Pages

Sunday, November 17, 2019

KERUSAKAN UANG PANAI

Mungkin sebagian orang atau seluruh penduduk Indonesia tidak tahu banyak tentang uang itu. Tapi kami di antara orang Bugis mengerti persis apa itu dan untuk tujuan apa itu. Beberapa dari kita menganggapnya sebagai mas kawin tetapi tidak. Pencucian uang 'yang datang dalam istilah bahasa bugis, salah satu bentuk suku tanah Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan. Uang Panai 'adalah jumlah uang yang dibutuhkan oleh orang tua sebagai syarat yang harus dipenuhi sebelum pria resmi untuk membuat wanita. Dan lebih buruk lagi, jumlah yang besar merupakan tantangan bagi kita untuk menikahi pasangan.

Dalam agama Islam tidak pernah ada saran atau hukum tertulis tentangnya. Yang kita tahu adalah Mahar yang bergabung dengan Iqbal Qabul. Namun dalam budaya Bugis Makassar dan sekitarnya sudah menjadi keharusan atau mungkin lebih tepatnya kewajiban mutlak yang harus ada. Ini benar-benar sebuah budaya yang entah bagaimana dilestarikan untuk bertahan hidup dan merupakan fenomena besar dalam kehidupan kita dari suku terompet. Kadang-kadang kita sebagai Umat Adam terkejut pada apa uangnya 'setinggi itu juga tugas mutlak kita sebagai seorang suami untuk menghabiskan istri dan anak-anak kita.

Dan dari sinilah kisah saya dimulai. Perkenalkan nama saya Muh. Nazrul Khalid. Saya seorang pemuda berusia 26 tahun yang tinggal di salah satu kota di Sulawesi Selatan. Terlahir sebagai keturunan asli Bugis dari tanah Sulawesi yang penuh dengan budaya yang terkadang tidak masuk akal. Salah satunya adalah panel uang yang begitu menyiksa pemuda seusiaku yang berniat menikah. Jangan datang dari mana dan kapan dimulai sampai budaya ada. Saya sering bertanya kepada orang tua saya mengapa budaya seperti itu harus ada jika hanya sering membawa efek buruk ketika tidak dapat dipenuhi. Orang tua saya hanya tersenyum dan berkata bahwa itu adalah takdir serangga.

Ketika saya masih kuliah, saya punya pacar bug. Namanya adalah Kasmiranti Nurvitasari dan biasanya disebut Amira. Ya pria dia baik, pintar, rajin dan cantik cantik. Saat itu saya tidak salah untuk semester 5 dan dia semester pertama. Kami memiliki waktu yang lama sampai kami selesai kuliah. Sekarang saya bekerja di salah satu dealer mobil di kota saya. Selama bertahun-tahun menjalankan hubungan kami sering bergetar seperti pasangan muda biasanya. Sampai suatu hari dia memanggil saya dan dia berkata sore untuk bertemu di taman. Saya hanya mengkonfirmasi dan fokus pada pelanggan yang datang di sore hari setelah kantor saya tutup. Saya juga meluncur turun sepeda ke taman.

Sampai di sana, aku melihat dia duduk di salah satu bangku sambil memandang kosong ke depan. Aku menghampirinya berkata, “sudah lama di sini dek?”, “baru aja kak”, jawabnya kaget. Kami mengobrol panjang lebar hingga tiba pada satu titik, dia minta putus. Alasannya dia harus memenuhi tuntutan orangtuanya untuk berkeluarga secepatnya. “maafkan aku kak Naz,” pintanya sambil menyebut namaku. “aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi”, tambahnya sambil menitiskan air mata.

“sudahlah dek, jangan merasa bersalah terus, aku tahu ini bukan kehendak kamu sepenuhnya,” balasku sok menghibur padahal dalam hati aku juga menangis sejadi-jadinya. “semua orangtua ingin sesuatu yang terbaik untuk anaknya, dan aku berharap dia benar-benar yang terbaik untukmu”, jelasku menasehati. “tapi aku gak mau pisah sama kamu kak”, katanya sambil tersungut. “aku tuh udah jalanin semua cerita hidup yang begitu lama dengan kakak, dan semua pahit manisnya kehidupan sudah aku lalui dan itu semua karena kakak selalu ada untukku”, jelasnya panjang lebar.

