Pages

Friday, November 15, 2019

KU BAWA NAMAMU KE LUAR NEGERI

Alex Hirano. Namaku? Haha. Mana mungkin orang rendahan sepertiku mempunyai nama sebagus itu dan lagi pula aku adalah perempuan tulen. Alex Hirano adalah nama orang yang akan ku temui di Jepang nanti. Ah, kau pasti mengira aku berbohong tentang pergi ke Jepang nanti, kan? Silakan saja. Mau percaya atau tidak, itu terserah dirimu. Tapi yeah, aku bersungguh-sungguh untuk pergi ke Jepang nanti. Yah walaupun aku tidak mengerti bahasanya sama sekali. Haha, lucu sekali mengingat bahkan aku sama sekali tak tahu semua detail-detail tentang negara matahari terbit itu. Ah, tapi mau bagaimana lagi? Orangtuaku menaruh harapan besar padaku sekarang. Yeah, harapan. Walaupun sebenarnya tidak terlalu cocok untuk disebut sebagai harapan. Kau tahu harapan itu? Pekerjaan. Aku butuh pekerjaan. Dan namaku? Vena. Seperti nama pembuluh darah, Vena.

Siang menjelang tak ubahnya gurun gersang dipanggang pengapian. Panas matahari terasa begitu menyengat di kulitku. Yah, beginilah Jakarta. Selalu tak jauh dari kata-kata buruk seperti macet. Lihat saja, kemacetan sudah tak asing lagi bagi Jakarta. Apalagi banjir. Yeah, banjir. Kau tahu dari mana banjir itu datang? Tentu saja dari sungai-sungai. Sungai yang dipenuhi sampah, itulah sungai yang paling sering terkena banjir. Ya, seperti sungai yang berada di samping rumahku. Haha. Rumah? Ralat, maksudku, gubuk. Gubukku atau kau bisa menyebutnya rumah kalau kau mau- berada tepat di samping sungai yang dipenuhi oleh sampah. Sebagian besar sampah itu bukan berasal dari tempat kami tinggal, tetapi berasal dari orang-orang berotak udang yang melemparkan sampah itu dengan santai ke arah sungai. Dan ya, kau bisa lihat, ujung-ujungnya selalu saja kami yang terkena dampaknya.

“Halo? Bumi memanggil Vena, Bumi memanggil Vena.. kembalilah ke Bumi, Kak Vena,” tegur Reino, adikku.

“Oh, maaf. Kau bilang apa?” tanyaku.

“Aku bilang, mengapa kau tak kunjung pergi? Sekarang sudah lampu merah, malah sudah lewat 10 detik.” Reino meringis ketika ia melihatku menepuk jidatku, “aku tahu, rasanya pasti sakit.” Dan aku hanya tertawa saja untuk menanggapinya.

Setelah itu aku mengambil setumpuk koran yang disodorkan Reino dan langsung pergi menuju mobil ataupun motor yang sedang berhenti karena lampu merah. Tidak sedikit dari mereka yang menganggapku seolah tidak ada, tapi bahkan yang menganggapku ada juga tak mau membeli koran yang ku tawarkan. Ahh, sial. Setan macam apa yang merasuki tubuh mereka? Tidak ada sedikit rasa belas kasihankah pada mereka ketika melihatku berpanas-panasan di bawah matahari hanya untuk mendapatkan uang yang bahkan tidak pantas dihitung pakai jari? Aku melirik ke arah lampu merah yang akan berakhir dalam 5 detik lagi.

Lalu tiba-tiba hal itu terjadi. Sebuah ledakan yang sumber suaranya berada di dekat Reino duduk. Membuatku langsung berlari ke sana. Aku tidak ingin kehilangan Reino. Koran yang ku bawa langsung jatuh berserakan. Mobil dan motor yang tadinya diam, langsung melaju kencang dengan panik, saling mendahului. Membuatku beberapa kali hampir tertabrak karenanya. Dan aku tetap berlari. Ke arah Reino. Menuju Reino. Tindakan yang bodoh. Tetapi aku tidak peduli.


Kejadian dua minggu yang lalu itu masih terbayang di pikiranku. Berputar layaknya sebuah film. Berulang-ulang. Membuatku terus meneteskan keringat dingin dan badanku selalu gemetaran. Bagaimana tidak? Kejadian itu sudah merenggut nyawa kedua orangtuaku. Kau pasti bertanya-tanya, mengapa malah nyawa orangtuaku yang melayang dan bukannya aku atau Reino? Mungkin ini memang keputusan Sang Pencipta. Atau -bagaimana mereka menyebutnya?- ah, atau ini memang sudah takdir. Atau nasib. Atau.. kebetulan? Mungkin yang terakhir lebih pas. Lagi pula, coba kau pikir, aku yakin sewaktu itu aku mendengar suara yang mirip ledakan itu dari dekat Reino. Tetapi begitu aku berlari ke arahnya, dia hanya mengernyitkan keningnya dan memandangku heran karena tubuhku dipenuhi oleh lecet dan keringat.

