Namaku Ayu, aku lahir di tanah Jawa.
Tapi, sekarang aku menetap di Bali bersama kedua orangtuaku. Kartika Sari dan I
Wayan Durma mereka adalah orang yang telah membesarkanku selama empat belas
tahun ini. Aku seorang anak tunggal. Jadi, ketika aku berada di rumah aku tak
mempunyai lawan main. Pada kesempatan itulah aku memanfaatkan waktuku untuk
belajar dan membantu meringankan beban kedua orangtuaku saat bekerja. Ayahku
seorang pengrajin anyaman bambu, namun pendapatannya tak seberapa. Ia mulai
membuat anyaman bambu karyanya tergantung pada konsumen yang memesan anyaman.
Ibuku seorang pengrajin batik. Penghasilan ibuku sedikit lebih besar
dibandingkan dengan ayahku. Di wilayah Bali ini, banyak sekali peminat batik,
terutama batik Denpasar sebagai ciri khasnya. Pada kesempatan inilah ibuku
mulai memanfaatkan keadaan.
Aku memang suka membantu kedua
orangtuaku, namun aku juga tak lupa dengan tugas utamaku sebagai seorang
pelajar untuk menuntut ilmu. Di waktu-waktu senggangku, aku habiskan untuk
menjawab soal-soal ataupun mengulang kembali pelajaran yang baruku pelajari di
sekolah. Maka tak heran jika aku selalu berprestasi di sekolah karena
kecerdasan dan keahlianku.
Aku anak yang lugu, aku tak mempunyai
banyak teman. Teman sekolahku banyak yang menjauhiku. Mereka enggan bermain
denganku. Apa karena aku miskin? Entahlah, aku tak mengerti apa yang mereka
pikirkan tentang diriku. Mereka berani pertama kali menemuiku ketika mereka
membutuhkanku dan memanfaatkan kecerdasan dan keahlianku. Aku tidak
mempermasalahkan semua ini. Aku tak mau memiliki banyak musuh. Hanya ada
seorang gadis lugu berponi sama sepertiku yang ingin menjadi teman baikku. Dia
adalah Gloria, teman sebangkuku. Gloria seorang gadis yang baik, rajin dan
cerdas. Tapi sayangnya dia memiliki sifat yang ceroboh. Gloria sangat lihai
dalam menggerakkan tubuhnya saat menari. Jari-jemarinya sangat lentik. Maka tak
heran jika ia selalu menjuarai festival-festival tarian tradisional di Bali.
Tiba-tiba ponselku bergetar dan
kuluangkan waktuku untuk membaca satu pesan singkat, karena penasaran. “Yu,
kerajinan batik untuk besok sudah kamu selesaikan?” Ternyata pesan yang singkat
itu berasal dari teman terbaikku, Gloria.
“Sudah Glori, kerajinan batikku sudah selesai dua hari yang lalu. Kalau kamu gimana? Kamu sudah selesai belum?” Tanyaku penasaran. “Belum Yu, sepertinya hari ini akan kuselesaikan.” “Kebetulan sekali, bagaimana kalau aku bantu kamu selesaikan kerajinan batik itu?”, “Tidak usah Ayu, aku tidak mau merepotkan. Aku sering merepotkanmu.” “Gak masalah. Bagiku itu hanya langkah awal. Kamu sama sekali tidak merepotkanku.” “Gak papa Ayu, aku bisa selesaikan secepatnya”, “Bener nih gak apa-apa?” “Iya gak apa-apa. Kalau gitu sampai bertemu besok ya!”, “Sampai bertemu besok juga Glori!” Kataku, mengakhiri percakapan yang singkat itu.
“Sudah Glori, kerajinan batikku sudah selesai dua hari yang lalu. Kalau kamu gimana? Kamu sudah selesai belum?” Tanyaku penasaran. “Belum Yu, sepertinya hari ini akan kuselesaikan.” “Kebetulan sekali, bagaimana kalau aku bantu kamu selesaikan kerajinan batik itu?”, “Tidak usah Ayu, aku tidak mau merepotkan. Aku sering merepotkanmu.” “Gak masalah. Bagiku itu hanya langkah awal. Kamu sama sekali tidak merepotkanku.” “Gak papa Ayu, aku bisa selesaikan secepatnya”, “Bener nih gak apa-apa?” “Iya gak apa-apa. Kalau gitu sampai bertemu besok ya!”, “Sampai bertemu besok juga Glori!” Kataku, mengakhiri percakapan yang singkat itu.
