Pages

Sunday, November 17, 2019

SHILLA JATUH CINTA

Shilla adalah seorang gadis remaja yang sangat tidak suka dengan batik, baginya batik itu jadul, kuno, norak, ketinggalan jaman, dan tidak gaul, bahkan ia lebih pede mengenakan baju yang sedang ngetrend pada zaman sekarang dibanding dengan mengenakan baju batik. Ia juga sering melarang kedua orangtuanya jika mengenakan baju batik alasanya karena seperti orang-orang zaman dahulu dan terlihat lebih tua.

Shilla juga tak jarang berdebat dengan teman kelasnya yang bernama Yusuf, Yusuf adalah temannya yang sangat menyukai batik dari tas, buku, pena, pensil dan masih banyak lagi barang miliknya yang bercorak batik, mungkin semua barang miliknya bercorak batik.

Hingga suatu hari Wali kelas Shilla mengumumkan bahwa di kelasnya akan kedatangan siswi baru pindahan dari Inggris, tersungging sebuah senyuman di wajah putih gadis remaja itu penuh senang dan kemenangan. Senang karena di pikirannya akan ada yang membelanya nanti jika sedang berdebat dengan Yusuf, dan kemenangan karena ia akan menang di hadapan Yusuf sebab ada yang membelanya, selama ini kalau ia sedang berdebat dengan Yusuf tidak ada yang membelanya meskipun Yusuf juga tidak ada yang membelanya, teman-teman kelasnya hanya melerainya atau pun diam saja sebab perdebatan mereka sudah biasa. Shilla hanya ingin menang di hadapan Yusuf, Di pikaran Shilla siswi baru itu sama sepertinya, sama-sama menyukai sesuatu yang sedang ngetrend di zaman sekarang, ia begitu menunggu siswi baru itu.

Hari yang ditunggu-tunggu Shilla pun tiba, hari dimana siswi baru itu masuk di kelasnya. Setelah membaca do’a belajar Bu Lisa berbicara mengenai siswi baru itu, dan selama itu Shilla berdebat kecil dengan Yusuf.

“Aku nggak sabar siswi baru itu masuk, aku yakin ia pasti tidak suka dengan batik sama denganku, tidak seperti yang di belakangku semuanya batik, huh.. menyebalkan” sindir Shilla pelan namun Yusuf dapat mengengarnya.

“Kalau dia tidak suka batik, itu tidak masalah bagiku, mungkin dia sama denganmu tetapi, dia pasti lebih gaul dari pada kamu Shilla, bagaimana tidak dia saja tinggal di Inggris pasti barang-barang miliknya produk luar negeri semua, kalau kamu kan Cuma luar kota saja hahaha” sindir Yusuf pelan, tak mau kalah dengan Shilla. Shilla terdiam mendengar ucapan Yusuf yang diakuinya mulut Yusuf itu judes.

“Kata siapa? ada kok barang milik aku produk luar negeri ada yang dari Singapur, Malaysia, Viatnam, Hongkong dan masih banyak lagi, dari pada kamu barang-barangnya produk dalam negeri semua, hah.. nggak ngetrend banget sih jadi orang” balas Shilla tak mau kalah dengan Yusuf dengan nada yang masih pelan.

“Dari Asia Tenggara saja kan? tidak ada yang dari Eropa, Korea dan yang lain? haha kurang ngetrend tu” cetus Yusuf, Shilla diam mulutnya terbungkam setelah mendengar kata-kata pedas dari mulut Yusuf. Shilla tak sempat membalas Yusuf karena suara Bu Lisa yang meninggi.

“Baik…anak-anak.., jika kalian ingin kenal dengan teman baru kita, nak.. mari masuk dan perkenalkan dirimu” pinta Bu Lisa, sembari menghadap ke arah luar pintu.

“Baik Bu, terima kasih” suara dari luar pintu, dengan perasaan tak sabar Shilla berkata “Cepat dong masuknya nggak sabar nih.., anak itu pasti gaul dan trendy seperti aku, tidak seperti Yusuf yang norak! huh..” sindir Shilla sembari menoleh ke arah Yusuf yang duduk di belakangnya.

“Biarin aja, aku yang norak kok kamu yang sewot?” kata Yusuf lalu diam sejenak” Tapi… sepertinya dugaan kamu salah seratus persen Shill, karena siswi baru itu biasa saja dan jauh dari dugaanmu, dia mengenakan seragam yang sama seperti kita dan rapi ditambah dengan jilbab putih yang menutupi kepalanya hingga lengan” lanjut Yusuf seperti sedang menerawang.

“Eleh… sok tau kamu Suf, tau dari mana kalau dia seperti itu? dia itu tinggal di luar negeri bukan seperti kamu di kampung” cetus Shilla.

“Kalau kamu tidak percaya lihat saja ke depan!” kata Yusuf santai, Shilla pun menurut sembari mencibir Yusuf, dari wajah Shilla yang tak percaya tiba-tiba berubah menjati merah padam. Ia terkejut “Itu… siswi baru dari Inggris kan? tapi kenapa penampilanya biasa saja? meskipun wajahnya agak kebulean, penampilannya masih kalah sama aku! ternyata benar apa kata Yusuf” batin Shilla, Shilla tak percaya bahwa gadis seumuranya yang sedang berdiri di depan papan tulis itu adalah siswi baru yang kata Bu Lisa pindahan dari Inggris, karena dilihat dari penampilanya terlalu biasa.

Tak lama kemudian lamunan Shilla buyar karena mendengar ucapan salam.

“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh…” ucap siswi baru itu.

“Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh” balas semua murid beserta Bu Lisa.

“Hai.. kawan, perkenalkan nama saya Nadiah Al Husna, panggilan saya Husna. Saya pindah dari Inggris ke Indonesia Karena Ayah saya pindah tugas, Saya senang bertemu dengan kawan-kawan semua di sini, semoga kawan-kawan dapat menerima kedatangan saya, sekian pekenalan diri saya, Wassalamu’alaikum wr, wb.” jelas siswi baru itu yang bernama Husna.

“Wa’alaikum salam wr, wb.” balas semua murid dan Bu Lisa sembari melangkah mendekati Husna

“Terima kasih Husna, kamu sudah memperkenalkan diri. Jika kalian ingin lebih mengenal Husna nanti saat jam istirahat tanya saja ke Husna ya nak…, baik Husna kamu duduk di sebelah Shilla, di bangku yang kosong di sana” jelas Bu Lisa sembari menunjuk ke arah bangku di sebelah Shilla.

“Baik Bu, terima kasih” kata Husna sembari melangkah menuju bangku yang ditunjukkan oleh Bu Lisa.

Setelah Husna duduk ia tersenyum kepada Shilla yang sedang terbengong-bengong memperhatikanya, seketika lamunan Shilla buyar karena Husna menyapanya.

“Hai.. nama saya Husna, nama kamu siapa?” Tanya Husna sembari mengulurkan tanganya ke Shilla.

“Mmm… namaku Shilla” jawab Shilla gugup.

“Nama yang cantik” ucap Husna sembari mengeluarkan alat-alat tulisnya, saat itu juga Shilla terkejut, karena melihat tas Husna bercorak batik, bahkan ia lebih terkejut ketika Husan telah mengaluarkan alat-alat tulisnya, karena semua bercorak batik!. “Apa…! semua barang miliknya bercorak batik? bagaimana bisa? jangan-jangan husna sama seperti Yusuf kalau memang benar jadi, ia menyukai batik?” pekik batin Shilla.

Selama pelajaran berlangsung Shilla tidak memperhatikan Bu Lisa yang sedang menerangkan pelajaran Bahasa Indonesia, pikirannya masih tertuju kepada gadis remaja di sebelahnya.

