Pages

Friday, November 15, 2019

NOW I KNOW

“Ta, tunggu!” Teriak Meyla sambil berdiri di depan pintu kelas.

Yang dipanggil tetap tidak menoleh dan berjalan dengan santai menuju depan gerbang sekolah. “Lolita!” Panggil Meyla sekali lagi. Akhirnya, ia mendengus dan berlari tergopoh-gopoh mengejar Lolita sebelum ia pergi menaiki mobil Avanza hitam yang sudah terpakir di halaman sekolah. Lolita tersentak ketika Meyla memegang tangannya sangat kuat, mencegah ia menaiki mobilnya.

“Kenapa, La?” Tanya Lolita yang masih terkejut karena kedatangan Meyla yang tiba-tiba.

Meyla masih ngos-ngosan. Akhirnya setelah ia bisa menguasai dirinya kembali, ia menjawab, “Jadi kan ke salon?” Meyla kembali menarik napasnya.

“Ya iyalah. Nanti aku samper kamu jam 2. Tunggu, aja. Oke?” Lolita melambaikan tangannya dan menarik pintu mobil Avanzanya. Ia masuk dan membuka kaca jendela mobilnya. “Kita ke salon Anitha lagi, ya!” lanjut Lolita sambil mengeluarkan smartphone miliknya, “Nanti aku BBM, kok,” ucap Lolita. Meyla mengangguk sebelum mobil itu meninggalkannya dengan deru mesin yang agak berisik.

“12.15, duh.. kok Pak Lukman belum dateng-dateng, sih?” Batin Meyla sambil melirik jam tangan miliknya yang baru ia beli minggu kemarin bersama Lolita. “Males, ah harus nungguin di Halte. Mana Haltenya penuh sama penjual lagi,” Batin Meyla lagi sambil mendesah. Mau tak mau, ia berjalan dengan sangat terpaksa menuju Halte. Rok abu-abunya yang setinggi mata kaki berkibar-kibar ditiup angin. Ia berusaha merapikan rambutnya yang mulai kusut karena ikut ditiup oleh angin. Meyla melirik sana-sini, mencari bangku yang kosong. Setelah mendapat bangku yang kosong, ia segera mendudukinya sebelum ada orang lain yang mendahuluinya.

Beberapa penjual mulai menawar aneka minuman dan makanan pada Meyla yang dibalas dengan gelengan kepala Meyla. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya sebuah mobil Avanza silver menghampiri Halte. Seseorang yang berada di dalamnya membuka kaca jendela mobilnya, “Mari, Non. Maaf bapak datangnya terlambat, agak macet tadi,” ucap seseorang di dalam mobilnya yang ternyata adalah Pak Lukman, supir pribadi Meyla. Meyla merengut kesal, bibirnya maju beberapa senti. “Gimana, sih Pak Lukman?! On time dong!!” Serbu Meyla begitu memasuki mobilnya. Pak Lukman hanya bisa tersenyum dan mengangguk-ngangguk, sejujurnya, ia tak tahu artinya on time.

Mobil yang dikendarai Pak Lukman pun berjalan dengan kecepatan tinggi, membuat Meyla yang sedang memainkan smarthphonenya tersentak. “Duh, Pak Lukman! Pelan-pelan dong!” teriak Meyla, Pak Lukman pun mengurangi kecepatannya. Sesampainya di rumah, Meyla langsung membanting tas ranselnya ke kursi. Ia segera mengambil smartphone yang berada di sakunya dan segera membuka aplikasi BBM. Meyla segera mengetik pesan singkat dan mengirimkannya kepada Lolita. Tak sampai satu menit, smartphone Meyla berbunyi dan menampilkan balasan singkat dari Lolita. Meyla tersenyum, ia segera mengambil handuk dan bersiap-siap untuk mandi.


Mbak Asti, nama pelayan di salon itu mulai menggunting rambut Lolita dengan sangat hati-hati. Pelayan yang berdiri di sampingnya juga mulai menata rambut Meyla sedemikian rupa, berusaha menampilkan yang terbaik. Akhirnya, kedua pelayan itu tersenyum puas ketika melihat ekspresi senang di wajah Lolita dan Meyla. Lolita masih mematut dirinya di cermin ketika Meyla mengeluarkan beberapa lembar uang ratus ribuan dari dompetnya da menaruhnya di meja kasir. Ibu yang berdiri di kasir itu tersenyum senang.

“Terima kasih atas kunjungannya. Semoga anda puas,” ucapnya.

“Lita, cepetan!” seru Meyla ketika melihat Lolita masih berdiri di depan cermin. Lolita segera mengambil tasnya dan berlari menuju pintu.

“Sorry, Mey!” ucap Lolita sambil nyengir.

Mereka berdua segera menuju mobil yang terparkir di halaman salon itu.

“Ta, mau main dulu gak, ke rumah aku?” tanya Meyla.

“Uum, yeah…” Lolita dengan cepat mengangguk, “Kalau boleh,” lanjutnya sambil membuka pintu mobil dan masuk.

“Boleh, dong!” tukas Meyla. Setelah mereka berdua masuk dan duduk, Meyla langsung menutup pintu mobilnya dan memberi kode kepada Pak Lukman agar segera jalan. Sebagai jawaban, Pak Lukman memutar kunci dan mulai mengendarai mobilnya.

“Waduh, macet,” gumam Pak Lukman. Gumaman Pak Lukman terdengar oleh Meyla, ia segera membuka kaca jendela mobilnya. Yang ia lihat hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang sedang membagikan brosur. “Dek, jangan lupa nonton, ya!” ucap seorang perempuan sambil memberikan brosur kepada Meyla. Meyla menerimanya dengan sangat terpaksa. Lolita yang berada di sampingnya segera merebut brosur itu dari tangan Meyla. “Hey!” seru Meyla terkejut. Lolita hanya nyengir dan dengan fokus mulai membaca satu persatu tulisan di brosur itu.