“tapi melawan kehendak orangtua itu juga bukan hal yang baik, bahkan dianggap sebagai dosa. Dalam budaya kita, pamali akan hal itu dek”, jawabaku. “Boleh aku tahu siapa orang yang sudah datang melamar dan akhirnya mau diterima sama bapak kamu”, tanyaku. “aku juga gak tahu persis, tapi kata mama, dia anak pengusaha bahan bangunan yang terkenal, dan aku pasti tidak akan kekurangan kalau bersuamikan dia kata mama” jawabnya seraya menunduk. Segalanya masih tentang uang ya, sungutku dalam hati. Dalam hidup kami orang bugis kenapa seolah-olah mata itu sudah indentik untuk terpesona ketika memandang uang. Bahkan seolah-olah anak wanita saja dianggap sebagai barang dagangan yang ingin diperjual belikan dengan harga fantastis.

Entah apa yang sedang aku fikirkan hingga aku termenung dan membuat dia heran. “kak, kenapa jadi melamun begitu?”, katanya dengan nada sedih. “hehehe, maaf dek aku tuh tadi berfikir”, jawabku. “malah ketawa kakak sudah solusi untuk masalah mengenai masa depanku ini?”, timpalnya lagi. aku hanya menggelengkan kepala. “apa kau sudah cerita tentang hubungan kita sama orangtuamu dek?”, Tanyaku balik. “sudah kak, tapi bapak bilang itu hanya cinta biasa, cinta anak muda yang bisa diganti cinta baru di masa depan dari ikatan pernikahan”, jawabnya. “apa kamu tidak bilang juga kalau aku tuh serius sama kamu, hanya saja…”, kataku terpotong. “hanya saja kenapa kak?” Tanyanya heran.

“hanya saja aku belum siap dek”, jawabku terbata. “mungkin hal itulah yang mendasari bapakku ingin menerima lamaran anak pengusaha itu, daripada menunggu aku yang tidak jelas kapan datangnya, lebih baik terima saja yang telah datang membawa kemapanannya dengan sendirinya”, Terangku sedikit bercanda. Dia marah kemudian berkata, “maksud kakak apa? Bukankah selama ini kita sudah saling berjanji untuk menerima kekurangan masing-masing, terus kenapa sekarang kakak berkata seperti itu seakan rela kalau aku harus bersanding di pelaminan dengan orang yang tidak pernah saya cintai.”

“bukan begitu maksud aku dek, dengar dulu”, bujukku. “mana mungkin aku rela melihat kamu bersama yang lain tanpa berusahan melakukan apa-apa dulu, kalah sebelum bertanding dong”, jelasku lagi sambil menunggingkan senyum. “nah sekarang kamu pulang, insya allah besok saya akan ketemu langsung dengan bapak kamu,” kataku padanya. “kakak mau bicara apa sama bapak?”, tanyanya. “nanti besok saja kamu lihat jawabannya, “jawabkan sambil mengusap kepalanya. Kita pun berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.

Malam harinya saya bicara sama kedua orangtuaku dan minta pendapat mengenai masalah ini. Mereka bilang tidak ada masalah biar dengan siapa saya menikah asalkan dia orang baik-baik dan soleha. “siapa saja boleh saja kamu persunting nak asalkan dia bisa menghargai dan menerima setiap kekurangan keluarga kita” jelas ayahku. “dan ingat orang laki-laki keluarga bugis itu tidak kenal kata menyerah sebelum berjuang Nenek moyang kita bilang hanya kerja keras yang memudahkan rahmat tuhan mengalir dengan penuh berkah,” jelasnya lagi seraya menasehati. “ya kalau kamu benar-benar serius sama Amira, sana pergi datangi rumahnya, dan temui orangtuanya buktikan pada mereka kalau kamu itu sungguh-sungguh nak, kalau tidak diterima ya itu berarti kamu sama Amira itu tidak berjodoh,” timpal ibuku sambil tersenyum.

Esok harinya karena hari minggu aku tidak masuk kantor.dan sesuai janjiku aku akan datang ke rumahnya. Aku pun mandi kemudian bergegas memacu motorku ke rumah yang kurang lebih 18 km jaraknya dari rumah. Sampai di sana, aku langsung memarkir motorku. “assalamu alaikum”, kataku seraya mengetuk pintu. “waalaikum salam,” jawab wanita sambil membukakan pintu. Dia mamanya Amira. “bapak, ada tante?”, tanyaku lagi. “ohh cari bapak, dia lagi keluar sebentar, kamu bisa tunggu di ruang tamu aja, ayo masuk”, jawabnya sambil mempersilahkan.

“kalau tidak salah kamu pacarnya Amira ya?”, Tanyanya membuka percakapan. “iya tante. Saya pacarnya dan itu pula saya datang kesini” jawabku. “ohh, begitu, kalau begitu tunggu bapak aja ya, saya mau ke belakang dulu, nanti Amira yang bawakan minuman” katanya sambil tersenyum dan pergi ke belakang.

