Pages

Tuesday, November 12, 2019

PANDHEBHE

Di antara dedaunan yang satu per satu mulai gugur menghiasi sajadah panjang kehidupan, biarlah semua nestapa dan duka runtuh bersama daun terakhir yang jatuh kala penghujung musim gugur tiba, membiarkannya jatuh bergelut abu lalu terinjak oleh kaki-kaki yang sengaja dipijakkan ke bumi, menjadikannya miniatur kehidupan yang hanya bergantung pada usia dan waktu. Terkadang berteriak penuh kuasa, lalu menangis kemiskinan dengan rintihan tanpa suara, dan terkadang menepuk-nepuk dada bangga lalu cemas dan berharap tanpa ada daya, semuanya terjadi begitu saja sealur dan sejalan dengan takdir Tuhan yang telah tertitahkan lewat setiap denyut nadi nafas kehidupan.

Pada secarik nafas kehidupan, lelaki parobaya itu berdiri di tengah kebimbangan yang sangat. Mereka-reka kembali memoar nestapa yang tanpa henti lalu-lalang dalam kehidupannya. Tanpa henti ia panjatkan doa agar diberi ketabahan atas semua cobaan yang ia derita.

Kiai Syamsul, begitulah lelaki parobaya itu biasa dipanggil. Seorang lelaki yang lebih dari cukup dalam harta untuk membiayai seorang isteri dan empat anak yang ia tanggung, juga seorang lelaki parobaya yang juga dikenal sebagai tokoh masyarakat yang sangat berpegang teguh dan tidak bergeming sedetik pun dalam memegang teguh agama Islam, juga seorang muballigh kondang yang tenar berkat ceramah-ceramahnya yang sarat dengan kontroversi.

Namun, kini ia tertunduk lesu di ruang tunggu pasien salah satu rumah sakit terkemuka dengan perasaan cemas dan harap. Menutupi wajah yang penuh bimbang dengan kedua tangan sembari bermunajat di antara dinginnya angin malam, juga gemerisik guyuran hujan yang sedari tadi terus menerus Tuhan hujamkan ke bumi. Ia bermunajat demi kesembuhan puteri bungsunya dengan doa yang tak bisa terjamah oleh rangkaian kata-kata abstrak.

Adalah Safitri, satu-satunya wanita di antara tiga saudaranya yang lain, Syafiq, Salman, Taufiqurrahman. Selain itu, Safitri juga merupakan satu-satunya keluarga kiai Syamsul yang mengidap penyakit liver, hingga tak jarang puteri bungsu kiai Syamsul itu dirujuk ke Puskesmas di desa, bahkan terkadang ke rumah sakit terkemuka di kota. Tak tanggung-tanggung demi kesembuhan puterinya, kiai Syamsul mempertaruhkan seluruh harta keluarga tanpa tersisa, semua ia pertaruhkan demi kesembuhan puteri bungsunya.

Sebagai seorang tokoh masyarakat, kiai Syamsul sangat berpegang teguh pada agama Islam yang selama ini ia anut dengan tanpa ragu sedikit pun pada apa yang telah menjadi keyakinannya. Tapi kini, setelah ia ditimpa musibah dengan puteri bungsunya yang selalu dirujuk ke rumah sakit yang tentunya dengan biaya yang tak murah, ia mulai ragu antara percaya dan tidak pada budaya pandawa. Salah satu dari sekian banyak budaya di Madura berupa upacara sakral yang bertujuan untuk mengusir kesialan dari salah satu saudara kandung yang ganjil, baik dalam segi jumlah maupun jenis kelamin, sebab akan menghabiskan harta keluarganya dengan cara apa pun, seperti halnya Batara kala dalam historis Pandawa.

Masih jelas terlintas dalam ingatan kiai Syamsul seperti halnya putaran video yang setiap saat bisa ia putar. Ketika ia berceramah pada seluruh penduduk desa tentang kebanyakan budaya Madura yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tanpa henti kiai Syamsul menghimbau kepada seluruh penduduk desa untuk meninggalkan tradisi-tradisi dan budaya yang bertentangan dengan agama Islam, misalkan pelet kandung, rokat tase’ dan pandhawa.