Tidak seperti biasa ketika bel istirahat berbunyi Shilla masih duduk di bangku kelasnya.

“Shilla kamu tidak ke kantin?” Tanya Husna.

“Tidak.. lagi malas keluar” jawab shilla, husna mengangguk mengerti.

“Malas… atau malas…” timpal yusuf dari belakang sembari asyik menggambar kesukaanya di atas kertas gambar.

“Apa’an sih kamu Suf, nyambung aja..” kata Shilla sebal, suara Yusuf membuat Husna menoleh ke arahnya dan ia menangkap Yusuf yang sedang menggambar batik.
“Kamu suka batik ya..?” Tanya Husna pelan.

“Iya” jawab Yusuf singkat.

“berarti kita sama, saya juga suka batik” kata Husna senang.

“Oh.. ya? jadi, aku ada teman yang sama-sama suka batik…” kata Yusuf senang sembari melirik ke arah Shilla.

“O.. iya, nama kamu siapa?” Tanya Husna.

“Perkenalkan namaku Yusuf” jawab Yusuf.

“Nama yang bagus” timpal husna sembari memperhatikan gambar yang dibuat Yusuf.

“Gambar batiknya bagus ya” komen Husna, lalu diam beberapa lama.

Shilla yang sedari tadi diam membisu kini ia membuka suara untuk bertanya kepada Husna tantang dirinya.

“Husna aku boleh bertanya?” kata Shilla pelan.

“Boleh, memang kamu mau bertanya tentang apa?” kata Husna.

“Sebenarnya kamu asalnya dari mana? apakah kamu berasal dari Indonesia dan pindah ke inggris karena mengikuti Orangtuamu? atau kamu memang berasal dari Inggris?” Tanya Shilla pelan, Husna tersenyum simpul setelah mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari Shilla.

“Jadi, itu pertanyaan dari kamu? Baiklah kalau begitu saya akan menjawabnya. Saya memiliki dua darah yaitu Inggris-Indonesia, ayah saya berdarah Inggris dan ibu saya berdarah Indonesia dan saya lahir di Inggris jadi saya berasal dari inggris dan berdarah Indonesia” jelas Husna, Shilla mengangguk paham.

“Tapi kenapa kamu bisa berbahas Indonesia dengan lancar? padahal kamu tinggal di Inggris, apakah sebelumnya kamu pernah ke Indonesia?” Tanya Yusuf.

“Sejujurnya ini adalah pertama kali saya ke Indonesia dan bagaimana saya bisa berbahasa Indonesia karena Ibu saya yang mengajarkan saya dari kecil” kata Husna.

“Husna, kalau sebelumnya kamu belum pernah ke sini bagaimana kamu bisa tahu dan suka dengan batik? padahal kan batik itu udah lama jadul, kuno dan ketinggalan jaman gitu..?” Tanya Shilla lagi.

“Bagaimana? itu karena, saya sering dikasih oleh-oleh dari tante saya yang tinggal di indonesia, dan suka karena bagi saya batik itu unik, cantik dan tidak semua orang bisa membuatnya” jelas Husna.

“Betul, betul, betul, aku setuju sama kamu Husna kalau batik itu unik dan cantik” sambung Yusuf.

“Husna tapi kan kamu tinggal di Inggris, pastinya kamu lebih suka sesuatu yang berasal dari produk luar dari pada produk sini” kata Shilla.

“Memangnya salah kalau saya yang berasal dari inggris suka dengan produk Indonesia? bahkan banyak orang-orang sana yang menyukai produk dari Indonesia karena bentuknya yang unik, apalagi batik pastinya banyak yang suka terutama keluarga saya, lagi pula batik itu budaya Indonesia yang seharusnya kita jaga dan lestarikan agar tidak hilang ditelan zaman” jelas Husna panjang lebar, Yusuf mendengarnya tersenyum senang sedangkan Shilla tersenyum kecut. “Tega sekali Yusuf, ia bahagia di atas penderitaan orang lain” batin Shilla.

Semenjak perkenalan itu terjalin persahabatan di antara mereka, meski terkadang Shilla dan Yusuf selalu berdebat tentang batik namun, Husna tetap sabar dan selalu melerai mereka tanpa membela Shilla maupun Yusuf yang sama sepertinya sama-sama meyukai batik. Shilla pun tak habis pikir kenapa Husna bisa suka dengan batik meskipun Husna sudah menjelaskan alasannya.

Hingga suatu hari Husna dan Yusuf mengajak Shilla ke suatu tempat yang terdapat banyak kain batik di mana-mana, tempat yang terdapat tungku api mini, di atasnya diletakkan sebuah kuali kecil yang berisikan cairan berwarna dan seorang ibu-ibu duduk di depan tungku itu sembari sesekali menciduk sebuah canting ke dalam kuwali kecil yang berisikan cairan berwarna itu lalu melukis sesuatu di atas kain berwarna putih polos di sampingnya, dengan lincah tanganya melukis titik demi titik, garis demi garis hingga menjadi susunan yang unik dan menarik. Dengan mata sinis Shilla menyapu sekeliling ruangan. “Ini tempat apa? kok banyak batik di mana-mana?” pikir Shilla.

“Husna kita di mana? kok banyak batik?” Tanya Shilla.

“Kita ada di tempat pengrajin batik Shilla” jawab Husna tenang.

“Apa… pengrajin batik? nggak, aku nggak mau, lebih baik aku pulang..” kata Shilla sembari melakangkah meninggalkan tempat tersebut namun, belum sampai dua langkah Yusuf langsung meraih datang menggenggam pergelangan tangan Shilla erat.

“Eee.. kamu mau ke mana Shilla?” sindir Yusuf.

“Aku mau pulang, aku nggak betah di sini! gerah tau” kata Shilla sebal.

“Mau pulang ke mana? udahlah di sini saja!” cetus Yusuf sembari mempererat genggamannya.

“Au… sakit tau.. lepasin!” pinta Shilla.

“Yusuf, jangan begitu lepaskan Shilla” pinta Husna lalu yusuf melepaskan genggamannya, Shilla mengelus-elus pergelangan tanganya yang sakit karena digenggam Yusuf erat.

“Shilla, mari ikut saya kita lihat-lihat saja dan belajar sedikit ya..” kata Husna tenang sembari tersenyum, Shilla menurut. Selama di sana mereka banyak diarahkan oleh seorang pengarah dan menjelaskan tentang sejarah batik, pembuatan batik, dan yang lain tentang batik, mereka juga belajar membuat batik, sampai-sampai Shilla ketagihan untuk membuatnya.

“Ternyata membuat batik itu menyenangkan ya, meskipun kita harus hati-hati dan teliti, dan sekarang aku baru sadar kalau batik itu memang unik” ujar Shilla sembari melukis batik yang masih belum sempurna.

“Kayaknya aku mulai jatu cinta sama batik karena batik itu memang cantik dan unik” sambung Shilla

“Alhamdulillah, kalau kamu mulai suka sama batik, saya senang mendengarnya” kata Husna.

“Dari kemarin dong jatuh cintanya kan biar nggak berdebat terus, capek tau” kata Yusuf polos.

“Suf, cinta itu tidak bisa dipaksa datangnya dari hati, dan butuh proses bukan sembarang cinta” tangan kanan husna menempel ke arah jantung.

“Mulai deh Husna kata-kata mutiaranya keluar hahaha” tawa Yusuf.

“Ya udah sekarang kita bertiga suka sama batik jadi, kita adalah pecinta batik, dan kita harus melestarikan batik, benar kan Husna?” seru Shilla.

