Bagi Sekar, tidak semua perbedaan
membawa keberagaman yang menyenangkan. Gadis remaja asal Jawa yang sudah pindah
ke kota ini selama hampir 10 tahun itu masih saja merasa asing dengan segala
sesuatu yang ia rasakan di kota yang ia tinggali sekarang. Namun apa boleh
buat? Ia tidak bisa melakukan apa-apa, tidak mungkin ia meninggalkan kedua
orangtuanya begitu saja dan kembali ke kota asalnya. Selama ini yang bisa ia
lakukan hanya diam. Merintih. Kesepian. Terasingkan di ‘kota orang’. Namun
tunggu, bahkan ini pun bukan ‘kota orang’, ini adalah tempat asal Ayahnya. Ia
juga punya keluarga di sini. Tapi tetap saja, segala perbedaan yang ia rasakan
membuatnya menjerit dalam hati. Hatinya tetap kaku. Kekakuan hatinya bahkan
tega membuatnya bertanya pada dirinya sendiri, “Apa aku punya keluarga di kota
ini?”.
Setiap hari berlalu bagaikan angin panas
yang berhembus ke arahnya. Bertahun-tahun ia menahan sesak di dadanya yang
selalu meneriakkan kalimat “AKU INGIN PULANG!”. Masih selalu terbayang di
benaknya saat tahun-tahun awalnya di kota ini, ia berusaha keras untuk
menyesuaikan diri. Namun sekali lagi, apa boleh buat? Entah hatinya yang
terlalu kaku untuk menerima atau adat dan budaya dari kota ini yang terlalu
keras untuk ia coba jalani. Sampai pada suatu titik dimana rasa rindu akan kota
asalnya memuncak, dan rasa kesal dengan kota yang sedang ia tinggali ini tumpah
menjadi kata-kata.
“Ma, aku mau pulang. Aku tidak tahan di
sini. Aku merasa terasingkan di sini. Aku ingin kembali.”
“Kenapa kamu bicara seperti itu nak?”
“Menurutku, di kota ini menjalin tali
kekeluargaan itu dinilai dari pengorbanan kita akan acara pesta yang keluarga
kita selenggarakan. Kenapa mereka mengolok-olokkan kita jika tidak melakukan
kebiasaan mereka juga Ma? Apa itu yang bisa kita sebut sebagai keluarga jika
semuanya dinilai dari materi?”
Ibu Sekar terdiam mendengar keluhan
anaknya. Ia tidak menyangka bahwa selama ini anak gadisnya menyimpan begitu
banyak keluhan, menyimpan segala perasaan tertekan yang selama ini selalu
dipendam.
“Ma, aku ingin pulang. Aku tidak suka di
sini.”
Ibu Sekar tertawa kecil sebelum
berbicara pada putrinya lagi. “Apa karena alasan kamu tidak cocok dengan cara
pesta di sini saja sehingga kamu ingin kembali?”
“Tidak mungkin hanya karena masalah itu
aku ingin pulang Ma. Hanya saja ku tidak mengerti orang-orang di sini. Beberapa
yang sudah kuperhatikan, orang-orang di kota ini selalu saja menilai sesuatu
dari harta, tahta, atau pun kebangsawanan. Apa hanya orang dengan derajat
tinggi saja yang diutamakan? Dan mengapa orang di kota ini selalu mendahulukan
emosinya sebelum memecahkan sebuah masalah? Apa itu memang adat dan budaya
orang-orang di kota ini? Kalau benar begitu, itu berarti aku benci adat dan
budaya dari kota ini Ma.”
Mendengar keluhan dari anaknya, Ibu
Sekar tersenyum. “Sifatmu ini jika diperibahasakan, ‘karena nilai setitik rusak
susu sebelanga’. Jangan karena contoh dari beberapa kasus yang kamu lihat di
kota ini, kamu menyimpulkan bahwa semua orang di kota ini juga seperti itu. Dan
juga, jangan salahkan adat dan budaya. Jangan pernah menyalahkan keberagaman. Kamu
tidak harus memaksakan diri untuk menyesuaikan dengan perbedaan yang ada di
sekitarmu. Kamu tidak harus menjalani hal-hal yang tidak kamu sukai. Hal itu
berlaku juga pada keberagaman. Pandangan orang berbeda-beda nak, belum tentu
yang mereka anggap baik juga baik menurut kita, begitu pula sebaliknya. Tapi
itulah fungsi dari keberagaman. Keberagaman mengenalkan kita akan perbedaan
pandangan setiap orang. Hal yang benar itu berbeda-beda di setiap pandangan
orang, apalagi di setiap daerah. Jadi apa pun itu, jangan pernah membenci adat
dan budaya orang ya nak.”
Sekar terdiam. Di dalam pikirannya saat
ini kata-kata dari Ibunya berperang dengan pemahamannya selama ini. Entah mana
yang jadi pemenangnya, jawaban tenang dari Ibunya atau ego dari hatinya. Tapi
hari itu, Sekar mendapat pelajaran berharga. “Jangan pernah membenci
keberagaman”.
Gadis itu kini menyadari bahwa ia tidak
harus merasa cocok dengan adat dan budaya di kota ini. Ia tidak harus berusaha
untuk berbaur dan menjalani cara hidup orang di kota ini jika ia tidak
menyukainya. Karena menurut gadis itu, keberagaman itu relatif. Perbedaan itu
relatif. Pandangan setiap orang itu relatif. Kebenaran tidak sama di setiap
pandangan. Semua orang tidak harus memaksakan diri untuk menyesuaikan dengan
perbedaan. Sekar pun menghela nafas dan tersenyum lega. Ia berkata dalam hati,
“Aku tahu apa yang menyebabkan sesuatu menjadi berwarna. Itu karena
keberagaman. Pelangi tidak akan indah jika hanya memiliki satu warna.”
No comments:
Post a Comment