Duduk manis sambil membaca buku atau mendengarkan penjelasan dari seorang guru, atau istilahnya mendengarkan guru ceramah adalah hal yang paling aku benci, tapi tidak dengan guru olah raga yang menyuruh untuk bermain bola atau sepak takrau, mungkin guru tersebut belum menyuruhku untuk mengambil bola aku sudah berada di lapangan siap melawan para teman-teman lelakiku bermain bola. Tapi ini tidak terjadi pada hari ini aku melirik dari dalam kelas ke arah sudut salah satu sekolah tepatnya samping sebuah dinding yang bertuliskan SMP N 1 Gisting tampak sosok Ibu-Ibu yang berjalan dengan melangkahkan kaki begitu cepat tapi tidak banyak jarak yang diperoleh seperti pinguin kekenyangan jalan di tempat.
Sambil membawa segepok kain dan benang 8 berwarna kuning emas menuju ke kelasku. Bukan lain, kain itu adalah bahan untuk membuat tanganku pegal-pegal dan jelas penyakit ngantuk akan segera datang. Ya itulah pelajaran sulaman tapis. Yang ku tahu, pelajaran sulaman tapis adalah pelajaran yang sama seperti yang lainnya. Hanya saja ada sedikit perbedaan yaitu tentang kesenian dan ada hubungannya dengan adat lampung. Pada dasarnya sulaman tapis adalah keterampilan menyulam dengan benang emas pada kain adat lampung untuk membentuk pakaian adat lampung dengan berbagai macam bentuk, salah satunya bentuk pucung rebung.
Yang aku tahu tentang sulaman tapis memang tidak banyak tapi sering terdengar di telingaku sehingga aku belum menyukai pelajaran tersebut, karena menurutku butuh keterampilan khusus yang aku anggap rumit dan susah. Selain membutuhkan keterampilan juga membutuhkan ketelitian, sehingga aku bingung untuk memahaminya. Tapi dalam penyulaman juga tidak boleh ada yang salah dalam penyulaman, karena jika salah akan membuat bentuk yang tidak sempurna. Itulah kenapa aku tidak menyukai sulaman tapis. Selain pelajarannya aku juga tidak suka dengan guru yang mengajari sulaman tapis. Saat Ibu Samsiah masuk ke kelasku, aku mulai meluapkan kebencianku terhadap pelajaran sulaman tapis.
“Tok, tok,” bunyi salam yang tidak asing mulai menggelitik di telingaku, rasa malas mulai menghampiriku dan mengajak untuk merebahkan kepalaku yang mulai berat.
“Tadi pun,” sapa Bu Samsiah sambil melesungkan pipi sebelah kiri.
“Ya pun,” jawab kami dengan nada lemas.
“Baik anak-anak hari ini kita akan melanjutkan sulaman tapis yang kemarin,” kata-kata itu sudah aku duga sebelumnya. Kata yang setiap menjelang minggu terakhir selalu membuatku semakin malas. Ibu Samsiah membuka buku absen yang sudah kelihatan kumel memanggil nama-nama teman sekelasku satu per satu.
“Andora.. Ana.. Anisa…Ajos…” Bibirnya yang penuh gincu mengucapkan nama itu satu persatu dan ketika sampai di absen yang tengah nama.
“Sascia,” terdengar di telingaku seketika aku menjulurkan tangan ke atas. “Hadir,” aku mengeluarkan kata itu dengan suara yang begitu sangat malas.
Selesai sudah Ibu Samsiah mengabsen kami, ia segera berjalan menuju papan tulis dengan membawa spidol dan buku.
“Sulaman tapis,” itu adalah kalimat yang ditulisnya di papan tulis. Sudah aku duga pasti hari ini akan belajar sulaman tapis, yang sama seperti minggu terakhir.
“Hari ini adalah hari kedua kita belajar sulaman tapis, kalian akan melanjutkan sulaman tapis yang kalian buat kemarin secara berkelompok, kalian paham!” kata Ibu Samsiah sambil menerangkan dengan suara kecilnya yang membuat telingaku malas mendengarkannya.
“Mengerti Bu,” kami menjawab dengan suara malas.
“Baik anak-anak ayo segera kalian bergabung dengan kelompok kalian!” kata Bu Samsiah menyuruh kami.