“Benar, kita harus melestarikan batik agar batik tidak hilang dan agar anak cucu kita biasa tau batik” Jelas Husna.

“Aku bersyukur kepada Allah swt. karena batik adalah budaya kita, budaya Indonesia” kata Yusuf.

“Kita harus melestarikan Budaya Indonesia…!!!” seru mereka.

TAMAT


Karya : Nur Az Zahro

CINTA INDONESIA

Rafi berjalan memasuki wilayah gedung sekolahnya dengan langkah penuh percaya diri. Setelan seragam pramuka dipadukan dengan jaket jeans menjadi gayanya hari ini. Ketika melewati lobby, ia menyapa teman-temannya dengan ramah dan dengan gaya baratnya. “Hai guys!”

Sementara di sisi lain, Rois sedang menatap bendera merah-putih yang terletak di samping hutan sekolah dengan sejuta pikiran di kepalanya. Tak lama setelah itu, Rafi berjalan melewati hutan sekolah sambil mengutak-atik ponselnya dan sesekali ia menempelkan ponselnya itu ke telinganya untuk mendengar sebuah suara yang keluar dari ponselnya itu.

Rafi yang melihat Rois berdiri sendirian di depan bendera merah-putih segera menghampirinya. “Ngapain, bro?” tanya Rafi dengan heran.

“Aku sedang menatap bendera merah-putih kita.” jawab Rois santai.

Rafi yang masih sibuk dengan ponselnya berkata “Wah, kemarin Greenleaf abis ngerilis album rocknya nih!”

“coba dengerin!” lanjut Rafi sambil mendekatkan ponselnya itu ke telinga Rois. Rafi pun memutar lagu rock yang dimaksudnya tadi.

“Lagu apa ini?” Rois yang tidak tahu-menahu tentang lagu itu bertanya pada Rafi.

 Rafi pun mematikan putaran lagu itu dan menjauhkan ponselnya dari telinga Rois.

“Ini lagu band terkenal, dari California.” jelas Rafi.

Rois yang mendengar itu merasa heran dengan Rafi yang begitu menyukai hal-hal yang berbau luar negeri. “Apa yang kamu bisa banggakan dengan band-band luar negeri?” tanya Rois setengah kesal pada Rafi.

“Lagunya keren, bro!” jawab Rafi bangga.

“Banyak band-band di Indonesia. Band indi, band nasional, mereka semua sudah tembus internasional. Bukankah band-band itu juga mempunyai potensi untuk go internasional?” jelas Rois tak kalah bangga dengan Rafi.

“Seharusnya kamu bangga dengan lagu-lagu nasional.” lanjut Rois.

“Ah lagu nasional cuma bisa nyontek doang.” elak Rafi.

Lia dan Vio tiba-tiba datang menghampiri Rafi dan Rois dari arah koridor kelas 11 dan menghentikan pembicaraan mereka.

“Hey, Rois! Ngapain di sini?” tanya Lia pada Rois.

“Ini aku lagi berbincang-bincang dengan Rafi.” jawab Rois.

“Mending sekarang kita kerja kelompok aja.” usul Vio.

“Kerja kelompok apa?” tanya Rois.

“Sejarah peminatan, kan tugas kita belom selesai.” jelas Vio.

“Ohhh..” jawab Rois seadanya.

“Raf, kamu bisa ikut kelompok kami?” tanya Rois pada Rafi yang sedari tadi diam sejak kedatangan Lia dan Vio.

“Kerja kelompok? Ah lebih baik gue nonton konser.” jawab Rafi angkuh lalu meninggalkan Rois, Lia, dan Vio. Mereka bertiga yang melihat tingkah Rafi hanya bisa menggelengkan kepala.

Setelah meninggalkan Rois, Lia, dan Vio, Rafi berjalan melewati koridor kelas 11 IPS yang tampak sepi. Saat melewati salah satu kelas IPS, ia mendengar lagu nasional yang diputar cukup keras dari dalam kelas tersebut. Rafi yang merasa penasaran pun memasuki kelas tersebut, dan mendapati Fayaz yang duduk sendiri di kelas sambil mendengarkan lagu yang didengar Rafi dari luar kelas tadi.

“Hai, guys!'” sapa Rafi dengan gaya khasnya.

“Ini lagu apa kok keren sekali?” tanya Rafi penasaran dengan lagu apa yang sedang diputar oleh Fayaz.

Fayaz yang menyadari kehadiran Rafi pun menjawab sapaan Rafi.

“Lagu nasionalisme.” jawab Fayaz sambil menghadap ke Rafi.

“Judulnya apa?” tanya Rafi lagi.

“Garuda di Dadaku, dari band Netral.” “Coba kamu download, terus dengerin lagunya dari awal. Keren deh.” lanjut Fayaz.

“Ohhh..” jawab Rafi lalu segera mengeluarkan ponselnya dari saku celana seragamnya. Rafi pun mendownload lagu yang dimaksud Fayaz tadi.

“Ok. Thanks ya, bro!” jawab Rafi lalu pergi meninggalkan kelas tersebut.

Rois, Lia, dan Vio sedang berdiskusi sambil duduk-duduk di koridor kelas.

“Rek, gimana ini? Tugas Sejarah Peminatan kita tentang bab Kebudayaan Indonesia yang belum dikerjakan.” ujar Rois pada Vio dan Lia.

“Iya nih, gimana ya ngerjainnya?” tanya Lia.

“Kita ambil tema kebudayaan Indonesia yang di Jawa aja. Itu apa saja contohnya?” tanya Rois.

“Tari, upacara adat, apalagi ya?” Lia tampak sangat antusias.

“Kalo tari kan ada tari Remo. Upacara adat ada upacara Panggih Manten.” kata Vio.

“Tari Pendet juga tuh.” kata Lia.

“Tari Pendet itu dari Bali!” protes Vio dan Rois serentak. Lia yang mengetahui kelalaiannya hanya menyengir.

“Gimana kalo kita bagi tugas aja. Kalian berdua yang cari artikel, aku yang cari foto-fotonya.” ucap Rois pada Lia dan Vio.

“Ya udah gitu aja deh, biar cepat selesai.” kata Vio.

Di koridor kelas bagian ujung, Rafi sedang duduk sendirian sambil mengutak-atik ponselnya.

“Hai, Bro!” Arya teman Rafi yang sama-sama menyukai hal-hal berbau luar negeri menghampiri Rafi.

“Hei!” jawab Rafi.

Arya pun duduk di samping Rafi. “Gimana soal liburan ke California? Jadi kan?” tanya Arya sambil memegang pundak Rafi.

“Ya jadi lah, bro!”

“Ok. Gue bilang ke mama gue buat transfer uangnya sekarang.” ujar Arya lalu melepaskan tangannya dari pundak Rafi.

“Ok. Kalo gitu ayo sekarang kita pulang!” Rafi dan Arya pun bangkir dari duduknya lalu berjalan keluar dari koridor.

“Jadi, deadline tugasnya kapan nih?” tanya Lia pada Vio dan Rois.

“Nanti malam, kirim lewat email aku aja.” jawab Rois memtuskan.

Saat itu juga, Rafi dan Arya berjalan melewati mereka.

“Kalian mau ke mana?” pertanyaan dari Vio menghentikan langkah Arya dan Rafi.

“Ini sama Arya, mau nyiapin perlengkapan liburan ke California buat weekend besok.” jelas Rafi.

Lia yang merasa bingung dengan Rafi dan Arya yang tiba-tiba mempuyai rencana liburan ke luar negeri minggu ini pun bertanya pada Rafi. “Ngapain liburan ke luar negeri?”

“Ya nonton konser rock, bro.” jawab Rafi dengan sombongnya.

