Pages

Sunday, November 17, 2019

SEMAR TRESNO (PART 1)

Semilir angin di pagi yang dingin bersama redup cahaya bergelut embun di sekat-sekat udara, menerpa lembut wajah tua dengan raut muka yang tak biasa bagi manusia umumnya. Bibirnya tersenyum tapi matanya menangis. Begitu pula sikapnya, di saat burung-burung belum keluar dari sarangnya, dia sudah duduk di tengah-tengah taman panembahan. Orang tua yang seharusnya bersimpuh menghadap Tuhannya malah duduk di taman. Ah, rasanya bagi Panembahan Sunyaruri hal macam itu sudah tiadalah aneh, dianggap sebagai hal yang wajar, malah sebaliknya jika tidak seperti itu Panembahan Sunyaruri akan kebingungan. Orang-orang Sunyaruri memanggilnya Semar tanpa tedeng aling-aling paduka raja, prabu ataupun sultan. Semar selalu tak mau disebut begitu, entah karena kerendahan hatinya atau keanehannya.

Ketika matahari mulai beranjak dari peraduannya berbarengan burung-burung taman panembahan keluar dari sarangnya.

“Hmm.. terimakasih atas nikmat yang kau curahkan pada pagi ini” gumam Semar.

Tiada yang tau apa maksud Semar melakukan semua ketidakbiasaannya di mata manusia seperti ini. Saat itu pula Semar beranjak dari tempat duduknya. Rupanya ada yang aneh dengan dirinya, dia berdiri tapi juga jongkok, dari belakang tampak seperti anak-anak karena menggunakan kuncung tapi nampak depan dia sangat tua, tangan kanannya ke atas dan tangan kirinya ke bawah. Alamak, sungguh aneh benar bagi manusia biasa.

“Nggerr…!” ucap Semar sesampainya di pintu depan Panembahan Sunyaruri.

“Dalem Pak” terdengar dari arah pintu sesosok yang tak kalah aneh dengan Semar.

Sosok yang badannya lebih kecil dari Semar. Berjalan menghampiri Semar dengan jingklik (terpincang-pincang). Dialah Gareng anak pertama Semar.

“Wonten nopo to pak?” lanjut Gareng.

“Bantu aku masuk ke dalam Ngger” jawab Semar.

“Nggeh pak, Bapak melakukan semua ini tidak jenuh?” tanya Gareng.

“Melakukan apa to Ngger?” Semar menatap keheranan Gareng.

Sejenak hening menyambangi di antara bapak dan anak ini. Gareng tau pertanyaannya tak boleh keluar karena mungkin bapaknya akan luka perasaannya. Apalah daya, kata sudah keluar takkan dapat ditarik kembali lagi. Sejenak Gareng berpikir alangkah enak jika waktu dapat diputar kembali. Di tengah lamunannya tentang memutarbalikkan waktu layaknya pengacara memutar balikkan fakta, lalu muncul Kopi Vietnam dan polemik Teguh dan Aryo di kepalanya, tiba-tiba dia tersadar.

“A.. aaa… aanu pak, anuu…” Gareng gugup.

“Anumu kenapa reng” tampak Semar tidak tau jalan pikiran anak pertamanya ini.

“Anuu.. Kopi Vietnam, ups” rupanya lamunannya masih terbawa.

“Kopi Vietnam? Opo to Ngger? Sinetron kok masih dilihat, ayo ngomongo” Semar menelisik.

Akhirnya tak ada pilihan bagi Gareng untuk mengatakan yang sebenarnya. Rasa hormat kepada bapaknya melebihi rasa takutnya.

“Bapak setiap pagi hari selalu duduk di taman, sedang kami saja tidak tau kapan bapak bangun dan langsung duduk di kursi taman itu, bapak kan juga sudah tua, bukankah lebih baik menghadap Sang Hyang saja to pak?” Gareng kali ini serius.

“Bapak tau jalan pikirmu itu Ngger, engkau pasti mengira bapakmu ini orang gila yang sudah lupa ingatan lalu melakukan hal-hal yang tak lumrah, engkau pasti juga mengira hal-hal aneh yang bapak lakukan pertanda bapak sudah harus menghadap Sang Hyang to Ngger?”

“Hem..hem” Gareng mengangguk pelan tapi mantap.

Semar melanjutkan “Sudah seharusnya bapak memang ceritakan maksud dibalik apa yang bapak lakukan ini, agar anak bapak tidak ada yang salah paham. Engkau tau Ngger apa yang bapak selalu ucapkan setiap pagi?”

