahaan ternama di kota ini.

“Setidaknya kau datang kawan… bukankah selama ini kau selalu menceritakan Negeri tercintamu itu? Dan sekarang aku akan melihatnya secara langsung” jawab Brian enteng. Aku cuma mengangguk, dia memang benar, akhir akhir ini aku sering menceritakan kekayaan Indonesia kepadanya.

Kami berdua pun jalan jalan di festifal itu, ada banyak sekali pameran pameran yang dipajang di sini, juga ada yang diperjual belikan. Tidak lupa aku potret semua isi festifal ini, bisa sebagai berita di majalah atau koran, atau setidaknya bisa sebagai sebuah kenangan.

Festifal ini sebenarnya diadakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Rusia (PERMIRA) yang mengadakan festival ‘Wonderful Indonesia’. Festival yang digelar di kota Kazan, Republik Tatarstan, ini mengusung tema ‘Taste of Indonesia’. Kegiatan ini diselenggarakan setelah melihat antusiasme masyarakat Rusia terhadap budaya Indonesia dengan suksesnya Wonderful Indonesia Agustus lalu yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Hermitage Garden Moscow. Permira bekerjasama dengan Kementrian Pariwisata dan didukung oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Rusia menyelenggarakan Wonderful Indonesia di Kazan. Sedangkan kegiatannya sendiri menyajikan rangkaian acara yang terdiri dari pameran kebudayaan indonesia seperti pagelaran seni, serta menampilkan kuliner khas Indonesia. Tentunya akan menunjukkan keragaman budaya dan kearifan lokal alam Indonesia.

Saat aku dan Brian sedang melihat lihat beberapa pameran, tiba tiba terlihat olehku sebuah pertunjukan seni tari yang dari dulu aku kenal, seni tari yang menyimpan beribu kenangan, seni tari kuda lumping. Seketika aku terpatung melihat seni tari ini, bukan, bukan karena tariannya, tetapi semua ini mengingatkanku tentang kampung halamanku, mengingatkanku tentang seseorang, Ibuku. Lihatlah, sekarang tidak ada Ibu yang menggandeng tanganku dan mengajakku pulang, tidak ada ibu yang akan menggendongku jika aku kelelahan menonton seni tari ini. Tak sengaja setetes air mataku bergulir terjatuh ke tanah.

Waktu sudah menjelang siang, namun gumpalan salju tak henti hentinya turun dari langit. Aku dan Brian pergi ke warung makan khas masakan Indonesia, akhirnya setelah enam bulan aku bisa makan masakan kampung halamanku. Kami berdua makan sambil menonton video layar lebar di tengah tengah lokasi festifal, tentu saja video ini memperkenalkan keindahan kekayaan alam dan budayanya Indonesia.

Baru saja aku menikmati makananku, tiba tiba ponselku berbunyi, aku pun langsung mengangkatnya.

“Hallo? Nic? Kamu ada di mana?” suara perempuan yang aku kenali ternyata meneleponku.

“Aiko? Aku… aku ada di festifal Wonderfull Indonesia, ada apa?”

“oh kamu juga ada di sini ya?”

“Memangnya kamu ada di festifal ini juga?”

“Iya, temui aku di taman bunga di dekat restoran Sandbar Chiken, ya?”

“B, baik, tunggu aku sebentar ya…” Telepon aku matikan.

“Siapa Nic?” Brian di dekatku bertanya.

“My girlfriend ” aku tersenyum malu, Brian tertawa, lalu dia menuruhku agar aku segera menemui Aiko.

“Nic! Jangan melakukan hal yang tidak tidak ya?” kata Brian sembari memukul lenganku.

“Memangnya apa yang aku mau lakukan di tempat umum seperti itu!” aku balas memukul lengan Brian, lalu pergi menuju taman bunga.

“Good luck!!” kata Brian saat aku meninggalkannya.

Siang sudah setinggi ujung penombak. Langkah kaki aku perlambat, di taman yang cuma berukuran setengah lapangan bola sepak ini hanya ada beberapa orang yang terjalin sebagai sepasang kekasih, aku masih berjalan mencari Aiko sampai aku temukan dia di bangku taman di dekat bibir sungai kecil. Lihatlah itu, seorang wanita yang memakai sweeter merah, di lehernya terbalut syal putih, matanyaa bersinar hijau, pipinya yang merona semakin merona karena cuaca. Aih… begitu cantiknya dia.

“Konnichiwa! Selamat siang Nico-San…” Sapanya ketika aku sampai di sana.

“Eh, siang juga…”

“Silahkan duduk dulu Nico-San” katanya sambil menepuk bangku kosong di sebelahnya. Aku pun duduk.

“Bagaimana kabarmu Aiko?” tanyaku bosa basi.

“Heiki Desu… aku baik baik saja Nico-San”

“Nic saja… enggak perlu pakai San” kataku.

“Ooh maaf, di negara Jepang, memakai nama kecil seseorang itu tidak sopan”

“Kitakan sudah lama kenal Aiko… lagi pula aku tidak terbiasa dengan kata itu”

Aiko menyandarkan kepalanya di pundakku. “Gomen na sai, Maaf Nico-San aku sudah terbiasa menggunakan kata ini, bukankah kata ini menunjukan kehormatan bagi Nico-San?”

“Iya sih… ya… em… sudahlah… kalau begitu tidak apa apa”

Aiko Asami namanya, ia bekerja sebagai seorang Reporter, dia berasal dari negara sakura, Jepang. Kami sudah berhubungan sejak dua bulan yang lalu, kami bertemu di kota Belgorod, kota yang berada di dekat Ukraina, dan itu adalah pertemuan kami yang pertama kalinya.

“Kita pergi ke Festifal pameran yuk, Aiko?” tanyaku seketika.

“Hai! Baiklah Nico-San” katanya sambil melepas sandaran kepalanya dari pundakku lalu berdiri.

Kami pergi ke festifal itu, aku mengenalkan beberapa pameran dari Indonesia kepada Aiko, mengenalkan seni seni dan kuliner kepadanya, kami mengabadikan semua kegiatan kami. Tak akan pernah aku lupakan pengalaman seindah ini. Sampai aku sadari waktu berjalan cepat, senja pun sudah mengelilingi langit, akupun pulang bersama Aiko. Malam telah menjemput, bersama dengan gumpalan salju yang semakin ramai turun dari langit.

Malam dingin semakin dingin. malam ini aku berada di atas apartemenku, kupandangi langit malam ini, sedikit bintang di langit sana lainya tertutup awan, hari ini adalah hari paling bahagia di hidupku, andai saja ibuku bersamaku untuk melihat anaknya yang sedang bahagia ini. Semua ini karena adanya festifal itu, ya, festifal Kebudayaan Indonesia, menurutku kebudayaan itu bukan cuma sekedar seni, namun memiliki arti yang lebih dari itu, lebih dari sebuah tradisi. Karena budaya inilah sebuah kenanganku teringat kembali olehku, saat aku bersama orang yang aku sayangi, bersama keluargaku, bersama ibu, ayah dan teman temanku. Sungguh kenangan itu kembali hanyut di dalam hati dan ingatanku.