“Baik Bu,” Kami menjawab sambil berjalan menuju kelompok kami. Selesai sudah kami bergabung, Ibu Samsiah berkata, sambil membagikan kain-kain dan benang emas sebagai bahan pembuatan sulaman tapis, berjalan menuju meja kelompok kami satu per satu. “Saat pelajaran nanti berlangsung jangan ada yang ribut, kalian harus fokus ke pelajaran supaya kalian itu maksud dengan pelajaran ini. Kalian mengerti!”
“Mengerti Bu,” dengan nada lemas kami menjawab.
Mulailah kami membuat tugas yang diberikan Ibu Samsiah ini yang membuat tangan kami pegal-pegal dan merasa jenuh di dalam kelas, aku merasa bosan dan sangat tidak menginginkan melanjutkan pelajaran ini lagi. Ternyata tidak aku saja yang tidak menyukai, bahkan semua murid di kelasku tidak menyukai pelajaran sulaman tapis, karena menurut kami pelajaran sulaman tapis itu sangat menjenuhkan. Memang Ibu Samsiah tidak bersalah, “Tak kenal maka tak sayang,” tidak hanya pelajarannya tapi gurunya juga kami tidak suka. Dengan memakai bedak yang terlalu tebal dan agak sedikit keriput di sekitar wajahnya, membuat kami sangat bosan dengan guru dan pelajarannya. Keadaan di kelas yang sangat membosankan ini, kami seandainya bisa memilih tidak ada pelajaran sulaman tapis pasti semua sangat senang.
Di tengah-tengah pelajaran yang sedang berlangsung selama tiga jam mulailah kami membuat keributan di dalam kelas, karena kami merasa jenuh dan bosan kami semua berbicara dengan teman satu dengan teman yang lainnya, tidak hanya para siswa putri, siswa putra pun begitu, mereka membuat keributan dengan main mulut, tangan, dan kaki, mereka saling menuduh satu sama lain, dengan kata lain kalau bukan bertengkar. Tidak hanya itu, mereka juga menendang dan mengoper bola kepada teman di ruang kelas. Pokoknya suasana itu membuat kami semangat ribut. Ibu Samsiah memang tidak bersalah, tapi karena pelajaran sulaman tapis menjenuhkan, aku jadi tidak menyukainya, memang menyakitkan.
“Anak-anak tolang tenang jangan ribut,” kata Ibu Samsiah dengan nada keras. Kami semua terkejut mendengar perkataan Ibu Samsiah yang keras. Saat keadaan kembali tenang semua teman-temanku merasa sedih, karena kami semua tidak bisa ribut, dan terpaksa kami harus melanjutkan membuat sulaman tapis.
“Kapan lonceng berbunyi?” kata Ica yang duduk berkelompok denganku, sambil memain-memainkan benang emas.
“Aku tidak tahu? Memang kita sudah berapa jam belajar sulaman tapis?” kata Dian yang juga duduk berkelompok denganku.
“Sudah tiga jam,” kata Ajos, sambil melihat jam tangan miliknya.
Tidak lama kemudian, “Teng-teng,” terdengar suara lonceng yang membuat kami melonjak bahagia.
“Baik anak-anak rapikan buku kalian,” kata Bu Samsiah.
“Ya Bu,” Kami menjawab.
“Cukup sekian dari Ibu, saya akhiri wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” kata Ibu Samsiah sambil membawa segenggam buku menuju pintu kelas.
“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” kami menjawab dengan hati senang. Kami salim kepada Ibu Samsiah satu per satu yang sedang berdiri di dekat pintu. Saat Ibu Samsiah keluar dari kelasku, kami semua berunding.
“Besok kalau ada pelajaran sulaman tapis kita tidak usah berangkat sekolah oke,” sapa Ajos.
“Jangan begitu, kalau kita gak berangkat bakal ketahuan, mendingan kita cari cara lain,” sapa andora.
“Gimana kalau kita berangkat, tapi pas pelajarannya udah mau mulai, kita semua bolos, setuju gak!” sapa Dian sambil memegang sehelai rambutnya.
“Setuju!” Kami menjawab dengan serentak.
“Ya udah aku pulang dulu ya teman teman,” sapaku.
“Iya, aku juga mau pulang dada semuanya,” sapa Sari.
Akhirnya aku dan teman pulang ke rumah masing-masing, dan menyetujui akan membolos pelajaran sulaman tapis.
