Saat
ia sedang melamun di sana, raja memanggilnya.
“Aria
Kebonan, apakah benar bahwa Engkau ingin menjadi raja?” Raja tahu itu karena ia
berkelahi dengan kekuatan supranatural.
“Tidak,
Yang Mulia, aku tidak akan bisa.”
“Jangan
berbohong, Aria kebonan, aku tahu itu.”
“Maaf,
Yang Mulia, Saya baru saja memikirkannya.” “Yah, Aku akan membuat engkau
menjadi raja selama Aku pergi untuk bermeditasi, Engkau akan menjadi raja dan
memerintah dengan benar. Engkau tidak akan memperlakukan (tidur dengan) kedua
istriku, Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganngrum sebagai istrimu.”
“Baiklah,
Yang Mulia.”
“Aku
akan mengubah penampilanmu menjadi seorang pria tampan. Nama Anda akan Prabu
Barma Wijaya. Beritahulah pada orang-orang bahwa raja telah menjadi muda dan
Aku sendiri akan pergi ke suatu tempat rahasia. Dengan demikian engkau akan
menjadi raja!”
Pada
saat penampilan Aria Kebonan menyerupai Prabu Permana di kusumah itu, tetapi
tampak sepuluh tahun lebih muda. Orang percaya pengumuman bahwa ia adalah Raja
prabu Permana Di Kusumah yang telah menjadi sepuluh tahun lebih muda dan
mengubah namanya menjadi Prabu Barma Wijaya. Hanya satu orang tidak percaya
ceritanya. Ia adalah Uwa Bantara lengser yang mengetahui perjanjian antara raja
dan menteri tersebut. Prabu Barma Wijaya menjadi bangga dan memperlakukan Uwa
Bantara lengser yang tidak dapat melakukan apa-apa. Dia juga memperlakukan
kedua ratu dengan kasar. Keduanya menghindarinya, kecuali di depan umu ketika
mereka berperilaku seolah-olah mereka istri Prabu Barma Wijaya.
***
Suatu
malam kedua ratu bermimpi bahwa bulan jatuh di atas mereka. Mereka melaporkan
hal itu kepada raja yang membutnya ketakutan, karena mimpi tersebut biasanya
peringatan bagi wanita yang akan hamil. Hal ini tidak mungkin karena ia tidak
bersalah memperlakukan kedua ratu sebagai istri-istrinya. Uwa Bantara lengser
muncul dan mengusulkan untuk mengundang seorang pertapa baru, yang sebut Ajar
Sukaresi- yang tidak lain adalah Raja Prabu Permana Di Kusumah – untuk
menjelaskan mimpi yang aneh tersebut. Prabu Barma Wijaya setuju, dan begitu
pertapa tiba di istana ia ditanya oleh raja tentang arti mimpi itu.
“Kedua
ratu berharapkan seorang anak, Yang Mulia.” Meskipun terkejut dengan
jawabannya, Prabu Brama Wijaya masih bisa mengendalikan diri. Ingin tahu
seberapa jauh pertapa berani berbohong kepada dia, dia mengajukan pertanyaan
lain. “Apakah mereka dan anak perempuan atau anak laki-laki?”
“Keduanya
anak laki-laki, Yang Mulia.” Pada hal ini raja tidak bisa lagi menahan diri,
mengambil kerisnya dan menusuk Ajar Sukaresi agar dia mati namun Dia gagal.
Keris itu bengkok.
“Apakah
Raja berkehendak aku mati? Bila begitu, saya akan mati.” Kemudian petapa itu
jatuh. Raja menendang mayatnya begitu hebat sehingga terlempar ke dalam hutan
di mana ia berubah menjadi seekor naga besar, yang disebut Nagawiru. Di
keraton, sesuatu yang aneh terjadi. Kedua ratu memang hamil. Setelah beberapa
waktu Dewi Pangrenyep melahirkan seorang putra yang bernama Hariang Banga.
