Pages

Thursday, November 14, 2019

BAYANGAN DARI GELAP

Malam yang dingin. Bintang gemerlapan di atas langit. Berkali-kali gendang bertabuh. Suaranya mengakar sampai ke telinga. Seorang penari dengan mahkota berhias. Selendang yang dilemparkan ke kanan dan kiri. Bunyi genderang tiba-tiba mengalun pelan dan berubah bunyi jam weker. Aku menatap langit-langit kamarku. Mentari pagi bersinar cerah. Aku menggeleng kepala. Tak percaya apa yang baru saja kualami. Aku segera bangun dan melakukan aktivitas.

Harun dan Yayuk datang dari barat. Dengan wajah ceria, mereka melambai padaku yang sedang mengeluarkan sepeda dari gudang. Dengan terburu-buru, aku injak pedal sepeda dengan kuat dan melajukannya agar roda berputar lebih cepat. Yayuk yang dibonceng oleh Harun di belakang berteriak-teriak. Udara pagi menyapa. Dedaunan hijau yang tertambat di dahan meneteskan embun. Sekitar sepuluh menit, Aku dan dua temanku sampai di Desa Jambu. “Jaka! Ayo!” teriak Harun yang sudah sampai di bawah. Tak lama kemudian aku menyusulnya. Bel kemudian berbunyi setibanya aku di depan kelas. Suara sepatu mendekat. Seorang bapak-bapak berkumis tipis dan sedikit botak memasuki kelas. semuanya berdiri dan memberi hormat.

Satu jam pelajaran telah selesai. Kebanyakan siswa pergi bermain di luar. Harun terlihat memojok dengan Yayuk di ujung kelas. Aku mendekat dan memperhatikan tingkah Harun yang aneh. perutnya terperas erat oleh jari-jarinya. “Kenapa, belum sarapan?” tukas Yayuk seraya menyerahkan segenggam roti yang baru di ambil dari dalam tasnya. Harun menolak dengan gelengan. Aku membantu Harun berdiri. Dia berdiri dan segera aku bawa ke UKS. Kembali dentang bel berbunyi, Yayuk menyambar lenganku dan membawaku berlari menuju kelas. Selama dua jam, pelajaran berlangsung serius dan terkadang candaan terlontar dari anak-anak desa yang masih duduk di bangku kelas Lima Dasar ini.

Jam pulang akhirnya tiba. Kulihat Harun menuntun sepedanya keluar dari gerbang. Dia hanya tersenyum dan sesekali menggeleng. Setelah di depan pintu masuk Gunung Ijen. Dia berhenti dan menepuk pundakku. Entah apa maksud darinya. Dia lalu melanjutkan jalannya ke atas menuju kampung kami. Dua puluh menitan kami berdua dan disusul Yayuk yang berlari mengatur napas. Dia memasang wajah cembetut. Tepuk jidatku yang lebar dan menjewer kupingku. Dia melangkah mendahului kami berdua. Gapura sederhana terbuat dari bambu terlihat. Sampailah di pintu masuk kampung. Malam kembali dengan bulannya. Begitu juga bintang yang bertebaran di atas sana. Hari itu aku hanya bingung dan bingung dengan sikap Harun yang biasanya ceria mendadak dingin. Ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Ibuku masuk dan menegurku untuk segera menunaikan sholat maghrib. Kuturunkan kaki dari kasur.

Sholat usai. Kujejalkan kaki pada sandal karet. Kutinggalkan pelataran masjid. Bapak dan ibuku berjalan di depan. Aku menyusul mereka. Aku menarik napas dalam-dalam. Pemakaman yang tidak jauh dari masjid sudah terlewat. Pohon beringin yang tua nan kokoh juga ikut terlewat. Rumah sederhana yang kutinggali bersama dua orangtuaku nampak jelas di mata. Aku berjalan menunduk, sampai-sampai tak melihat seseorang di hadapan dan menubruknya. Orang itu tinggi dan hanya diam mematung. Aku meminta maaf padanya. Tapi tidak ada balasan. Aku segera mempercepat jalanku dan meninggalkan orang tinggi itu tetap disana. Dalam rumah dan dalam kamar, aku menyambar selimutku.

