Semilir angin di pagi yang dingin
bersama redup cahaya bergelut embun di sekat-sekat udara, menerpa lembut wajah
tua dengan raut muka yang tak biasa bagi manusia umumnya. Bibirnya tersenyum
tapi matanya menangis. Begitu pula sikapnya, di saat burung-burung belum keluar
dari sarangnya, dia sudah duduk di tengah-tengah taman panembahan. Orang tua
yang seharusnya bersimpuh menghadap Tuhannya malah duduk di taman. Ah, rasanya
bagi Panembahan Sunyaruri hal macam itu sudah tiadalah aneh, dianggap sebagai
hal yang wajar, malah sebaliknya jika tidak seperti itu Panembahan Sunyaruri
akan kebingungan. Orang-orang Sunyaruri memanggilnya Semar tanpa tedeng
aling-aling paduka raja, prabu ataupun sultan. Semar selalu tak mau disebut
begitu, entah karena kerendahan hatinya atau keanehannya.
Ketika matahari mulai beranjak dari
peraduannya berbarengan burung-burung taman panembahan keluar dari sarangnya.
“Hmm.. terimakasih atas nikmat yang kau
curahkan pada pagi ini” gumam Semar.
Tiada yang tau apa maksud Semar
melakukan semua ketidakbiasaannya di mata manusia seperti ini. Saat itu pula
Semar beranjak dari tempat duduknya. Rupanya ada yang aneh dengan dirinya, dia
berdiri tapi juga jongkok, dari belakang tampak seperti anak-anak karena
menggunakan kuncung tapi nampak depan dia sangat tua, tangan kanannya ke atas
dan tangan kirinya ke bawah. Alamak, sungguh aneh benar bagi manusia biasa.
“Nggerr…!” ucap Semar sesampainya di
pintu depan Panembahan Sunyaruri.
“Dalem Pak” terdengar dari arah pintu
sesosok yang tak kalah aneh dengan Semar.
Sosok yang badannya lebih kecil dari
Semar. Berjalan menghampiri Semar dengan jingklik (terpincang-pincang). Dialah
Gareng anak pertama Semar.
“Wonten nopo to pak?” lanjut Gareng.
“Bantu aku masuk ke dalam Ngger” jawab
Semar.
“Nggeh pak, Bapak melakukan semua ini
tidak jenuh?” tanya Gareng.
“Melakukan apa to Ngger?” Semar menatap
keheranan Gareng.
Sejenak hening menyambangi di antara
bapak dan anak ini. Gareng tau pertanyaannya tak boleh keluar karena mungkin
bapaknya akan luka perasaannya. Apalah daya, kata sudah keluar takkan dapat
ditarik kembali lagi. Sejenak Gareng berpikir alangkah enak jika waktu dapat
diputar kembali. Di tengah lamunannya tentang memutarbalikkan waktu layaknya
pengacara memutar balikkan fakta, lalu muncul Kopi Vietnam dan polemik Teguh
dan Aryo di kepalanya, tiba-tiba dia tersadar.
“A.. aaa… aanu pak, anuu…” Gareng gugup.
“Anumu kenapa reng” tampak Semar tidak
tau jalan pikiran anak pertamanya ini.
“Anuu.. Kopi Vietnam, ups” rupanya
lamunannya masih terbawa.
“Kopi Vietnam? Opo to Ngger? Sinetron
kok masih dilihat, ayo ngomongo” Semar menelisik.
Akhirnya tak ada pilihan bagi Gareng
untuk mengatakan yang sebenarnya. Rasa hormat kepada bapaknya melebihi rasa
takutnya.
“Bapak setiap pagi hari selalu duduk di
taman, sedang kami saja tidak tau kapan bapak bangun dan langsung duduk di
kursi taman itu, bapak kan juga sudah tua, bukankah lebih baik menghadap Sang
Hyang saja to pak?” Gareng kali ini serius.
“Bapak tau jalan pikirmu itu Ngger,
engkau pasti mengira bapakmu ini orang gila yang sudah lupa ingatan lalu
melakukan hal-hal yang tak lumrah, engkau pasti juga mengira hal-hal aneh yang
bapak lakukan pertanda bapak sudah harus menghadap Sang Hyang to Ngger?”
“Hem..hem” Gareng mengangguk pelan tapi
mantap.
Semar melanjutkan “Sudah seharusnya
bapak memang ceritakan maksud dibalik apa yang bapak lakukan ini, agar anak
bapak tidak ada yang salah paham. Engkau tau Ngger apa yang bapak selalu
ucapkan setiap pagi?”