“Bapak… Ibu…, semua orang pasti mengalami cobaan, tantangan, musibah, bahkan mati. Hal itu merupakan sunnatullah yang mutlak terjadi dalam dinamika kehidupan kita ini. Allah tidak memandang orang yang akan diberi cobaan itu anak tunggal, saudara ganjil atau yang lainnya, hanya saja kadar cobaan tersebut yang berbeda, tetapi pastilah ujian yang diberikan Allah tidak akan lebih dari batas kemampuan manusia. Maka sekali lagi ujian datang kepada manusia semata-mata bukan memandang jenis kelamin atau posisi di antara saudaranya yang lain, tetapi ketika sampai saatnya Allah memberikan cobaan pada orang yang memang Ia kehendaki, maka cobaan yang berupa sakit jalan keluarnya tentu dengan obat bukan dengan sesembahan-sesembahan sesajen yang sarat akan kekufuran. Dalam Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 48 Allah berfirman inna Allaha la yaghfiru an yusyroka bihi wa yaghfiru ma duna dzalika liman yasya’, waman yusyrik billahi faqad iftaro itsman ‘adhima, yang artinya “Allah tidak akan mengampuni dosa syirik tetapi Allah mengampuni dosa selain syirik bagi siapa saja yang dikehendakinya, dan barang siapa yang mempersekutukan Allah/syirik pada Allah, maka sunggu ia telah berbuat dosa besar. Maka dari itu Bapak-Ibu sekalian, marilah kita bersama-sama bertaqwa pada Allah dan janganlah lagi kita percaya pada hal-hal yang dapat memusyrikkan Allah.”

Begitulah segelintir ceramah kiai Syamsul yang mengkritik habis-habisan tentang Pandawa, namun, setelah semua cobaan ini terjadi padanya ia mulai ragu akan kesugestian Pandawa.

Berawal dari putri bungsunya yang saat itu masih nyantri di salah satu pondok pesantren di kota, selalu mengeluh sebab penyakit yang saat itu dideritanya. Meski telah beberapa kali dirujuk ke rumah sakit, penyakit itu tetap saja kambuh menggerogoti jiwa putrinya yang kian layu. Hingga di siang itu, ketika kediaman kiai Syamsul gaduh sebab putrinya yang tiba-tiba mengerang kesakitan sebab penyakit liver yang dideritanya kambuh dengan kesakitan yang sangat.


Kiai Syamsul tertuduk lesu, merenungi sketsa cobaan yang Tuhan takdirkan untuknya, seperti halnya guyuran hujan yang sejak sore tadi menghiasi angkasa. Dengan tubuh lunglai, ia duduk tak berdaya di ruang tunggu pasien dengan penuh tanda tanya yang selalu terlintas dalam benaknya. Sejenak ia tengadahkan wajah untuk sekedar melihat wajah isteri dan ketiga anaknya yang juga mencerminkan hal yang sama, cemas dan harap.

“Bagaimana ini, Pak? Sudah sekian kali Safitri masuk rumah sakit, tapi sampai sekarang tetap tak menuai hasil,” Nyai Mahmudah, istri Kiai Syamsul bertanya dengan penuh kebingungan.

“Bapak juga tidak tau, Bu. Semua harta kita telah terkuras habis demi kesembuhannya yang tak kunjung menuai hasil,” kiai Syamsul menjawab.

“Mungkin kita harus melakukan Pandawa Pak, agar semua ini cepat berakhir,” kata Syafiq.

“Betul pak…” ucap Salman dan Taufiq. “Lagi pula masyarakat menyayangkan sikap kita karena tidak melaksanakan Pandawa, mereka kasihan pada Safitri, Pak,” Taufiq menambahkan.

“Diam kamu semua! Pandawa itu syirik, karena meminta kesembuhan pada selain Allah,” ucap kiai Syamsul dengan raut muka merah padam, menandakan amarah yang sangat.

“Sudah Pak, sudah,” isterinya menenangkan.

Kiai Syamsul terdiam sejenak, dalam batinnya terpatri tanya tak terjawabkan. Ia lalu tundukkan kepala, mengenang kembali empat bulan lalu, saat tetangganya, Marni, melakukan ritual Pandawa bagi salah satu anaknya yang ganjil karena sangat nakal dan selalu menghambur-hamburkan harta keluarganya. Dalam prosesi itu sesaji yang harus disediakan antara lain dua puluh tujuh macam ketupat, kue serabi yang diapit dengan bambu raut, pohon pisang berbuah yang tingginya sama dengan anak yang akan di-Pandawa-i, tak lupa, anak tersebut dipakaikan tutup kepala yang terbuat dari anyaman daun siwalan dan diikat di kedua tangannya, ibarat temuan yang harus ditebus dengan rupiah oleh wali anak pada seorang tokoh pemimpin ritual tersebut. Tak lama dari prosesi itu, Dodi, anak Marni yang biasanya hanya menghambur-hamburkan harta keluarganya, ia mulai berubah, menjadi anak yang hemat lagi dermawan.

“Bagaimana ini Pak? Apa mungkin kita melakukan Pandawa?” Nyai Mahmudah bertanya halus.

“Bapak tidak tahu juga Bu, Bapak sekarang lagi bingung, mungkinkah Bapak menelan kembali ludah yang terlanjur jatuh ke tanah?”

