Pages

Sunday, November 17, 2019

JODOH YANG DIHITUNG

Suatu malam yang diselimuti hujan rintik, aku dan ayah menyusuri jalan desa dengan membawa senter untuk menerangi jalanan yang licin lagi berbatu cadas. Aroma tanah bercampur rumput liar sepanjang jalan menimbulkan kesan sejuk hampir dingin. Ditemani suara katak yang merdu bersautan di pematang sawah. Dan sesekali suara burung hantu bersuara satu satu menandakan teramat sepinya desa kami meskipun waktu baru melewati ba’da isya. Tak ada sepeda motor apa lagi mobil berlalu lalang di desa terpencil tempat tinggalku. Beginilah keadaan desa kami ketika malam tiba. Hanya cahaya lampu di rumah warga yang membedakan antara desa dan kuburan. Kami melangkah pelan dalam diam dengan pikiran kami masing. Ada aku dengan jantung berdetak kencang dan ada ayah yang entah sedang memikirkan apa. Sesekali dia menghisap rok*knya yang mulai basah oleh rintik hujan. Kami sengaja tidak membawa payung karena kami pikir hujan ini lebih kecil dari gerimis dan tak akan membuat badan basah kuyup. Sedikit aku merasa bersalah karena tanpa disengaja beliau jadi harus berjalan menembus gelap karena perkataanku.

Sore tadi aku mengutaran keinginanku kepadanya. Aku meminta ayah untuk melamar Marni anak Pak Subagyo atau biasa dipanggil Pak Bagyo karena kami sudah lama sering bercakap cakap dan akhirnya kami pun saling suka. Dari pada terlalu lama dan bisa menimbulkan fitnah, menurutku lebih baik kami dinikahkan. Setelah mengutarakan keinginanku, ayah tidak langsung menjawab dengan kata melainkan hanya menggerak gerakan jari tangannya seolah sedang berhitung. Sambil sesekali menanyakan ‘weton’ (bahasa jawa yang artinya; hari lahir seseorang dengan pasarannya (Legi, Paing, Pon, Wage, Kliwon) ku untuk memastikan ingatannya yang mulai renta. Selanjutnya dia menanyakan ‘weton’nya Marni. Aku tidak pernah menanyakan kepadanya. Yang aku tau hanya dia lahir di hari senin. Tapi aku tak tau senin apa. Sedangkan aku sendiri kemis legi. Setelah menanyakan itu dia berkata “nanti malam kita ke rumah Pak Bagyo. Kita tanyakan langsung ke beliau. Dan kalo itungan kalian bagus, bapak akan sekalian melamar Marni untuk kamu. Semoga saja marni ‘dadi’ (jadi) jodohmu”. Aku yang mendengar itu hampir saja melompat kegirangan.

Tanpa terasa kami sudah berada di teras rumah pak Bagyo. Jantungku bedebar lebih cepat lagi.

“kulonuwun…” ayahku mengucap salam seraya mengetuk pintu.

“monggo…” dari dalam rumah terdengar sayup sayup suara wanita yang selama ini kukenal menjawab salam ayah. Perasaanku tambah tidak karuan lagi hanya dengan mendengar suara lembut Marni. Selang beberapa saat wajah hitam manis dan senyum gingsulnya menyembul dari balik pintu.

“eh pak marno dan mas tarjo, monggo mlebet (silahkan masuk)”. Ajaknya pada kami.

“Bapakmu ada?” ayahku bertanya sambil melepas sendal jepit usangnya dan memasuki ruang tamu. Aku yang mengekor di belakan ikut melepas sendal. Dan langsung saja lantai keramik yang dingin menyambut telapak kakiku. Sangat kontras dengan hawa rumah yang lumayan hangat karena sudah bertembok batu bata. Sangat jauh berbeda rasanya ketika masuk ke rumahku sendiri yang masih berlantai tanah dan berpagar bambu.

“bapak ada kok. Lagi nonton tipi sama ibu. Bentar ta panggilin”. Jawab marni masih dengan senyum gingsulnya yang menawan. Dan kami pun dipersilahkan duduk. Lalu Istri pak Bagyo keluar dari ruang tengah membawa minuman dan makanan kecil.

“monggo di sambi wedang tehnya pak marno, nak joko.. mumpung masih anget”.

“nggih, mboten usah repot repot yu (iya, tidak usah repot repot mba)”. jawab ayahku tidak enak hati. Pak Bagyo menyusul ke ruang tamu Dan obrolan kita pun mengalir begitu saja di iringi bunyi rintik hujan yang semakin deras berjatuhan di genting.

Sekitar setengah jam lamanya kedua orangtua itu mengobrol sana sini. Dari tentang panen padi yang diperkirakan tidak sebagus taun kemarin, rencana beberapa warga desa yang akan mengalihkan lahan singkong menjadi kebun pohon ‘jenitri’ yang konon harga per pohonnya sampe 200 ribu, hingga kabar pak lurah yang akan ‘nyalon’ lagi meskipun sudah menjabat dua priode menjadi perbincangan pembuka mereka. Namun semua obrolan itu sudah jauh dari inti kedatangan kita kesini. Aku yang duduk di samping ayah sudah mulai gelisah karena pokok tujuan kita belum juga terucapkan. Aku pun sedikit menyikut ayah sambil berdehem. Beliau menoleh ke arahku dan seolah paham dan mulai masuk ke dalam pokok pembicaraan.

