Suatu hari, di suatu senja langit sore,
dengan suasana keindahan alam perkampungan yang masih terlihat sama, dan terasa
sejuk nan damai. Dari ufuk barat, terlihat panorama cahaya mentari yang
berwarna kemerah-merahan semakin menghiasi bibir sungai Bono yang berada di
seberang kanan dekat rumahku. Sungguh, aku sangat bahagia, kerinduanku akan
kampung masa kecilku kini telah tersampaikan. Bersama tiupan angin sore yang
berhembus dari ujung sungai Bono tersebut, aku berjalan pelan, menyusuri
jalan-jalan kecil yang berada di dekat tepi sungai Bono. Dengan riang, aku
berjalan sembari merentangkan kedua tanganku, seraya kemudian memejamkan kedua
mataku untuk merasakan gemiricik ombak Bono kecil yang saling bermain di
pinggiran tepi sungai. Tidak lupa pula, dalam sepoian angin sore yang manja,
aku bersenandung salah satu lagu kesukaanku yang senantiasa kunyanyikan bersama
teman-teman masa kecilku.
Sebuah lagu yang kerap kali dinyanyikan
oleh para anak kecil di kampung Pulau Muda, tempat kelahiranku.
“Indah sekali alam Bono kami. Alam yang
indah yang tetap terlestari”, kataku, yang terus bersenandung melagukan lagu
tersebut.
Namun, seketika saja, dimana aku hendak
berjalan menuju ke rumah atukku, di persimpangan jalan, tanpa sengaja, aku
berpapasan dengan para ibu-ibu yang membawa tempayan berisikan jagung-jagung
yang telah dikupas. Sungguh, satu hal yang tiba-tiba menarik perhatianku, yaitu
tingkah laku para ibu-ibu tersebut yang membawa tempayannya dengan menaruhnya
di atas kepala mereka yang beralaskan sehelai kain panjang. Dan tidak lupa
pula, dengan senyum sumringah, para ibu-ibu tersebut kemudian menyapaku. Tentu
saja, di mataku, ibu-ibu tersebut adalah para ibu yang sangat kuat dan perkasa.
Kemudian, ketika dimana aku berniat akan
melanjutkan perjalananku, seketika di persimpangan jalan kampung, aku melihat
sepuluh anak kecil yang sedang berlarian tertawa bahagia sembari membawa sebuah
jala yang sangat besar, namun, dengan tidak sengaja, tiba-tiba salah satu dari
kesupuluh anak tersebut menabrakku yang sedang berjalan. Dengan tutur kata
melayunya yang begitu sopan, anak tersebut kemudian mencoba meminta maaf
kepadaku, dan kemudian akupun membalas permintaan maafnya dengan senyuman yang
ramah dan sopan pula.
Tetapi, seketika dimana mereka hendak
pergi melanjutkan perjalanan, begitu takjubnya diriku kepada kesepuluh anak
kecil tersebut. Dimana, dengan badannya yang masih kecil dan mungil, mereka
dengan kuatnya membawa beberapa ikan-ikan yang cukup banyak dan besar-besar
yang disangkutkan di antara lilitan jala-jala yang mereka bawa. Aku dapat
menerkanya, pastilah kesepuluh anak kecil tersebut, merupakan anak-anak di
kampungku yang baru saja pulang dari menjala ikan di dekat tepi sungai Bono.
Tentu saja, setelah melihat tingkah laku
dari kesepuluh anak kecil tersebut, spontan saja aku teringat akan sebuah
kenangan masa kecilku dahulu di kampung ini. Masih sangat jelas di ingatanku,
dimana ketika aku masih kecil dahulu, bersama Sobri, Sanib dan Udin, disetiap
sorenya sepulang dari sekolah madrasah, dengan hati yang riang, sembari membawa
sebuah jala, aku bersama mereka mencoba membantu atukku untuk menjala ikan di
tepian sungai Bono yang berada didekat rumah atuk. Sungguh, ini adalah kenangan
dimasa kecilku yang tidak akan pernah kulupakan.