Malam ini salju masih turun, bintang gemintang sempurna tertutup awan di langit sana, angin dingin berhembus memainkan ujung rambutku, membuat diriku yang sedang penuh antusias menatap langit tersenyum.

“I LOVE YOU, MY CULTURE”

Sekian


Karya : Ahmad Rizqi Latif Oktavian

BAYANGAN DARI GELAP

Malam yang dingin. Bintang gemerlapan di atas langit. Berkali-kali gendang bertabuh. Suaranya mengakar sampai ke telinga. Seorang penari dengan mahkota berhias. Selendang yang dilemparkan ke kanan dan kiri. Bunyi genderang tiba-tiba mengalun pelan dan berubah bunyi jam weker. Aku menatap langit-langit kamarku. Mentari pagi bersinar cerah. Aku menggeleng kepala. Tak percaya apa yang baru saja kualami. Aku segera bangun dan melakukan aktivitas.

Harun dan Yayuk datang dari barat. Dengan wajah ceria, mereka melambai padaku yang sedang mengeluarkan sepeda dari gudang. Dengan terburu-buru, aku injak pedal sepeda dengan kuat dan melajukannya agar roda berputar lebih cepat. Yayuk yang dibonceng oleh Harun di belakang berteriak-teriak. Udara pagi menyapa. Dedaunan hijau yang tertambat di dahan meneteskan embun. Sekitar sepuluh menit, Aku dan dua temanku sampai di Desa Jambu. “Jaka! Ayo!” teriak Harun yang sudah sampai di bawah. Tak lama kemudian aku menyusulnya. Bel kemudian berbunyi setibanya aku di depan kelas. Suara sepatu mendekat. Seorang bapak-bapak berkumis tipis dan sedikit botak memasuki kelas. semuanya berdiri dan memberi hormat.

Satu jam pelajaran telah selesai. Kebanyakan siswa pergi bermain di luar. Harun terlihat memojok dengan Yayuk di ujung kelas. Aku mendekat dan memperhatikan tingkah Harun yang aneh. perutnya terperas erat oleh jari-jarinya. “Kenapa, belum sarapan?” tukas Yayuk seraya menyerahkan segenggam roti yang baru di ambil dari dalam tasnya. Harun menolak dengan gelengan. Aku membantu Harun berdiri. Dia berdiri dan segera aku bawa ke UKS. Kembali dentang bel berbunyi, Yayuk menyambar lenganku dan membawaku berlari menuju kelas. Selama dua jam, pelajaran berlangsung serius dan terkadang candaan terlontar dari anak-anak desa yang masih duduk di bangku kelas Lima Dasar ini.

Jam pulang akhirnya tiba. Kulihat Harun menuntun sepedanya keluar dari gerbang. Dia hanya tersenyum dan sesekali menggeleng. Setelah di depan pintu masuk Gunung Ijen. Dia berhenti dan menepuk pundakku. Entah apa maksud darinya. Dia lalu melanjutkan jalannya ke atas menuju kampung kami. Dua puluh menitan kami berdua dan disusul Yayuk yang berlari mengatur napas. Dia memasang wajah cembetut. Tepuk jidatku yang lebar dan menjewer kupingku. Dia melangkah mendahului kami berdua. Gapura sederhana terbuat dari bambu terlihat. Sampailah di pintu masuk kampung. Malam kembali dengan bulannya. Begitu juga bintang yang bertebaran di atas sana. Hari itu aku hanya bingung dan bingung dengan sikap Harun yang biasanya ceria mendadak dingin. Ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Ibuku masuk dan menegurku untuk segera menunaikan sholat maghrib. Kuturunkan kaki dari kasur.

Sholat usai. Kujejalkan kaki pada sandal karet. Kutinggalkan pelataran masjid. Bapak dan ibuku berjalan di depan. Aku menyusul mereka. Aku menarik napas dalam-dalam. Pemakaman yang tidak jauh dari masjid sudah terlewat. Pohon beringin yang tua nan kokoh juga ikut terlewat. Rumah sederhana yang kutinggali bersama dua orangtuaku nampak jelas di mata. Aku berjalan menunduk, sampai-sampai tak melihat seseorang di hadapan dan menubruknya. Orang itu tinggi dan hanya diam mematung. Aku meminta maaf padanya. Tapi tidak ada balasan. Aku segera mempercepat jalanku dan meninggalkan orang tinggi itu tetap disana. Dalam rumah dan dalam kamar, aku menyambar selimutku.

Ilalang bergoyang dengan nyaman di padang yang luas. Kantuk yang masih mendera membuatku membuka mulut untuk menguap. Pagi-pagi sekali, bapak menyuruhku seperti biasa jika hari libur untuk mengangon sapi. Aku lepas mereka di padang rumput yang tidak jauh dari rumah. “Aip! Sini-sini!” Suaraku memberi perintah pada kepala rombongan. Mereka melenguh dan segera menjalankan empat kakinya. Pagar tua di pinggir padang tercekik sudah oleh tali dari para sapiku. Sekali lagi kantukku kembali. Mataku berkedip-kedip dan menutup. Tanpa sadar, aku terbaring bersandar di pagar, kemudian melihat semua kawanan yang sedang memakan rumput tadi, kini menghilang. Aku mencari mereka hingga ke tengah padang yang luasnya dua kali lipat sebuah lapangan sepak bola. Terus mencari dan berteriak tidak jelas. Lonceng yang melekat di Aip, sapi yang menjadi kepala kawanan terdengar samar dan kian menjadi jelas. Dua tangan menggenggam tali ikatan sapi, terlihat dari jauh dia masih anak-anak seusiaku. Mendekat ke tepi ladang. Aku berlari ke arah sapi-sapi itu tergiring.

“Harun!” sesampainya aku di tepian ladang. “Kau sudah tidak apa-apa?”

“Sing, sing paran-paran, kok isun. Sudah sehat.” Ucapnya dengan senyumnya yang kembali cerah. “Mungkin kurang kencang kamu ikatnya?”

“Mungkin. Tadi kutinggal tidur.” Aku menggosok-gosok rambut dan tersenyum. “Makasih, Run.”

Harun mengangguk. “Aku balik dulu, ya?”

“Ok.”

“Besok, aku punya rencana bagus.” Sekejap bentuk mimik wajahnya berubah misterius.

“Rencana apa?”

“Ujian sudah selesai kemarin, kan?”

“Ya… lalu?”

“Kita akan libur satu bulan penuh, kan?”

“Ya… lalu?”

“Kita akan turun dan menonton pertunjukkan.”

“Dimana?”

“Besok aku ceritakan semua. Datang jam tiga sore.” Ucapnya sambil berlari menjauh.

Aku mengangguk dan melanjutkan mengangon semua kawanan dengan mata yang sekarang telah benar terbangun. Mendung tiba-tiba datang. Aku lepas ikatan semua kawanan sapi yang berjumlah lima ekor tersebut untuk kembali ke kandang mereka. Hujan lalu turun dengan derasnya. Sorepun menjadi kelabu. Dingin merasuk ke dalam tulang.