“Emang apa yang bisa kamu banggakan dengan budaya luar negeri?” Rois buka suara.

“Kalo soal liburan, di Indonesia banyak tempat-tempat yang keren. Seperti contohnya, ada pulau Raja Ampat yang lagi naik daun sekarang ini, ada pulau Bali yang sudah mendunia, dan juga pulau Lombok yang terkenal dengan viewnya yang terkenal.” lanjut Rois menjelaskan betapa banyaknya tempat wisata di Indonesia yang kebih keren dibandingkan dengan tempat wisata di luar negri.

“Pulau Komodo juga keren tuh. Bisa ketemu Komodo secara langsung di habitatnya.” celetuk Lia.

Rafi yang mendengar penjelasan dari Rois dan Lia pun segera mengambil ponselnya yang ada di saku celana, lalu ia mulai mencari informasi nama-nama pulau yang tadi disebutkan oleh Lia dan Rois.

“Wah.. Ternyata di negara kita banyak ya tempat wisata yang keren jika dibandingin dengan tempat wisata di Luar negeri. Ke mana aja gue selama ini?” ujar Rafi takjub setelah melihat hasil foto-foto dari ponselnya mengenai pulau-pulau tadi.

“Ya udah, Arya, kita ubah tempat liburannya aja.” lanjut Rafi bicara kepada Arya.

Keesokan harinya.

Rafi dan Arya berjalan di hutan sekolah menghampiri Rois, Lia, dan Vio yang sedang berbincang-bincang di gazebo.

“Heh rek, ayo melok aku!” ujar Rafi dengan semangat. Sementara Lia dan Rois merasa heran dengan gaya bicara Rafi yang sudah berubah total.

“Ke mana?” tanya Vio penasaran. Tanpa pikir panjang, Rois, Lia, dan Vio memutuskan untuk mengikuti Rafi dan Arya yang sudah berjalan lebih dulu.

Ternyata, tujuannya adalah letak bendera merah-putih yang berada di samping hutan sekolah. Mereka pun bebaris 1 shaf di depan bendera merah-putih. Rois, Lia, dan Vio bingung apa yang dimaksud oleh Rafi dan Arya.

“Seluruhnya, hormat.. Gerak!” ujar Rafi lantang lalu ia pun hormat pada bendera merah-putih. Arya, Rois, Lia, dan Vio pun mengikut Rafi. Mereka hormat dengan khidmat pada bendera pusaka kita, bendera merah-putih. Rois. Lia, dan Vio menyadari apa maksud Rafi mengajaknya menghadap bendera merah-putih.

Rafi dan Arya sekarang telah mencintai kembali negaranya, negara Indonesia, mereka berdua tidak lagi menggunakan gaya bahasa barat dalam kehidupan sehari-hari sejak mereka sadar bagaimana negara Indonesia yang jauh lebih seperti surga jika dibandingkan dengan negara lain.


Karya : MarceliaXoexo

KARAUKE LAGU MINANG

Hallo, semuanya. Perkenalkan aku Flora Nashita. Panggilnya Flo saja. Aku akan menceritakan kisahku saatku kelas 3 SD.

“Anak-anak, Indonesia ragam akan budaya. Tugas hari ini, Ibu minta kalian menulis lagu dari daerah kalian masing-masing. Ibu kasih waktu kalian 15 menit saja. Cepat dimulai dari sekarang!” ujar Bu Itha, guru IPS Flo.

Semua murid termasuk aku mengeluarkan buku tulis IPS.

“Flo, kamu nulis lagu apa? Judulnya aja” tanya teman sebangkuku. Witha.

“Entahlah” jawabku singkat.

“Bu Itha, boleh cuma reff lagunya aja gak?” tanya salah seorang temanku.

“Boleh” jawab Bu Itha. Aku memandang ke luar dari kelas. Aku sebagai orang dari Sum-Bar, jujur tak pernah dengar lagu Minang.

Aku melirik jam tanganku. Tinggal 10 menit. Aku berusaha berpikir. Aku teringat lagu minang yang pernah kakakku nyanyikan.

Aku menulis sesuatu di bukuku. Isinya seperti ini:

ANDAM

Reff

Bukan denai takui mandi yo andam oi

Denai nan takui basah-basah…

Bukan denai takui mati yo andam oi

Denai nan takui patah-patah…

Andam oi andam

Andam oi andam

Andam oi andam oi andam oi

“Waktu habis anak-anak!” umum Bu Itha.

Aku mengumpulkan bukuku. Bu Itha memanggil anak-anak sesuai tumpukkan buku. Aku menaruh bukuku setelah buku Witha.

“Witha Thana Naola” panggil Bu Itha. Witha maju lalu menyanyikan lagu dari Ja-Tim. Setelah selesai Witha kembali duduk.

“Flora Nashita” panggil Bu Itha. Aku maju dengan perasaan gugup.

“Teman-teman, aku akan menyanyikan lagu dari Sum Bar. Andam”

Aku melantunkan lagu minang itu. Aku berhenti sesuai yang aku tulis. Tapi…

“Bukittinggi koto rang agam yo andam oi” lanjut salah seorang temanku. Lagu itu terus melantun sampai berakhir di Witha. Ternyata satu kelas tau lagu itu. Sungguh Hebat…

Hari ini kami semua berKARAUKE!!!

TAMAT


Karya : Naira Khansa Nabila

MASA DEPANKU ATAU BUDAYAKU?

“TIDAK BOLEH! KAMU HARUS MASUK KEDOKTERAN!” Itulah yang selalu kudengar ketika membahas masalah jurusan perkuliahan bersama orangtuaku.

Hari ini adalah yang terparah, kedua kakakku pun juga sependapat dengan mereka. Bagaimana tidak ingin minggat dari rumah jika seperti ini? Hidupku selalu saja ditentukan oleh mereka, dari masuk SMA dan sampai masuk ke universitas saat ini. Aku merasa hidup sebagai orang lain. Tak tentu arah dan hanya mengikuti bisikan yang tertangkap oleh telingaku. Tak henti-hentinya aku menyesal setelah menuruti bisikan yang semakin mengatur hidupku itu. Akulah Bimo Wirasakti, bukan kakakku Ocha ataupun Rezki. Memang akulah anak terakhir, tapi apa sebegitu melas hidupku ini. Hidup atas kehendak orang lain.

Tak henti-hentinya doa kulantunkan kepada sang kuasa atas kehendak yang aku inginkan ini, sholat untuk meminta petunjukpun juga setiap malam aku lakukan. Aku tidak ingin salah dalam menentukan tujuan hidupku. Karena inilah saatnya, aku belajar dewasa dan memulai hidup baru sebagai diriku sendiri. Ah tidak, teriakan hatiku yang semakin melantur ini membuatku makin frustasi. Aku tak akan pernah bisa menjadi diriku sendiri, karena garis takdir mungkin sudah memilihku hidup sebagai orang lain.

“Ya Rahman Ya Rahim, berikan aku petunjuk untuk masuk universitas. Hanya Engkaulah yang tahu mana yang terbaik untukku.” Sholat shubuhku kali ini kuharapkan akan menjadi perantara doaku agar terkabul. Walau kasur dan selimut di depan mataku terus menggoda, kuniatkan pagi ini untuk bersemangat masuk sekolah. Semoga pagi ini adalah awal yang baik untukku, amin.

