Pages

Monday, November 18, 2019

DIBALIK CERITA PESONA ALAM BONO (PART1)

Suatu hari, di suatu senja langit sore, dengan suasana keindahan alam perkampungan yang masih terlihat sama, dan terasa sejuk nan damai. Dari ufuk barat, terlihat panorama cahaya mentari yang berwarna kemerah-merahan semakin menghiasi bibir sungai Bono yang berada di seberang kanan dekat rumahku. Sungguh, aku sangat bahagia, kerinduanku akan kampung masa kecilku kini telah tersampaikan. Bersama tiupan angin sore yang berhembus dari ujung sungai Bono tersebut, aku berjalan pelan, menyusuri jalan-jalan kecil yang berada di dekat tepi sungai Bono. Dengan riang, aku berjalan sembari merentangkan kedua tanganku, seraya kemudian memejamkan kedua mataku untuk merasakan gemiricik ombak Bono kecil yang saling bermain di pinggiran tepi sungai. Tidak lupa pula, dalam sepoian angin sore yang manja, aku bersenandung salah satu lagu kesukaanku yang senantiasa kunyanyikan bersama teman-teman masa kecilku.

Sebuah lagu yang kerap kali dinyanyikan oleh para anak kecil di kampung Pulau Muda, tempat kelahiranku.

“Indah sekali alam Bono kami. Alam yang indah yang tetap terlestari”, kataku, yang terus bersenandung melagukan lagu tersebut.

Namun, seketika saja, dimana aku hendak berjalan menuju ke rumah atukku, di persimpangan jalan, tanpa sengaja, aku berpapasan dengan para ibu-ibu yang membawa tempayan berisikan jagung-jagung yang telah dikupas. Sungguh, satu hal yang tiba-tiba menarik perhatianku, yaitu tingkah laku para ibu-ibu tersebut yang membawa tempayannya dengan menaruhnya di atas kepala mereka yang beralaskan sehelai kain panjang. Dan tidak lupa pula, dengan senyum sumringah, para ibu-ibu tersebut kemudian menyapaku. Tentu saja, di mataku, ibu-ibu tersebut adalah para ibu yang sangat kuat dan perkasa.

Kemudian, ketika dimana aku berniat akan melanjutkan perjalananku, seketika di persimpangan jalan kampung, aku melihat sepuluh anak kecil yang sedang berlarian tertawa bahagia sembari membawa sebuah jala yang sangat besar, namun, dengan tidak sengaja, tiba-tiba salah satu dari kesupuluh anak tersebut menabrakku yang sedang berjalan. Dengan tutur kata melayunya yang begitu sopan, anak tersebut kemudian mencoba meminta maaf kepadaku, dan kemudian akupun membalas permintaan maafnya dengan senyuman yang ramah dan sopan pula.

Tetapi, seketika dimana mereka hendak pergi melanjutkan perjalanan, begitu takjubnya diriku kepada kesepuluh anak kecil tersebut. Dimana, dengan badannya yang masih kecil dan mungil, mereka dengan kuatnya membawa beberapa ikan-ikan yang cukup banyak dan besar-besar yang disangkutkan di antara lilitan jala-jala yang mereka bawa. Aku dapat menerkanya, pastilah kesepuluh anak kecil tersebut, merupakan anak-anak di kampungku yang baru saja pulang dari menjala ikan di dekat tepi sungai Bono.

Tentu saja, setelah melihat tingkah laku dari kesepuluh anak kecil tersebut, spontan saja aku teringat akan sebuah kenangan masa kecilku dahulu di kampung ini. Masih sangat jelas di ingatanku, dimana ketika aku masih kecil dahulu, bersama Sobri, Sanib dan Udin, disetiap sorenya sepulang dari sekolah madrasah, dengan hati yang riang, sembari membawa sebuah jala, aku bersama mereka mencoba membantu atukku untuk menjala ikan di tepian sungai Bono yang berada didekat rumah atuk. Sungguh, ini adalah kenangan dimasa kecilku yang tidak akan pernah kulupakan.