Esok hari yang ditunggu datang. Sekolah berakhir dengan pengumuman ujian berakhir. Jam tiga sore tiba. Harun dan dua kawan kelas dan juga bayangan gadis yang satu-satunya dalam kelompok kami. Yayuk ikut dengan ijin pada bapaknya dengan memohon sangat keras. Perjalanan kami berlima dimulai dari kampung. Empat sepeda segera melaju turun dengan cepat. Roda-roda menggilas tanah. Mungkin sekitar dua jam, barulah kami sampai di desa Olehsari. Petang lalu merajuk untuk datang. “Kita akan menginap di rumah nenekku.” Ucap Harun sesampainya di sebuah rumah yang besar apik. Bau kemenyan menyembur keluar dari dalam rumah. Membuatku terbatuk. Ketiga temanku menggeleng dan tersenyum melihatku terbatuk hanya karena asap dari sebuah kemenyan.

Sore yang ditunggu akhirnya datang. Mbok Diyah, neneknya Harun rupanya adalah perias penari Seblang Olehsari yang diadakan pada bulan syawal dan dilakukan selama tujuh hari berturut-turut. Saat kami berlima keluar dari bangunan yang lebih mirip gudang seblang daripada rumah. “Ehem.. aku janji akan cerita waktu itu, ingat?” ucapnya sambil berjalan menuju ke tempat ritual bersih desa itu akan dilangsungkan.

“Ingat. Kenapa dua hari lalu kau mendadak diam?”

“Bukan dari sana aku mulai, tapi waktu di rumah.” Ucapnya sembari memperlambat jalan. “Sebetulnya, malam sebelum aku mendadak yang disangka sakit perut itu, aku meminta ijin pada ibuku. Dia terus menggeleng, sebab aku meminta ijin untuk menuruni gunung malam-malam. Ya, dia tidak mengijinkan. Begitulah.”

“Lalu, sambungnya denganmu di kelas?” tanyaku bingung.

“Malam itu juga aku akhirnya sebal dan menenggak pil pelancar BAB. Aku meminum pil itu bermaksud untuk mengancam ibuku agar di ijinkan untuk turun gunung pada malam hari. Rupanya, aku kaget atas kedatangan ibuku yang mendadak. Aku telan pil itu bulat-bulat. Dan, dia mengira aku menelan pil racun. Dia menyambut histeris dan segera mengambilkan air minum banyak-banyak, membuat perut menjadi kembung. Aturan dalam tablet pil itu adalah meminum air dua gelas. Dan, akhirnya aku langsung merasakan reaksi. Aku segera berlari ke jamban. Ibuku tambah panik. Pokoknya akhirnya dia aku ceritakan semuanya dan dia akhirnya mengijinkanku untuk turun gunung meski pada sore hari setelah pulang sekolah. Dan tambahan, dia juga menyuruhku untuk mengajak teman.”

Aku tertawa sambil geleng-geleng tak percaya apa yang dilakukan temanku satu ini.

“Ya, ketawa kau. Puas-puasin saja.” Ucapnya dan menarikku berlari menyusul yang lain.

“Eh… mana yang lain?” ucapku setelah kami tiba di tempat acara. Di sana, semuanya mendadak diam. Beberapa menit, Sang penari datang dengan rombongan. Sebuah nampan dengan mahkota berhias pupus daun pisang yang menjuntai. Dupa menyala, dukun merapal mantera. Penari memakai mahkota yang dibantu Mbok Diyah. Tubuh penari itu limbung. Selendang tersampir dan dia menari mengikuti gending. Luwes dan semakin lama semakin cepat seirama iringan musik. Lalu, sebuah gending terlantun. Penari seblang terdiam, gerak geriknya menjadi bingung. “Kenapa, ya?” tanya Harun penasaran.

Aku tetap pada posisiku. Tubuh penari itu terkulai lemas dan kemudian terjatuh, tidak lama dia berdiri dan menari dengan cepat, lebih cepat dari sebelumnya. Mendadak telingaku mendengung dan mata kiriku berdenyut. Sekilas adegan terlihat dalam pikiran. Lalu, semuanya kembali normal, dan, sesaat iringan nada itu memudar dalam telingaku. Tubuhku lemas, nada-nada yang melantun lenyap. Gelap dan dingin. Nampak seseorang bertudung berdiri di depanku. Dia merundukkan kepalanya. Aku lihat ke bawah, jalan berbatu yang berlumut. Aku tapaki dan mencoba mendekat ke arah orang bertudung itu. Semakin lama aku mendekat dan terus berjalan. Semakin jauh saja posisi dari orang tersebut. Anehnya, kemudian orang itu berjalan mendekat dan kemudian hilang dari hadapanku. Jalan berbatu itu juga menghilang satu persatu. Kurasakan kaki-kakiku tidak lagi menginjak jalan berbatu itu. Tubuhku lenyap ditelan gelap. Suara dengung dan bau minyak kayu putih semakin terasa di perut. Wajah Harun dan ketiga temanku yang lain nampak di hadapanku samar-samar. Aku terbangun dengan mengejutkan semuanya. Berteriak tidak jelas. Semuanya kaget dengan teriakan yang tiba-tiba.

“Arrggghhh!!” sekali lagi aku berteriak.

“Kenapa-kenapa?” tanya Harun bingung.

“Aku dimana?”

“Di rumah nenekku. Mana lagi, hotel?”

“Hah? Bukannya kita menonton Seblang?”

“Selesai.” Jawab Yayuk yang di sampingku.

Aku melihat sekitar. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Ruangan luas berwarna hijau dan tubuhku di atas kasur antik. Lalu, datang seorang nenek dari arah belakang. Menyuruh ke empat temanku menjauh dariku. “Ini, minum.” Tukasnya seraya menyerahkan air di dalam batok kelapa. Aku teguk perlahan dan mengalir ke tenggorokan. “Tidurlah dulu. Besok, mungkin sudah agak mendingan.” Tukasnya sembari kembali menyuruh semua temanku keluar dari kamar yang kukira itu adalah kamar nenek Harun.


Karya : Grape Pras

DULU MEMBURUK, SEKARANG LEBH BAIK

Duduk manis sambil membaca buku atau mendengarkan penjelasan dari seorang guru, atau istilahnya mendengarkan guru ceramah adalah hal yang paling aku benci, tapi tidak dengan guru olah raga yang menyuruh untuk bermain bola atau sepak takrau, mungkin guru tersebut belum menyuruhku untuk mengambil bola aku sudah berada di lapangan siap melawan para teman-teman lelakiku bermain bola. Tapi ini tidak terjadi pada hari ini aku melirik dari dalam kelas ke arah sudut salah satu sekolah tepatnya samping sebuah dinding yang bertuliskan SMP N 1 Gisting tampak sosok Ibu-Ibu yang berjalan dengan melangkahkan kaki begitu cepat tapi tidak banyak jarak yang diperoleh seperti pinguin kekenyangan jalan di tempat.

Sambil membawa segepok kain dan benang 8 berwarna kuning emas menuju ke kelasku. Bukan lain, kain itu adalah bahan untuk membuat tanganku pegal-pegal dan jelas penyakit ngantuk akan segera datang. Ya itulah pelajaran sulaman tapis. Yang ku tahu, pelajaran sulaman tapis adalah pelajaran yang sama seperti yang lainnya. Hanya saja ada sedikit perbedaan yaitu tentang kesenian dan ada hubungannya dengan adat lampung. Pada dasarnya sulaman tapis adalah keterampilan menyulam dengan benang emas pada kain adat lampung untuk membentuk pakaian adat lampung dengan berbagai macam bentuk, salah satunya bentuk pucung rebung.