Keesokan harinya, seperti biasa aku
berjalan kaki menuju sekolah sejauh satu kilometer. Aku datang lebih awal. Aku
berjalan kaki saat waktu fajar. Aku memang rutin melakukan hal ini, karena
orangtuaku tidak mempunyai kendaraan. Penghasilan kedua orangtuaku hanya cukup
untuk makan sehari-hari, belum lagi untuk membayarkan hutangnya. Tapi, aku tak
keberatan melakukan hal ini, sebab sudahku niatkan diriku untuk menuntut ilmu.
Aku berjalan kaki dalam suasana ramai yang dipenuhi oleh lalu lalang. Mengapa?
Karena rumahku berada di daerah pasar yang banyak dilalui oleh wisatawan dalam
maupun luar negeri yang biasanya mereka melalui jalan ini untuk membeli buah
tangan yang akan dibawanya pulang.
Setelah lima belas menit berlalu, fajar
pun mulai melihatkan cahayanya, suasana semakin ramai dan banyak teman
sekolahku yang berlalu melewatiku bersama orangtuanya menggunakan kendaraan
pribadi. Mereka melewatiku dengan begitu saja tanpa tegur sapa. Memakai seragam
putih biru yang dilengkapi dengan atribut sekolah. Ya, sudah pasti mereka akan
menuju ke sekolah.
Beberapa menit kemudian, dari kejauhan
aku melihat pagar yang akan ditutup oleh Pak Satpam. Hatiku semakin tidak
tenang dan jantungku berdebar sangat kencang, sebab aku tahu aku akan terlambat
dan aku akan kehilangan sedikit ilmu, karena tak mengikuti pelajaran pertama
dan kedua. Ketika itu, aku bergegas mengambil langkah panjang, berlari seperti
angin dengan cepatnya. Aku tak memikirkan resiko yang akan terjadi. Benar saja,
aku terjatuh dan tanpa kusadari, keranjang yang kubawa dari rumah terjatuh, dan
barang daganganku hancur tak karuan. BRAAAAKK!!! “Aw, aduh… Ya ampun gimana
ini??!!!” Ucapku dengan ekspresi dan nada yang khawatir.
“Yang benar saja, kue-kue yang dibuat ibu jatuh semuaa… hikss.” Seketika itu, aku mulai menangis, aku tak tau apa yang harus kulakukan selain mengekspresikan keadaanku. Mataku tak mampu menahan air mataku yang perlahan-lahan keluar dari kelopak mataku, sebab kue yang seharusnya habis terjual harus bersentuhan dengan debu dan aspal. Aku memang selalu berjualan kue-kue tradisional buatan ibuku di sekolah. Aku tak malu. Aku ingin meringankan beban orangtuaku.
“Yang benar saja, kue-kue yang dibuat ibu jatuh semuaa… hikss.” Seketika itu, aku mulai menangis, aku tak tau apa yang harus kulakukan selain mengekspresikan keadaanku. Mataku tak mampu menahan air mataku yang perlahan-lahan keluar dari kelopak mataku, sebab kue yang seharusnya habis terjual harus bersentuhan dengan debu dan aspal. Aku memang selalu berjualan kue-kue tradisional buatan ibuku di sekolah. Aku tak malu. Aku ingin meringankan beban orangtuaku.
Ketika itu, orang-orang yang melintas di
jalanan tempat aku tergores luka ringan mulai membantuku secara perlahan. “Kamu
gak apa-apa?” Tanya seorang pengendara jalan. “Tidak apa-apa kok, saya hanya
mengalami luka ringan saja.” Ucapku, karena aku tak ingin merepotkan sang
pengendara jalan lain.
Aspal berhasil memahat dengkulku.