Sudah saatnya ku gas skuter merahku ini, bismillah dalam batinku. 15 menit pun telah berlalu setelah kusapu jalanan yang tajam.. Kulangkahkan kaki dengan berhati-hati ke kelas bersama temanku yang kebetulan bertemu di parkiran. Kelas pun sudah ramai, sebagian besar dari mereka sedang membaca ataupun mengerjakan tugas. Karena ujian nasional sudah dekat pun menjadi faktor utama mereka mendadak rajin. Dan pastilah ada sekumpulan orang di kelas yang sedang bergosip layaknya ibu-ibu yang kurang kerjaan. Aku pun hanya diam dan membaca buku biologiku tak menghiraukan hiruk piruk kelasku ini yang akan membuatku serasa berada di tengah kota yang ramai.

“Eh Bim, kamu mau masuk jurusan seni tari ya!” salah seorang temanku menepuk pundakku dari belakang. Sontak aku pun kaget.

“I…Iya” balasku dengan sedikit gagap.

Semua orang langsung menatapku dengan pandangan yang aneh, senyum di wajah mereka mulai bermunculan. Dan semakin lama berubah menjadi tawa. Aku pun tak tahu apa yang mereka pikirkan, hanya saja dari raut wajah mereka sangat terlihat jika mereka semua heran kepadaku.

“Are you seriously Bim?” Andini temanku bertanya dengan wajah bertuliskan tanda tanya besar.

“Em.. Ya of course” aku hanya menjawabnya sambil tersenyum.

“Hahaha..hahahaha” tiba-tiba kelasku menjadi sangat riuh dan penuh dengan tawa dari segala sumber arah.

Aku pun semakin bingung, hanya diam dan semakin aku berpikir keras dengan apa yang terjadi pagi ini. Apa salahku? Apa yang lucu dari perkataanku? Apakah mukaku penuh dengan cemong sehingga mereka semua tertawa?

“Halah sudahlah, lupakan saja mungkin mereka hanya sedang mengerjaiku” pikiran positif selalu menghiasi hari-hariku. Karena ku tahu, tanpa adanya hal itu aku takkan bisa hidup menjadi orang yang lebih baik lagi. Hari ini tetap kulanjutkan menjadi hari yang biasanya, walau tatkala aku merasa banyak temanku yang sedang berbisik-bisik tentangku. Tapi, aku percaya itu hanya perasaanku yang terlalu kudramatisir.

Sampai di rumah pun orangtuaku kembali membahas jurusan perkuliahanku, tak dapat kupungkiri aku hanya mengiyakan seluruh perkataan orangtuaku. Aku bukan seorang penakut, tapi aku sadar mereka adalah orangtuaku dan tak mungkin aku berbuat bodoh dengan bantahanku yang kasar. Karena nilai-nilai taatku selalu ditanamkan sejak kecil oleh kedua orangtuaku meski aku tak menyetujuinya.

Waktu SD dan SMP ekstrakulikuler nari memang aku ikuti. Tak jarang dari setiap semester hanya akulah seorang lelaki yang mengikuti ekstra tersebut. Bagai seekor jerapah di kerumunan gajah itulah diriku saat itu. Orangtuaku pun tak tahu jika aku mengikuti ekstrakulikuler tersebut, karena aku pun sudah tahu jawabannya pasti “tidak!”

Pendaftaran online universitas sudah dibuka, inilah saatnya aku harus bertarung dengan batinku. Antara ikut keinginanku atau orangtuaku yang amat kucintai. Aku takut mengecewakan mereka dengan mengikuti pilihanku. Tapi inilah hidupku, akulah yang seharusnya menentukannya bukan siapapun.

“Kamu yakin Bim? Nggak salah masuk seni tari? Kamu ngaco kali ya?!” Tanya si Doni teman sekelasku.

“Enggaklah Don, yakin banget malahan.” Tatapku dengan serius.

“Mau jadi apa kamu Bim? Ambil jurusan yang jelas ajalah! Nggak usah yang neko-neko..” Sahut Doni dengan balasan muka yang serius juga.

Hari ini aku berpikir kembali, mengapa jurusan seni tari dianggap sebelah mata? Apa yang salah darinya? Seni tari kebanggaan Indonesia, titik tak bisa diganggu gugat.

“Bapak Ibu, pilihan jurusan kedua akan saya pilih seni tari UNY.” Ucapku tanpa memandang mata mereka.

“Kamu nggak pernah berpikir tentang hidupmu po Bim?”

“Tapi ini sudah menjadi pilihan saya Pak Bu.”

“Tidak boleh! Kamu tidak boleh masuk seni tari, kamu itu laki-laki Bim. Apa kata tetangga kalau tahu kamu masuk seni tari hah?”

“Maafkan saya Pak, tapi…”

“Sudahlah! Terserah kalau nantinya kamu kecewa. Bapak tidak akan peduli denganmu.”

Kuputuskan dengan kemantapan hati, jurusan kedokteran UGM sebagai pilihan pertamaku dan seni tari UNY pilihan kedua. Universitas yang aku idam-idamkan sedari kecil. Sejak pertama kali aku menonton pagelaran tari daerah di TBY. Detik itu juga, rasa cintaku terhadap tari semakin meluap-luap. Dan aku tak mampu sejengkal pun melupakan setiap gerak liuk tubuh dari para penari itu. Hingga saat ini, aku ingin suatu saat tampil di Taman Budaya Yogyakarta seperti saat aku melihat para penari waktu itu.

Hasil SNMPTN telah keluar, betapa kecewanya orangtuaku mengetahui hasil SNMPTN ku tak diterima di UGM. Namun betapa bahagianya aku mampu hidup sebagai diriku sendiri. Aku sangat bersyukur, karena inilah garis takdir yang aku dambakan. Aku datang wahai budayaku. Tunggulah aku melestarikanmu.

Satu semester di perkuliahan sangat menarik untukku. Hal-hal baru aku temukan di dalamnya. Meski tak jarang banyak orang mencibirku tak berpikir sedikitpun.

“Eh, itu si Bimo masak masuk seni tari. Mau jadi apa dia? Penari keliling desa? Hahaha.”

Sudah sering kudengar cemoohan yang membuatku semakin termotivasi untuk sukses. Dan bulan depan akan kutunjukkan. Saatnya aku mengikuti seleksi penari di UNY untuk mewakili universitasku.

Tak banyak berharap, termasuk 11 finalis yang lolos pun aku sangat senang. Walau sebenarnya hanya dibutuhkan 10 finalis. Tapi itu sudah menjadi kebanggan tersendiri bagiku. Dan inilah waktunya masuk ke ruangan seleksi. Hatiku semakin mencuat-cuat ingin keluar dari tubuhku. Kucoba untuk tenang dan melakukan segalanya sesempurna mungkin. Bismillah kulangkahkan masuk kedua kakiku ini.

Saat ini hanya tinggal menunggu pengumuman, 2 minggu lagi akan diumumkan para pemenangnya. Kuharap akulah salah satunya. Hariku menjadi semakin runyam memikirkan lomba ini. Karena hanya 4 tahun sekali lomba ini diadakan. Aku bisa, pasti bisa!

Aku berlari menuju papan pengumuman, senyum telah hadir di wajahku. Kucari satu-persatu tulisan Bimo Wirasakti dari setiap tulisan yang ada. Akhirnya kutemukan namaku, dengan kata TIDAK LOLOS menampang di sampingnya. Aku gagal, batinku. Aku hanya bisa meratapi segalanya yang telah terjadi. Kesempatanku kali ini gagal, aku harus berusaha mengais kesempatan lain yang tak bisa datang dua kali padaku.

Aku berharap ini akan baik-baik saja.

Hari-hari selanjutnya kujalani tanpa ada suatu hal yang berbeda. Aku tetaplah Bimo Wirasakti yang sedang menjalani rutinitas perkuliahan pada jurusan seni tari UNY. Tak banyak juga orang yang mengenalku. Karena memang aku tidak terlalu mencolok di universitasku.