Yang aku tahu tentang sulaman tapis memang tidak banyak tapi sering terdengar di telingaku sehingga aku belum menyukai pelajaran tersebut, karena menurutku butuh keterampilan khusus yang aku anggap rumit dan susah. Selain membutuhkan keterampilan juga membutuhkan ketelitian, sehingga aku bingung untuk memahaminya. Tapi dalam penyulaman juga tidak boleh ada yang salah dalam penyulaman, karena jika salah akan membuat bentuk yang tidak sempurna. Itulah kenapa aku tidak menyukai sulaman tapis. Selain pelajarannya aku juga tidak suka dengan guru yang mengajari sulaman tapis. Saat Ibu Samsiah masuk ke kelasku, aku mulai meluapkan kebencianku terhadap pelajaran sulaman tapis.

“Tok, tok,” bunyi salam yang tidak asing mulai menggelitik di telingaku, rasa malas mulai menghampiriku dan mengajak untuk merebahkan kepalaku yang mulai berat.

“Tadi pun,” sapa Bu Samsiah sambil melesungkan pipi sebelah kiri.

“Ya pun,” jawab kami dengan nada lemas.

“Baik anak-anak hari ini kita akan melanjutkan sulaman tapis yang kemarin,” kata-kata itu sudah aku duga sebelumnya. Kata yang setiap menjelang minggu terakhir selalu membuatku semakin malas. Ibu Samsiah membuka buku absen yang sudah kelihatan kumel memanggil nama-nama teman sekelasku satu per satu.

“Andora.. Ana.. Anisa…Ajos…” Bibirnya yang penuh gincu mengucapkan nama itu satu persatu dan ketika sampai di absen yang tengah nama.

“Sascia,” terdengar di telingaku seketika aku menjulurkan tangan ke atas. “Hadir,” aku mengeluarkan kata itu dengan suara yang begitu sangat malas.

Selesai sudah Ibu Samsiah mengabsen kami, ia segera berjalan menuju papan tulis dengan membawa spidol dan buku.

“Sulaman tapis,” itu adalah kalimat yang ditulisnya di papan tulis. Sudah aku duga pasti hari ini akan belajar sulaman tapis, yang sama seperti minggu terakhir.

“Hari ini adalah hari kedua kita belajar sulaman tapis, kalian akan melanjutkan sulaman tapis yang kalian buat kemarin secara berkelompok, kalian paham!” kata Ibu Samsiah sambil menerangkan dengan suara kecilnya yang membuat telingaku malas mendengarkannya.

“Mengerti Bu,” kami menjawab dengan suara malas.

“Baik anak-anak ayo segera kalian bergabung dengan kelompok kalian!” kata Bu Samsiah menyuruh kami.

“Baik Bu,” Kami menjawab sambil berjalan menuju kelompok kami. Selesai sudah kami bergabung, Ibu Samsiah berkata, sambil membagikan kain-kain dan benang emas sebagai bahan pembuatan sulaman tapis, berjalan menuju meja kelompok kami satu per satu. “Saat pelajaran nanti berlangsung jangan ada yang ribut, kalian harus fokus ke pelajaran supaya kalian itu maksud dengan pelajaran ini. Kalian mengerti!”

“Mengerti Bu,” dengan nada lemas kami menjawab.

Mulailah kami membuat tugas yang diberikan Ibu Samsiah ini yang membuat tangan kami pegal-pegal dan merasa jenuh di dalam kelas, aku merasa bosan dan sangat tidak menginginkan melanjutkan pelajaran ini lagi. Ternyata tidak aku saja yang tidak menyukai, bahkan semua murid di kelasku tidak menyukai pelajaran sulaman tapis, karena menurut kami pelajaran sulaman tapis itu sangat menjenuhkan. Memang Ibu Samsiah tidak bersalah, “Tak kenal maka tak sayang,” tidak hanya pelajarannya tapi gurunya juga kami tidak suka. Dengan memakai bedak yang terlalu tebal dan agak sedikit keriput di sekitar wajahnya, membuat kami sangat bosan dengan guru dan pelajarannya. Keadaan di kelas yang sangat membosankan ini, kami seandainya bisa memilih tidak ada pelajaran sulaman tapis pasti semua sangat senang.

Di tengah-tengah pelajaran yang sedang berlangsung selama tiga jam mulailah kami membuat keributan di dalam kelas, karena kami merasa jenuh dan bosan kami semua berbicara dengan teman satu dengan teman yang lainnya, tidak hanya para siswa putri, siswa putra pun begitu, mereka membuat keributan dengan main mulut, tangan, dan kaki, mereka saling menuduh satu sama lain, dengan kata lain kalau bukan bertengkar. Tidak hanya itu, mereka juga menendang dan mengoper bola kepada teman di ruang kelas. Pokoknya suasana itu membuat kami semangat ribut. Ibu Samsiah memang tidak bersalah, tapi karena pelajaran sulaman tapis menjenuhkan, aku jadi tidak menyukainya, memang menyakitkan.

“Anak-anak tolang tenang jangan ribut,” kata Ibu Samsiah dengan nada keras. Kami semua terkejut mendengar perkataan Ibu Samsiah yang keras. Saat keadaan kembali tenang semua teman-temanku merasa sedih, karena kami semua tidak bisa ribut, dan terpaksa kami harus melanjutkan membuat sulaman tapis.

“Kapan lonceng berbunyi?” kata Ica yang duduk berkelompok denganku, sambil memain-memainkan benang emas.

“Aku tidak tahu? Memang kita sudah berapa jam belajar sulaman tapis?” kata Dian yang juga duduk berkelompok denganku.

“Sudah tiga jam,” kata Ajos, sambil melihat jam tangan miliknya.

Tidak lama kemudian, “Teng-teng,” terdengar suara lonceng yang membuat kami melonjak bahagia.

“Baik anak-anak rapikan buku kalian,” kata Bu Samsiah.

“Ya Bu,” Kami menjawab.

“Cukup sekian dari Ibu, saya akhiri wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” kata Ibu Samsiah sambil membawa segenggam buku menuju pintu kelas.

“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” kami menjawab dengan hati senang. Kami salim kepada Ibu Samsiah satu per satu yang sedang berdiri di dekat pintu. Saat Ibu Samsiah keluar dari kelasku, kami semua berunding.

“Besok kalau ada pelajaran sulaman tapis kita tidak usah berangkat sekolah oke,” sapa Ajos.

“Jangan begitu, kalau kita gak berangkat bakal ketahuan, mendingan kita cari cara lain,” sapa andora.

“Gimana kalau kita berangkat, tapi pas pelajarannya udah mau mulai, kita semua bolos, setuju gak!” sapa Dian sambil memegang sehelai rambutnya.

“Setuju!” Kami menjawab dengan serentak.

“Ya udah aku pulang dulu ya teman teman,” sapaku.