—
“Teng-teng,” terdengar suara di telingaku.
“Teman-teman ayo masuk kelas, lonceng sudah berbunyi,” kataku sambil mengajak teman-teman yang sedang duduk di depan kelas.
“Ini hari apa? kok kelihatannya kamu semangat gitu,” sapa Winda dengan penuh tanda tanya.
“Ini hari sabtu, kamu udah lupa hari ini ada pelajaran sulaman tapis,” aku menjawab dengan bingung.
“Oh, iya aku baru inget kita kan mau bolos,” sapa Winda dengan nada keras.
“Sut-sut-sut… Jangan keras keras nanti gurunya mendengar,” kata Ghina dengan suara kecil.
“Emang ada gurunya?” kata Winda.
“Ada, gurunya mau ke sini ayo cepat kita bolos,” sapa Ghina dengan ketakutan.
“Teman-teman ayo bergegas, gurunya udah mau ke sini!” kata Ghina sambil membawa tas rangsel miliknya, langsung memberitahu teman-teman yang lainnya berada di dalam kelas.
Saat aku dan teman-teman semua sudah siap, kami lari dengan cepat ke luar sekolah sebelum ada yang melihat. Seketika itu Ibu Samsiah menuju kelas dan membuka pintu, saat Ibu Samsiah membuka pintu ia melihat keadaan kelas yang berantakan dan tidak ada satu murid pun yang ada. Ia mengeluarkan tetesan air mata kesedihan dengan wajah merah, sambil membasuh air mata dengan sekain sarung tangan. Dia mengeluarkan sedikit demi suara kecil yang akan membuat susasana pasti akan sangat terharu. Kami mengintip dari dinding pagar sekolah terlihat sosok Ibu-Ibu yang sedang duduk dan tetesan air yang ada membasahahi kain dan buku yang ia bawa, aku dan teman-teman tidak tega melihat Ibu Samsiah menangis hanya karena kami membolos. Akhirnya aku dan teman-teman sekelas mulai berunding.
“Ayo teman-teman kita belajar menyukai sulaman tapis, selain untuk melestarikan budaya lampung dan juga menenangkan hati Ibu Samsiah, sebentar lagi kan akan diadakan lomba sulaman tapis, bagaimana kalau kita semua ikut lomba menyulam,” Kataku.
“Tapi kita kan belum sepenuhnya bisa membuat sulaman tapis? Lagi pula kamu tahu dari mana, kalau sebentar lagi akan ada lomba sulaman tapis?” sapa Andora dengan wajah kesal. “Ibu Samsiah pernah mengatakannya!” Ana menjawab, sambil memain-mainkan manik-manik yang dipakai sekitar pergelangan tangannya.
“Memang kapan lombanya?” Winda bertanya.
“Hari sabtu, tanggal 21 november 2015, di lapangan merdeka kota agung dalam rangka festival teluk semangka dan acara pengetahan adok,” sapa Bu Samsiah, yang tiba tiba datang di tengah tengah pembIcaraan kami.
Kami semua terkejut melihat Ibu Samsiah berdiri tepat di samping Winda, padahal kami sedang berkumpul di pos dengan suasana yang sepi, dan ramai di lain kelas. Karena takut dimarahi, kami semua meminta maaf kepada Ibu Samsiah atas kesalahan kami selama ini, kami semua mengatakan apa yang selama ini terjadi, dan ternyata Ibu Samsiah mau memaafkan kami. Baru kali ini kita meminta maaf pada guru yang kami benci, aku pikir Ibu Samsiah galak dan jahat, tapi sebaliknya, kami senang dengan ucapan Ibu Samsiah. Akhirnya aku dan teman-teman bisa belajar menyukai sulaman tapis, walaupun dengan keadaan terpaksa. Kami mulai belajar dan bertanya-bertanya pelajaran sulaman tapis dengan Ibu Samsiah, bagaimana cara membuat bentuk pucung rebung, susun bambu, beluh ketupat, dan berbagai bentuk lainnya.
Hari pun berganti.
“Tok-tok,” kami mendengar suara yang tidak asing.
“Masuk,” kami menjawab dengan serentak. Ibu Samsiah langsung membuka pintu dan masuk ke kelas kami.