“Apa pak?” Gareng memasang muka
penasaran.
“Terimakasih atas nikmat yang kau
curahkan pada pagi ini”, jawab Semar dengan tersenyum.
Gareng mengeryitkan dahi tetap tidak
mengerti apa yang dimaksud bapaknya. Dia berpikir apa memang sebegini aneh pikiran
orang yang sudah uzur, mengalahkan keanehan menteri diaspora. Lah dalah Gareng
tetap tidak mengerti meski sejatinya dia adalah seorang punakawan yang
dihormati banyak orang setelah bapaknya.
“Bapak yakin engkau mesti takkan paham
apa yang bapak katakan reng, hahaha.” Semar tertawa renyah macam menertawakan
bayi yang pertama kali belajar berdiri.
“Ucapan terimakasih itu selalu bapak
ucapkan ketika matahari sudah menerpa wajah bapak ini, bapak selalu menantikan
munculnya mentari dari ufuk timur, sembari menghitung dan mengira apakah esok
pagi bapak masih dapat melihat matahari yang sama yang muncul dari ufuk timur”
Semar menitikkan air mata meski bibirnya tersenyum, meski suara tangisnya lebih
terdengar seperti tertawa tapi orang takkan bisa mengelakkan perasaannya
terhanyut.
Panembahan Sunyaruri berada tepat di
tengah-tengah dunia perwayangan. Tidak berada di benua selatan, utara, timur
maupun barat. Maka tak mengherankan jika tidak membela pihak manapun, namun
Semar adalah orang yang baik hati dan nasihatnya adalah nasihat yang baik-baik.
Maka Semar sering didatangi putra Pandhu para Pandawa untuk melatih ilmu
spiritualnya.
Cukup lama mereka berdua terdiam setelah
saling mengutarakan isi hati. Muncul dari arah berlainan sesosok yang gendut
mirip seperti Semar tapi bukan Semar, membawa paha ayam di tangan kanannya,
sedang tangan kirinya memegang ceker ayam. Mulutnya blepotan penuh dengan bumbu
dan dan daging ayam yang baru saja ia makan. Ialah Bagong, anak Semar yang
paling terakhir.
“Tak perhatikan dari kejauhan kok pada
guyon-guyon (bercanda) ada apa ya ini?” tanya Bagong polos yang tak mampu
bedakan suara tangisan atau tertawa bapaknya.
“Guyon gundulmu kui Gong, bodo kok ndak
sembuh-sembuh” Gareng bernada kesal.
“lo lo, kok sampean ngomong gitu mas, gini-gini
aku pinter lo, lulusan Harvard University” tukas Bagong tak mau kalah.
“Emang kowe ngerti Harvard University
itu di mana?” sahut Gareng.
Dengan tanpa ragu-ragu menjawab “itu di
sebelahnya pujasera FIB, kang”.
“Ooo belum pernah dikepret kowe Gong, di
situ tempatnya orang yang tidak mau ada perubahan Gong, Harvard University
endasmu” jawab Gareng dengan nada kesal.
“Huss.. opo to Reng kok bicara begitu ke
adekmu, endak elok Reng” sahut Semar menengahi pertengkaran dua anaknya.
Kejadian Semar menanti terbitnya
matahari terus berulang-ulang, waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi
bulan, tahun demi tahun. Hingga suatu ketika, pada waktu itu seperti biasa
Semar menanti terbitnya matahari, spectrum cahaya matahari telah menyelimuti
muka Semar dan mantra “Terimakasih atas nikmat yang kau curahkan pada pagi ini”
tak lupa ia sematkan kepada Tuhannya, namun ada yang aneh. Semar tak beranjak
dari tempat duduknya, apakah dia sudah berada di akhir hidupnya? Ternyata
tidak, mata sayunya tertuju pada rimbunnya daun di pohon beringin di depannya.
Rupanya bukan daun benar yang diperhatikan Semar, melainkan di balik rimbunnya
dedaunan itu ada sepasang burung dara berwarna putih saling berpadu kasih satu
sama lain. Lama Semar perhatikan kedua makhluk itu, terbang kesana kemari si
jantan mencarikan ranting pohon untuk membuat sarang, sedang si betina
mengerami generasi berikutnya dari burung dara itu.
“Ah pemandangan yang sungguh
menakjubkan, tapi kebetulan saja hewan itu berpasangan, hanya naluri dan
insting” gumam Semar.