“Iya, aku juga mau pulang dada semuanya,” sapa Sari.

Akhirnya aku dan teman pulang ke rumah masing-masing, dan menyetujui akan membolos pelajaran sulaman tapis.


“Teng-teng,” terdengar suara di telingaku.

“Teman-teman ayo masuk kelas, lonceng sudah berbunyi,” kataku sambil mengajak teman-teman yang sedang duduk di depan kelas.

“Ini hari apa? kok kelihatannya kamu semangat gitu,” sapa Winda dengan penuh tanda tanya.

“Ini hari sabtu, kamu udah lupa hari ini ada pelajaran sulaman tapis,” aku menjawab dengan bingung.

“Oh, iya aku baru inget kita kan mau bolos,” sapa Winda dengan nada keras.

“Sut-sut-sut… Jangan keras keras nanti gurunya mendengar,” kata Ghina dengan suara kecil.

“Emang ada gurunya?” kata Winda.

“Ada, gurunya mau ke sini ayo cepat kita bolos,” sapa Ghina dengan ketakutan.

“Teman-teman ayo bergegas, gurunya udah mau ke sini!” kata Ghina sambil membawa tas rangsel miliknya, langsung memberitahu teman-teman yang lainnya berada di dalam kelas.

Saat aku dan teman-teman semua sudah siap, kami lari dengan cepat ke luar sekolah sebelum ada yang melihat. Seketika itu Ibu Samsiah menuju kelas dan membuka pintu, saat Ibu Samsiah membuka pintu ia melihat keadaan kelas yang berantakan dan tidak ada satu murid pun yang ada. Ia mengeluarkan tetesan air mata kesedihan dengan wajah merah, sambil membasuh air mata dengan sekain sarung tangan. Dia mengeluarkan sedikit demi suara kecil yang akan membuat susasana pasti akan sangat terharu. Kami mengintip dari dinding pagar sekolah terlihat sosok Ibu-Ibu yang sedang duduk dan tetesan air yang ada membasahahi kain dan buku yang ia bawa, aku dan teman-teman tidak tega melihat Ibu Samsiah menangis hanya karena kami membolos. Akhirnya aku dan teman-teman sekelas mulai berunding.

“Ayo teman-teman kita belajar menyukai sulaman tapis, selain untuk melestarikan budaya lampung dan juga menenangkan hati Ibu Samsiah, sebentar lagi kan akan diadakan lomba sulaman tapis, bagaimana kalau kita semua ikut lomba menyulam,” Kataku.

“Tapi kita kan belum sepenuhnya bisa membuat sulaman tapis? Lagi pula kamu tahu dari mana, kalau sebentar lagi akan ada lomba sulaman tapis?” sapa Andora dengan wajah kesal. “Ibu Samsiah pernah mengatakannya!” Ana menjawab, sambil memain-mainkan manik-manik yang dipakai sekitar pergelangan tangannya.

“Memang kapan lombanya?” Winda bertanya.

“Hari sabtu, tanggal 21 november 2015, di lapangan merdeka kota agung dalam rangka festival teluk semangka dan acara pengetahan adok,” sapa Bu Samsiah, yang tiba tiba datang di tengah tengah pembIcaraan kami.

Kami semua terkejut melihat Ibu Samsiah berdiri tepat di samping Winda, padahal kami sedang berkumpul di pos dengan suasana yang sepi, dan ramai di lain kelas. Karena takut dimarahi, kami semua meminta maaf kepada Ibu Samsiah atas kesalahan kami selama ini, kami semua mengatakan apa yang selama ini terjadi, dan ternyata Ibu Samsiah mau memaafkan kami. Baru kali ini kita meminta maaf pada guru yang kami benci, aku pikir Ibu Samsiah galak dan jahat, tapi sebaliknya, kami senang dengan ucapan Ibu Samsiah. Akhirnya aku dan teman-teman bisa belajar menyukai sulaman tapis, walaupun dengan keadaan terpaksa. Kami mulai belajar dan bertanya-bertanya pelajaran sulaman tapis dengan Ibu Samsiah, bagaimana cara membuat bentuk pucung rebung, susun bambu, beluh ketupat, dan berbagai bentuk lainnya.

Hari pun berganti.

“Tok-tok,” kami mendengar suara yang tidak asing.

“Masuk,” kami menjawab dengan serentak. Ibu Samsiah langsung membuka pintu dan masuk ke kelas kami.

“Anak-anak Ibu mau bertanya siapa yang mau ikut seleksi lomba sulaman tapis, minimal ada 2 orang, kelas ini yang ikut,”

“Bu yang ikut, Sascia aja,” kata Dian sambil mengacungkan tangan.

“Ya betul, Sascia aja,” teman-teman sekelas.

Karena aku dipilih, baiklah aku mau. “Sascia ayo ikut Ibu ke musala” Sapa Bu Samsiah. Aku langsung mengikuti Ibu Samsiah menuju musala dan bergabung dengan teman-teman yang ikut seleksi sulaman tapis. “Baik anak-anak, kalian bisa memulai dari awal membuat sulaman tapis di sini, ingat buat dengan sangat teliti dan hanya fokus ke menganyam agar tidak salah,” kata Ibu Samsiah sambil membagikan kain dan benang emas menuju kami sebelas orang satu per satu.

“Seleksi ini, hanya akan dipilih lima orang untuk menjadi peserta lomba sulaman tapis di lapangan merdeka kota agung, dalam acara festival teluk semangka dan acara pengetahan adok, jika kalian yang mau ikut lomba di lapangan merdeka kota agung! Kalian harus benar-benar membuat dengan serius, agar hasilnya bagus dan indah, kalian paham?” kata bu Samsiah sambil menjelaskan kepada kami, saat kami sedang menyiapkan bahan bahan pembuatan sulaman tapis.

“Paham Bu,” kami menjawab. Aku membuat.

Ibu Samsiah langsung membuka pintu dan masuk ke kelas kami.

“Anak-anak Ibu mau bertanya siapa yang mau ikut lomba sulaman tapis, minimal ada 7 orang, kelas ini yang ikut,”

“Bu yang ikut, kelompoknya Sascia aja,” kata dila sambil mengacungkan tangan.

“Ya betul, kelompok Sascia saja,” teman-teman sekelas.

“Siapa saja orangnya?” Ibu Samsiah bertanya.

“Ica, Dian, Ajos, Sascia, Sari, Fitri, Ghina, Bu,” kelompok kami menjawab.

Karena kelompokku dipilih, baiklah kami mau. “Ica, Dian, Ajos, Sascia, Sari, Fitri, Ghina, tedi ayo ikut Ibu ke musala,” Sapa Bu Samsiah.

Aku kami bertujuh mengikuti Ibu Samsiah menuju musala dan bertemu dengan teman-teman yang berbeda kelas ikut seleksi sulaman tapis.

“Baik anak-anak, kalian bisa memulai dari awal membuat sulaman tapis di sini, ingat buat dengan sangat teliti dan hanya fokus ke menganyam agar tidak salah,” kata Ibu Samsiah sambil membagikan kain dan benang emas menuju kami dua belas orang satu per satu.