Suatu
hari ketika Prabu Barma Wijaya mengunjungi Dewi Naganingrum, secara ajaib janin
dalam kandungan Naganingrum yang belum lahir tersebut berbicara: “Barma Wijaya,
Engaku telah melupakan banyak janjimu. Semakin banyak Anda melakukan hal-hal
kejam, kekuasaan Anda akan semakin pendek..”
***
Peristiwa
aneh janin yang dapat berbicara tersebut membuat Raja sangat marah dan takut
terhadap ancaman janin tersebut. Dia ingin menyingkirkan janin itu dan segera
menemukan cara untuk melakukannya. Dia meminta bantuan Dewi Pangrenyep untuk
dapat terlepas dari bayi Dewi Naganingrum yang akan lahir sebagai bajingan
menurut impiannya. Dia tidak akan cocok untuk menjadi penguasa negeri ini
bersama-sama dengan Hariang Banga, putra Dewi Pangrenyep. Ratu percaya hal tersebut dan setuju, tetapi apa yang
harus dilakukan? “ Kita aakan menukar bayi tersebut dengan anjing dan
melemparkannya ke sungai Citanduy.”
Sebelum
melahirkan, Dewi Pangrenyep menghimbau Dewi Naganingrum untuk menutupi matanya
Naganingrum yang akan lahir sebagai bajingan menurut impiannya. Dia tidak akan
cocok untuk menjadi penguasa negeri ini bersama-sama dengan Hariang Banga,
putra Dewi Pangrenyep. Ratu percaya hal
tersebut dan setuju, tetapi apa yang harus dilakukan? “ Kita aakan menukar bayi
tersebut dengan anjing dan melemparkannya ke sungai Citanduy.”
Sebelum
melahirkan, Dewi Pangrenyep menghimbau Dewi Naganingrum untuk menutupi matanya
dengan malam (lili) yang biasanya digunakan untuk membatik. Dia
berpendapat bahwa perlakuan ini adalah
untuk menghindari Ibu yang sedang melahirkan agar tidak melihat terlalu banyak
darah agar tidak melihat terlalu banyak
darah yang mungkin dapat membuat dia pingsan. Naganingrum setuju dan Paum
setuju dan Pangrenyep pun menutup mata Dewi Naganingrum dengan lilin,
berpura-pura membantu ratu malang tersebut.grenyep pun menutup mata Dewi
Naganingrum dengan lilin, berpura-pura membantu ratu malang tersebut.
Naganingrum tidak menyadari apa yang terjadi, bayi yang baru lahir itu
dimaksukkan ke dalam keranjang dan
dilemparkan ke dalam Sungai Citanduy, setelah ditukar dengan bayi anjing yang
dibaringkan di pangkuan sang Ibu yang tidak curiga akan perbuatan jahat
tersebut.
Ratu
Naganingrum segera menyadari bahwa ia tengah menggendong seekor bayi anjing, ia
sangat terkejut dan jatuh sedih. Kedua pelaku kejahatan berusaha menyingkirkan
Dewi Naganingrum dari istana dengan mengatakan kebohongan kepada rakyat, tetapi
tidak ada yang percaya kepada mereka. Bahkan Uwa Bantara lengser tak dapat
melakukan apa-apa karena Raja serta Ratu Dewi Pangrenyep sangat berkuasa. Barma
Wijaya bahkan memerintahkan hukuman mati atas Dewi Naganingrum karena dia telah
melahirkan seekor anjing, yang dianggap sebagai kutukan dari para dewa dan aib
bagi kerajaan. Uwa Bantara lenser mendapat perintah untuk melaksanakan eksekusi
tersebut. Dia membawa ratu yang malang ke hutan, namun dia tak sampai hati
membunuhnya, ia bahkan membangunkan sebuah gubuk yang baik untuknya. Untuk
meyakinkan Raja dan Ratu Pangrenyep bahwa ia telah melakukan perintah mereka,
ia menunjukkan kepada mereka, ia menunjukkan kepada mereka pakaian Dewi
Naganingrum yang berlumuran darah.
