Namaku Christynia Mellsa Paradise. Akrab
disapa Christy (baca: kristi). Aku mempunyai kembaran, namanya Christalia
Mellsy Paradise. Akrab disapa Christa (baca: Krista). Kami hanya berjarak 3
menit 30 menit dan 33 detik. Angka yang cantik, bukan? Kami lahir pada tanggal
03 Maret 2005. Aku lebih tua dari Christa. Otomatis, aku kakaknya. Oya, kami
bisa dibilang kembar tidak identik. Rambutku berwarna pink kehitam-hitaman
sebahu dan ikal. Poni yang pendek dan dibelah dua. Sedangkan rambut Christa,
coklat pekat sepunggung lurus dan poni yang rapi plus lurus. Anak rambutnya
yang berada di depan telinganya membuat ia tambah manis. Kami juga bisa
dibilang anak Blasteran, tepatnya Indonesia-Amerika. Dadsy keturunan Amerika,
sedangkan Momsy keturunan Indonesia, tepatnya Jakarta.
Sesampai di sekolah, aku dan Christa
memasuki ruangan kelas yang sama, kelas 6-2B. Aku meletakkan tasku di bangku no
3 dekat tembok. Sedangkan Christa di sampingku. Kulihat, beberapa anak
perempuan sedang berkumpul. Aku dan Christa kompak menghampiri mereka. Ada
Vanessa, Gryssa, Qwenssa. Namanya sama-sama ‘Ssa’ nya. Katanya, ibu mereka
lahir di rumah sakit yang sama, tanggal yang sama, dan kamar yang bersebelahan.
Aneh bin ajaib, kan…? Hampir lupa bilang, mereka adalah sahabat kami juga.
“Hai, Gryssa, how are you?” tanya
Christa pada sahabat dekat(banget)nya, Gryssa. “I’am fine, thank you,” jawab
Gryssa seperti biasanya, ceria dan ramah. “Kalian sedang mengobrolkan apa?”
tanyaku. “Gini, lho, Ty… Di dekat jalan Indonesia Jaya, terdapat restoran
mewah. Ya, semula kami berpikir bahwa itu masakan khas Italy, Japan, or France.
Ternyata, isinya makanan khas Indonesia, makanan kampung. Seperti Pempek,
gorengan, Sayur Asem, Gudeg, atau lainnya. Awalnya kami menolak, setelah
mencicipinya, ternyata enak. Bahkan, aku yang pesan Pempek Kapal Selam, sampai
pesan hingga 3 piring,” cerita Vanessa diakhiri cekikikan. “Wah, aku harus
kesana!!!” pekik Christa si ‘Maniak Makanan Kampoengan’. “No, no, and no!!”
pekikku tidak kalah nyaring. Aku memang anti terhadap makanan kampungan. “Kau
harus mencobanya, Christy. Tidak mungkin, jika Christa menyukai makanan tidak
enak,” bujuk Qwenssa si pendiam. Setelah beberapa bujukkan Vanessa, Qwenssa,
Gryssa, dan Christa, aku menyerah.
Ting… Ting… Ting…
Bel masuk berbunyi. Kami baris di
lapangan untuk melaksanakan Upacara Bendera. Usai Upacara Bendera, kami segera
melakukan proses Belajar-Mengajar.
“Horee!!!” teriakan dari kamar Momsy dan
Dadsy, membuatku penasaran. Segera saja, aku menuju ke kamar Momsy dan Dadsy.
“Ada apa?” tanyaku heran. Di kamar terdapat Christa dan Momsy. “Momsy
mengizinkan kita ke Restaurant yang dibilang teman-teman tadi!!” seru Christa.
“Memangnya, Dadsy tidak lembur?” tanyaku lagi. “Dadsy tidak banyak pekerjaan.
kemungkinan, Dadsy pulang pukul 16.00,” jawab Momsy. Aku melirik ke arah jam
dinding kamar. Pukul 14.30. Sekitar 1,5 jam lagi, Dadsy pulang.
Pukul 18.45, kami segera bersiap. Aku
dan Christa mengenakan pakaian yang sama. Kaos berlengan 3/4 berwarna kuning,
rompi tanpa lengan hijau motif batik (pemberian dari nenek), rok berbahan kasar
warna hijau, dan celana berwarna kuning. Tak lupa sepatu hitam dan jam tangan
putih. Aku memasang bandana di kepalaku. Sedangkan Christa, dia mengikat
rambutnya seperti ekor kuda. Kami segera turun.
“Anak-anak Dadsy sudah cantik dan rapi.
Ayo, masuk mobil!” ucap Dadsy. Kami segera masuk mobil. Mobil melaju menuju
restoran. Sesampainya, kami segera turun.
“Makanan Kampoeng Indonesia Restaurant,” bacaku dan Christa kompak. “Ty, Ta, ayo masuk!” ajak Momsy. Kami segera masuk. Di dalam, terlihat masih memakai theme kampung, namun mewah dan nyaman. Kami segera mendapat kursi yang nyaman. Restoran ini sungguh ramai, namun tetap tenang.
“Makanan Kampoeng Indonesia Restaurant,” bacaku dan Christa kompak. “Ty, Ta, ayo masuk!” ajak Momsy. Kami segera masuk. Di dalam, terlihat masih memakai theme kampung, namun mewah dan nyaman. Kami segera mendapat kursi yang nyaman. Restoran ini sungguh ramai, namun tetap tenang.
“Permisi, anda mau pesan apa?” tanya
seorang pelayan yang datang ke-meja kami. Dari badge namanya, dia bernama
Retni. “Aku pesan sepiring lontong sayur, segelas susu jahe, dan sepiring kue
lupis,” pesan Christa paling awal. “Hmm… Saya pesan 2 piring nasi dengan ayam
penyet, 2 cangkir kopi jahe, dan sepiring bola-bola ubi,” pesan Momsy. Karena
aku tidak pernah makan makanan seperti ini, aku memesan nasi uduk satu, teh
hangat satu, dan kue dadar gulung sepiring. Mbak Retni mengulang pesanan kami,
dan pergi.
Tak lama, pesanan kami datang. Ketika
yang lain sudah mulai makan, aku pun belum makan sebutir nasi-pun. “Christy,
kenapa tidak dimakan nasinya?” tanya Dadsy heran. “Ak..ku… Rag..Gu..
Kal..Kalau… Makanan..Nannya… Tidak… En..Enak!” ucapku dengan sedikit
terbata-bata. “Coba dulu!” perintah Momsy lembut. “Iya! Nasi Uduk itu enak,
lho…,” bujuk Christa. Ia menjilati bibirnya karena ada kuah lontong sayur.
Aku mulai menyuapi mulutku dengan satu
sendok, walaupun agak ragu-ragu. Benar!! Rasanya enak, dan nafsu makanku
bertambah! Aku segera menghabisinya.
35 menit kemudian, kami selesai makan.
Usai dibayar, kami segera pulang. “Enak kan?” tanya Christa dengan nada
menggoda. Aku menganggukkan kepala. “Makanya, dicoba dulu, Christy. Jangan
komentar dulu. Dikasih makanan kampung jawabnya ‘Iihh… Nggak mau!! Nggak enak,
kampungan!!’. “Aku tersipu malu. Mulai sekarang, aku menyukai makanan
tradisional Indonesia. Karena, jika makan Fast Food terus, itu tidak baik.
No comments:
Post a Comment