Yang dipanggil tetap tidak menoleh dan
berjalan dengan santai menuju depan gerbang sekolah. “Lolita!” Panggil Meyla
sekali lagi. Akhirnya, ia mendengus dan berlari tergopoh-gopoh mengejar Lolita
sebelum ia pergi menaiki mobil Avanza hitam yang sudah terpakir di halaman
sekolah. Lolita tersentak ketika Meyla memegang tangannya sangat kuat, mencegah
ia menaiki mobilnya.
“Kenapa, La?” Tanya Lolita yang masih
terkejut karena kedatangan Meyla yang tiba-tiba.
Meyla masih ngos-ngosan. Akhirnya
setelah ia bisa menguasai dirinya kembali, ia menjawab, “Jadi kan ke salon?”
Meyla kembali menarik napasnya.
“Ya iyalah. Nanti aku samper kamu jam 2.
Tunggu, aja. Oke?” Lolita melambaikan tangannya dan menarik pintu mobil
Avanzanya. Ia masuk dan membuka kaca jendela mobilnya. “Kita ke salon Anitha
lagi, ya!” lanjut Lolita sambil mengeluarkan smartphone miliknya, “Nanti aku
BBM, kok,” ucap Lolita. Meyla mengangguk sebelum mobil itu meninggalkannya
dengan deru mesin yang agak berisik.
“12.15, duh.. kok Pak Lukman belum
dateng-dateng, sih?” Batin Meyla sambil melirik jam tangan miliknya yang baru
ia beli minggu kemarin bersama Lolita. “Males, ah harus nungguin di Halte. Mana
Haltenya penuh sama penjual lagi,” Batin Meyla lagi sambil mendesah. Mau tak
mau, ia berjalan dengan sangat terpaksa menuju Halte. Rok abu-abunya yang
setinggi mata kaki berkibar-kibar ditiup angin. Ia berusaha merapikan rambutnya
yang mulai kusut karena ikut ditiup oleh angin. Meyla melirik sana-sini,
mencari bangku yang kosong. Setelah mendapat bangku yang kosong, ia segera
mendudukinya sebelum ada orang lain yang mendahuluinya.
Beberapa penjual mulai menawar aneka
minuman dan makanan pada Meyla yang dibalas dengan gelengan kepala Meyla.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya sebuah mobil Avanza silver
menghampiri Halte. Seseorang yang berada di dalamnya membuka kaca jendela
mobilnya, “Mari, Non. Maaf bapak datangnya terlambat, agak macet tadi,” ucap
seseorang di dalam mobilnya yang ternyata adalah Pak Lukman, supir pribadi
Meyla. Meyla merengut kesal, bibirnya maju beberapa senti. “Gimana, sih Pak
Lukman?! On time dong!!” Serbu Meyla begitu memasuki mobilnya. Pak Lukman hanya
bisa tersenyum dan mengangguk-ngangguk, sejujurnya, ia tak tahu artinya on
time.
Mobil yang dikendarai Pak Lukman pun
berjalan dengan kecepatan tinggi, membuat Meyla yang sedang memainkan
smarthphonenya tersentak. “Duh, Pak Lukman! Pelan-pelan dong!” teriak Meyla,
Pak Lukman pun mengurangi kecepatannya. Sesampainya di rumah, Meyla langsung
membanting tas ranselnya ke kursi. Ia segera mengambil smartphone yang berada
di sakunya dan segera membuka aplikasi BBM. Meyla segera mengetik pesan singkat
dan mengirimkannya kepada Lolita. Tak sampai satu menit, smartphone Meyla
berbunyi dan menampilkan balasan singkat dari Lolita. Meyla tersenyum, ia
segera mengambil handuk dan bersiap-siap untuk mandi.
—
Mbak Asti, nama pelayan di salon itu
mulai menggunting rambut Lolita dengan sangat hati-hati. Pelayan yang berdiri
di sampingnya juga mulai menata rambut Meyla sedemikian rupa, berusaha
menampilkan yang terbaik. Akhirnya, kedua pelayan itu tersenyum puas ketika
melihat ekspresi senang di wajah Lolita dan Meyla. Lolita masih mematut dirinya
di cermin ketika Meyla mengeluarkan beberapa lembar uang ratus ribuan dari
dompetnya da menaruhnya di meja kasir. Ibu yang berdiri di kasir itu tersenyum
senang.
“Terima kasih atas kunjungannya. Semoga
anda puas,” ucapnya.
“Lita, cepetan!” seru Meyla ketika
melihat Lolita masih berdiri di depan cermin. Lolita segera mengambil tasnya
dan berlari menuju pintu.
“Sorry, Mey!” ucap Lolita sambil
nyengir.
Mereka berdua segera menuju mobil yang
terparkir di halaman salon itu.
“Ta, mau main dulu gak, ke rumah aku?”
tanya Meyla.
“Uum, yeah…” Lolita dengan cepat
mengangguk, “Kalau boleh,” lanjutnya sambil membuka pintu mobil dan masuk.
“Boleh, dong!” tukas Meyla. Setelah
mereka berdua masuk dan duduk, Meyla langsung menutup pintu mobilnya dan
memberi kode kepada Pak Lukman agar segera jalan. Sebagai jawaban, Pak Lukman
memutar kunci dan mulai mengendarai mobilnya.
“Waduh, macet,” gumam Pak Lukman.
Gumaman Pak Lukman terdengar oleh Meyla, ia segera membuka kaca jendela
mobilnya. Yang ia lihat hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang sedang
membagikan brosur. “Dek, jangan lupa nonton, ya!” ucap seorang perempuan sambil
memberikan brosur kepada Meyla. Meyla menerimanya dengan sangat terpaksa.