Namun, tiba-tiba dering telepon berbunyi dari Handphoneku.

“Hah? Apa ini serius? Baiklah nanti saya akan datang ke kantor Bapak.”

Seorang laki-laki yang ku tahu dosen di universitasku memberi tahu jika aku masuk 10 finalis yang akan dilatih untuk mengikuti lomba 3 bulan lagi mewakili universitasku. Sebenarnya, aku gagal. Namum hanya saja keberuntungan sedang berpihak padaku. Salah seorang finalis mengalami kecelakaan dan terpaksa tidak bisa melanjutkannya. Dan akulah yang terpilih. Aku.

Ya benar ini aku, akhirmya 1 dari sekian juta cita-citaku tercapai. Dan aku akan menjalaninya dengan sungguh-sungguh tanpa ada keraguan sedikitpun.

Pelatihanku bersama para peserta lomba lainnya sangat memberi kesan yang berharga dariku. Karena ternyata, mereka tidak hanya orang-orang Jawa. Orang berkulit hitam dari pulau nanjauh pun ikut masuk bersamaku. Mereka semua menari tarian daerah Jawa bersamaku. Jaipong menjadi pilihannya, hari ini dan seterusnya aku akan terus memiliki hari yang berkesan dari kami para pelestari budaya (sebutan dariku) yang berbeda menjadi satu tubuh yang saling bekerja sama.

Tinggal 1 minggu lagi kami akan mengikuti lomba tari daerah se-Indonesia. Pemenangnya pun tak main-main, akan dilombakan kembali pada tingkat internasional. Aku sedikit gundah akan hal itu, karena sesungguhnya melestarikan budaya bukan ajang untuk mana budaya yang lebih bagus. Tapi mencintai budaya itu sendirilah faktor yang paling penting dari para pelestari budaya. Tapi, inilah perlombaan. Kita harus siap dengan segala keputusan yang ada.

Selamat pagi. Hari inilah semangat harus kami bakar. Hari yang telah kami hitung tiap menitnya telah datang. 18 Agustus 2012, hasil kerja keras kami akan ditampilkan.

“Semuanya harus tenang jangan sampai grogi ataupun nerveous. Harus yakin di setiap gerakan tari kalian, cepat masuk.”

“Siap Pak!” Jawab kami serentak atas dukungan dari pembimbing kami selama ini.

Akhirnya telah kami tampilkan segalanya dengan sebaik mungkin. Tak dapat ku percaya kami lolos untuk dilombakan pada tingkat internasional seminggu lagi.

Diadakan di Thailand, perlombaan ini akan menggerogoti pikiranku. Aku harus berlatih dengan keras dan fokus pada satu hal ini.

Seminggu kami lewati dengan penuh tekanan, inilah saat yang sama seperti lomba seminggu yang lalu. “Kami harus tampil lebih baik lagi.” Batinku dalam hati.

Hari ini menjadi awal kisahku berpetualang di negeri orang dengan membawa budayaku dan membuktikan bahwa budaya Indonesia tak bisa dicuri bahkan di beli dengan seberapapun uang. Karena inilah bukti berdirinya Indonesia dengan sejuta budaya yang patut untuk dilestarikan.

Sorak ramai terdengar di ruangan yang begitu luas hingga mampu menampung sekitar 5000-an orang. Keringat terserap oleh kostum tari jaipongku ini. Demam panggung kurasakan ketika pertama kali berdiri di depan orang dengan berbagai macam budaya ini.

Dan detik demi detik berlalu, akan diibacakan nominasi pemenang lomba budaya ini dan “Juara ketiga diraih oleh Negara India dengan tarian Kathakali, juara kedua Indonesia dengan tari Jaipong, dan jua….”

“Yay! kita menang! Alhamdulillah.” Sorak ramai dari kelompok kami mengacuhkan suara pembawa acara yang sedang membacakan juara selanjutnya. Kami tak sanggup menahan rasa senang dan bangga atas kemenangan ini. Walaupun tak menjadi yang pertama, tapi kamilah para pelestari budaya Indonesia yang akan selalu membuat Indonesia bangga memiliki generasi seperti kami. Dan khususnya akulah Bimo Wirasakti sang pecinta tari, yang saat ini sedang berada di ruang istana presiden mendapat sambutan dari Presiden SBY setelah pulang dari Thailand.

Aku bukanlah orang gila yang bertemu orang nomor satu di Indonesia hanya dengan mencintai budayaku sendiri. Tapi inilah bukti, bahwa budaya tak bisa di pandang sebelah mata.


Karya : Dhani Meylindra

KERUSAKAN UANG PANAI

Mungkin sebagian orang atau seluruh penduduk Indonesia tidak tahu banyak tentang uang itu. Tapi kami di antara orang Bugis mengerti persis apa itu dan untuk tujuan apa itu. Beberapa dari kita menganggapnya sebagai mas kawin tetapi tidak. Pencucian uang 'yang datang dalam istilah bahasa bugis, salah satu bentuk suku tanah Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan. Uang Panai 'adalah jumlah uang yang dibutuhkan oleh orang tua sebagai syarat yang harus dipenuhi sebelum pria resmi untuk membuat wanita. Dan lebih buruk lagi, jumlah yang besar merupakan tantangan bagi kita untuk menikahi pasangan.

Dalam agama Islam tidak pernah ada saran atau hukum tertulis tentangnya. Yang kita tahu adalah Mahar yang bergabung dengan Iqbal Qabul. Namun dalam budaya Bugis Makassar dan sekitarnya sudah menjadi keharusan atau mungkin lebih tepatnya kewajiban mutlak yang harus ada. Ini benar-benar sebuah budaya yang entah bagaimana dilestarikan untuk bertahan hidup dan merupakan fenomena besar dalam kehidupan kita dari suku terompet. Kadang-kadang kita sebagai Umat Adam terkejut pada apa uangnya 'setinggi itu juga tugas mutlak kita sebagai seorang suami untuk menghabiskan istri dan anak-anak kita.

Dan dari sinilah kisah saya dimulai. Perkenalkan nama saya Muh. Nazrul Khalid. Saya seorang pemuda berusia 26 tahun yang tinggal di salah satu kota di Sulawesi Selatan. Terlahir sebagai keturunan asli Bugis dari tanah Sulawesi yang penuh dengan budaya yang terkadang tidak masuk akal. Salah satunya adalah panel uang yang begitu menyiksa pemuda seusiaku yang berniat menikah. Jangan datang dari mana dan kapan dimulai sampai budaya ada. Saya sering bertanya kepada orang tua saya mengapa budaya seperti itu harus ada jika hanya sering membawa efek buruk ketika tidak dapat dipenuhi. Orang tua saya hanya tersenyum dan berkata bahwa itu adalah takdir serangga.

Ketika saya masih kuliah, saya punya pacar bug. Namanya adalah Kasmiranti Nurvitasari dan biasanya disebut Amira. Ya pria dia baik, pintar, rajin dan cantik cantik. Saat itu saya tidak salah untuk semester 5 dan dia semester pertama. Kami memiliki waktu yang lama sampai kami selesai kuliah. Sekarang saya bekerja di salah satu dealer mobil di kota saya. Selama bertahun-tahun menjalankan hubungan kami sering bergetar seperti pasangan muda biasanya. Sampai suatu hari dia memanggil saya dan dia berkata sore untuk bertemu di taman. Saya hanya mengkonfirmasi dan fokus pada pelanggan yang datang di sore hari setelah kantor saya tutup. Saya juga meluncur turun sepeda ke taman.