“Seleksi ini, hanya akan dipilih dua orang untuk menjadi peserta lomba sulaman tapis, di lapangan merdeka kota agung, dalam acara vestivak teluk semangka dan acara pengetahan adok, jika kalian yang mau ikut lomba di lapangan merdeka kota agung! Kalian harus benar-benar membuat dengan serius, agar hasilnya bagus dan indah, kalian paham!” kata bu Samsiah sambil menjelaskan kepada kami, saat kami sedang memainkan jarum-jarum yang diikat dengan benang emas. “Paham Bu,” kami menjawab.

Seleksi sedang berlangsung dengan sangat tenang. Suasana yang begitu silir membuat aku tambah, hanya tinggal tiga puluh detik untuk menyelesaikannya.

“Baik anak-anak kumpul tugas kalian!” kata Ibu Samsiah.

“Ini Bu punyaku udah selesai,” kataku. Aku sudah selesai, tapi Ibu Samsiah kata, kami harus menunggu hasilnya di sini. Saat kami menunggu dengan bercanda tawa, Ibu Samsiah mengumumkan siapa yang terpilih. Dan yang terpilih adalah Sascia dan Sari. Aku senang mendengarnya.

Hari sabtu, tanggal 21 november 2015, di lapangan merdeka kota agung, itulah kapan dan di mana aku dan Sari lomba. Hari ini tanggal 20 november 2015, jadi aku harus mempersiapkannya dari sekarang. Hari-hari yang telah aku tunggu telah datang aku dan Sari sudah tiba di lapangan dengan memakai nomor yang dipasang di sebelah kiri baju dengan menggunakan jarum aku memakai nomor 81 dan Sari memakai nomor 80. Ibu Samsiah mengantarkan kami dengan sambil membawa bahan bahan untuk penyulaman. Lomba pun berlangsung dengan suasana yang membuat jantungku selalu tidak bisa diam dan, sudah lama tanganku pegal memainkan jarum. Tapi aku harus tetap semangat.

Sudah 10 jam aku dan sari membuat dan menunggu hasilnya, kami menunggu di lapangan dengan duduk di sebuah tenda yang di buat oleh para petugas. Saat aku melihat dua pasangan pengantin memakai baju adat lampung dan siger di atas kepalanya. Aku baru ingat kalau sebelum pengumuman akan ada acara pengetaan adok. Sambil menonton acara tersebut, kami sangat lelah dan lapar. Tapi karena acara pengetaan adok sudah dimulai dan malas bagiku untuk meninggalkan tempat peristirahatanku, aku dan Sari menahan rasa perut lapar dengan melihat acara tersebut. Saat kedua pengantin mereka datang ia duduk di tempat yang diangkat empat orang setiap kursi aku menyebutnya. Mereka disambut dengan tepukan tangan para penonton yang meriah, dan dimulai dengan pembacaan kalimat lampung.

Kedua pasangan pengantin itu terlihat sangat bahagia dan seandainya aku bisa seperti dia walaupun aku bukan keturunan darah biru. Saat acara pengetaan adok selesai, ternyata masih ada acara-acara yang menakjubkan. Seperti berbagai macam tarian, musik, dan gerak jalan para polisi kecil. Selesai sudah acara itu selesai, akhirnya ketiga para pembawa acara itu memberitahu hal yang paling aku dan Sari tunggu tunggu. Mereka mengumumkan juara berbagai lomba yang mereka adakan di antaranya: lomba sulaman tapis, tari, nyanyi, menulis karya sastra lampung, dan lain-lain Saat diumumkan pemenang lomba juara tapis, jantungku berdebar-debar seolah-olah seperti akan lepas dari tubuhku, hatiku tidak bisa tenang, dan pikiranku yang selalu menuju ke lomba. Membuat kami para peserta ketakutan.

Pembawa acara tersebut langsung mengumumkan, “Juara yang ketiga lomba sulaman tapis adalah.. Siswa dari SMP N 1 Gisting. Dengan nomor urut 79.” Membuat Sari, aku, dan Ibu Samsiah berteriak keras. Tidak hanya kita tapi semua penonton ikut gembira, Sari pun langsung dipanggil untuk segera naik ke atas panggung. Saat mengumumkan juara dua adalah.. Siswa dari SMA kota agung. Dengan nomor urut 8. Betapa bahagianya dia juga berteriak. Dan para penonton juga memberi tepuk tangan yang meriah untuknya. Dan dia juga dipanggil untuk segera naik ke atas panggung.

Saat pengumuman juara satu adalah… Siswa dari SMP…Negeri 1 gisting. Dengan nomor urut 81, betapa bahagianya aku, Ibu Samsiah, dan para penonton yang hadir di lapangan memberi tepuk tangan yang meriah untukku. Aku langsung naik ke atas panggung dengan sengat senang sampai-sampai aku terjatuh di tangga. Untung saja tidak ditertawakan.

Saat pemberian hadiah aku berterima kasih kepada Allah swt karena di hari yang sangat aku tunggu-tunggu ini. Aku bisa mendapatkan kemenangan. Aku diberi hadiah berupa benda yang sangat menentukan nasibku untuk bisa sekolah di SMA yang aku inginkan. Yaitu berupa piagam penghargaan dan sebuah piala tinggi yang ikat dengan pita berwarna merah putih.

Hari ini hari yang tak terlupakan dan juga hari yang membuatku sangat sangat bahagia, setelah semua yang ku lalui yang tadinya malas belajar, sering membolos pelajaran sulaman tapis, tetapi kini tidak lagi aku sudah melupakan masalah dulu dan melakukan yang ku lakukan hanya untuk semangat belajar. Saat tiba di sekolahku semua teman dan guruku menyambutku, dan Ibu Samsiah tersenyum bangga karena aku menjadi siswa yang berprestrasi, dalam bidang kebudayaan. Dan dari situlah kami semua saat itu menyukai sulaman tapis dan mulai melestarikan.

Tamat


Karya : Sascia Fitriana

MAKANAN TRADISIONAL INDONESIA

Namaku Christynia Mellsa Paradise. Akrab disapa Christy (baca: kristi). Aku mempunyai kembaran, namanya Christalia Mellsy Paradise. Akrab disapa Christa (baca: Krista). Kami hanya berjarak 3 menit 30 menit dan 33 detik. Angka yang cantik, bukan? Kami lahir pada tanggal 03 Maret 2005. Aku lebih tua dari Christa. Otomatis, aku kakaknya. Oya, kami bisa dibilang kembar tidak identik. Rambutku berwarna pink kehitam-hitaman sebahu dan ikal. Poni yang pendek dan dibelah dua. Sedangkan rambut Christa, coklat pekat sepunggung lurus dan poni yang rapi plus lurus. Anak rambutnya yang berada di depan telinganya membuat ia tambah manis. Kami juga bisa dibilang anak Blasteran, tepatnya Indonesia-Amerika. Dadsy keturunan Amerika, sedangkan Momsy keturunan Indonesia, tepatnya Jakarta.