5 MENIT KEMUDIAN
Bersama azan magrib yang berkumandang
dari sebuah Surau tua yang berada diujung timur dekat sungai Bono, tibalah
sudah aku di depan rumah atukku. Dengan sembari menebar senyum tipis, betapa
bahagianya aku, setelah dimana satu tahun aku dan kedua orangtuaku pindah ke
Jakarta, rumah atukku, masih terlihat seperti dulu. Rumah yang bermotif kayu
tua dengan dicangga oleh 8 batang kayu hutan yang besar, menjadikan rumah
atukku terlihat seperti rumah panggung yang gagah. Dan bukan hanya itu, di
bawah kolong-kolong rumah panggung tersebut, berdirilah pula beberapa kandang
ayam dan bebek, serta dua sampan kayu beserta pendayungnya yang juga diletakkan
di bawah kolong rumah tersebut. Bahkan, di bawah kolong rumah atukku, kita
dapat berdiri pula dengan tegap tanpa membungkukkan badan. Sungguh, ini
sangatlah membuatku merasa bangga, dikarenakan ini merupakan salah satu
peninggalan budaya yang masih berciri khas dan terlestarikan oleh para
masyarakat Pulau Muda hingga sampai sekarang.
“Assalamualaikum. Atuk, atuk, oh
atukkkkk”, aku mencoba berteriak memanggil atukku dari luar rumah.
“Waalaikum salam”.
Dan, seketika atukku baru saja membuka
pintu rumahnya, dengan cekatan segera aku langsung mendekap atukku dan memeluk
atukku dengan perasaan rindu yang mendalam.
“Atuk apa kabar?, sudah lama sekali kita
tidak bertemu ya atuk?, rindu sangat Nazri dengan atuk”, ucapku kepada atuk dan
kemudian mencium tangan atuk dengan hormat.
“Ohhhhhh, cucuku Nazri. Sungguh, atuk
pun juga demikian, rindu sangat dengan dirimu nak. Jujur saja, semenjak engkau,
mak, dan abah engkau pindah ke Jakarta, rasanya atuk merasa kehilangan. Nah,
sepertinya hari ini rasa kehilangan atuk telah terobati sudah, karena akhirnya
kamu datang kembali ke kampung kita ini. Hemm, sepertinya malam sudah
menjelang, ayo nak kita masuk ke rumah, sebentar lagi, pasti mak cik engkau
pasti sudah balik dari pasar”.
Kemudian, aku bersama atuk pun masuk
kedalam rumah. Dan, seketika dimana aku kembali menginjakkan kakiku di rumah
tersebut, aku merasakan ada suasana yang berbeda ketika aku berada di dalamnya.
Walaupun tanpa pendingin ruangan maupun cahaya lampu pijar listrik yang
menyala, tetapi, entah mengapa, suasana rumah tetap terasa dingin dan sejuk.
Ini kurasakan, ketika aku berjalan menuju ke kamarku, dapat kurasakan dari
celah-celah lantai kayu yang tersusun tersebut, seperti ada hembusan-hembusan
angin malam yang meronggah masuk melewati celah-celah tersebut. (“Benar-benar
nuansa kampung yang masih natural”), bisik hatiku semari tersenyum tipis.
Kemudian, selepas sembahyang magrib,
sembari merebahkan punggung dan kakiku diatas kasurku, aku mencoba memejamkan
mataku untuk beristirahat sejenak dan bersantai dari rasa lelah. Namun,
seketika saja dimana aku akan tertidur dengan lelap, dari arah luar kamarku,
terdengar dengan gemuruhnya, suara kerumunan anak-anak kecil bersendau gurau
gembira berjalan di dekat rumah atukku. Dengan rasa penasaran, aku pun segera
bangkit dari bilik tempat tidurku, dan kemudian kubuka dengan lebar jendela
kamarku. Terlihat dengan jelas, di bawah malam yang sunyi, bersama deraian
suara ombak kecil Bono yang saling bergulung, beberapa kerumunan anak-anak
kecil yang memakai kopiyah dan mukena, terus saja berjalan menyusuri jalanan
kampung yang gelap tanpa cahaya lampu listrik yang menyala. Sembari melantunkan
shalawat, mereka terus saja berjalan, tanpa diiringi ada rasa takut yang
menghantui mereka. Sungguh, ketika mereka berjalan dengan membawa sebuah
al-quran yang di dekap ditangan kanan mereka dan sementara tangan kiri mereka
membawa sebuah obor yang menyala- nyala, mereka terlihat seperti anak-anak
kecil yang masih lugu dan tanpa dosa. Benar-benar ini adalah pemandangan malam,
yang tidak akan kutemui di Kota Jakarta.