Sampai di sana, aku melihat dia duduk di salah satu bangku sambil memandang kosong ke depan. Aku menghampirinya berkata, “sudah lama di sini dek?”, “baru aja kak”, jawabnya kaget. Kami mengobrol panjang lebar hingga tiba pada satu titik, dia minta putus. Alasannya dia harus memenuhi tuntutan orangtuanya untuk berkeluarga secepatnya. “maafkan aku kak Naz,” pintanya sambil menyebut namaku. “aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi”, tambahnya sambil menitiskan air mata.

“sudahlah dek, jangan merasa bersalah terus, aku tahu ini bukan kehendak kamu sepenuhnya,” balasku sok menghibur padahal dalam hati aku juga menangis sejadi-jadinya. “semua orangtua ingin sesuatu yang terbaik untuk anaknya, dan aku berharap dia benar-benar yang terbaik untukmu”, jelasku menasehati. “tapi aku gak mau pisah sama kamu kak”, katanya sambil tersungut. “aku tuh udah jalanin semua cerita hidup yang begitu lama dengan kakak, dan semua pahit manisnya kehidupan sudah aku lalui dan itu semua karena kakak selalu ada untukku”, jelasnya panjang lebar.

“tapi melawan kehendak orangtua itu juga bukan hal yang baik, bahkan dianggap sebagai dosa. Dalam budaya kita, pamali akan hal itu dek”, jawabaku. “Boleh aku tahu siapa orang yang sudah datang melamar dan akhirnya mau diterima sama bapak kamu”, tanyaku. “aku juga gak tahu persis, tapi kata mama, dia anak pengusaha bahan bangunan yang terkenal, dan aku pasti tidak akan kekurangan kalau bersuamikan dia kata mama” jawabnya seraya menunduk. Segalanya masih tentang uang ya, sungutku dalam hati. Dalam hidup kami orang bugis kenapa seolah-olah mata itu sudah indentik untuk terpesona ketika memandang uang. Bahkan seolah-olah anak wanita saja dianggap sebagai barang dagangan yang ingin diperjual belikan dengan harga fantastis.

Entah apa yang sedang aku fikirkan hingga aku termenung dan membuat dia heran. “kak, kenapa jadi melamun begitu?”, katanya dengan nada sedih. “hehehe, maaf dek aku tuh tadi berfikir”, jawabku. “malah ketawa kakak sudah solusi untuk masalah mengenai masa depanku ini?”, timpalnya lagi. aku hanya menggelengkan kepala. “apa kau sudah cerita tentang hubungan kita sama orangtuamu dek?”, Tanyaku balik. “sudah kak, tapi bapak bilang itu hanya cinta biasa, cinta anak muda yang bisa diganti cinta baru di masa depan dari ikatan pernikahan”, jawabnya. “apa kamu tidak bilang juga kalau aku tuh serius sama kamu, hanya saja…”, kataku terpotong. “hanya saja kenapa kak?” Tanyanya heran.

“hanya saja aku belum siap dek”, jawabku terbata. “mungkin hal itulah yang mendasari bapakku ingin menerima lamaran anak pengusaha itu, daripada menunggu aku yang tidak jelas kapan datangnya, lebih baik terima saja yang telah datang membawa kemapanannya dengan sendirinya”, Terangku sedikit bercanda. Dia marah kemudian berkata, “maksud kakak apa? Bukankah selama ini kita sudah saling berjanji untuk menerima kekurangan masing-masing, terus kenapa sekarang kakak berkata seperti itu seakan rela kalau aku harus bersanding di pelaminan dengan orang yang tidak pernah saya cintai.”

“bukan begitu maksud aku dek, dengar dulu”, bujukku. “mana mungkin aku rela melihat kamu bersama yang lain tanpa berusahan melakukan apa-apa dulu, kalah sebelum bertanding dong”, jelasku lagi sambil menunggingkan senyum. “nah sekarang kamu pulang, insya allah besok saya akan ketemu langsung dengan bapak kamu,” kataku padanya. “kakak mau bicara apa sama bapak?”, tanyanya. “nanti besok saja kamu lihat jawabannya, “jawabkan sambil mengusap kepalanya. Kita pun berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.

Malam harinya saya bicara sama kedua orangtuaku dan minta pendapat mengenai masalah ini. Mereka bilang tidak ada masalah biar dengan siapa saya menikah asalkan dia orang baik-baik dan soleha. “siapa saja boleh saja kamu persunting nak asalkan dia bisa menghargai dan menerima setiap kekurangan keluarga kita” jelas ayahku. “dan ingat orang laki-laki keluarga bugis itu tidak kenal kata menyerah sebelum berjuang Nenek moyang kita bilang hanya kerja keras yang memudahkan rahmat tuhan mengalir dengan penuh berkah,” jelasnya lagi seraya menasehati. “ya kalau kamu benar-benar serius sama Amira, sana pergi datangi rumahnya, dan temui orangtuanya buktikan pada mereka kalau kamu itu sungguh-sungguh nak, kalau tidak diterima ya itu berarti kamu sama Amira itu tidak berjodoh,” timpal ibuku sambil tersenyum.

Esok harinya karena hari minggu aku tidak masuk kantor.dan sesuai janjiku aku akan datang ke rumahnya. Aku pun mandi kemudian bergegas memacu motorku ke rumah yang kurang lebih 18 km jaraknya dari rumah. Sampai di sana, aku langsung memarkir motorku. “assalamu alaikum”, kataku seraya mengetuk pintu. “waalaikum salam,” jawab wanita sambil membukakan pintu. Dia mamanya Amira. “bapak, ada tante?”, tanyaku lagi. “ohh cari bapak, dia lagi keluar sebentar, kamu bisa tunggu di ruang tamu aja, ayo masuk”, jawabnya sambil mempersilahkan.

“kalau tidak salah kamu pacarnya Amira ya?”, Tanyanya membuka percakapan. “iya tante. Saya pacarnya dan itu pula saya datang kesini” jawabku. “ohh, begitu, kalau begitu tunggu bapak aja ya, saya mau ke belakang dulu, nanti Amira yang bawakan minuman” katanya sambil tersenyum dan pergi ke belakang.

“kakak, kapan datangnya?”T anya seseorang dari belakang yang kutahu pasti itu wanita impianku. “baru saja dek,” jawabku tanpa menoleh. “assalam alaikum, bapak pulang”, kata seseorang yang sepertinya bapaknya Amira. “waalaikum Salam”, jawab kami bersamaan. Dia pun masuk dan berjalan keruangan tengah sambil tersenyum. “eh, rupanya ada tamu”, katanya sambil menoleh padaku.

“maaf sebelumnya kalau saya lancang datang kesini om, tapi tujuan utama saya memang untuk bertemu sama om”, kataku. “silahkan, apa yang kamu bicarakan”, jawabnya mempersilahkan. “dengan segala kerendahan hati dan tujuan yang iklhas, saya ingin melamar anak om” jelasku tegas. Dia diam sejenak sepeerti sedang memikirkan sesuatu. Lalu aku melanjutkan kata-kataku. “saya tahu kalau baru-baru ini ada laki-laki yang datang melamar anak om. Dan saya juga tahu kalau dia adalah orang yang cukup mapan untuk membuat Amira tidak kekurangan. Tapi aku adalah pacar Amira sejak dari Kuliah dan dari dulu aku sudah berkomitmen untuk menjadikan dia pasangan hidupku. Jadi saya mohon om bisa mempertimbangkan lamaran saya sebelum benar-benar mengambil keputusan”, jelasku panjang lebar.