5 MENIT KEMUDIAN

Bersama azan magrib yang berkumandang dari sebuah Surau tua yang berada diujung timur dekat sungai Bono, tibalah sudah aku di depan rumah atukku. Dengan sembari menebar senyum tipis, betapa bahagianya aku, setelah dimana satu tahun aku dan kedua orangtuaku pindah ke Jakarta, rumah atukku, masih terlihat seperti dulu. Rumah yang bermotif kayu tua dengan dicangga oleh 8 batang kayu hutan yang besar, menjadikan rumah atukku terlihat seperti rumah panggung yang gagah. Dan bukan hanya itu, di bawah kolong-kolong rumah panggung tersebut, berdirilah pula beberapa kandang ayam dan bebek, serta dua sampan kayu beserta pendayungnya yang juga diletakkan di bawah kolong rumah tersebut. Bahkan, di bawah kolong rumah atukku, kita dapat berdiri pula dengan tegap tanpa membungkukkan badan. Sungguh, ini sangatlah membuatku merasa bangga, dikarenakan ini merupakan salah satu peninggalan budaya yang masih berciri khas dan terlestarikan oleh para masyarakat Pulau Muda hingga sampai sekarang.

“Assalamualaikum. Atuk, atuk, oh atukkkkk”, aku mencoba berteriak memanggil atukku dari luar rumah.

“Waalaikum salam”.

Dan, seketika atukku baru saja membuka pintu rumahnya, dengan cekatan segera aku langsung mendekap atukku dan memeluk atukku dengan perasaan rindu yang mendalam.

“Atuk apa kabar?, sudah lama sekali kita tidak bertemu ya atuk?, rindu sangat Nazri dengan atuk”, ucapku kepada atuk dan kemudian mencium tangan atuk dengan hormat.

“Ohhhhhh, cucuku Nazri. Sungguh, atuk pun juga demikian, rindu sangat dengan dirimu nak. Jujur saja, semenjak engkau, mak, dan abah engkau pindah ke Jakarta, rasanya atuk merasa kehilangan. Nah, sepertinya hari ini rasa kehilangan atuk telah terobati sudah, karena akhirnya kamu datang kembali ke kampung kita ini. Hemm, sepertinya malam sudah menjelang, ayo nak kita masuk ke rumah, sebentar lagi, pasti mak cik engkau pasti sudah balik dari pasar”.

Kemudian, aku bersama atuk pun masuk kedalam rumah. Dan, seketika dimana aku kembali menginjakkan kakiku di rumah tersebut, aku merasakan ada suasana yang berbeda ketika aku berada di dalamnya. Walaupun tanpa pendingin ruangan maupun cahaya lampu pijar listrik yang menyala, tetapi, entah mengapa, suasana rumah tetap terasa dingin dan sejuk. Ini kurasakan, ketika aku berjalan menuju ke kamarku, dapat kurasakan dari celah-celah lantai kayu yang tersusun tersebut, seperti ada hembusan-hembusan angin malam yang meronggah masuk melewati celah-celah tersebut. (“Benar-benar nuansa kampung yang masih natural”), bisik hatiku semari tersenyum tipis.

Kemudian, selepas sembahyang magrib, sembari merebahkan punggung dan kakiku diatas kasurku, aku mencoba memejamkan mataku untuk beristirahat sejenak dan bersantai dari rasa lelah. Namun, seketika saja dimana aku akan tertidur dengan lelap, dari arah luar kamarku, terdengar dengan gemuruhnya, suara kerumunan anak-anak kecil bersendau gurau gembira berjalan di dekat rumah atukku. Dengan rasa penasaran, aku pun segera bangkit dari bilik tempat tidurku, dan kemudian kubuka dengan lebar jendela kamarku. Terlihat dengan jelas, di bawah malam yang sunyi, bersama deraian suara ombak kecil Bono yang saling bergulung, beberapa kerumunan anak-anak kecil yang memakai kopiyah dan mukena, terus saja berjalan menyusuri jalanan kampung yang gelap tanpa cahaya lampu listrik yang menyala. Sembari melantunkan shalawat, mereka terus saja berjalan, tanpa diiringi ada rasa takut yang menghantui mereka. Sungguh, ketika mereka berjalan dengan membawa sebuah al-quran yang di dekap ditangan kanan mereka dan sementara tangan kiri mereka membawa sebuah obor yang menyala- nyala, mereka terlihat seperti anak-anak kecil yang masih lugu dan tanpa dosa. Benar-benar ini adalah pemandangan malam, yang tidak akan kutemui di Kota Jakarta.