***
Di
desa Geser Sunten, tepian sungai Citanduy, hiduplah sepasang suami istri tua
yang biasa memasang bubu keramba perangkap ikan yang terbuat dari bambu di
sungai untuk menangkap ikan. Suatu pagi mereka pergi ke sungai untuk mengambil
ikan yang terperangkap di dalam bubu, dan sangat terkejut bukannya menemukan
ikan melainkan keranjang yang tersangkut pada bubu tersebut. Setelah
membukanya, mereka menemukan bayi yang menggemaskan. Mereka membawa pulang bayi
tersebut, merawatnya dan menyayanginya seperti anak mereka sendiri.
Dengan
belalunya waktu bayi tumbuh menjadi seorang pemuda rupawan yang menemani
berburu orang tua dalam hutan. Suatu hari mereka melihat seekor burung dan
monyet.
“Burung
dan monyet apakah itu, Ayah?”
“Burung
itu disebut Ciung dan monyet itu adalah Wanara, anakku.”
“Kalau
begitu, panggilan aku Ciung Wanara.” Orang tua itu menyetujui karena arti kedua
kata tersebut cocok dengan karakter anak itu.
Suatu
hari ia bertanya pada orang tuanya mengapa dia berbeda dengan anak laki-laki
dari desa tersebut dan mengapa mereka sangat menghormatinya. Kemudian orang tua
itu mengatakan kepadanya bahwa ia telah terbawa arus sungai ke desa tersebut
dalam sebuah keranjang dan bukan anak dari desa tersebut.
“Orangtuamu
pasti bangsawan dari Galuh.”
“Kalau
begitu, aku harus pergi ke sana di mencari orang tua kandungku, Ayah.”
“Itu
benar, tetapi kamu harus pergi dengan seorang teman. Di keranjang itu ada
telur. Ambillah, pergilah ke hutan dan carilah unggas untuk menetaskan telur
itu.”
Ciung
Wanara mengambil telur itu, pergi ke hutan seperti yang diperintahkan oleh sang
orang tua, tetapi ia tidak dapat menemukan unggas. Ia menemukan Nagawiru yang
baik kepada dia dan yang menawarkan dia untuk menetas telur. Dia meletakkan
telur di bawah naga itu dan taklama setelah menetas, anak ayam tumbuh dengan
cepat. Ciung Wanara memasukkannya ke dalam keranjang, meninggalkan orang tua
dan istrinya dan memulai perjalannya ke Galuh.
Di
ibukota Galuh, sabung ayam adalah sebuah acara olahraga besar, baik raja dan
rakyatnya menyukainya. Raja Barma Wijaya memiliki ayam jago yang besar dan tak
terkalahkan bernama Si Jeling. Dalam kesombongannya, ia menyatakan bahwa ia
akan mengabulkan keinginan apapun kepada pemilik ayam yang bisa mengalahkan
ayam juaranya.
Saat
tiba, anak ayam Ciung Wanara sudah tumbuh menjadi ayam petarung yang kuat.
Sementara Ciung Wanara sedang mencari pemilik keranjang, ia ikut ambil bagian
dalam turnamen adu ayam kerajaan. Ayamnya tidak pernah kalah. Kabar tentang
anak muda yang ayam jantannya selalu menang dii sabung ayam akhirnya mencapai
telinga Prabu Barma Wijaya yang kemudian memerintahkan Uwa Bantara lengser
untuk menemukan pemuda itu. Orang tua itu segera menyadari bahwa pemuda pemilik
ayam itu adalah putra Dewi Naganingrum yang telah lama hilang, terutama ketika
Ciung Wanara menunjukkan padanya keranjang di mana ia telah dihanyutkan ke
sungai. Uwa Bantara lengser mengatakan pada Ciung Wanara bahwa raja telah
memerintahkan hal tersebut selain menuduh Ibunya telah melahirkan seekor
anjing.