Pemandangan malam yang memberikanku
banyak makna dan pelajaran tentang kehidupan.
Namun sayangnya, ketika sejenak aku
melihat dari sisi kanan dan kiri rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan
rumah atukku, terlihat jelas jika rumah mereka sangatlah bungkam tanpa cahaya
yang terang. Beberapa di antara rumah tersebut hanya terlihat terang dengan
remah-remang cahaya yang berasal dari dua obor yang diikat disela-sela kayu
penyangga rumah panggung mereka. Tentu saja ini membuatku menjadi sedih dan
terharu. Entah mengapa, sudah satu tahun aku pergi meninggalkan kampung Pulau
Muda ini, namun, tetap saja belum adanya perhatian dari pemerintah pusat untuk
memberikan listrik di kampung Pulau Muda ini.
Padahal, jikalau dilihat, sudah banyak sekali
pemandangan wisata alam yang sangat indah dan menakjubkan yang dimiliki oleh
kampung ini, salah satunya adalah keindahan dari gelombang Bono. Dan bukan
hanya itu, selain keindahan alam yang menakjubkan, kampung ini juga memiliki
masyarakatnya yang sangat berbudaya melayu dan sangat mempertahankan adat
istiadatnya. Jika saja ada perhatian dari pemerintah pusat untuk mengolah
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh kampung Pulau Muda
ini, pastilah, suatu hari kampung ini akan berubah menjadi sebuah kampung
wisata yang banyak dikunjungi oleh para masyarakat diluar sana, dan juga oleh
para wisatawan mancanegara.
“Kamu sedang melamun nak?”, tiba-tiba
saja atuk datang mendekat kepadaku yang sedang melamun di dekat cendela
kamarku.
“Oh iya atuk. Ini, tiba-tiba saja Nazri
terpikiran dengan kemajuan kampung Pulau Muda ini. Seharusnya, di zaman moderen
seperti ini, kampung kita sudah berubah dan tidak sama seperti dulu lagi tuk.
Namun, sepertinya perhatian pemerintah pusat belum kepikiran sampai ke kampung
kita ini. Sehingga, ingin sekali rasanya Nazri memajukan kampung kita ini
menjadi sebuah kampung wisata dan dikenal oleh banyak orang di luar sana.
Secara, kampung kita memiliki potensi alam dan keragaman budaya masyarakatnya
yang sangat unik dan beradat”.
“Kamu benar sekali nak. Inilah selama
ini yang selalu atuk pikirkan sebagai kepala adat di Kampung Pulu Muda ini.
Sebenarnya, atuk dan Pak Rohim, Kepala Desa Pulau Muda, telah sama-sama mencari
solusi bagaimana agar kampung ini mendapat perhatian dari pemerintah pusat,
terutama dalam subsidi listrik bagi masyarakat disini. Dikarenakan, atuk dan
pak Rohim, sangat kasian dengan para masyarakat di sini, yang setiap malam
hanya berpelitakan dengan obor-obor bambu yang menyala. Dan kamu juga benar
nak, atuk juga berpikiran ingin menjadikan kampung ini menjadi sebuah Kampung
Wisata. Hal ini dikarenakan, di kampung Pulau Muda ini, terdapat salah satu
fenomena alam yang sangat menakjubkan, dan pastinya tidak dimiliki oleh daerah
lain. Yaitu Sungai Bono, sungai yang memiliki sebuah ombak yang sama seperti
ombak yang ada di pantai-pantai. Namun sayangnya, sampai sekarang, atuk dan pak
Rohim belum tahu, darimana memulai semua ini, nak”.