Sejenak dia mau beranjak, matanya
menyasar dua ekor kodok yang saling bergendongan melompat kesana kemari di
kolam taman panembahan itu. Semar kembali memperhatikan, mengamati bahkan
mengobservasi kegiatan kodok itu. Baru kemudian Semar tersadar jika kedua hewan
sama jenis itu sedang melakukan aksi perkembangbiakan untuk melahirkan generasi
selanjutnya.
“Hmm.. begitu banyak percintaan hewan
hari ini, mungkin firasatku saja dan kebetulan mata ini menatap hal itu. Yang
jelas, yang pasti ini cuma kebetulan”. Guman Semar tak mempercayai apa yang
dilihatnya.
Mantap semar beranjak dari tempat
duduknya, tak biasa begini semar begitu lama berada di tempat duduk taman
panembahan. Biasanya matahari sebelum setinggi galah dia sudah menyisih dari
sana, belum sempat Semar mengucap masuk ke dalam panembahan matanya tertuju
pada kupu-kupu yang terbang, saling kejar mengejar menari-nari. Semar tertegun
sangat lama sekali melihat kupu-kupu itu. Suara dari belakang kemudian lantas
mengagetkannya.
“Ehemm…”
Sontak Semar terkaget, untuk orang
seusianya masih dapat bertahan dari serangan jantung yang mendadak adalah hal
yang menakjubkan sedang di benua timur di kerajaan Jokowow, penyakit jantung
adalah pembunuh nomor satu melebihi peperangan perebutan kekuasaan. Semar lantas
sekadar menoleh karena merasa kesal dikagetkan tanpa ada pemberitahuan. Semar
melihat sesosok tinggi berperawakan cungkring berjalan menghampiri, nampak
jalannya dibuat-buat berwibawa. Ialah Petruk putra kedua dari Semar. Petruk
adalah penguasa dari Sunyaruri, meski sejatinya dia adalah putra kedua tapi
bentuk fisik dan pemikiran ia yang miliki membuatnya menjadi ratu di Panembahan
Sunyaruri. Meski begitu, kerendahan hati yang ia miliki membuat setiap
keputusan yang ia ambil selalu dibicarakan dengan bapaknya.
Petruk menghampiri Semar bersama
istrinya yang cantik jelita yaitu Dewi Ambarwati putri Prabu Ambarsraya. Dewi
Ambarwati ia dapat ketika sayembara yang perang tanding. Selain mempunyai ilmu
spiritual yang mendalam, olah ilmu kanuragan yang dimiliki para Punakawan juga
tak kalah hebat dengan pendekar yang lain, meski bentuk fisiknya aneh yang jika
diihat juga tak sepatutnya memiliki ilmu-ilmu macam begitu.
“Bapak ngapain to?” Tak perhatikan dari
kejauhan kok tidak seperti biasanya, duduk di taman lebih lama seperti
biasanya, di pintu depan Panembahan biasanya langsung masuk kok masih diam
terpaku”, Petruk membuka pembicaraan.
“Iyo lo pak, wonten nopo? Kok tidak
seperti biasanya?”, Dewi Ambarwati menambahi perkataan suaminya.
“Ora ono opo-opo Ngger..!” sambil
menatap dua pasangan di depannya.
Semar meninggalkan dua pasangan yang
nampak tidak mengerti sikap dan perilaku aneh yang ditunjukkan oleh bapaknya
sendiri. Semar begitu tak seperti biasanya hari ini, masuk Panembahan tanpa
disambut oleh Gareng anak pertamanya. Semar menuju kamar, entah ada apa dalam
pikiran Semar yang begitu membingungkan ini.
Sehari setelah kejadian yang amat
membingungkan bagi Panembahan Sunyaruri akhirnya usai. Semar seperti biasa
sudah bergelut dengan udara pagi, bahkan ketika yang muda belum terbangun, ayam
belum berkokok dia sudah duduk di tempat duduknya. Namun, kekalutan pikirannya
tak bisa dipungkiri nampak dari raut mukanya. Lantas..
“Ya Tuhanku, Engkau ciptakan aku dengan
karunia ajian mustika manik astagina yang melekat sejak aku kecil”, gumam Semar
perlahan seirama dengan alunan desiran angin pagi.
“Dengan ajian ini hamba tak dapat
merasakan jatuh cinta, bukan aku tak mensyukuri rahmat yang Engkau berikan
padaku, tapi bolehkan hamba untuk meminta sehari saja merasakan untuk jatuh
cinta” nada bergetar Semar seakan diamini angin pagi yang perlahan redup.
Ajian mustika manik astagina adalah
ajian istimewa dari Sang Hyang yang ada sejak dia lahir. Dengan ini Semar
takkan pernah merasakan hawa nafsu, takpernah merasa jatuh cinta, mengantuk,
lapar, sedih hati, sakit, kepanasan dan kedinginan.