Tetapi sedetik kemudian dengan panik tangannya menunjuk-nunjuk bahuku, atau lebih tepatnya belakang bahuku. Dan begitu aku berbalik ke belakang, aku harap yang ku lihat itu hanyalah ilusi. Mimpi. Bunga tidur. Khayalan. Atau apalah itu. Aku harap aku tidak melihat kedua orangtuaku yang sedang berlari-lari menuju kami. Aku harap aku tidak melihat semburan api di belakang mereka yang diiringi suara ledakan. Aku harap aku tidak melihat mereka terlempar begitu jauh karena ledakannya. Aku harap aku tidak melihat mereka terkapar dengan tubuh dipenuhi darah. Dan aku harap Tuhan masih mau memberikan mereka napas. Tapi itu tidak terjadi. Orangtuaku meninggal setelah mereka mengatakan keinginan terakhirnya, keinginan yang merupakan keinginanku juga. Yaitu pekerjaan. Mereka berdua berharap agar aku mendapatkan pekerjaan yang layak.

“Bu, menjadi penjual Koran saja sudah layak disebut pekerjaan. Dan aku sudah merasa cukup akan hal itu.” Aku menatap mata ibu yang sayu dan teduh.

“Cukup bagimu bukan berarti cukup bagi Reino. Ia masih sepuluh tahun, tak pantas bekerja sepertimu. Jadi tolonglah, cari pekerjaan yang baik. Untuk adikmu, dan untuk Ayah Ibumu juga, Ven.”

Satu tetesan air matanya ke luar ketika tangannya yang dipasangi selang infus mengelus rambutku. Aku tersenyum pedih. Tiba-tiba Ayah datang memakai kursi roda. Sebenarnya ia tidak lumpuh. Tapi tenaganya sudah tak bersisa lagi dan itu membuat Ayah tak bisa menopang tubuhnya sendiri. Ia sering limbung atau jatuh secara tiba-tiba ketika dulu, sebelum ledakan itu belum benar-benar membuat tubuhnya makin melemah. “Ya, kau harus mendapatkan pekerjaan yang berpenghasilan besar, Ven.”

“Tapi, Yah, bagaimana aku bisa mendapatkannya?” aku meringis pada Ayah.

“Kebetulan Ayah kenal dengan teman semasa kecil Ayah yang sudah sukses dan sekarang ia tinggal di Tokyo, Jepang. Seingat Ayah, Ayah masih menyimpan alamatnya dan nomor teleponnya. Kau harus ke sana, Ven, kau harus meminta pekerjaan padanya.”

Ayah menunjuk ke arah tas kumal miliknya yang terletak di samping Ibu. Beliau lalu memutar roda kursi rodanya dan berjalan menuju tas miliknya. Aku menggigit bibir bawahku dan mengedarkan pandangan. Apakah benar hidup harus sesial ini? Pikirku tak karuan. Terlalu banyak pertanyaan yang berenang-renang di kepalaku dan membuatku tak sabar untuk mengajukannya pada yang di atas sana. Tak lama setelahnya, Ayah langsung menghampiriku dengan sejumlah uang dan kertas putih yang sudah ada beberapa angka di atasnya. “Ini ongkosmu dan juga nomor teleponnya. Jika kau sudah tiba di sana, segeralah telepon dirinya.”

“A..apa? Ongkosmu -maksudku ongkosku? Jadi..hanya aku?” kedua alisku bertaut. Mukaku semakin kikuk dan berubah masam tatkala Ayah mengangguk lesu. Yeah, aku tahu uang Ayah dan Ibu pasti tidak akan mencukupi ongkos kami sekeluarga untuk pergi ke Jepang, tapi setidaknya mereka tak usah memaksaku untuk pergi ke sana, itu hanya akan membuat kami makin melarat.

Kepalaku terus menerus menggeleng tapi hatiku dan tanganku tak mampu menolak. Tanganku tetap menerima uluran tangan Ayah yang sedang menyodorkan beberapa lembar uang yang bernominal tinggi. Setelah uang beserta kertas itu berada dalam genggamanku, aku langsung menatap wajah Ibu dan Ayah. Tampak kesungguhan dan kesedihan yang meluap-luap yang terdapat di ekspresi wajah mereka dan itu membuatku tak tahan untuk tidak menangis. Tapi aku bukan wanita cengeng. Jadi aku hanya berlari. Meninggalkan mereka. Tindakan yang bukan cengeng melainkan pengecut. Yeah, aku seorang pengecut yang meninggalkan orangtuanya tanpa tahu bahwa besok ia tak bisa melihat orangtuanya lagi.