Ayah Amira menghela nafas panjang seraya bergumam, “Kamu orang Bugis toh, apa kamu sanggup memenuhi syarat yang aku ajukan?”, Tanyanya kemudian. “insya allah saya akan berusaha om” jawabku antusias. “orang yang kemarin datang melamar Amira adalah anak kenalan saya waktu sekolah dulu. Apa kau tahu, dia justru mengajukan tawaran bahkan sebelum saya mengajukan syarat. Dia menawarkan 150 juta sebagai uang panai”, jelasnya. “saat itu saya belum mengambil keputusan, dan memberi tahu mereka kalau saya perlu waktu untuk mendiskusikan dengan anak dan istri saya”, tambahnya lagi.

“kalau kamu memang serius, anggaplah ini persaingan sehat untuk mendapatkan Amira, kamu harus bisa mendapatkan 150 juta lebih cepat sebelum mereka kembali untuk menagih kepastianku”, katanya. Aku diam sejenak kemudian mengiyakan seraya memohon pamit. Dalam perjalanan pulang aku kebingungan. Di mana mendapatkan uang 150 juta dalam waktu sesingkat itu. Kenapa dalam budaya bugis ada hal konyol seperti ini ya, gumanku dalam hati sambil berlalu dengan motorku. Kalau aku tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu, maka aku akan kehilangan Amira dan orang itu sebagai gantinya.

Hari demi hari berlalu aku bekerja seperti biasa. Bahkan berusaha lebih giat siapa tahu ada rejeki tambahan untuk tambah-tambah uang panai, hehehe. Hingga tiba pada batas waktu yang dijanjikan masih saja aku belum bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. nyatanya aku putus asa sekarang. Ingin rasanya aku menelepon keluarga Amira dan mengatakan kalau menyerah. Tapi pas melamun, ibu datang menghampiri, “kalau seseorang itu benar-benar tulus, tidak ada sesuatu pun yang bisa membuat ketulusan itu berubah. Cinta itu memang harus diperjuangkan nak apalagi kalau menyangkut calon menantu ibu”, katanya sambil tersenyum seperti dia tahu isi hatiku.

“ibu, pintarnya bicara begitu, ini juga anak ibu sudah pusing tujuh keliling gara–gara syarat budaya suku kita buu” gerutuku. “sssttt, tidak baik bicara seperti sayang, apapun yang terjadi jangan menyalahkan kehidupan termasuk budaya dari nenek moyang kita dulu. Karena kita tidak pernah tahu apa maksud orangtua kita dulu menanam budaya seperti itu.” ceramahnya lembut. “aku tahu kamu lagi pusing sekarang, tapi barangkali besok kamu bisa bicara lagi sama bapaknya Amira, beri tahu sejujurnya soal kemampuan kau. Tidak baik kamu memaksakan sesuatu yang kamu tidak bisa, itu hanya akan menyakitimu.”, jelasnya lagi.

“iya ibu sayang, besok akan ketemui keluarganya Amira. terima kasih sudah member nasehat yang bijak untuk anakmu, ibu yang terbaik”, kataku seraya memeluknya.

Besoknya aku berangkat kantor pagi-pagi. Rencananya habis pulang kantor saya mau langsung ke rumahnya Amira. Sorenya, saat pekerjaan selesai saya bergegas menuju kesana. Sampai di sana saya melihat Amira dan keluarganya lagi berkumpul di taman depan rumahnya. Saya pun melangkah kesana dengan penuh percaya diri seraya berfikir optimis. Mudahan-mudahan ada jalan keluar yang engkau berikan ya allah, gumanku dalam hati.

“assalamu alaikum” salamku. “waalaikum salam”, jawab mereka hamper bersamaan. “mari duduk kak, mau minum apa?” kata Amira mempersilahkan. “tidak usah repot-repot dek, apa saja boleh”, jawabku. Amira masuk ke dalam rumah dan saya mulai membuka pembicaraan sama bapaknya. “begini om, mengenai tempo hari, syarat yang om ajukan, saya…”, kataku terpotong. Dia mengangguk kemudian tersenyum membuatku heran. “belum bisa penuhi pastinya, iya kan”, katanya tegas. “iya om, saya sudah berusaha sekuat tenaga, meskipun sudah terkumpul tapi itu belum cukup”, jelasku terbata.

“hahahahaha,.. sudah saya duga” katanya tertawa tidak jelas. Aku semakin heran sekaligus tambah kesal. “sudahlah, sekarang begini saja, karena kamu tidak bisa memenuhi syarat yang saya ajukan berarti kamu gugur dalam persaingan ini” jelasnya menatap mataku. “tapi karena kamu sudah berusaha dan itu sudah maksimal, maka kamu saya kasih bonus”, tambahnya lagi. aku semakin heran dan Amira keluar membawa minuman sambil tersenyum dan dikuti senyuman dari ibunya. “minum dulu kak”, katanya mempersilahkan. Aku hanya mengiyakan dan menyeruput teh hangat buatannya masih dengan muka keheranan.

“boleh saya bertanya om” kataku memulai pembicaraan lagi. “apa maksudnya bonus itu om, jujur aku heran dengan semua ini”, tanyaku lagi. Amira dan ibunya hanya tersenyum. Bapaknya tersenyum dan kemudian berdehem. “kalau kamu mau tahu apa bonusnya, maka pulang nanti Tanya bapak sama ibu kamu suruh suruh datang ke sini. Kita sekeluarga perlu mencari hari baik“ katanya bersemangat. Aku menoleh ke arah Amira dengan muka penuh tanda Tanya. Dan dia hanya tersenyum kemudian mengangguk mengiyakan. Sejurus kemudian aku langsung tersenyum karena paham maksud perkataannya itu.

“saya bisa lihat seberapa keras kamu berusaha dan seberapa berani kamu datang ke sini, dari situ aku tahu kalau kamu itu betul-betul serius serius dengan Amira”, kata bapaknya. “mengenai apa yang saya ucapkan tempo hari mengenai syarat 150 juta, itu adalah ujian untukmu nak. Orang yang datang melamar dengan menawarkan uang bukanlah laki-laki yang patut dijadikan sebagai pemimpin keluarga, makanya saya tolak dengan halus dan mengatakan kalau Amira punya pilihan sendiri untuk calon Imamnya, kebahagiaan itu apalagi jika menyangkut masalah masa depan rumah tangga tidak serta merta harus diukur dengan uang dan kekayaan”, jelasnya seraya menceramahi. “kan nantinya kamu sama Amira yang akan menjalaninya, kami sebagai orangtua hanya mendukung apa yang menurut kalian baik dan benar tanpa pernah melupakan Yang Di atas”, kata Ibu Amira menambahkan.

“mengenai uang panai’ itu sebenarnya hanya syarat yang tidak harus berdasarkan besaran nominalnya. Berapa pun yang engkau mampu dan semua menyetujui demi rahmat maka itu sudah mencerminkan jati diri kita sebagai suku bugis dari tanah Sulawesi”, jelasnya lagi. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

Aku memacu motorku dengan semangat menuju rumah. Tidak sabar untuk sampai di rumah dan menceritakan semua ini sama Ayah dan ibu. tiba hari H kita pun menikah dan semua berjalan lancar kemudian hidup bahagia.

3 tahun berselang, saya yang sudah resmi menjadi bagian keluarga Amira. kami duduk di bangku-bangku taman memangku buah hati kami yang pertama, Muh. Affan Giyatsa. Aku sempat tersenyum lucu karena mengingat peristiwa itu. Istriku hanya ikut tersenyum seakan tahu apa yang sedang aku fikirkan. Cepatlah tumbuh putraku, karena engkau adalah putra keturunan Suku Bugis. Maka bersiaplah untuk tantangan dahsyatnya Uang panai’. Bukan sekedar budaya tapi merupakan sebuah ujian untukmu dalam proses membina rumah tangga yang Sakinah Mawaddah Warahmah.

END


Karya : Irham Suryansyah

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...