“Anak-anak Ibu mau bertanya siapa yang mau ikut seleksi lomba sulaman tapis, minimal ada 2 orang, kelas ini yang ikut,”
“Bu yang ikut, Sascia aja,” kata Dian sambil mengacungkan tangan.
“Ya betul, Sascia aja,” teman-teman sekelas.
Karena aku dipilih, baiklah aku mau. “Sascia ayo ikut Ibu ke musala” Sapa Bu Samsiah. Aku langsung mengikuti Ibu Samsiah menuju musala dan bergabung dengan teman-teman yang ikut seleksi sulaman tapis. “Baik anak-anak, kalian bisa memulai dari awal membuat sulaman tapis di sini, ingat buat dengan sangat teliti dan hanya fokus ke menganyam agar tidak salah,” kata Ibu Samsiah sambil membagikan kain dan benang emas menuju kami sebelas orang satu per satu.
“Seleksi ini, hanya akan dipilih lima orang untuk menjadi peserta lomba sulaman tapis di lapangan merdeka kota agung, dalam acara festival teluk semangka dan acara pengetahan adok, jika kalian yang mau ikut lomba di lapangan merdeka kota agung! Kalian harus benar-benar membuat dengan serius, agar hasilnya bagus dan indah, kalian paham?” kata bu Samsiah sambil menjelaskan kepada kami, saat kami sedang menyiapkan bahan bahan pembuatan sulaman tapis.
“Paham Bu,” kami menjawab. Aku membuat.
Ibu Samsiah langsung membuka pintu dan masuk ke kelas kami.
“Anak-anak Ibu mau bertanya siapa yang mau ikut lomba sulaman tapis, minimal ada 7 orang, kelas ini yang ikut,”
“Bu yang ikut, kelompoknya Sascia aja,” kata dila sambil mengacungkan tangan.
“Ya betul, kelompok Sascia saja,” teman-teman sekelas.
“Siapa saja orangnya?” Ibu Samsiah bertanya.
“Ica, Dian, Ajos, Sascia, Sari, Fitri, Ghina, Bu,” kelompok kami menjawab.
Karena kelompokku dipilih, baiklah kami mau. “Ica, Dian, Ajos, Sascia, Sari, Fitri, Ghina, tedi ayo ikut Ibu ke musala,” Sapa Bu Samsiah.
Aku kami bertujuh mengikuti Ibu Samsiah menuju musala dan bertemu dengan teman-teman yang berbeda kelas ikut seleksi sulaman tapis.
“Baik anak-anak, kalian bisa memulai dari awal membuat sulaman tapis di sini, ingat buat dengan sangat teliti dan hanya fokus ke menganyam agar tidak salah,” kata Ibu Samsiah sambil membagikan kain dan benang emas menuju kami dua belas orang satu per satu.
“Seleksi ini, hanya akan dipilih dua orang untuk menjadi peserta lomba sulaman tapis, di lapangan merdeka kota agung, dalam acara vestivak teluk semangka dan acara pengetahan adok, jika kalian yang mau ikut lomba di lapangan merdeka kota agung! Kalian harus benar-benar membuat dengan serius, agar hasilnya bagus dan indah, kalian paham!” kata bu Samsiah sambil menjelaskan kepada kami, saat kami sedang memainkan jarum-jarum yang diikat dengan benang emas. “Paham Bu,” kami menjawab.
Seleksi sedang berlangsung dengan sangat tenang. Suasana yang begitu silir membuat aku tambah, hanya tinggal tiga puluh detik untuk menyelesaikannya.
“Baik anak-anak kumpul tugas kalian!” kata Ibu Samsiah.
“Ini Bu punyaku udah selesai,” kataku. Aku sudah selesai, tapi Ibu Samsiah kata, kami harus menunggu hasilnya di sini. Saat kami menunggu dengan bercanda tawa, Ibu Samsiah mengumumkan siapa yang terpilih. Dan yang terpilih adalah Sascia dan Sari. Aku senang mendengarnya.
Hari sabtu, tanggal 21 november 2015, di lapangan merdeka kota agung, itulah kapan dan di mana aku dan Sari lomba. Hari ini tanggal 20 november 2015, jadi aku harus mempersiapkannya dari sekarang. Hari-hari yang telah aku tunggu telah datang aku dan Sari sudah tiba di lapangan dengan memakai nomor yang dipasang di sebelah kiri baju dengan menggunakan jarum aku memakai nomor 81 dan Sari memakai nomor 80. Ibu Samsiah mengantarkan kami dengan sambil membawa bahan bahan untuk penyulaman. Lomba pun berlangsung dengan suasana yang membuat jantungku selalu tidak bisa diam dan, sudah lama tanganku pegal memainkan jarum. Tapi aku harus tetap semangat.