Ilalang bergoyang dengan nyaman di padang yang luas. Kantuk yang masih mendera membuatku membuka mulut untuk menguap. Pagi-pagi sekali, bapak menyuruhku seperti biasa jika hari libur untuk mengangon sapi. Aku lepas mereka di padang rumput yang tidak jauh dari rumah. “Aip! Sini-sini!” Suaraku memberi perintah pada kepala rombongan. Mereka melenguh dan segera menjalankan empat kakinya. Pagar tua di pinggir padang tercekik sudah oleh tali dari para sapiku. Sekali lagi kantukku kembali. Mataku berkedip-kedip dan menutup. Tanpa sadar, aku terbaring bersandar di pagar, kemudian melihat semua kawanan yang sedang memakan rumput tadi, kini menghilang. Aku mencari mereka hingga ke tengah padang yang luasnya dua kali lipat sebuah lapangan sepak bola. Terus mencari dan berteriak tidak jelas. Lonceng yang melekat di Aip, sapi yang menjadi kepala kawanan terdengar samar dan kian menjadi jelas. Dua tangan menggenggam tali ikatan sapi, terlihat dari jauh dia masih anak-anak seusiaku. Mendekat ke tepi ladang. Aku berlari ke arah sapi-sapi itu tergiring.

“Harun!” sesampainya aku di tepian ladang. “Kau sudah tidak apa-apa?”

“Sing, sing paran-paran, kok isun. Sudah sehat.” Ucapnya dengan senyumnya yang kembali cerah. “Mungkin kurang kencang kamu ikatnya?”

“Mungkin. Tadi kutinggal tidur.” Aku menggosok-gosok rambut dan tersenyum. “Makasih, Run.”

Harun mengangguk. “Aku balik dulu, ya?”

“Ok.”

“Besok, aku punya rencana bagus.” Sekejap bentuk mimik wajahnya berubah misterius.

“Rencana apa?”

“Ujian sudah selesai kemarin, kan?”

“Ya… lalu?”

“Kita akan libur satu bulan penuh, kan?”

“Ya… lalu?”

“Kita akan turun dan menonton pertunjukkan.”

“Dimana?”

“Besok aku ceritakan semua. Datang jam tiga sore.” Ucapnya sambil berlari menjauh.

Aku mengangguk dan melanjutkan mengangon semua kawanan dengan mata yang sekarang telah benar terbangun. Mendung tiba-tiba datang. Aku lepas ikatan semua kawanan sapi yang berjumlah lima ekor tersebut untuk kembali ke kandang mereka. Hujan lalu turun dengan derasnya. Sorepun menjadi kelabu. Dingin merasuk ke dalam tulang.

Esok hari yang ditunggu datang. Sekolah berakhir dengan pengumuman ujian berakhir. Jam tiga sore tiba. Harun dan dua kawan kelas dan juga bayangan gadis yang satu-satunya dalam kelompok kami. Yayuk ikut dengan ijin pada bapaknya dengan memohon sangat keras. Perjalanan kami berlima dimulai dari kampung. Empat sepeda segera melaju turun dengan cepat. Roda-roda menggilas tanah. Mungkin sekitar dua jam, barulah kami sampai di desa Olehsari. Petang lalu merajuk untuk datang. “Kita akan menginap di rumah nenekku.” Ucap Harun sesampainya di sebuah rumah yang besar apik. Bau kemenyan menyembur keluar dari dalam rumah. Membuatku terbatuk. Ketiga temanku menggeleng dan tersenyum melihatku terbatuk hanya karena asap dari sebuah kemenyan.

Sore yang ditunggu akhirnya datang. Mbok Diyah, neneknya Harun rupanya adalah perias penari Seblang Olehsari yang diadakan pada bulan syawal dan dilakukan selama tujuh hari berturut-turut. Saat kami berlima keluar dari bangunan yang lebih mirip gudang seblang daripada rumah. “Ehem.. aku janji akan cerita waktu itu, ingat?” ucapnya sambil berjalan menuju ke tempat ritual bersih desa itu akan dilangsungkan.

“Ingat. Kenapa dua hari lalu kau mendadak diam?”

“Bukan dari sana aku mulai, tapi waktu di rumah.” Ucapnya sembari memperlambat jalan. “Sebetulnya, malam sebelum aku mendadak yang disangka sakit perut itu, aku meminta ijin pada ibuku. Dia terus menggeleng, sebab aku meminta ijin untuk menuruni gunung malam-malam. Ya, dia tidak mengijinkan. Begitulah.”