“mmm… nganu kang Bagyo, sebenernya saya datang ke sini dengan tujuan agak penting kang”.

“oh… Penting opo to kang? Kok jadi canggung gitu bicaranya?”. Pak bagyo mulai menyelidik.

“ini lho, aku mewakili anaku Tarjo mau melamar si Marni anak panjenengan” ayahku langsung saja pada inti pembicaraan yang sedikit melenceng dari rencana tadi sore.

“Haduh, kok dadakan begini ya kang? Emang sampean sudah ngitung ‘wetone’ bocah?”. Lanjutnya kemudian.

“nah itu dia kang, aku gak tau ‘weton’nya si Marni kang”.

“oalah marno… marno. Weton anaku si Marni senen pahing. Weton anak mu?”

“kemis legi kang”

“hmmm… kemis legi karo (sama) senen pahing apa cocok kang Marno? Karena menurut sepengetahuan ku, dulu si kang Tejo sama Yu lastri yang sama persis wetonnya kaya anak kita, pernikahannya kacau balau kang. Trus ya juga ‘tibang pati’ ke bapanya Lastri”.

“oalah… iya bener… Malah katanya bapanya Lastri penyakitan terus sampe sekarang dan belum ada yang bisa nyembuhin ya kang?” ayahku menimpali cerita pak Bagyo karena kebetulan dia juga mendengar kisah tersebut.

“kabarnya sudah susah disembuhin kang Marno. Ya coba kalo dulu si Lastri tidak dinikahkan dengan Tejo, pasti gak akan begini jadinya. Emang bapake lastri itu susah dibilangin. Kita itu orang jawa. Ya kita harus pake cara cara leluhur kita. Kan yang kita cari ‘selamet waras najan ra due beras’ (selamat waras walaupun gak punya beras), begitu kan kang Marno? Nak Tarjo?”. Ujar pak Bagyo yang mulai memberi kuliah tentang cara hidup orang jawa. Aku yang mendengar itu sudah mulai merasa kecewa. Aku pun sepertinya sudah mengerti akhir dari perbincangan kedua orangtua yang sudah mulai berganti warna rambut itu.

“kalo itungannya seperti ini, ya pangapuntene (maaf maaf) kang marno. Saya tidak bisa menerima lamaran anak sampean. Mungkin memang anak kita tidak berjodoh”. Lanjut pak Bagyo.

“iya pastinya kang, saya juga tidak mau menikahkan anak saya kalo ujung ujungnya jadi cilaka”. Ayahku langsung saja sepaham dengan pak Bagyo. Sepertinya untuk hal hal seperti ini para orangtua di desa kami sepaham. Mungkin hanya aku di ruangan ini yang tidak bisa memahami itu semua. Mereka melanjutkan obrolan mereka. Namun kali ini kembali membahas hal hal lain. Entah mengapa kupingku terasa ada yang menyumbat. Sebab pada pembicaraan selanjutnya aku benar benar tidak bisa memahaminya. Dan kukira hanya aku yang kecewa, namun ternyata ada gadis cantik yang sedari tadi menguping pembicaraan kita di ruangan tengah sedang meneteskan air mata. Namun sayangnya aku tidak melihat kesedihan Marni karena setelah obrolan kedua orangtua kami, aku dan ayah pun pamit pulang.

Jalanan desa yang tadi kami lalui saat berangkat menjadi sangat gelap di mataku. Ditambah lampu senter ayahku yang terus saja meredup. Suara katak yang setia menemani langkah kita tiada lagi semerdu biasanya. Aroma rumput dan tanah jalanan hanya membuatku tambah mual. Dan lagi suara burung hantu di rerimbunan pohon bambu seperti terus mengejek nasib ku malam ini. Dan ayahku, di perjalanan pulang yang terasa berat ini terus saja memberi wejangan tentang rezeki, nasib dan jodoh. Ucapannya yang panjang lebar tentang ‘kejawen’ membuatku semakin merasa dongkol.

“kenapa wetonku harus kemis legi?” Batinku terus mengutuk weton sialan ku. Andai saja aku dilahirkan di hari yang cocok dengan hari kelahiran Marni, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.

Sudah sebulan sejak acara lamaran gagal itu berlalu. Sejak saat itu pula aku tak pernah lagi bertukar kabar melalui surat dengan Marni. Tak pernah juga aku berjumpa di jalan, di pasar, ataupun di gubuk pematang sawah tempat kami dulu bersenda gurau. Marni seperti di telan bumi. Dan aku masih terlalu jengkel untuk berkunjung lagi ke rumahnya. Namun belakangan ini aku mendengar kabar bahwa Marni akan menikah dengan anak ‘orang punya’. Sebuah kabah berita di desaku bisa sangat cepat menyebar. Apa lagi desas desus yang berbau rada aneh, akan sangat mudah tersebar bak bensin di sulut api. Kabar pernikahan Marni pun bukan tanpa berbau ‘rada aneh’. Sebab, dari cerita mulut kemulut, hitungan weton kedua mempelai pun tidak bagus.

“Namun kenapa pak Bagyo menerima pinangan pemuda dari desa sebelah ya? Padahal waktu si Tarjo melamar langsung di tolak karena hitungannya gak bagus”. Begitulah desas desus yang berkembang di desa kami saat ini. Jika ada yang menanyakan hal ini langsung ke padaku, mungkin jawabanku pun akan sama dengan pertanyaannya. KENAPA?

Selesai


Karya : Sigit Bradja Mukthi

No comments:

Post a Comment

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...