Pemandangan malam yang memberikanku banyak makna dan pelajaran tentang kehidupan.

Namun sayangnya, ketika sejenak aku melihat dari sisi kanan dan kiri rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan rumah atukku, terlihat jelas jika rumah mereka sangatlah bungkam tanpa cahaya yang terang. Beberapa di antara rumah tersebut hanya terlihat terang dengan remah-remang cahaya yang berasal dari dua obor yang diikat disela-sela kayu penyangga rumah panggung mereka. Tentu saja ini membuatku menjadi sedih dan terharu. Entah mengapa, sudah satu tahun aku pergi meninggalkan kampung Pulau Muda ini, namun, tetap saja belum adanya perhatian dari pemerintah pusat untuk memberikan listrik di kampung Pulau Muda ini.

Padahal, jikalau dilihat, sudah banyak sekali pemandangan wisata alam yang sangat indah dan menakjubkan yang dimiliki oleh kampung ini, salah satunya adalah keindahan dari gelombang Bono. Dan bukan hanya itu, selain keindahan alam yang menakjubkan, kampung ini juga memiliki masyarakatnya yang sangat berbudaya melayu dan sangat mempertahankan adat istiadatnya. Jika saja ada perhatian dari pemerintah pusat untuk mengolah sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh kampung Pulau Muda ini, pastilah, suatu hari kampung ini akan berubah menjadi sebuah kampung wisata yang banyak dikunjungi oleh para masyarakat diluar sana, dan juga oleh para wisatawan mancanegara.

“Kamu sedang melamun nak?”, tiba-tiba saja atuk datang mendekat kepadaku yang sedang melamun di dekat cendela kamarku.

“Oh iya atuk. Ini, tiba-tiba saja Nazri terpikiran dengan kemajuan kampung Pulau Muda ini. Seharusnya, di zaman moderen seperti ini, kampung kita sudah berubah dan tidak sama seperti dulu lagi tuk. Namun, sepertinya perhatian pemerintah pusat belum kepikiran sampai ke kampung kita ini. Sehingga, ingin sekali rasanya Nazri memajukan kampung kita ini menjadi sebuah kampung wisata dan dikenal oleh banyak orang di luar sana. Secara, kampung kita memiliki potensi alam dan keragaman budaya masyarakatnya yang sangat unik dan beradat”.

“Kamu benar sekali nak. Inilah selama ini yang selalu atuk pikirkan sebagai kepala adat di Kampung Pulu Muda ini. Sebenarnya, atuk dan Pak Rohim, Kepala Desa Pulau Muda, telah sama-sama mencari solusi bagaimana agar kampung ini mendapat perhatian dari pemerintah pusat, terutama dalam subsidi listrik bagi masyarakat disini. Dikarenakan, atuk dan pak Rohim, sangat kasian dengan para masyarakat di sini, yang setiap malam hanya berpelitakan dengan obor-obor bambu yang menyala. Dan kamu juga benar nak, atuk juga berpikiran ingin menjadikan kampung ini menjadi sebuah Kampung Wisata. Hal ini dikarenakan, di kampung Pulau Muda ini, terdapat salah satu fenomena alam yang sangat menakjubkan, dan pastinya tidak dimiliki oleh daerah lain. Yaitu Sungai Bono, sungai yang memiliki sebuah ombak yang sama seperti ombak yang ada di pantai-pantai. Namun sayangnya, sampai sekarang, atuk dan pak Rohim belum tahu, darimana memulai semua ini, nak”.