“Lalu, sambungnya denganmu di kelas?” tanyaku bingung.

“Malam itu juga aku akhirnya sebal dan menenggak pil pelancar BAB. Aku meminum pil itu bermaksud untuk mengancam ibuku agar di ijinkan untuk turun gunung pada malam hari. Rupanya, aku kaget atas kedatangan ibuku yang mendadak. Aku telan pil itu bulat-bulat. Dan, dia mengira aku menelan pil racun. Dia menyambut histeris dan segera mengambilkan air minum banyak-banyak, membuat perut menjadi kembung. Aturan dalam tablet pil itu adalah meminum air dua gelas. Dan, akhirnya aku langsung merasakan reaksi. Aku segera berlari ke jamban. Ibuku tambah panik. Pokoknya akhirnya dia aku ceritakan semuanya dan dia akhirnya mengijinkanku untuk turun gunung meski pada sore hari setelah pulang sekolah. Dan tambahan, dia juga menyuruhku untuk mengajak teman.”

Aku tertawa sambil geleng-geleng tak percaya apa yang dilakukan temanku satu ini.

“Ya, ketawa kau. Puas-puasin saja.” Ucapnya dan menarikku berlari menyusul yang lain.

“Eh… mana yang lain?” ucapku setelah kami tiba di tempat acara. Di sana, semuanya mendadak diam. Beberapa menit, Sang penari datang dengan rombongan. Sebuah nampan dengan mahkota berhias pupus daun pisang yang menjuntai. Dupa menyala, dukun merapal mantera. Penari memakai mahkota yang dibantu Mbok Diyah. Tubuh penari itu limbung. Selendang tersampir dan dia menari mengikuti gending. Luwes dan semakin lama semakin cepat seirama iringan musik. Lalu, sebuah gending terlantun. Penari seblang terdiam, gerak geriknya menjadi bingung. “Kenapa, ya?” tanya Harun penasaran.

Aku tetap pada posisiku. Tubuh penari itu terkulai lemas dan kemudian terjatuh, tidak lama dia berdiri dan menari dengan cepat, lebih cepat dari sebelumnya. Mendadak telingaku mendengung dan mata kiriku berdenyut. Sekilas adegan terlihat dalam pikiran. Lalu, semuanya kembali normal, dan, sesaat iringan nada itu memudar dalam telingaku. Tubuhku lemas, nada-nada yang melantun lenyap. Gelap dan dingin. Nampak seseorang bertudung berdiri di depanku. Dia merundukkan kepalanya. Aku lihat ke bawah, jalan berbatu yang berlumut. Aku tapaki dan mencoba mendekat ke arah orang bertudung itu. Semakin lama aku mendekat dan terus berjalan. Semakin jauh saja posisi dari orang tersebut. Anehnya, kemudian orang itu berjalan mendekat dan kemudian hilang dari hadapanku. Jalan berbatu itu juga menghilang satu persatu. Kurasakan kaki-kakiku tidak lagi menginjak jalan berbatu itu. Tubuhku lenyap ditelan gelap. Suara dengung dan bau minyak kayu putih semakin terasa di perut. Wajah Harun dan ketiga temanku yang lain nampak di hadapanku samar-samar. Aku terbangun dengan mengejutkan semuanya. Berteriak tidak jelas. Semuanya kaget dengan teriakan yang tiba-tiba.

“Arrggghhh!!” sekali lagi aku berteriak.

“Kenapa-kenapa?” tanya Harun bingung.

“Aku dimana?”

“Di rumah nenekku. Mana lagi, hotel?”

“Hah? Bukannya kita menonton Seblang?”

“Selesai.” Jawab Yayuk yang di sampingku.

Aku melihat sekitar. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Ruangan luas berwarna hijau dan tubuhku di atas kasur antik. Lalu, datang seorang nenek dari arah belakang. Menyuruh ke empat temanku menjauh dariku. “Ini, minum.” Tukasnya seraya menyerahkan air di dalam batok kelapa. Aku teguk perlahan dan mengalir ke tenggorokan. “Tidurlah dulu. Besok, mungkin sudah agak mendingan.” Tukasnya sembari kembali menyuruh semua temanku keluar dari kamar yang kukira itu adalah kamar nenek Harun.


Karya : Grape Pras

No comments:

Post a Comment

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...