Dengkulku kini dipenuhi cairan merah nan kental. Terpaksa aku menahan ke
sakitan ini saat akan melanjutkan perjalananku ke sekolah. Setibanya di
sekolah, aku sudah tak dapat mengikuti pelajaran pertama dan kedua, sebab aku
harus menjaga pagar untuk sementara.
“Duuuhhhh… Ayu ke mana ya??!! Sebentar
lagi kan pelajaran pertama akan dimulai. Gak seperti biasanya dia seperti
ini..” tuturan kata terlontarkan dari mulut Gloria yang sedang berada di dalam
kelas, karena khawatir dengan keadaan Ayu yang tak kunjung datang.
Detik demi detik telahku lewatkan, menit
demi menit telahku lalui, hingga sang surya mulai memancarkan sinarnya yang
mulai membara. Sebentar lagi telah tiba waktuku untuk memasuki lingkungan
sekolah. Aku sudah tak sabar. Aku ingin segera mendapatkan ilmu yang baru.
Karena aku sedikit kecewa dengan diriku yang ceroboh tadi pagi. Kreeeekkk “Kamu
sudah diperbolehkan masuk, lain kali jangan terlambat ya” Pak satpam membukakan
jalan untukku. “Iya pak, terimakasih” Aku sangat-sangat berterimakasih, aku
sudah tak sabar bertemu dengan teman dan guruku.
Setibanya di kelas, keadaan kelas sangat
gaduh, ada beberapa teman yang mengusikku. “Yaaeelah, ngapain sih si udik
datang, padahal udah bagus-bagus tadi dia ga ada di kelas ini.” “Tau nih, bikin
suasana kelas jadi panas aja!” Ya, itu adalah contoh cacian dari teman kelasku.
Mereka memang sering mencaci-makiku. Mereka hanya memandangku sebelah mata.
Tapi aku selalu menghiraukan itu. Aku tak ingin mencari-cari masalah.
“Ke mana aja sih kamu? Jam segini kok
baru datang?” Tanya Gloria karena khawatir.
“Iya Glo, tadi aku udah datang pagi banget dari rumah, mungkin karena jalanku yang lambat.” Jawabku agar Glori tidak curiga. “Loh, kok daganganmu sudah habis? Kamu dagang dulu ya?” Tanya Gloria sambil memaksa ambil keranjang daganganku. “Awww…”, “Loh, kamu kenapa Yu?” “Duuuhhh.. eesstt” Spontan aku memegang luka ku sambil berdesah.
“Iya Glo, tadi aku udah datang pagi banget dari rumah, mungkin karena jalanku yang lambat.” Jawabku agar Glori tidak curiga. “Loh, kok daganganmu sudah habis? Kamu dagang dulu ya?” Tanya Gloria sambil memaksa ambil keranjang daganganku. “Awww…”, “Loh, kamu kenapa Yu?” “Duuuhhh.. eesstt” Spontan aku memegang luka ku sambil berdesah.
“Aku tadi tak sengaja jatoh Glo.”
Terpaksa aku jujur karena Gloria semakin mendesakku. “Jatoh di mana? Kok bisa?
Kamu sih ga hati-hati. Terus daganganmu juga jatoh?” Reaksi Gloria dalam
keadaan khawatir. “Glo kamu nanya-nya satu satu dong. Aku juga gak tau gimana
aku bisa jatoh. Mungkin karena aku terburu-buru karena pintu pagar sudah mau
ditutup.” “Oh gituu, terus barang daganganmu?”. “Oh iya lupa aku sampaikan.
Barang daganganku juga jatoh. Aku bingung bagaimana cara aku beri kabar sama
ibuku. Aku takut ibuku marah Glo.” Jelasku. “Ya sudah, kalau gitu kamu ngomong
baik-baik saja dulu dengan ibu kamu. Kamu jelaskan semua.” Ucap Gloria memberi
saran.
Seketika itu suasana kelas yang gaduh
beralih menjadi hening. Ya, benar saja, pelajaran selanjutnya akan dimulai.