“Atuk tenang saja, insyaallah, sebagai mahasiswa Sejarah, Nazri janji, Nazri akan membantu atuk dan juga para masyarakat disini untuk memajukan kampung Pulau Muda ini menjadi lebih baik lagi. Nazri akan mengajukan cerita Dibalik Pesona Alam Bono yang ada di kampung kita ini, sebagai judul dalam perlombaan karangan ilmiah budaya nasional yang sedang Nazri ikuti saat ini. Insyaallah usaha kita untuk memperkenalkan pesona alam di kampung Pulau Muda ini akan berhasil. Percayalah tuk dengan Nazri”.

Dengan penuh semangat dan sembari memberikan senyumanku yang sumringah kepada atuk, aku kemudian meyakinkan atukku dengan menggenggam kedua tanganku dengan penuh erat.

Kemudian, aku dan atukku pun meninggalkan kamarku, dan beralih menuju ke sebuah ruangan santai yang di sana hanya terdapat sebuah bilik kayu panjang untuk beristirahat. Sembari mengaduk-ngaduk kopiku yang masih panas, aku mencoba mendekati atukku yang sedang duduk membaca sebuah kitab kuning yang berwarna lusuh.

“Oh iya tuk, apakah atuk tahu, sejujurnya, Nazri sangat salut dengan kegigihan dan perjuangan anak-anak kecil di Kampung Pulau Muda ini. Walaupun gelap gulita tanpa ada penerang cahaya listrik, mereka tetap berjalan menyusuri jalan menuju ke Surau untuk belajar mengaji”, tanyaku kepada atukku.

“Ya begitulah nak. Walaupun di kampung Pulau Muda ini, gelap gulita, tanpa ada lampu listrik yang menyala, tapi, semangat-semangat anak-anak kecil untuk mengaji di surau beramai-ramai takkan pernah padam. Di kampung kita ini, wajib hukumnya anak-anak kecil sudah pandai mengaji. Jika ada dijumpai dirumah-rumah selepas magrib, anak-anaknya hanya duduk diam, wah, berarti mak dan abah mereka tidak tahu betapa pentingnya ilmu agama untuk bekal anak-anak mereka nanti”, kata atukku sembari membolak-balikkan kitabnya dengan penuh hati-hati.

“Apakah kewajiban harus pandai membaca al-quran bagi anak-anak di kampung kita ini, juga merupakan salah satu adat istiadat di kampung kita yang harus dipatuhi ya tuk?”, tanyaku kembali kepada atuk.

“Oh, tentu saja. Sudah tradisi turun-temurun, semua anak-anak yang ada di kampung kita ini, harus pandai membaca al-quran. Dan, mereka harus mengaji bersama-sama di Surau kita ini. Semua ini dilakukan, agar kampung kita ini terlepas dari marabahaya kemaharan ombak Bono yang kerap kali datang dengan tiba-tiba, serta agar senantiasa mendapatkan perlindungan dari Allah SWT”.

Kemudian, tiba-tiba saja, pandanganku tertarik kepada sebuah kitab yang berwarna kuning lusuh yang dibaca oleh atukku tersebut, dan sembari mendekat kepada atukku, aku mencoba menanyakan rasa penasaranku tersebut, “Atuk, apakah kitab yang atuk baca ini?, apakah ini adalah sebuah kitab melayu yang sangat sakral?, kenapa bentuknya sangat lusuh seperti ini, tuk?”.

“Oh ini, kemarilah nak atuk beri tahu. Ini bukan kitab sakral, melainkan, adalah kitab kuning gundul, yang hanya boleh dibaca oleh para pemangku adat yang berada di kampung Pulau Muda ini. Kitab Melayu ini, berisikan tentang petuah-petuah adat yang wajib dipatuhi oleh masyarakat yang ada di kampung kita ini. Dan juga, setiap petuah-petuah yang tertuang di dalam kitab ini, tidak boleh satupun dilanggar oleh para masyarakat Kampung Pulau Muda. Jika dilanggar, maka akan mendapatkan ganjarannya”.