Lolita yang berada di sampingnya segera merebut brosur itu dari tangan Meyla.
“Hey!” seru Meyla terkejut. Lolita hanya nyengir dan dengan fokus mulai membaca
satu persatu tulisan di brosur itu.
“Nonton tari Jaipong? Gak salah?” Lolita
menatap Meyla, bingung.
“Peduli amat. Tanggal 4 ya
pertunjukannya? Wah, itu sih pas-pasan sama tanggal konsernya Raisa. Mending
kita nonton konser Raisa aja daripada nonton beginian,” Meyla mengangkat
bahunya, tak peduli. Ia menarik kembali brosur itu dan membuangnya ke luar
jendela.
“Wah, Non! Jangan gitu, dong! Kan tari
Jaipong teh budaya aslina Bandung. Kudu dilestarikan,” tukas Pak Lukman sambil
menambahkan beberapa kata dalam bahasa Sunda.
“Loh, Pak! Ini kan cuman brosur buat
nonton tari Jaipong. Tapi ngapain sih orang pada rame di situ, Pak?” tanya
Lolita.
“Oh, itu mah kayaknya lagi pada
ngedaftar buat kursus tari Jaipong. Kalau Non Lita minat, masih sempet kok
ngedaftar. Katanya pendaftarannya dibuka dari kemarin sampai minggu depan,”
jawab Pak Lukman membuat Lolita menggeleng dengan keras sambil menutup mata. Ia
membayangkan dirinya sedang menari Jaipong, uuh.. gak keren nih, keluhnya dalam
hati. Meyla tertawa puas melihat ekspresi dan gaya Lolita.
—
“Anak-anak, tolong perhatikan! Ibu akan
membagikan formulir pendaftaran kursus tari Jaipong kalau kalian minat. Tapi,
ibu harap kalian semua mau ikut,” ucap bu Nina, guru kesenian sambil membagikan
formulir yang dimaksud. Meyla dan Lolita mendengus kesal. Mereka berdua
jelas-jelas tidak akan mengikuti kursusnya, walaupun bu Nina memaksa. Meyla dan
Lolita memang benar-benar tidak tertarik dengan tari-tarian nusantara. Dan
tidak akan pernah. “Karena pengaruh globalisasi, kita semua mulai mengikuti
budaya luar. Padahal di Indonesia kaya akan budaya. Di setiap daerah misalnya,
pasti selalu terdapat budaya. Budaya itu bisa berupa adat, pakaian, alat musik,
musik, bahasa dan tentunya tari-tarian…” jelas Bu Nina panjang lebar memulai
pelajaran.
Meyla dengan malas mendengarkan, ia
melirik Lolita yang sudah tertidur di sampingnya. Secara tak sengaja Meyla
menguap, dan kejadian itu dilihat oleh Bu Nina. Bu Nina hanya bisa memelototi
Meyla dan menggeleng-geleng. Ia melanjutkan, “Tetapi, kita jangan terpengaruh
oleh budaya luar, karena tentu budaya luar mengandung hal negatif. Kita semua
harus bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik. Jangan sampai masa
depan kita suram hanya karena kita mengikuti budaya luar. Kita juga jangan malu
kalau di bilang ketinggalan zaman…” Bu Nina menarik napasnya sebelum melanjutkan.
“Apalagi kalau sampai kita ikut-ikutan
pakai celana pendek sama tank top ke mana-mana. Padahal itu kan ngelanggar
norma,” Ia menduduki kursinya. Apaan, kok jadi ke PKn sih? Batin Meyla kesal,
ia membuang muka dan menatap ke luar jendela. “Jadi, intinya.. kita harus
melestarikan budaya kita. Gak usah repot-repot kok, dari hal kecil aja kita
bisa ikut melestarikan budaya Indonesia. Misalnya nih, kalian ikut kursus tari
Jaipong aja juga udah ikut melestarikan budaya. Terus ikut ekskul karawitan juga
kan bisa melestarikan budaya Indonesia dengan cara memainkan alat musik
sederhana. Apalagi pakaian, kita juga kan punya pakaian adat, terus sama Batik,
itu kan asli Indonesia. Tapi China mulai niruin, malahan mereka bikin yang
lebih bagus. Padahal kita juga bisa kok, asal kitanya mau aja,” ucapan Bu Nina
yang panjang membuat Meyla tertarik, perlahan-lahan ia mulai menyimak dengan
serius.
“Kalau yang ikut kursus tari Jaipong,
ibu kasih tambahan nilai. Soalnya, minggu depan kita mau belajar nari Jaipong.
Ibu harap, kalian mau melestarikan salah satu tarian yang berasal dari provinsi
yang kita tempatin sendiri, Jawa Barat. Sekian dari ibu, kalau mau ngedaftar,
bisa ibu bantu kok. Datang aja ke ruang guru ya.” Ucap Bu Nina sambil bergegas
pergi.
Meyla merapikan kembali formulir yang
sudah ia lipat-lipat saat Bu Nina menerangkan tadi, ia mulai tertarik. Dengan
semangat, Meyla mengambil pulpen dan mulai menulis biodata dirinya serta alasan
mengapa ia berminat ikut kursus tari Jaipong. Biayanya tidak terlalu mahal,
hanya Rp. 50.000,- selama sebulan. Setelah dipikir-pikir, Meyla menyesal telah
menghabiskan banyak uangnya hanya untuk perawatan dan membeli pakaian atau apa
pun yang sedang trend. Tanpa memedulikan tatapan aneh dari Lolita yang sudah
bangun dari tadi, Meyla melangkah ringan menuju ruang guru dengan senyum di
wajahnya.
No comments:
Post a Comment