“kakak, kapan datangnya?”T anya seseorang dari belakang yang kutahu pasti itu wanita impianku. “baru saja dek,” jawabku tanpa menoleh. “assalam alaikum, bapak pulang”, kata seseorang yang sepertinya bapaknya Amira. “waalaikum Salam”, jawab kami bersamaan. Dia pun masuk dan berjalan keruangan tengah sambil tersenyum. “eh, rupanya ada tamu”, katanya sambil menoleh padaku.

“maaf sebelumnya kalau saya lancang datang kesini om, tapi tujuan utama saya memang untuk bertemu sama om”, kataku. “silahkan, apa yang kamu bicarakan”, jawabnya mempersilahkan. “dengan segala kerendahan hati dan tujuan yang iklhas, saya ingin melamar anak om” jelasku tegas. Dia diam sejenak sepeerti sedang memikirkan sesuatu. Lalu aku melanjutkan kata-kataku. “saya tahu kalau baru-baru ini ada laki-laki yang datang melamar anak om. Dan saya juga tahu kalau dia adalah orang yang cukup mapan untuk membuat Amira tidak kekurangan. Tapi aku adalah pacar Amira sejak dari Kuliah dan dari dulu aku sudah berkomitmen untuk menjadikan dia pasangan hidupku. Jadi saya mohon om bisa mempertimbangkan lamaran saya sebelum benar-benar mengambil keputusan”, jelasku panjang lebar.

Ayah Amira menghela nafas panjang seraya bergumam, “Kamu orang Bugis toh, apa kamu sanggup memenuhi syarat yang aku ajukan?”, Tanyanya kemudian. “insya allah saya akan berusaha om” jawabku antusias. “orang yang kemarin datang melamar Amira adalah anak kenalan saya waktu sekolah dulu. Apa kau tahu, dia justru mengajukan tawaran bahkan sebelum saya mengajukan syarat. Dia menawarkan 150 juta sebagai uang panai”, jelasnya. “saat itu saya belum mengambil keputusan, dan memberi tahu mereka kalau saya perlu waktu untuk mendiskusikan dengan anak dan istri saya”, tambahnya lagi.

“kalau kamu memang serius, anggaplah ini persaingan sehat untuk mendapatkan Amira, kamu harus bisa mendapatkan 150 juta lebih cepat sebelum mereka kembali untuk menagih kepastianku”, katanya. Aku diam sejenak kemudian mengiyakan seraya memohon pamit. Dalam perjalanan pulang aku kebingungan. Di mana mendapatkan uang 150 juta dalam waktu sesingkat itu. Kenapa dalam budaya bugis ada hal konyol seperti ini ya, gumanku dalam hati sambil berlalu dengan motorku. Kalau aku tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu, maka aku akan kehilangan Amira dan orang itu sebagai gantinya.

Hari demi hari berlalu aku bekerja seperti biasa. Bahkan berusaha lebih giat siapa tahu ada rejeki tambahan untuk tambah-tambah uang panai, hehehe. Hingga tiba pada batas waktu yang dijanjikan masih saja aku belum bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. nyatanya aku putus asa sekarang. Ingin rasanya aku menelepon keluarga Amira dan mengatakan kalau menyerah. Tapi pas melamun, ibu datang menghampiri, “kalau seseorang itu benar-benar tulus, tidak ada sesuatu pun yang bisa membuat ketulusan itu berubah. Cinta itu memang harus diperjuangkan nak apalagi kalau menyangkut calon menantu ibu”, katanya sambil tersenyum seperti dia tahu isi hatiku.

“ibu, pintarnya bicara begitu, ini juga anak ibu sudah pusing tujuh keliling gara–gara syarat budaya suku kita buu” gerutuku. “sssttt, tidak baik bicara seperti sayang, apapun yang terjadi jangan menyalahkan kehidupan termasuk budaya dari nenek moyang kita dulu. Karena kita tidak pernah tahu apa maksud orangtua kita dulu menanam budaya seperti itu.” ceramahnya lembut. “aku tahu kamu lagi pusing sekarang, tapi barangkali besok kamu bisa bicara lagi sama bapaknya Amira, beri tahu sejujurnya soal kemampuan kau. Tidak baik kamu memaksakan sesuatu yang kamu tidak bisa, itu hanya akan menyakitimu.”, jelasnya lagi.

“iya ibu sayang, besok akan ketemui keluarganya Amira. terima kasih sudah member nasehat yang bijak untuk anakmu, ibu yang terbaik”, kataku seraya memeluknya.

Besoknya aku berangkat kantor pagi-pagi. Rencananya habis pulang kantor saya mau langsung ke rumahnya Amira. Sorenya, saat pekerjaan selesai saya bergegas menuju kesana. Sampai di sana saya melihat Amira dan keluarganya lagi berkumpul di taman depan rumahnya. Saya pun melangkah kesana dengan penuh percaya diri seraya berfikir optimis. Mudahan-mudahan ada jalan keluar yang engkau berikan ya allah, gumanku dalam hati.