“Hemmm begitu ya tuk. Oh iya tuk, apakah di dalam kitab melayu gundul ini, juga berisikan tentang asal-usul dari mana Bono berasal?. Karena, Nazri pernah membaca dari salah satu sumber di internet, bahwa ada beberapa cerita mistis yang mengawali dari adanya gelombang Bono tersebut, tuk. Bisa tidak, atuk ceritakan kepada Nazri, sebetulnya Bono itu apa, dan bagaimana asal-usulnya?. Soalnya, Nazri tidak begitu paham dengan penjelasan yang ada di internet. Sebagai anak kampung Pulau Muda, tentunya, Nazri harus tahu kan tuk?. Lumayanlah, ini bisa jadi referensi bahan tambahan dalam tulisan karangan ilmiah Nazri, tuk”.

“Oh begitu ya?, baiklah-baiklah, dengarkan bagus-bagus ya. Atuk akan ceritakan kepada Nazri, bagaimana asal-usul terjadinya gelombang Bono yang sebenarnya. Bono adalah sebuah gelombang atau ombak yang terjadi di Muara Sungai Kampar Kabupaten Pelalawan, tepatnya di dekat Kampung Pulau Muda. Menurut kepercayaan warga Pulau Muda, dan sekitaran Kecamatan Kuala Kampar, gelombang Bono yang ada di dekat kampung kita ini, merupakan gelombang Bono jantan, sementara, gelombang bono yang betina terdapat di dekat Sungai Rokan, yaitu di Bagan Siapi-Api. Menurut pemikiran orang jaman dahulu, Bono di Kampung Pulu Muda ini, memiliki tujuh ekor yang berbentuk ekor kuda yang disebut dengan Induk Bono. Menurut cerita masyarakat melayu Pulau Muda, gelombang Bono merupakan perwujudan dari tujuh hantu yang sering menghancurkan sampan dan kapal yang melintasi daerah Kuala Kampar. Yang mana, gelombang Bono ini, dahulunya pernah menghancurkan sampan dan kapal-kapal hingga berkeping-keping. Namun, saat ini, ekor dari gelombang Bono tinggal enam. Dikarenakan, menurut kepercayaan masyarakat melayu Pulau Muda, salah satu ekor dari gelombang Bono, telah ditembak oleh kapal-kapal meriam milik pemerintahan Belanda, sewaktu pemerintahan Belanda menjajah Kampung kita ini . Nah, menurut kepercayaan adat-istiadat di kampung kita ini, gelombang bono akan memunculkan gelombangnya yang paling dahsyat dan terbesar tepat ketika terjadi Bula Purnama, yaitu di tanggal 15 Desember. Sementara di luar tanggal 15 Desember, gelombang sungai Bono masih bersemayam didalam perut bumi dan hanya terdapat anak-anak saja yang bermain di tepian sungai”.

“Wah, cerita asal-usul gelombang Bono ini, ternyata sangat lagendaris sekali ya tuk. Oh iya tuk, kemudian, ada tidak tuk, suatu upacara adat tertentu yang dilakukan oleh masyarakat di Kampung kita ini, jika akan datang gelombang bono yang paling dahsyat dan terbesar di kampung kita ini?”.

“Tentu saja nak, para masyarakat melayu yang terdapat di Kampung Pulau Muda ini, memiliki sebuah ritual upacara adat yang harus dilakukan ketika gelombang Bono yang paling dahsyat datang dan melintas mengitari kampung kita ini. Upacara tersebut adalah upacara Semah. Yaitu, upacara yang dilakukan sebelum tanggal 15 Desember dan dipagi hari setelah tanggal 15 Desember. Ini adalah upacara penyampaian doa agar ketika gelombang Bono melintas melewati kampung Pulau Muda, tidak akan mengganggu masyarakat yang ada dikampung ini, dan masyarakat akan terhindar dari marabahaya apapun. Upacara ini, akan dipimpin oleh atuk sendiri, sebagai seorang Datuk Kepala Adat di Kampung kita ini” .


Karya : Aisyah Nur Hanifah

No comments:

Post a Comment

SAHABAT

Dodo duduk di halaman belakang rumah sedang asik main game di Hp-nya. Tony yang selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ya keluar dari kamarnya...