“Nonton tari Jaipong? Gak salah?” Lolita menatap Meyla, bingung.

“Peduli amat. Tanggal 4 ya pertunjukannya? Wah, itu sih pas-pasan sama tanggal konsernya Raisa. Mending kita nonton konser Raisa aja daripada nonton beginian,” Meyla mengangkat bahunya, tak peduli. Ia menarik kembali brosur itu dan membuangnya ke luar jendela.

“Wah, Non! Jangan gitu, dong! Kan tari Jaipong teh budaya aslina Bandung. Kudu dilestarikan,” tukas Pak Lukman sambil menambahkan beberapa kata dalam bahasa Sunda.

“Loh, Pak! Ini kan cuman brosur buat nonton tari Jaipong. Tapi ngapain sih orang pada rame di situ, Pak?” tanya Lolita.

“Oh, itu mah kayaknya lagi pada ngedaftar buat kursus tari Jaipong. Kalau Non Lita minat, masih sempet kok ngedaftar. Katanya pendaftarannya dibuka dari kemarin sampai minggu depan,” jawab Pak Lukman membuat Lolita menggeleng dengan keras sambil menutup mata. Ia membayangkan dirinya sedang menari Jaipong, uuh.. gak keren nih, keluhnya dalam hati. Meyla tertawa puas melihat ekspresi dan gaya Lolita.


“Anak-anak, tolong perhatikan! Ibu akan membagikan formulir pendaftaran kursus tari Jaipong kalau kalian minat. Tapi, ibu harap kalian semua mau ikut,” ucap bu Nina, guru kesenian sambil membagikan formulir yang dimaksud. Meyla dan Lolita mendengus kesal. Mereka berdua jelas-jelas tidak akan mengikuti kursusnya, walaupun bu Nina memaksa. Meyla dan Lolita memang benar-benar tidak tertarik dengan tari-tarian nusantara. Dan tidak akan pernah. “Karena pengaruh globalisasi, kita semua mulai mengikuti budaya luar. Padahal di Indonesia kaya akan budaya. Di setiap daerah misalnya, pasti selalu terdapat budaya. Budaya itu bisa berupa adat, pakaian, alat musik, musik, bahasa dan tentunya tari-tarian…” jelas Bu Nina panjang lebar memulai pelajaran.

Meyla dengan malas mendengarkan, ia melirik Lolita yang sudah tertidur di sampingnya. Secara tak sengaja Meyla menguap, dan kejadian itu dilihat oleh Bu Nina. Bu Nina hanya bisa memelototi Meyla dan menggeleng-geleng. Ia melanjutkan, “Tetapi, kita jangan terpengaruh oleh budaya luar, karena tentu budaya luar mengandung hal negatif. Kita semua harus bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik. Jangan sampai masa depan kita suram hanya karena kita mengikuti budaya luar. Kita juga jangan malu kalau di bilang ketinggalan zaman…” Bu Nina menarik napasnya sebelum melanjutkan.

“Apalagi kalau sampai kita ikut-ikutan pakai celana pendek sama tank top ke mana-mana. Padahal itu kan ngelanggar norma,” Ia menduduki kursinya. Apaan, kok jadi ke PKn sih? Batin Meyla kesal, ia membuang muka dan menatap ke luar jendela. “Jadi, intinya.. kita harus melestarikan budaya kita. Gak usah repot-repot kok, dari hal kecil aja kita bisa ikut melestarikan budaya Indonesia. Misalnya nih, kalian ikut kursus tari Jaipong aja juga udah ikut melestarikan budaya. Terus ikut ekskul karawitan juga kan bisa melestarikan budaya Indonesia dengan cara memainkan alat musik sederhana. Apalagi pakaian, kita juga kan punya pakaian adat, terus sama Batik, itu kan asli Indonesia. Tapi China mulai niruin, malahan mereka bikin yang lebih bagus. Padahal kita juga bisa kok, asal kitanya mau aja,” ucapan Bu Nina yang panjang membuat Meyla tertarik, perlahan-lahan ia mulai menyimak dengan serius.

“Kalau yang ikut kursus tari Jaipong, ibu kasih tambahan nilai. Soalnya, minggu depan kita mau belajar nari Jaipong. Ibu harap, kalian mau melestarikan salah satu tarian yang berasal dari provinsi yang kita tempatin sendiri, Jawa Barat. Sekian dari ibu, kalau mau ngedaftar, bisa ibu bantu kok. Datang aja ke ruang guru ya.” Ucap Bu Nina sambil bergegas pergi.

Meyla merapikan kembali formulir yang sudah ia lipat-lipat saat Bu Nina menerangkan tadi, ia mulai tertarik. Dengan semangat, Meyla mengambil pulpen dan mulai menulis biodata dirinya serta alasan mengapa ia berminat ikut kursus tari Jaipong. Biayanya tidak terlalu mahal, hanya Rp. 50.000,- selama sebulan. Setelah dipikir-pikir, Meyla menyesal telah menghabiskan banyak uangnya hanya untuk perawatan dan membeli pakaian atau apa pun yang sedang trend. Tanpa memedulikan tatapan aneh dari Lolita yang sudah bangun dari tadi, Meyla melangkah ringan menuju ruang guru dengan senyum di wajahnya.


Karya : Sesilia Della Sagala

No comments:

Post a Comment

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...