Tak henti-hentinya Semar tiap pagi
berdoa kepada Tuhannya untuk mengabulkan doanya. Setiap hari itu dia lakukan,
bahkan perangainya mulai tambah aneh, malam-malam berkeliaran di taman hingga
matahari muncul dari timur. Melihat ini lantas anak-anak Semar menemuinya.
“Aku lihat bapak akhir-akhir ini tambah
aneh, memang begini perilaku orang uzur yang mau diambil Sang Hyang ya?”,
celetuk Bagong tanpa ba bi bu membuka percakapan.
“Huss kowe ki, mbok kalo ngomong itu
dijaga jangan asal njeplak kayak Zaskia itik to Gong” , Petruk menimpali Bagong
sambil menyenggol badannya.
“Heh wes wes kowe berdua, ojo berantem
di sini, kalo berantem di gedung DPR sana!” Gareng bernada kesal.
“Ampun pak sembah sinuwun kulo, bapak
kenapa akhir-akhir ini tampak lebih aneh dari biasanya?” lanjut Gareng
bertanya.
“Aku akhir-akhir ini merenung Ngger,
mengamati fenomena alam di sekitar bapak, ternyata bapak ini masih ada satu
kekurangan”, kata Semar.
“Masih kekurangan? bukankah semua yang
bapak sekarang ini miliki sudah lebih dari cukup? Kenapa bapak tiba-tiba bilang
begini”, Petruk menyelidik, Petruk yang dikenal lebih bijak dari saudaranya pun
kebingungan menebak alam pikiran bapaknya.
“Iya pak, di sini lo enak-enak, ada makanan
enak-enak, tidur bisa sepuasnya, minum sepuasnya, tak susah-susah harus buat
kardus jadi rumah, kolong jembatan sebagai atap rumah, kita serba kecukupan
pak” kata Bagong sambil perut buncitnya kembang kempis.
“Tumben kowe bener Gong” kata Gareng
terheran-heran.
“Semua yang kowe-kowe ucapkan bener
Ngger.. tapi bapak kurang satu hal di dunia ini, rasa cinta di dalam sanubari,
bapak ingin jatuh cinta Ngger..” air muka Semar yang kusut itu menjadi
bersemangat dari biasanya.
Nampak anak-anaknya kurang memahami yang
terjadi pada bapaknya, mereka mungkin terkagum-kagum bagaimana bisa seseorang
mempertahankan keanehan yang terjadi pada dirinya selama hampir seluruh
hidupnya, impossible. Jatuh cinta di umur setua itu? Bagi Gareng, Petruk dan
Bagong adalah keanehan baru yang ditunjukkan bapaknya.
“Ehem.. bukan bermaksud lancang pak..
ehm ehm.. ingin jatuh cinta? Bukannya bapak sudah tua?” Bagong sekuat tenaga
bertahan untuk tidak tertawa.
“Mungkin ini lucu bagi kalian Ngger,
tapi bagi bapak ini hal yang serius, sepanjang hidup raga dan jiwa ini belum
pernah sekalipun merasakan jatuh cinta Ngger. Kalian tau kenapa”, tanya Semar
kepada anak-anaknya.
Sejenak keadaan yang mulanya lelucon
menjadi hening serius. Mereka tau ini adalah keadaan serius dan tidak boleh
menyinggung perasaan bapaknya.
“Bapakmu ini sejak lahir sudah
dikaruniai ajian mustika manik astagina, sehingga bapak tak merasakan rasa
lapar, kepanasan, apalagi jatuh cinta Ngger. Bapak punya kalian pun karena
mengangkat kalian jadi anak bapak, jadi tak perlu repot-repot buktikan DNA
macam Teguh dan Aryo Ngger..”, kata Semar.
“Gareng kau anak tertuaku, kau mulanya
adalah anak Gandarwa, sedang dirimu Truk kau juga sebangsa dengan kakangmu
Gareng, kutemukan dirimu sendiri tersesat, dan kau Gong, kau merupakan perwujudan
dari bayanganku sendiri, jadi selama hidupku sebenarnya tak punya pasangan
hidup”, sambung Semar.
Mereka bertiga hanya bisa mantuk-mantuk,
tak dapat berbuat apa-apa, semua diam, akhirnya pertemuan bapak dan anak itu
mengambang tanpa adanya keputusan yang diambil. Suasana Panembahan seakan
mengerti tentang mengerti keadaan empunya, mendung dan rintik-rintik hujan
menjadi pelengkap sore itu.
No comments:
Post a Comment