“Apa pak?” Gareng memasang muka penasaran.

“Terimakasih atas nikmat yang kau curahkan pada pagi ini”, jawab Semar dengan tersenyum.

Gareng mengeryitkan dahi tetap tidak mengerti apa yang dimaksud bapaknya. Dia berpikir apa memang sebegini aneh pikiran orang yang sudah uzur, mengalahkan keanehan menteri diaspora. Lah dalah Gareng tetap tidak mengerti meski sejatinya dia adalah seorang punakawan yang dihormati banyak orang setelah bapaknya.

“Bapak yakin engkau mesti takkan paham apa yang bapak katakan reng, hahaha.” Semar tertawa renyah macam menertawakan bayi yang pertama kali belajar berdiri.

“Ucapan terimakasih itu selalu bapak ucapkan ketika matahari sudah menerpa wajah bapak ini, bapak selalu menantikan munculnya mentari dari ufuk timur, sembari menghitung dan mengira apakah esok pagi bapak masih dapat melihat matahari yang sama yang muncul dari ufuk timur” Semar menitikkan air mata meski bibirnya tersenyum, meski suara tangisnya lebih terdengar seperti tertawa tapi orang takkan bisa mengelakkan perasaannya terhanyut.

Panembahan Sunyaruri berada tepat di tengah-tengah dunia perwayangan. Tidak berada di benua selatan, utara, timur maupun barat. Maka tak mengherankan jika tidak membela pihak manapun, namun Semar adalah orang yang baik hati dan nasihatnya adalah nasihat yang baik-baik. Maka Semar sering didatangi putra Pandhu para Pandawa untuk melatih ilmu spiritualnya.

Cukup lama mereka berdua terdiam setelah saling mengutarakan isi hati. Muncul dari arah berlainan sesosok yang gendut mirip seperti Semar tapi bukan Semar, membawa paha ayam di tangan kanannya, sedang tangan kirinya memegang ceker ayam. Mulutnya blepotan penuh dengan bumbu dan dan daging ayam yang baru saja ia makan. Ialah Bagong, anak Semar yang paling terakhir.

“Tak perhatikan dari kejauhan kok pada guyon-guyon (bercanda) ada apa ya ini?” tanya Bagong polos yang tak mampu bedakan suara tangisan atau tertawa bapaknya.

“Guyon gundulmu kui Gong, bodo kok ndak sembuh-sembuh” Gareng bernada kesal.

“lo lo, kok sampean ngomong gitu mas, gini-gini aku pinter lo, lulusan Harvard University” tukas Bagong tak mau kalah.

“Emang kowe ngerti Harvard University itu di mana?” sahut Gareng.

Dengan tanpa ragu-ragu menjawab “itu di sebelahnya pujasera FIB, kang”.

“Ooo belum pernah dikepret kowe Gong, di situ tempatnya orang yang tidak mau ada perubahan Gong, Harvard University endasmu” jawab Gareng dengan nada kesal.

“Huss.. opo to Reng kok bicara begitu ke adekmu, endak elok Reng” sahut Semar menengahi pertengkaran dua anaknya.

Kejadian Semar menanti terbitnya matahari terus berulang-ulang, waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Hingga suatu ketika, pada waktu itu seperti biasa Semar menanti terbitnya matahari, spectrum cahaya matahari telah menyelimuti muka Semar dan mantra “Terimakasih atas nikmat yang kau curahkan pada pagi ini” tak lupa ia sematkan kepada Tuhannya, namun ada yang aneh. Semar tak beranjak dari tempat duduknya, apakah dia sudah berada di akhir hidupnya? Ternyata tidak, mata sayunya tertuju pada rimbunnya daun di pohon beringin di depannya. Rupanya bukan daun benar yang diperhatikan Semar, melainkan di balik rimbunnya dedaunan itu ada sepasang burung dara berwarna putih saling berpadu kasih satu sama lain. Lama Semar perhatikan kedua makhluk itu, terbang kesana kemari si jantan mencarikan ranting pohon untuk membuat sarang, sedang si betina mengerami generasi berikutnya dari burung dara itu.

“Ah pemandangan yang sungguh menakjubkan, tapi kebetulan saja hewan itu berpasangan, hanya naluri dan insting” gumam Semar.

Sejenak dia mau beranjak, matanya menyasar dua ekor kodok yang saling bergendongan melompat kesana kemari di kolam taman panembahan itu. Semar kembali memperhatikan, mengamati bahkan mengobservasi kegiatan kodok itu. Baru kemudian Semar tersadar jika kedua hewan sama jenis itu sedang melakukan aksi perkembangbiakan untuk melahirkan generasi selanjutnya.