“Kalau begitu, mungkin kita harus melaksanakan ritul lain yang tujuannya sama dengan Pandawa, tapi tata caranya sesuai dengan ajaran Islam, Pak,” isterinya menyarankan.

Kiai Syamsul sejenak menundukkan kepala menenangkan diri, lalu dengan penuh kepasrahan, ia bermunajat pada Tuhan, memasrahkan urusan jiwa dan raga pada sang pemilik kehidupan. Pertanyaan-pertanyaa yang sedari tadi terpatri dalam benaknya, ia munajatkan pada Tuhan, hingga akhirnya timbullah satu ide dalam pikirannya.

“Baiklah, Bu, kita bacakan shalawat burdah saja untuk Fitri. Karena selain tujuannya sama dengan Pandawa, shalawat burdah juga merupakan salah satu budaya yang tidak bertentangan dengan Islam,” ucap kiai Syamsul sumringah.

“Ia betul Pak, kita bacakan shalawat burdah saja”


Angin berhembus sepoi membelai dedaunan, burung-burung bernyanyi riang di antara ranting cabang pepohonan, seakan tanpa henti menucapkan tahmid, takbir dan tahlil pada sang hiang kehidupan. Sunrise baru saja pergi meninggalkan kenangan tak terlupakan lewat goresan jingga yang kini memudar berganti kehangatan mentari yang tanpa bosan menghangati alam raya ini.

Tepat di teras rumahnya, kiai Syamsul sumringah sambil menatap lekat-lekat pada mentari yang kian meninggi, mendesah panjang sejenak lalu berucap Alhamdulillah dengan penuh kemantapan, sebab hidayah indah Tuhan yang dianugerahkan padanya bagai oase bagi jiwa yang kehausan di tengah padang pasir yang luas. Di samping kiai Syamsul, berjejer Salman, Syafiq, dan Taufiq yang juga sumringah dalam menyambut satu persatu masyarakat yang mulai berdatangan untuk membacakan shalawat burdah bagi Safitri.

Perlahan beranda kediaman kiai Syamsul mulai sesak oleh masyarakat yang terus saja berdatangan. Tak lupa, satu persatu hidangan disajikan untuk kemudian disantap dengan lahap oleh warga desa. Sebagian dari mereka ada yang tengah asyik bernostalgia tentang masa lalu, sambil menikmati hidangan yang disediakan, sedang sebagian yang lain menghisap rokok sembari menyeruput teh yang telah dihidangkan dengan mantap. Sejenak kemudian kiai Syamsul membuka acara, “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Terima kasih banyak pada bapak-bapak sekalian yang sudi hadir pada kesempatan kali ini. Sebelumnya saja selaku tuan rumah, mengucapkan banyak kata maaf karena mungkin ada kekurangan baik itu dari segi sambutan kami, hidangan atau lain sebagainya yang kurang berkenan di hati bapak-bapak sekalian, kami mohon maaf, karena hanya itulah kemampuan kami. Tujuan saja mengundang bapak-bapak sekalian adalah untuk membacakan shalawat burdah bagi anak saya, Safitri, yang kini tengah sakit, dengan berharap dan memohon kepada Allah swt. untuk kesembuannya ini. Sebenarnya hal ini tdiak lazim di desa kita, tidak seperti halnya Pandawa, tapi alangkah lebih baiknya jika kita menggunakan cara yang lebih berbau Islam ini sebagai perantara munajat kita kepada Allah swt. Untuk lebih cepatnya mari kita mulai saja, Bapak-Bapak,” pinta kiai Syamsul.

Di luar kediaman kiai Syamsul, burung-burung beterbangan menghiasi angkasa, mengepakkan sayap lebar-lebar lalu terbang menjulang tinggi seakan juga bermunajat lewat kepakan sayap. Sejenak kemudian terdengar serentak dari kediaman kiai Syamsul, suara measyarakat yang tengah membaca shalawat “Ya Arhamarrahimin, Ya Arhamarrahimin, Ya Arhamarrahimin, Farrij ‘Alal Muslimin”

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.

Keterangan :

1) Pandhebe/Pandawa, adalah salah satu budaya madura yang bertujuan untuk mengusir kesialan.

2) Pelet Kandung, adalah budaya madura yang berupa selamatan tujuh bulan bagi kandungan seorang perempuan

3) Rokat Tase’, adalah budaya madura yang berupa selamatan bagi laut

4) Shalawat Burdah, adalah Shalawat kepada nabi Muhammad saw. Yang bertujuan untuk memohon kesembuhan dari suatu penyakit.

*) penulis lepas asal Sumenep Madura, Mahasiswa INSTIK Annuqayah, serta penggiat di Komunitas Cinta Nulis PP. Annuqayah Lubangsa Selatan.


Karya : Fairuz Zakyal ‘Ibad

No comments:

Post a Comment

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...