“assalamu alaikum” salamku. “waalaikum salam”, jawab mereka hamper bersamaan. “mari duduk kak, mau minum apa?” kata Amira mempersilahkan. “tidak usah repot-repot dek, apa saja boleh”, jawabku. Amira masuk ke dalam rumah dan saya mulai membuka pembicaraan sama bapaknya. “begini om, mengenai tempo hari, syarat yang om ajukan, saya…”, kataku terpotong. Dia mengangguk kemudian tersenyum membuatku heran. “belum bisa penuhi pastinya, iya kan”, katanya tegas. “iya om, saya sudah berusaha sekuat tenaga, meskipun sudah terkumpul tapi itu belum cukup”, jelasku terbata.

“hahahahaha,.. sudah saya duga” katanya tertawa tidak jelas. Aku semakin heran sekaligus tambah kesal. “sudahlah, sekarang begini saja, karena kamu tidak bisa memenuhi syarat yang saya ajukan berarti kamu gugur dalam persaingan ini” jelasnya menatap mataku. “tapi karena kamu sudah berusaha dan itu sudah maksimal, maka kamu saya kasih bonus”, tambahnya lagi. aku semakin heran dan Amira keluar membawa minuman sambil tersenyum dan dikuti senyuman dari ibunya. “minum dulu kak”, katanya mempersilahkan. Aku hanya mengiyakan dan menyeruput teh hangat buatannya masih dengan muka keheranan.

“boleh saya bertanya om” kataku memulai pembicaraan lagi. “apa maksudnya bonus itu om, jujur aku heran dengan semua ini”, tanyaku lagi. Amira dan ibunya hanya tersenyum. Bapaknya tersenyum dan kemudian berdehem. “kalau kamu mau tahu apa bonusnya, maka pulang nanti Tanya bapak sama ibu kamu suruh suruh datang ke sini. Kita sekeluarga perlu mencari hari baik“ katanya bersemangat. Aku menoleh ke arah Amira dengan muka penuh tanda Tanya. Dan dia hanya tersenyum kemudian mengangguk mengiyakan. Sejurus kemudian aku langsung tersenyum karena paham maksud perkataannya itu.

“saya bisa lihat seberapa keras kamu berusaha dan seberapa berani kamu datang ke sini, dari situ aku tahu kalau kamu itu betul-betul serius serius dengan Amira”, kata bapaknya. “mengenai apa yang saya ucapkan tempo hari mengenai syarat 150 juta, itu adalah ujian untukmu nak. Orang yang datang melamar dengan menawarkan uang bukanlah laki-laki yang patut dijadikan sebagai pemimpin keluarga, makanya saya tolak dengan halus dan mengatakan kalau Amira punya pilihan sendiri untuk calon Imamnya, kebahagiaan itu apalagi jika menyangkut masalah masa depan rumah tangga tidak serta merta harus diukur dengan uang dan kekayaan”, jelasnya seraya menceramahi. “kan nantinya kamu sama Amira yang akan menjalaninya, kami sebagai orangtua hanya mendukung apa yang menurut kalian baik dan benar tanpa pernah melupakan Yang Di atas”, kata Ibu Amira menambahkan.

“mengenai uang panai’ itu sebenarnya hanya syarat yang tidak harus berdasarkan besaran nominalnya. Berapa pun yang engkau mampu dan semua menyetujui demi rahmat maka itu sudah mencerminkan jati diri kita sebagai suku bugis dari tanah Sulawesi”, jelasnya lagi. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

Aku memacu motorku dengan semangat menuju rumah. Tidak sabar untuk sampai di rumah dan menceritakan semua ini sama Ayah dan ibu. tiba hari H kita pun menikah dan semua berjalan lancar kemudian hidup bahagia.

3 tahun berselang, saya yang sudah resmi menjadi bagian keluarga Amira. kami duduk di bangku-bangku taman memangku buah hati kami yang pertama, Muh. Affan Giyatsa. Aku sempat tersenyum lucu karena mengingat peristiwa itu. Istriku hanya ikut tersenyum seakan tahu apa yang sedang aku fikirkan. Cepatlah tumbuh putraku, karena engkau adalah putra keturunan Suku Bugis. Maka bersiaplah untuk tantangan dahsyatnya Uang panai’. Bukan sekedar budaya tapi merupakan sebuah ujian untukmu dalam proses membina rumah tangga yang Sakinah Mawaddah Warahmah.

END


Karya : Irham Suryansyah

No comments:

Post a Comment

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...