“Atuk tenang saja, insyaallah, sebagai
mahasiswa Sejarah, Nazri janji, Nazri akan membantu atuk dan juga para
masyarakat disini untuk memajukan kampung Pulau Muda ini menjadi lebih baik
lagi. Nazri akan mengajukan cerita Dibalik Pesona Alam Bono yang ada di kampung
kita ini, sebagai judul dalam perlombaan karangan ilmiah budaya nasional yang
sedang Nazri ikuti saat ini. Insyaallah usaha kita untuk memperkenalkan pesona
alam di kampung Pulau Muda ini akan berhasil. Percayalah tuk dengan Nazri”.
Dengan penuh semangat dan sembari
memberikan senyumanku yang sumringah kepada atuk, aku kemudian meyakinkan
atukku dengan menggenggam kedua tanganku dengan penuh erat.
Kemudian, aku dan atukku pun
meninggalkan kamarku, dan beralih menuju ke sebuah ruangan santai yang di sana
hanya terdapat sebuah bilik kayu panjang untuk beristirahat. Sembari
mengaduk-ngaduk kopiku yang masih panas, aku mencoba mendekati atukku yang
sedang duduk membaca sebuah kitab kuning yang berwarna lusuh.
“Oh iya tuk, apakah atuk tahu,
sejujurnya, Nazri sangat salut dengan kegigihan dan perjuangan anak-anak kecil
di Kampung Pulau Muda ini. Walaupun gelap gulita tanpa ada penerang cahaya
listrik, mereka tetap berjalan menyusuri jalan menuju ke Surau untuk belajar
mengaji”, tanyaku kepada atukku.
“Ya begitulah nak. Walaupun di kampung
Pulau Muda ini, gelap gulita, tanpa ada lampu listrik yang menyala, tapi,
semangat-semangat anak-anak kecil untuk mengaji di surau beramai-ramai takkan
pernah padam. Di kampung kita ini, wajib hukumnya anak-anak kecil sudah pandai
mengaji. Jika ada dijumpai dirumah-rumah selepas magrib, anak-anaknya hanya
duduk diam, wah, berarti mak dan abah mereka tidak tahu betapa pentingnya ilmu
agama untuk bekal anak-anak mereka nanti”, kata atukku sembari
membolak-balikkan kitabnya dengan penuh hati-hati.
“Apakah kewajiban harus pandai membaca
al-quran bagi anak-anak di kampung kita ini, juga merupakan salah satu adat
istiadat di kampung kita yang harus dipatuhi ya tuk?”, tanyaku kembali kepada
atuk.
“Oh, tentu saja. Sudah tradisi
turun-temurun, semua anak-anak yang ada di kampung kita ini, harus pandai
membaca al-quran. Dan, mereka harus mengaji bersama-sama di Surau kita ini.
Semua ini dilakukan, agar kampung kita ini terlepas dari marabahaya kemaharan
ombak Bono yang kerap kali datang dengan tiba-tiba, serta agar senantiasa
mendapatkan perlindungan dari Allah SWT”.
Kemudian, tiba-tiba saja, pandanganku
tertarik kepada sebuah kitab yang berwarna kuning lusuh yang dibaca oleh atukku
tersebut, dan sembari mendekat kepada atukku, aku mencoba menanyakan rasa
penasaranku tersebut, “Atuk, apakah kitab yang atuk baca ini?, apakah ini
adalah sebuah kitab melayu yang sangat sakral?, kenapa bentuknya sangat lusuh
seperti ini, tuk?”.
“Oh ini, kemarilah nak atuk beri tahu.
Ini bukan kitab sakral, melainkan, adalah kitab kuning gundul, yang hanya boleh
dibaca oleh para pemangku adat yang berada di kampung Pulau Muda ini. Kitab
Melayu ini, berisikan tentang petuah-petuah adat yang wajib dipatuhi oleh
masyarakat yang ada di kampung kita ini. Dan juga, setiap petuah-petuah yang
tertuang di dalam kitab ini, tidak boleh satupun dilanggar oleh para masyarakat
Kampung Pulau Muda. Jika dilanggar, maka akan mendapatkan ganjarannya”.