Reino lagi-lagi membuyarkan pikiranku dengan tepukan lembut di bahuku. “Kak, berat ya untuk pergi ke Jepang?” Tanya Reino polos. Aku tersenyum tipis dan berpura-pura tidak menangkap maksud perkataannya, “Berat? Mungkin berat bawaannya? Yeah, mungkin saja..” aku sengaja menggantungkan kalimatku karena aku yakin Reino -walaupun usianya baru sepuluh tahun- bisa menangkap maksud perkataanku. Sedetik setelah adegan canggung akhirnya ia berinisiatif mengangkat koperku ke dalam bagasi taksi yang barusan tiba di gubuk kecil kami. Aku mencoba menangkap dan mengingat garis wajah Reino yang tampak lelah agar aku tak lupa padanya selama di Jepang. Ahh, Reino.. aku pasti akan merindukanmu. Rindu dari Jepang sana.


Apartemen nomor 402 kini berada di hadapanku. Tanpa basa-basi lagi pintunya langsung ku ketuk. Tapi hasilnya nihil. Walaupun sudah ku ketuk beberapa kali tetap saja tidak ada sahutan dari dalamnya. Dengan sabar aku pun terus mengetuk pintu itu sampai kudengar ada suara langkah kaki yang diseret dengan berat, tapi bukan dari dalam apartemen itu, melainkan dari sampingku. Aku segera menoleh ke samping dan mendapati seorang bapak-bapak tengah tersenyum padaku. Aku pun membalas senyumnya dan melemparkan pandangan kesal pada pintu apartemen 402. Sepertinya bapak-bapak itu mengerti aku yang tidak mengerti bahasa Jepang dan langsung mengibas-ngibaskan tangannya. “Alex Hirano?” tanyanya.

Aku mengangguk sambil tersenyum kembali. Tetapi yang ku dapati tetaplah kibasan tangan yang menandakan bahwa Alex sedang tidak ada. Ia menunjuk tulisan yang berada di atas pintu apartemen tersebut. Ketika aku mendongakkan wajahku, maka ku dapati kertas yang bertuliskan bahasa Inggris yang berarti ‘Apartemen Kosong’. Bapak-bapak itu mungkin menyadari raut wajahku yang tiba-tiba berubah karena ia langsung mengajakku ke sebuah ruangan yang mirip kantor. Ternyata ia mau menawariku apartemen miliknya dengan harga miring karena ia tahu bahwa aku tidak mempunyai uang lebih -walaupun kenyataan itu menyakitiku- dan aku langsung menerima tawarannya tanpa basa-basi lagi.

Aku berada di sebuah tempat asing. Tak punya siapa-siapa. Aku tidak pernah membayangkan hidup sebatang kara seperti ini. Aku benar-benar sebatang kara, tanpa teman, dan keluarga. Alex yang seharusnya menjadi tujuan utamaku datang ke sini, malah tak ada. Nomor teleponnya pun tak pernah tersambung. Dan lagi, aku tak tahu bagaimana caranya untuk pulang. Tumpukan baju yang acak-acakan di koperku langsung membuatku terpaksa untuk membereskannya. Sekali lagi ku katakan, dengan terpaksa. Tapi tak apalah, yang penting kerjaanku bukan hanya melamun saja.

Ketika sedang mengeluarkan baju-baju dari dalam koper, mataku tertuju langsung pada pakaian yang dari modelnya saja sudah tertebak bahwa itu baju Kebaya atau baju adat Jawa Barat, tempat asalku. Tiba-tiba pikiranku berjalan begitu saja, menggali memori-memori dalam-dalam, memori yang sangat ingin ku lupakan karena mengingatkanku akan Indonesia dan orangtuaku. Tapi memori-memori itu memaksa untuk ke luar, memaksa pikiranku untuk bekerja dan menampilkan ingatan-ingatan dulu berputar seperti film. Dengan munculnya memori itu aku terpaksa menuruti egoku untuk membuang baju ini saja. Toh di Jepang ini tak ada harganya.

Aku sedang berjalan menuju tempat sampah ketika dering telepon -milik ayahku- mendadak berbunyi. Dengan malas aku menyimpan kembali baju kebayaku dan meraih teleponku sambil menggerutu, di situ tertera jelas nama pemilik penginapan ini. Ah sial. Pasti ia menagih hutang-hutang layanan laundry-nya. Telepon yang setengah terangkat itu akhirnya ku letakkan lagi. Lagi pula percuma, aku tidak akan mengerti apa yang ia ucapkan dan aku tak tahu bagaimana caranya aku mendapat uang untuk membayar tagihan laundry yang menumpuk itu. Memang, selama seminggu di Jepang ini aku sama sekali belum mendapatkan pekerjaan. Berbahasa Jepang saja aku belum tahu, bagaimana mau melamar pekerjaan?