Pelajaran Seni Budaya, pelajaran yang aku gemari. “Hari ini ibu akan mengambil
nilai seni kerajinan batik yang sudah ibu berikan tugasnya pada minggu lalu.
Yang tidak membawanya terpaksa ibu kosongkan nilainya. Dan kalian juga tidak
boleh masuk pelajaran ibu selama satu minggu.” Ujar guru seni budaya dengan
tegas.
“Asgata, aduh Ayu…, gimana iniiii. Aku
lupaaaa… Tugasnya belum ku selesaikan.” Ujar Gloria, panik. “Loh kok bisa?
Bukannya semalem kamu yang ingatkan aku?” Tanya aku penasaran. “Iya, tapi
kemaren aku diajak jalan-jalan ke pantai sama orangtuaku mendadak. Sehabis
setelah itu, aku kembali di rumah. Aku sampai dirumah sekitar pukul enam sore.
Karena aku kecapean, aku langsung tidur.”
Aku tak tega dengan keadaan Gloria,
meskipun ini kesalahannya sendiri, aku tetap tak tega. Kusodorkan kain batik
dengan balutan plastik hitam yang sudah kubuat selama empat hari dengan susah
payahnya.
“Apa ini?” Tanya Gloria. “Sudah, kamu
ambil saja ini. Nanti akan kubuat lagi kok.”, “Tttttaapii,…”. Ujar Gloria, tak
dapat menerukan pembicaraannya karena aku langsung memotong pembicaraan.
“Sudah, kamu ambil saja. Aku tidak apa-apa.” Kataku meyakinkan. “Bukan itu
masalahnya Yu, taapii…”, “Hey kalian yang di belakang, dari tadi yang ibu
dengar suara kalian saja. Kalau kalian tidak mau ikut pelajaran ibu, silahkan
keluar! Dan yang gak membawa tugas membatik silahkan ikut keluar!” Seru Bu Mirna,
guru sini budaya.
Lantas aku dengan sigapnya beranjak
meninggalkan kelas.
Setibanya waktu pulang sekolah, seperti
biasa, aku masih memikul tas dan keranjang yang ku bawa. Dalam perjalanan
pulang sekolah aku masih dalam keadaan yang sama, dan aku berjalan dengan
pincangnya karena peristiwa tadi pagi. Aku berjalan pincang, dengan keadaan ini
membuatku semakin lama aku bisa melihat istana kecilku. Ya, benar sekali aku
sedikit terlambat sampai di rumah. Sesampainya di rumah aku langsung di
lemparkan beberapa pertanyaan dari ibuku. “Dagangan laku ora?”. “Ora, bu.” Aku
memberanikan diri untuk jujur, agar ibuku tidak marah lagi karena ulahku. “Laah
terus iki dagangan ne neng endi?” “Dagangan ne ambruk bu.” “Laah, piye toh.”
“Aku ambruk di dalan bu. Dan dagangan ne juga ambruk. Nuwun bu, aku ora
sengojo.”, “Duh gustii gustiii… Yo wes, pengen opo mene. Koe ngganti baju
sana!” “Yo bu” Ya, semuanya memang tak bisa terelakkan. Aku melakukan hal yang
bodoh. Aku membuat lebih banyak hutang orangtua ku untuk modalnya kembali.
Ya, hari ke hari telah berlalu. Masih
seperti sedia kala, aku rutin berjalan kaki kesekolah. Hingga suatu hari, aku
mendengar kabar akan ada festival budaya yang akan dilaksanakan minggu-minggu
ini. Aku tertarik mendengar kabar yang bagus ini. Lantas kabar ini segera aku
bagikan kepada teman terbaikku. Siapa lagi kalau bukan Gloria. “Gloriaaa…!!”
Aku memanggilnya dengan teriakanku yang melengking ini. “Iya Ayu kenapa?
Sepertinya hari ini kamu terlihat lebih semangat?! Ada apa?”. “Heheee..
Sebentar lagi akan ada festival seni di kawasan pantai Kuta. Kamu harus ikut
nih!!”. Jelasku dengan semangat. “Waahh, kalau gitu temani aku mendaftar
sekarang! Kamu juga harus ikut!” Tegas Gloria. “Pasti aku ikut, aku ingin
sekali menjuarai festival itu!” Kataku dengan penuh semangat.