“Jika
ayam kamu menang melawan ayam raja, mintalah saja kepadanya setengah dari kerajaan
sebagai hadiah kemenangan kamu.”
Keesokan
paginya Ciung Wanara muncul di depan Prabu Barma Wijaya dan menceritakan apa
yang telah diusulkan Lengser. Raja setuju karena dia yakin akan kemenangan ayam
jantannya yang disebut Si Jeling. Si Jeling sedikit lebih besar dari ayam jago
Ciung Wanara, namun ayam Ciung Wanara lebih kuat karena dierami oleh naga
Nagawiru. Dalam pertarungan berdarah ini, ayam sang Raja kehilangan nyawanya
dalam pertarungan dan raja terpaksa memenuhi janjinya untuk memberikan Ciung Wanara
setengah dari kerajaannya.
***
Ciung
Wanara menjadi raja dari setengah kerajaan dan membangun penjara besi yang
dibangun untuk mengurung orang-orang jahat. Ciung Wanara merencanakan siasat
untuk menghukum Prabu Barma Jaya dan Dewi Pangrenyep. Suatu hari Prabu Barma Jaya dan Dewi Pangrenyep di
undang oleh Ciung Wanara untuk datang dan memeriksa penjara yang baru di
bangun. Ketika mereka berada di dalam, Ciung Wanara menutup pintu dan mengunci
mereka di dalam. Dia kemudian memberitahu orang-orang di kerajaan tentang
perbuatan jahat Barma dan Pangrenyep, orang-orang pun bersorak.
Namun,
Hariang Banga, putera Dewi Pangrenyep, menjadi sedih mengetahui tentang
penangkapan Ibunya. Ia menyusun rencana pemberontakan, mengumpulkan banyak
tentara dan memimpin perang melawan adiknya. Dalam pertempuran, ia menyerang
Ciung Wanara dan para pengikutnya. Ciung Wanara dan Hariang Banga adalah
pangeran yang kuat dan berkeahlian tinggi dalam seni bela diri pencak silat.
Namun Ciung Wanara berhasil mendorong Hariang Banga ke tepian Sungai Brebes.
Pertempuran terus berlangsung tanpa ada yang menang. Tiba-tiba muncullah Raja
prabu Permana Di Kusumah di dampingi oleh Ratu Dewi Naganingrum dan Uwa Bantara
lengser.
“Hariang
Banga dan Ciung Wanara!” kata Raja, “Hentikan pertempuran ini adalah pamali
berperang melawan saudara sendiri. Kalian adalah sauara, kalian berdua adalah
anak-anakku yang akan memerintah di negeri ini, Ciung Wanara di Galuh dan
Hariang Banga di timur sungai Brebes, negara baru. Semoga sungai ini menjadi
batas dan mengubah namanya dari Sungai Brebes menjadi Sungai pamali untuk
mengingatkan kalian berdua bahwa adalah pamali untuk memerangi saudara sendiri.
Biarlah Dewi Pangreyep dan Brama Wijaya yang dahulu adalah Aria Kebonan di
penjara karena dosa mereka.”
Hariang
Banga pindah ke timur dan dikenal dengan Jaka Susuruh. Dia menderikan kerajaan
Jawa dan menjadi raja Jawa, sedangkan pengikutnya setia menjadi nenek moyang
orang Jawa. Ciung Wanara memerintah kerajaan Galuh dengan adil, rakyatnya
adalah orang Sunda, sejak itu Galuh dan Jawa makmur lagi seperti zaman Prabu
Permana Di Kusumah. Saat kembali menuju ke barat, Ciung Wanara menyanyikan
legenda ini dalam bentuk pantun sunda, sementara kakaknya menuju timur dengan
melakukan hal yang sama, menyanyikan cerita epik ini dalam bentuk tembang.
No comments:
Post a Comment