“Hmm.. begitu banyak percintaan hewan hari ini, mungkin firasatku saja dan kebetulan mata ini menatap hal itu. Yang jelas, yang pasti ini cuma kebetulan”. Guman Semar tak mempercayai apa yang dilihatnya.

Mantap semar beranjak dari tempat duduknya, tak biasa begini semar begitu lama berada di tempat duduk taman panembahan. Biasanya matahari sebelum setinggi galah dia sudah menyisih dari sana, belum sempat Semar mengucap masuk ke dalam panembahan matanya tertuju pada kupu-kupu yang terbang, saling kejar mengejar menari-nari. Semar tertegun sangat lama sekali melihat kupu-kupu itu. Suara dari belakang kemudian lantas mengagetkannya.

“Ehemm…”

Sontak Semar terkaget, untuk orang seusianya masih dapat bertahan dari serangan jantung yang mendadak adalah hal yang menakjubkan sedang di benua timur di kerajaan Jokowow, penyakit jantung adalah pembunuh nomor satu melebihi peperangan perebutan kekuasaan. Semar lantas sekadar menoleh karena merasa kesal dikagetkan tanpa ada pemberitahuan. Semar melihat sesosok tinggi berperawakan cungkring berjalan menghampiri, nampak jalannya dibuat-buat berwibawa. Ialah Petruk putra kedua dari Semar. Petruk adalah penguasa dari Sunyaruri, meski sejatinya dia adalah putra kedua tapi bentuk fisik dan pemikiran ia yang miliki membuatnya menjadi ratu di Panembahan Sunyaruri. Meski begitu, kerendahan hati yang ia miliki membuat setiap keputusan yang ia ambil selalu dibicarakan dengan bapaknya.

Petruk menghampiri Semar bersama istrinya yang cantik jelita yaitu Dewi Ambarwati putri Prabu Ambarsraya. Dewi Ambarwati ia dapat ketika sayembara yang perang tanding. Selain mempunyai ilmu spiritual yang mendalam, olah ilmu kanuragan yang dimiliki para Punakawan juga tak kalah hebat dengan pendekar yang lain, meski bentuk fisiknya aneh yang jika diihat juga tak sepatutnya memiliki ilmu-ilmu macam begitu.

“Bapak ngapain to?” Tak perhatikan dari kejauhan kok tidak seperti biasanya, duduk di taman lebih lama seperti biasanya, di pintu depan Panembahan biasanya langsung masuk kok masih diam terpaku”, Petruk membuka pembicaraan.

“Iyo lo pak, wonten nopo? Kok tidak seperti biasanya?”, Dewi Ambarwati menambahi perkataan suaminya.

“Ora ono opo-opo Ngger..!” sambil menatap dua pasangan di depannya.

Semar meninggalkan dua pasangan yang nampak tidak mengerti sikap dan perilaku aneh yang ditunjukkan oleh bapaknya sendiri. Semar begitu tak seperti biasanya hari ini, masuk Panembahan tanpa disambut oleh Gareng anak pertamanya. Semar menuju kamar, entah ada apa dalam pikiran Semar yang begitu membingungkan ini.

Sehari setelah kejadian yang amat membingungkan bagi Panembahan Sunyaruri akhirnya usai. Semar seperti biasa sudah bergelut dengan udara pagi, bahkan ketika yang muda belum terbangun, ayam belum berkokok dia sudah duduk di tempat duduknya. Namun, kekalutan pikirannya tak bisa dipungkiri nampak dari raut mukanya. Lantas..

“Ya Tuhanku, Engkau ciptakan aku dengan karunia ajian mustika manik astagina yang melekat sejak aku kecil”, gumam Semar perlahan seirama dengan alunan desiran angin pagi.

“Dengan ajian ini hamba tak dapat merasakan jatuh cinta, bukan aku tak mensyukuri rahmat yang Engkau berikan padaku, tapi bolehkan hamba untuk meminta sehari saja merasakan untuk jatuh cinta” nada bergetar Semar seakan diamini angin pagi yang perlahan redup.

Ajian mustika manik astagina adalah ajian istimewa dari Sang Hyang yang ada sejak dia lahir. Dengan ini Semar takkan pernah merasakan hawa nafsu, takpernah merasa jatuh cinta, mengantuk, lapar, sedih hati, sakit, kepanasan dan kedinginan.