Sesampai di sekolah, aku dan Christa memasuki ruangan kelas yang sama, kelas 6-2B. Aku meletakkan tasku di bangku no 3 dekat tembok. Sedangkan Christa di sampingku. Kulihat, beberapa anak perempuan sedang berkumpul. Aku dan Christa kompak menghampiri mereka. Ada Vanessa, Gryssa, Qwenssa. Namanya sama-sama ‘Ssa’ nya. Katanya, ibu mereka lahir di rumah sakit yang sama, tanggal yang sama, dan kamar yang bersebelahan. Aneh bin ajaib, kan…? Hampir lupa bilang, mereka adalah sahabat kami juga.

“Hai, Gryssa, how are you?” tanya Christa pada sahabat dekat(banget)nya, Gryssa. “I’am fine, thank you,” jawab Gryssa seperti biasanya, ceria dan ramah. “Kalian sedang mengobrolkan apa?” tanyaku. “Gini, lho, Ty… Di dekat jalan Indonesia Jaya, terdapat restoran mewah. Ya, semula kami berpikir bahwa itu masakan khas Italy, Japan, or France. Ternyata, isinya makanan khas Indonesia, makanan kampung. Seperti Pempek, gorengan, Sayur Asem, Gudeg, atau lainnya. Awalnya kami menolak, setelah mencicipinya, ternyata enak. Bahkan, aku yang pesan Pempek Kapal Selam, sampai pesan hingga 3 piring,” cerita Vanessa diakhiri cekikikan. “Wah, aku harus kesana!!!” pekik Christa si ‘Maniak Makanan Kampoengan’. “No, no, and no!!” pekikku tidak kalah nyaring. Aku memang anti terhadap makanan kampungan. “Kau harus mencobanya, Christy. Tidak mungkin, jika Christa menyukai makanan tidak enak,” bujuk Qwenssa si pendiam. Setelah beberapa bujukkan Vanessa, Qwenssa, Gryssa, dan Christa, aku menyerah.

Ting… Ting… Ting…

Bel masuk berbunyi. Kami baris di lapangan untuk melaksanakan Upacara Bendera. Usai Upacara Bendera, kami segera melakukan proses Belajar-Mengajar.

“Horee!!!” teriakan dari kamar Momsy dan Dadsy, membuatku penasaran. Segera saja, aku menuju ke kamar Momsy dan Dadsy. “Ada apa?” tanyaku heran. Di kamar terdapat Christa dan Momsy. “Momsy mengizinkan kita ke Restaurant yang dibilang teman-teman tadi!!” seru Christa. “Memangnya, Dadsy tidak lembur?” tanyaku lagi. “Dadsy tidak banyak pekerjaan. kemungkinan, Dadsy pulang pukul 16.00,” jawab Momsy. Aku melirik ke arah jam dinding kamar. Pukul 14.30. Sekitar 1,5 jam lagi, Dadsy pulang.

Pukul 18.45, kami segera bersiap. Aku dan Christa mengenakan pakaian yang sama. Kaos berlengan 3/4 berwarna kuning, rompi tanpa lengan hijau motif batik (pemberian dari nenek), rok berbahan kasar warna hijau, dan celana berwarna kuning. Tak lupa sepatu hitam dan jam tangan putih. Aku memasang bandana di kepalaku. Sedangkan Christa, dia mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Kami segera turun.

“Anak-anak Dadsy sudah cantik dan rapi. Ayo, masuk mobil!” ucap Dadsy. Kami segera masuk mobil. Mobil melaju menuju restoran. Sesampainya, kami segera turun.

“Makanan Kampoeng Indonesia Restaurant,” bacaku dan Christa kompak. “Ty, Ta, ayo masuk!” ajak Momsy. Kami segera masuk. Di dalam, terlihat masih memakai theme kampung, namun mewah dan nyaman. Kami segera mendapat kursi yang nyaman. Restoran ini sungguh ramai, namun tetap tenang.

“Permisi, anda mau pesan apa?” tanya seorang pelayan yang datang ke-meja kami. Dari badge namanya, dia bernama Retni. “Aku pesan sepiring lontong sayur, segelas susu jahe, dan sepiring kue lupis,” pesan Christa paling awal. “Hmm… Saya pesan 2 piring nasi dengan ayam penyet, 2 cangkir kopi jahe, dan sepiring bola-bola ubi,” pesan Momsy. Karena aku tidak pernah makan makanan seperti ini, aku memesan nasi uduk satu, teh hangat satu, dan kue dadar gulung sepiring. Mbak Retni mengulang pesanan kami, dan pergi.

Tak lama, pesanan kami datang. Ketika yang lain sudah mulai makan, aku pun belum makan sebutir nasi-pun. “Christy, kenapa tidak dimakan nasinya?” tanya Dadsy heran. “Ak..ku… Rag..Gu.. Kal..Kalau… Makanan..Nannya… Tidak… En..Enak!” ucapku dengan sedikit terbata-bata. “Coba dulu!” perintah Momsy lembut. “Iya! Nasi Uduk itu enak, lho…,” bujuk Christa. Ia menjilati bibirnya karena ada kuah lontong sayur.

Aku mulai menyuapi mulutku dengan satu sendok, walaupun agak ragu-ragu. Benar!! Rasanya enak, dan nafsu makanku bertambah! Aku segera menghabisinya.

35 menit kemudian, kami selesai makan. Usai dibayar, kami segera pulang. “Enak kan?” tanya Christa dengan nada menggoda. Aku menganggukkan kepala. “Makanya, dicoba dulu, Christy. Jangan komentar dulu. Dikasih makanan kampung jawabnya ‘Iihh… Nggak mau!! Nggak enak, kampungan!!’. “Aku tersipu malu. Mulai sekarang, aku menyukai makanan tradisional Indonesia. Karena, jika makan Fast Food terus, itu tidak baik.


Karya : Alyaniza Nur Adelawina

PETUALANGAN MENCARI TAHU TENTANG BATIK

Pada suatu hari, ada pelajaran yang disukai olehku dan juga teman-teman. Pelajaran yang kami sukai adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Kami suka pelajaran tersebut, karena guru yang mengajar adalah Ibu Eni. Bu Eni adalah sosok yang tegas, adil, dan dapat menghibur.

“Selamat pagi, Anak-anak,” sapa Bu Eni. “Selamat pagi, Bu,” jawab teman-teman.

“Sekarang pelajarannya adalah Bahasa Indonesia!” perintah Bu Eni. “Sekarang ambil buku kalian dan buka halaman 125!” sambung Bu Eni. Teman-teman pun akhirnya mengeluarkan buku Bahasa Indonesia dan membuka halaman 125. Setelah teman-teman membuka halaman 125, Bu Eni berkata, “Di situ dijelaskan bahwa kalian harus mengeksplor kebudayaan atau hasil karya dari Kota Pekalaungan!” jelas Bu Eni. “Kalian paham?” sambung Bu Eni. Teman-teman pun menjawab secara serentak.

“Paham, Bu,” jawab teman-teman.

“Sekarang, Ibu akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok!” kata Bu Eni.

“Kelompok yang pertama adalah Rizal, Ali, Reza, Sheva, dan juga Naufal!” sambun Bu Eni.

Namaku adalah Muhammad Rizal. Aku lahir pada tahun 2000. Di rumah aku mempunyai teman yang bernama Ali, Reza, Sheva, dan Naufal. Mereka juga merupakan teman sekelas denganku.