“Hey, look, there is a crazy people..ahaha..”

Seorang wanita tinggi dan berkulit putih yang melintas di depanku terus-menerus menunjukku sambil tertawa bersama teman-temannya. Aku tersenyum pada mereka dan mereka balas menyeringai padaku. Meskipun begitu, aku tetap tersenyum dan itu membuat tawa mereka semakin keras yang tiba-tiba menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya. Setelah orang-orang itu mengerti apa yang sedang terjadi, mereka semua datang dan mengerumuniku lalu kompak memaki-makiku. Seorang bapak-bapak yang berpakaian layaknya satpam datang menghampiriku dan membentakku, “Go away from here, stupid!”

Seruan yang dilontarkan bapak-bapak itu membuatku gentar dan langsung berhenti lalu mematikan tape yang sedang memutarkan musik tradisional. Tapi bahkan sebelum aku sempat untuk mematikannya, bapak-bapak itu sudah memanggil teman-temannya dan mereka langsung menyeretku menuju mobil dan membawaku ke kantor polisi. Aku yang sedang lemas dan tak tahu apa-apa tak bisa memberontak ataupun melawan pada mereka. Badan mereka semua terlalu besar bagi tubuhku yang hanya memiliki berat badan tak lebih dari lima puluh kilogram.

Begitu tiba di sana aku kembali diseret menuju ruang yang terdapat meja dan seorang wanita muda memakai kacamata yang sedang menatap padaku dan langsung mempersilakanku duduk. Dengan tubuh gemetar aku tersenyum padanya dan menjelaskan dengan bahasa inggris yang kacau bahwa aku berasal dari Indonesia dan tak bisa berbahasa Jepang. Ia kemudian mengangguk dan mulai memberiku beberapa pertanyaan seperti namaku dan tempatku tinggal sekarang dengan bahasa inggris yang bagiku rumit karena aku tak pernah belajar bahasa inggris sebelumnya.

Setelah melewatkan 20 menit dengan hati berdegup tak karuan akhirnya aku dipersilakan ke luar dan pulang. Tentu saja aku harus dibebaskan karena sebenarnya aku ini tak bersalah walaupun aku membuat sedikit keributan di taman pusat. Tapi sebelum pulang wanita itu memberiku nomor teleponnya, ia bilang bahwa ia tertarik untuk melihatku menari tari tradisional, tari Jaipong. Yeah, tari Jaipong. Sebenarnya tadi siang aku terpaksa datang ke taman pusat untuk mempertunjukkan tari Jaipong ini agar aku bisa mendapat uang dengan menari. Tapi nyatanya tidak, aku malah dianggap orang gila yang membuat onar di taman. Menyedihkan. Ternyata wanita yang ku temui kemarin di kantor polisi itu juga selain menjadi polisi wanita, ia juga menjadi guru tari. Sebenarnya hal itu tidak membuatku tertarik atau terkejut, tetapi karena katanya ia bersedia memberiku gaji agar aku mau mengajar tari di sanggarnya juga, akhirnya aku tertarik juga. Ia bilang bahwa aku bisa mulai kerja besok pagi-pagi.

Tepukan tangan yang membahana mengisi seluruh ruangan dengan panggung yang di atasnya berdiri seorang perempuan dengan pakaian lengkap adat Jawa Barat. Gadis itu adalah muridku. Namanya Mia. Sebelumnya ia adalah seorang anak pemalas yang beranggapan bahwa ia tak mempunyai bakat apa-apa. Tetapi ketika ku lihat ia berdiri di samping jendela sanggar, menatapku dengan mata berbinar, dan mencoba mengikuti gerakan tari Jaipongku, akhirnya hatiku tergoda juga untuk mengajaknya agar mau ikut latihan bersama kami. Awalnya dengan dagu terangkat ia menolak dan langsung berlari. Tetapi keesokan harinya ia datang dengan formulir pendaftaran dan senyum manis, lalu tanpa basa-basi lagi kami segera latihan. Aku senang aku bisa mengajari mereka tari Jaipong, walaupun pada awalnya mereka sama sekali tak mengenal tari ini dan malah menganggap tari ini adalah sebuah lelucon. Tapi aku tidak menyerah. Dan, sekarang aku bisa lihat hasilnya di depan mataku.


Karya : Sesilia Della Sagala

No comments:

Post a Comment

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...