“Hemmm begitu ya tuk. Oh iya tuk, apakah
di dalam kitab melayu gundul ini, juga berisikan tentang asal-usul dari mana
Bono berasal?. Karena, Nazri pernah membaca dari salah satu sumber di internet,
bahwa ada beberapa cerita mistis yang mengawali dari adanya gelombang Bono
tersebut, tuk. Bisa tidak, atuk ceritakan kepada Nazri, sebetulnya Bono itu
apa, dan bagaimana asal-usulnya?. Soalnya, Nazri tidak begitu paham dengan
penjelasan yang ada di internet. Sebagai anak kampung Pulau Muda, tentunya,
Nazri harus tahu kan tuk?. Lumayanlah, ini bisa jadi referensi bahan tambahan
dalam tulisan karangan ilmiah Nazri, tuk”.
“Oh begitu ya?, baiklah-baiklah, dengarkan
bagus-bagus ya. Atuk akan ceritakan kepada Nazri, bagaimana asal-usul
terjadinya gelombang Bono yang sebenarnya. Bono adalah sebuah gelombang atau
ombak yang terjadi di Muara Sungai Kampar Kabupaten Pelalawan, tepatnya di
dekat Kampung Pulau Muda. Menurut kepercayaan warga Pulau Muda, dan sekitaran
Kecamatan Kuala Kampar, gelombang Bono yang ada di dekat kampung kita ini,
merupakan gelombang Bono jantan, sementara, gelombang bono yang betina terdapat
di dekat Sungai Rokan, yaitu di Bagan Siapi-Api. Menurut pemikiran orang jaman
dahulu, Bono di Kampung Pulu Muda ini, memiliki tujuh ekor yang berbentuk ekor
kuda yang disebut dengan Induk Bono. Menurut cerita masyarakat melayu Pulau
Muda, gelombang Bono merupakan perwujudan dari tujuh hantu yang sering menghancurkan
sampan dan kapal yang melintasi daerah Kuala Kampar. Yang mana, gelombang Bono
ini, dahulunya pernah menghancurkan sampan dan kapal-kapal hingga
berkeping-keping. Namun, saat ini, ekor dari gelombang Bono tinggal enam.
Dikarenakan, menurut kepercayaan masyarakat melayu Pulau Muda, salah satu ekor
dari gelombang Bono, telah ditembak oleh kapal-kapal meriam milik pemerintahan
Belanda, sewaktu pemerintahan Belanda menjajah Kampung kita ini . Nah, menurut
kepercayaan adat-istiadat di kampung kita ini, gelombang bono akan memunculkan
gelombangnya yang paling dahsyat dan terbesar tepat ketika terjadi Bula
Purnama, yaitu di tanggal 15 Desember. Sementara di luar tanggal 15 Desember,
gelombang sungai Bono masih bersemayam didalam perut bumi dan hanya terdapat
anak-anak saja yang bermain di tepian sungai”.
“Wah, cerita asal-usul gelombang Bono
ini, ternyata sangat lagendaris sekali ya tuk. Oh iya tuk, kemudian, ada tidak
tuk, suatu upacara adat tertentu yang dilakukan oleh masyarakat di Kampung kita
ini, jika akan datang gelombang bono yang paling dahsyat dan terbesar di
kampung kita ini?”.
“Tentu saja nak, para masyarakat melayu
yang terdapat di Kampung Pulau Muda ini, memiliki sebuah ritual upacara adat
yang harus dilakukan ketika gelombang Bono yang paling dahsyat datang dan
melintas mengitari kampung kita ini. Upacara tersebut adalah upacara Semah.
Yaitu, upacara yang dilakukan sebelum tanggal 15 Desember dan dipagi hari
setelah tanggal 15 Desember. Ini adalah upacara penyampaian doa agar ketika
gelombang Bono melintas melewati kampung Pulau Muda, tidak akan mengganggu
masyarakat yang ada dikampung ini, dan masyarakat akan terhindar dari
marabahaya apapun. Upacara ini, akan dipimpin oleh atuk sendiri, sebagai
seorang Datuk Kepala Adat di Kampung kita ini” .
Karya : Aisyah Nur Hanifah