Sudah 10 jam aku dan sari membuat dan menunggu hasilnya, kami menunggu di lapangan dengan duduk di sebuah tenda yang di buat oleh para petugas. Saat aku melihat dua pasangan pengantin memakai baju adat lampung dan siger di atas kepalanya. Aku baru ingat kalau sebelum pengumuman akan ada acara pengetaan adok. Sambil menonton acara tersebut, kami sangat lelah dan lapar. Tapi karena acara pengetaan adok sudah dimulai dan malas bagiku untuk meninggalkan tempat peristirahatanku, aku dan Sari menahan rasa perut lapar dengan melihat acara tersebut. Saat kedua pengantin mereka datang ia duduk di tempat yang diangkat empat orang setiap kursi aku menyebutnya. Mereka disambut dengan tepukan tangan para penonton yang meriah, dan dimulai dengan pembacaan kalimat lampung.
Kedua pasangan pengantin itu terlihat sangat bahagia dan seandainya aku bisa seperti dia walaupun aku bukan keturunan darah biru. Saat acara pengetaan adok selesai, ternyata masih ada acara-acara yang menakjubkan. Seperti berbagai macam tarian, musik, dan gerak jalan para polisi kecil. Selesai sudah acara itu selesai, akhirnya ketiga para pembawa acara itu memberitahu hal yang paling aku dan Sari tunggu tunggu. Mereka mengumumkan juara berbagai lomba yang mereka adakan di antaranya: lomba sulaman tapis, tari, nyanyi, menulis karya sastra lampung, dan lain-lain Saat diumumkan pemenang lomba juara tapis, jantungku berdebar-debar seolah-olah seperti akan lepas dari tubuhku, hatiku tidak bisa tenang, dan pikiranku yang selalu menuju ke lomba. Membuat kami para peserta ketakutan.
Pembawa acara tersebut langsung mengumumkan, “Juara yang ketiga lomba sulaman tapis adalah.. Siswa dari SMP N 1 Gisting. Dengan nomor urut 79.” Membuat Sari, aku, dan Ibu Samsiah berteriak keras. Tidak hanya kita tapi semua penonton ikut gembira, Sari pun langsung dipanggil untuk segera naik ke atas panggung. Saat mengumumkan juara dua adalah.. Siswa dari SMA kota agung. Dengan nomor urut 8. Betapa bahagianya dia juga berteriak. Dan para penonton juga memberi tepuk tangan yang meriah untuknya. Dan dia juga dipanggil untuk segera naik ke atas panggung.
Saat pengumuman juara satu adalah… Siswa dari SMP…Negeri 1 gisting. Dengan nomor urut 81, betapa bahagianya aku, Ibu Samsiah, dan para penonton yang hadir di lapangan memberi tepuk tangan yang meriah untukku. Aku langsung naik ke atas panggung dengan sengat senang sampai-sampai aku terjatuh di tangga. Untung saja tidak ditertawakan.
Saat pemberian hadiah aku berterima kasih kepada Allah swt karena di hari yang sangat aku tunggu-tunggu ini. Aku bisa mendapatkan kemenangan. Aku diberi hadiah berupa benda yang sangat menentukan nasibku untuk bisa sekolah di SMA yang aku inginkan. Yaitu berupa piagam penghargaan dan sebuah piala tinggi yang ikat dengan pita berwarna merah putih.
Hari ini hari yang tak terlupakan dan juga hari yang membuatku sangat sangat bahagia, setelah semua yang ku lalui yang tadinya malas belajar, sering membolos pelajaran sulaman tapis, tetapi kini tidak lagi aku sudah melupakan masalah dulu dan melakukan yang ku lakukan hanya untuk semangat belajar. Saat tiba di sekolahku semua teman dan guruku menyambutku, dan Ibu Samsiah tersenyum bangga karena aku menjadi siswa yang berprestrasi, dalam bidang kebudayaan. Dan dari situlah kami semua saat itu menyukai sulaman tapis dan mulai melestarikan.
Tamat
Karya : Sascia Fitriana