Setibanya di ruang pendaftaran, aku tak
membawa uang saku. Sedangkan uang sakuku sehari-hari saja tidak cukup untuk
mendaftar. Bagaimana bisa aku mendaftar acara festival itu. Aku tampak
kebingungan. Aku gelisah. Dengan memasang raut wajah seperti ini Gloria
tampaknya mengetahui permasalahanku. “Kamu kenapa? Sepertinya kamu kelihatan
sangat gelisah. Ooohh, aku tau dimana permasalahanmu. Kamu tidak punya uang
bukan?” Tanya Gloria. Aku segera menganggukkan kepalaku sebagai bahasa isyarat
‘Iya’. “Sudah kamu tidak perlu khawatir, aku punya uang lebih untuk kita
mendaftar bersama. Karena kamu sudah membantuku kemarin, sekarang saatnya untuk
aku membalas kebaikanmu.” Mendengar kabar itu, raut wajah sedih ku beralih
menjadi raut wajah yang penuh dengan harapan. Dengan bantuan dari Gloria aku
dapat menjadi salah satu orang yang mendaftarkan diri sebagai peserta pembatik
festival budaya Indonesia mewakili sekolahku. Sedangkan Gloria mendaftarkan
diri sebagai penari tradisional yang sama seperti hobinya.
Empat hari sudah berlalu, besok adalah
puncak acaranya. Aku sudah mempersiapkan diri untuk berlaga besok. Begitu pula
dengan Glo. Festival budaya ini dilaksanakan selama tiga belas jam WITA.
Festival budaya tahun ini diikuti oleh lebih dari ribuan peserta. Aku dan Glo
sangat antusias, walaupun kami tahu kesempatan untuk menang terlalu kecil.
Keesokan harinya, aku dan Glo pergi
bersama ke kawasan pantai Kuta, acara festival itu digelar dengan didampingi
oleh orangtua masing-masing. Aku sudah mempersiapkan dan membawa peralatan
membatikku. Sedangkan Glo membawa perlengkapan tarinya. Tak terasa hari cepat
berlalu, tiba waktunya pembukaan acara festival itu di mulai. Pembukaan acara
festival berupa tarian adat Bali yaitu tari Kecak.
Pembukaan acara festival sangat meriah.
Semua pengunjung memberikan tepuk tangan yang meriah pada akhir pertunjukkan.
Tak lupa pula kami melakukan ritual-ritual adat yang lainnya. Seperti upacara
adat untuk sesembahan leluhur kami.
Hari-hari, terus berlalu tiba saatnya
Gloria menampilkan bakat menarinya di depan umum. Dari kejauhan aku melihat
Glori yang menari sangat lihai. Ia menarikan tarian Pendet. Ia tampak lebih
anggun. Matanya sangat tajam. Tatapannya membuat indra penglihatku
tersayat-sayat. Orang-orang banyak mengambil gambarnya. Ketika itu pula aku
terus membuat batik karyaku. Mulai dari membuat pola, memanaskan lilin dan
mengukir satu-persatu kain putih menggunakan canting. Tak ada kesulitan yang
aku alami. Semuanya berjalan dengan lancar. Aku mulai mengukir secara perlahan.
Dimulai dari bercak kecil hingga membentuk motif flora. Lama-kelamaan kain
milikku yang kubawa dari rumah berubah warna. Yang awalnya putih bersih tanpa
bercak noda namun kini, kain yang melambangkan simbol suci itu telah mengukir
motif flora yang sangat eksotis. Aku mengukir dan terus mengukir batik. Ketika
itu hari sudah semakin senja. Aku harus mengajar waktuku untuk menyelesaikan
karyaku yang sangat berharga ini. Karena dengan cara ini merupakan awal yang
akan aku capai. Awal dari segalanya.
Tepat pukul tujuh WITA, proses pewarnaan
sudah ku lakukan. Yang ku lakukan saat ini adalah menanti gersangnya air pada
kain batikku. Ya, memang sangat lama bukan? Aku tetap bersabar dan aku sangat
semangat pada hari ini. Aku tak merasakan letih sama sekali.
Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu
telah tiba. Kain batikku sudah kering. Kupandangi dan terus kupandangi batik
karyaku. Begitu tampak indahnya jika dalam keadaan kering. Aku segera
memberikan batikku ini kepada dewan juri beratas namakan Ni Made Ayu Jelantik.
Harapanku semakin besar untuk menjurai festival ini.
Momen yang kutunggu-tunggu telah tiba.
Sebentar lagi akan ada penutupan serta pemenang lomba acara festival yang
dipandu oleh Walikota Denpasar, Bali. Hadiahnya tak tanggung-tanggung. Juara
utama akan diberikan uang tunai sebesar Rp 5.000.000.00,- dan berhak untuk
mengikuti lomba festival budaya tingkat nasional. Di sinilah harapan
terbesarku. Aku ingin terus berkarya hingga negeri seberang. Aku ingin
orang-orang yang sudah mengucilkanku tak memandangku sebelah mata lagi.
“Baiklah, saya akan membacakan serta
menyerahkan hadiah kepada pemenang pada malam hari ini.” Tutur pak walikota.
“Untuk pemenang kategori penari terbaik jatuh kepada Gloria Valensia. Kepada
pemenang silahkan menaiki panggung.” Lanjut pak walikota. “Waaahhhh, selamat
Glo, akhirnya yang kamu nanti tercapai juga.” Kataku. “Iya terimakasih, semoga
kamu bisa menyusulku nanti!” Seruan Gloria memberi semangat kepadaku. “Dan
untuk pemenang pembatik favorit jatuh kepada Agnes.” Tutur pak walikota. Di
sini harapanku sudah mulai pupus. Ya, Agnes. Dia adalah orang yang selama ini
mengucilkanku. Di atas panggung kulihat dari kejauhan matanya mengarah pada
diriku. Ia masih sempat-sempatnya mengucilkanku. Tapi ini semua kuhiraukan. Aku
tak peduli walau aku tak menang. Dan aku memutuskan untuk pulang saja.
“Daannn, juara pertama kategori pembatik
terbaik dan terfavorit jatuh kepadaaa.. Ni Made Ayu… Selamat untuk Ayu,
silahkan menyusul temannya di atas panggung.” Ucap pak Walikota melanjutkan.
Seketika itu, sontak aku menghentikan langkahku. Berlari menyusuri jalan yang
minim. Raut mukaku yang penuh dengan penyesalan berubah menjadi berseri-seri.
Sungguh aku tak menyangka akan menjadi seperti ini.
“Waah, apa yang kubilang, pasti kamu akan menyusulku di sini.” Ucap Gloria menyemangati. “Hehee terimakasih ya Glo.” Kataku kehabisan kata-kata.
“Waah, apa yang kubilang, pasti kamu akan menyusulku di sini.” Ucap Gloria menyemangati. “Hehee terimakasih ya Glo.” Kataku kehabisan kata-kata.
Selanjutnya adalah acara penyerahan
hadiah. Hadiah ini akan kupersembahkan untuk orangtuaku. Sebagai gantinya
kemarin aku telah mejatuhkan barang dagangan ibuku. Setelah itu, lantas aku
menyalami kedua temanku dengan ekspresi wajah yang sangat gembira ria.
Itu merupakan kisah yang kualami sejak
lima tahun yang lalu, sekarang aku menjadi mahasiswa di Chicago University,
Amerika dengan jurusan seni. Aku tak ingin begitu saja melepas bakatku. Aku
akan selalu mengasah bakatku ini. Sebab, karena seni-lah aku bisa mendapatkan
beasiswa hingga negeri seberang. Di sini aku belajar sambil berdagang batik.
Kuluangkan waktuku untuk membuat batik di waktu senggangku. Puji Tuhan, aku mendapatkan
banyak keuntungan di tempat ini. Dan aku akan terus mengikis ilmu di tempat
ini. Bersama dengan Gloria, teman terbaikku. Inilah akhir cerita ku.
No comments:
Post a Comment