Tak henti-hentinya Semar tiap pagi berdoa kepada Tuhannya untuk mengabulkan doanya. Setiap hari itu dia lakukan, bahkan perangainya mulai tambah aneh, malam-malam berkeliaran di taman hingga matahari muncul dari timur. Melihat ini lantas anak-anak Semar menemuinya.

“Aku lihat bapak akhir-akhir ini tambah aneh, memang begini perilaku orang uzur yang mau diambil Sang Hyang ya?”, celetuk Bagong tanpa ba bi bu membuka percakapan.

“Huss kowe ki, mbok kalo ngomong itu dijaga jangan asal njeplak kayak Zaskia itik to Gong” , Petruk menimpali Bagong sambil menyenggol badannya.

“Heh wes wes kowe berdua, ojo berantem di sini, kalo berantem di gedung DPR sana!” Gareng bernada kesal.

“Ampun pak sembah sinuwun kulo, bapak kenapa akhir-akhir ini tampak lebih aneh dari biasanya?” lanjut Gareng bertanya.

“Aku akhir-akhir ini merenung Ngger, mengamati fenomena alam di sekitar bapak, ternyata bapak ini masih ada satu kekurangan”, kata Semar.

“Masih kekurangan? bukankah semua yang bapak sekarang ini miliki sudah lebih dari cukup? Kenapa bapak tiba-tiba bilang begini”, Petruk menyelidik, Petruk yang dikenal lebih bijak dari saudaranya pun kebingungan menebak alam pikiran bapaknya.

“Iya pak, di sini lo enak-enak, ada makanan enak-enak, tidur bisa sepuasnya, minum sepuasnya, tak susah-susah harus buat kardus jadi rumah, kolong jembatan sebagai atap rumah, kita serba kecukupan pak” kata Bagong sambil perut buncitnya kembang kempis.

“Tumben kowe bener Gong” kata Gareng terheran-heran.

“Semua yang kowe-kowe ucapkan bener Ngger.. tapi bapak kurang satu hal di dunia ini, rasa cinta di dalam sanubari, bapak ingin jatuh cinta Ngger..” air muka Semar yang kusut itu menjadi bersemangat dari biasanya.

Nampak anak-anaknya kurang memahami yang terjadi pada bapaknya, mereka mungkin terkagum-kagum bagaimana bisa seseorang mempertahankan keanehan yang terjadi pada dirinya selama hampir seluruh hidupnya, impossible. Jatuh cinta di umur setua itu? Bagi Gareng, Petruk dan Bagong adalah keanehan baru yang ditunjukkan bapaknya.

“Ehem.. bukan bermaksud lancang pak.. ehm ehm.. ingin jatuh cinta? Bukannya bapak sudah tua?” Bagong sekuat tenaga bertahan untuk tidak tertawa.

“Mungkin ini lucu bagi kalian Ngger, tapi bagi bapak ini hal yang serius, sepanjang hidup raga dan jiwa ini belum pernah sekalipun merasakan jatuh cinta Ngger. Kalian tau kenapa”, tanya Semar kepada anak-anaknya.


Sejenak keadaan yang mulanya lelucon menjadi hening serius. Mereka tau ini adalah keadaan serius dan tidak boleh menyinggung perasaan bapaknya.

“Bapakmu ini sejak lahir sudah dikaruniai ajian mustika manik astagina, sehingga bapak tak merasakan rasa lapar, kepanasan, apalagi jatuh cinta Ngger. Bapak punya kalian pun karena mengangkat kalian jadi anak bapak, jadi tak perlu repot-repot buktikan DNA macam Teguh dan Aryo Ngger..”, kata Semar.

“Gareng kau anak tertuaku, kau mulanya adalah anak Gandarwa, sedang dirimu Truk kau juga sebangsa dengan kakangmu Gareng, kutemukan dirimu sendiri tersesat, dan kau Gong, kau merupakan perwujudan dari bayanganku sendiri, jadi selama hidupku sebenarnya tak punya pasangan hidup”, sambung Semar.

Mereka bertiga hanya bisa mantuk-mantuk, tak dapat berbuat apa-apa, semua diam, akhirnya pertemuan bapak dan anak itu mengambang tanpa adanya keputusan yang diambil. Suasana Panembahan seakan mengerti tentang mengerti keadaan empunya, mendung dan rintik-rintik hujan menjadi pelengkap sore itu.


Karya : Yovie Feria Pratama

No comments:

Post a Comment

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...