Tidak beberapa lama kemudian, bunyi bel pulang sekolah akhirnya terdengar. “Sekarang kalian berkemas-kemas, berdoa, dan kemudian pulang!” perintah Bu Eni. Saat pulang sekolah, aku dan anggota kelompok berkumpul dahulu sebelum pulang untuk membahas tugas dari Ibu Eni. “Teman-teman!” kataku.

“Bagaimana ini? Kita akan mencari tentang apa di Kota Pekalaungan?” sambungku.

“Bagaimana kalau kita membahas ini di rumah kamu besok siang?” kata Ali.

“Setuju,” jawabku dan yang lainnya.

Pada keesokan harinya, teman-teman anggota kelompok aku sudah datang di depan rumahku. Aku pun langsung mempersilahkan mereka untuk masuk. Setelah semuanya masuk, aku pun mengambilkan mereka makanan dan minuman. Aku pun langsung bergabung dengan teman yang lain.

“Jadi, kita akan mencari tentang apa di Kota Pekalaungan?” tanyaku.

Semuanya pun kelihatannya sedang mencari ide. Tidak beberapa lama kemudian, Naufal dengan beraninya menjawab.

“Emm, bagaimana kalau kita mencari tahu lebih dalam tentang batik di Pekalaungan?” kata Naufal.

“Benar juga kata Naufal!” jawab Sheva. Dengan serempak yang lainnya menjawab dengan serempak.

“Kami setuju dengan pendapatmu, Naufal,” Naufal pun menjawab, “Terima kasih!”

“Jadi, kita akan mencari tentang batik di mana?” tanya Ali.

“Bagaimana kalau kita mencari tahu di Museum Batik saja? Kan, letaknya dekat dengan rumah kita?” tanyaku.

“Ya sudah. Kita mencari tahu di Museum Batik saja,” kata Naufal.

“Ya aku setuju!” kata Reza. Mendengar perkataan Reza, yang lainnya pun mengikutinya.

Hari pun sudah mulai gelap. aku dan teman-teman akhirnya menyelesaikan kerja kelompok hari ini dan melanjutkannya pada esok harinya. aku pun berkata kepada teman-teman untuk pulang ke rumah masing-masing sebelum waktu maghrib tiba. “Teman-teman, kerja kelompok hari ini kita teruskan pada esok hari. Nanti kalian datang ke rumahku lagi pukul Sembilan pagi, ya!” kata aku. Teman-teman pun menjawab, “Ya sudah. Kami semua pulang dulu, ya!” kata Sheva.

“Assalamualaikum,” kata teman-teman.

“Waalaikumussalam,” jawabku.

Pada keesokan harinya, ternyata teman-teman sudah datang semua. Aku pun langsung mengajak mereka untuk masuk ke dalam rumah. Saat semuanya masuk, aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman dan makanan ringan. Setelah dari dapur, aku langsung bergabung dengan teman-teman. Kami pun langsung mulai membahas pekerjaan kemarin. “Jadi, kita akan bertanya tentang apa pada saat di Museum Batik nanti?” tanyaku. Kelihatannya mereka bingung untuk menentukan pertanyaan. Tiba-tiba Reza mengeluarkan pendapatnya.

“Bagaimana kalau pertanyaan yang pertama adalah perbedaan antara batik pesisir dengan batik pedalaman?” ujar Reza.

“Terus pertanyaan yang kedua adalah perbedaan antara batik tulis dengan batik cap?” sambung Reza. “Bisa juga itu!” jawab Ali. “Aku mau berpendapat. Bagaimana kalau pertanyaan yang ketiga adalah bagian-bagian dari canting dengan disertai fungsinya?” ujar Naufal. “Bisa juga itu!” jawab Ali.

Setelah pertanyaannya terkumpul dan disepakati, kami semua langsung berangkat ke Museum Batik. Setelah 15 menit lamanya, akhirnya kami semua sampai di Museum Batik dan langsung masuk. Kami pun disambut dengan baik oleh pegawai di sana. Kami dipandu oleh Mbak Lastri. Beliau mengajak kami semua berkeliling Museum Batik. Setelah selesai kami pun diajak ke ruangan untuk membatik. Kami diberi kain mori dan kami disuruh menggambar sketsa. Setelah menggambar sketsa, kami disuruh untuk menebalinya dengan cairan lilin malam. Dalam keadaan yang serius ini, ternyata terjadi perkelahian antara Reza dengan Sheva. Kami pun memisahkan mereka dan meminta mereka untuk menjelaskan apa yang terjadi.

Setelah mendengarkan penjelasan dari mereka berdua, dapat disimpulkan bahwa Reza tidak sengaja menyenggol tangan Sheva yang sedang memegang canting. Ternyata cairan lilin yang ada di canting tumpah ke tangan Sehva dan ternyata Sheva tidak terima yang mengakibatkan perkelahian. Mereka pun saling bersalaman dan memberi maaf. Setelah permasalahan tersebut selesai, akhirnya aku bertanya ke Mbak Lastri, “Mbak, aku mau bertanya. Apa perbedaan antara batik pesisir dengan batik pedalaman?” tanyaku. Mbak Lastri pun menjawab, “Batik pesisir cenderung memiliki warna yang cerah, sedangkan batik pedalaman cenderung memiliki warna yang gelap,” ujar Mbak Lastri.

“Mbak, aku mau bertanya. Apa perbedaan dari batik tulis dengan batik cap?” tanya Ali. Mbak Lastri pun menjawab, “Batik tulis cara pembuatannya dengan menggunakan canting, sedangkan batik cap cara pembuatannya menggunakan canting cap,” ujar Mbak Lastri.

“Mbak, aku mau bertanya. Apa bagian dari canting dan fungsinya?” tanya Naufal. Mbak Lastri pun menjawab, “Canting memiliki beberapa bagian, yaitu gagang, nyamplungan, dan cucuk. Gagang memiliki fungsi sebagai pegangan, cucuk memiliki fungsi sebagai tempat keluarnya lilin malam, dan nyamplungan berfungsi sebagai tempat lilin malam,” jelas Mbak Lastri.

“Anak-anak. Mbak mau berpesan kepada kalian semua. Sebagai anak muda bangsa, kalian harus menjaga kebudayaan batik yang asli sebagai kebudayaan Indonesia. Kalau bisa, kalian harus melestarikan kebudayaan batik jika sudah besar nanti!” kata Mbak Lastri. “Kalian bisa?” sambung Mbak Lastri.

“Kami insya Allah bisa, Mbak!”

Karena hari sudah mulai gelap, akhirnya kami pulang untuk menyelesaikan tugas. Setelah sampai di rumah Reza, kami semua langsung membuat laporan tentang batik. Keesokan harinya, kami mengumpulkan laporan kami kepada Bu Eni. Tidak lama kemudian, Bu Eni mengumumkan siapa yang menjadi pemenang. Tiba-tiba, “Pemenangnya adalah kelompoknya Rizal!” kata Bu Eni. Kami sangat senang mendengarnya. Kami pun pulang dengan membawa hadiah dan penghargaan.


Karya : M Yusuf Abul Mahasin

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...